Kuempaskan bokong di atas pembaringan, lalu melepas kerudung yang dikenakan. Rasanya energiku terkuras habis saat berhadapan dengan dua orang yang bahkan baru pertama kali bertemu. Bunyi notifikasi pesan terdengar, kuraih benda pipih yang beberapa saat lalu terabaikan di dalam saku, karena kesibukan sebagai ibu rumah tangga, juga anggota keluarga Prasetya yang baru. Semua pesan berasal dari orang yang sama. Roy Kimoci07.30 a.m[ Gimana kabar ponakan-ponakan ucul gue? Btw Alid betah, kan di sana? ]09. 15 a.m[ Gue nggak akan tanya gimana keadaan lu, karena gue tahu sesulit apa pun itu lu pasti bisa ngelewatinnya. ]12. 12 p.m[ Jangan kelon mulu, awas aja kalau lebaran ini gue denger kabar garis dua di postingan lu. ]Tanpa sadar senyumku melebar membaca pesan-pesan yang Roy kirimkan. Meski sebagian besar berisi sindiran. Baru seminggu sejak kepindahan. Rasanya aku sudah sangat merindukan Lumanjang. "Hei, lagi apa?" Kualihkan pandangan dari ponsel di genggaman. Menatap lelaki den
SLB Kasih ZaelaniNama plang yang tertera di depan bangunan setinggi tiga lantai. Kuedarkan pandangan menatap para anak-anak berkebutuhan khusus yang dituntun keluar oleh para guru pembimbing. Mayoritas muridnya bisa kutaksir berumur antara 6-12 tahun. Umur rentan anak-anak spesial yang jelas membutuhkan perhatian khusus. Aku yakin bukan hal yang mudah membimbing anak-anak yang sering orang kata sebagai anak surga tersebut. Maka dari itu, guru, pembimbing, baby sitter, perawat, bahkan mungkin orang tua mereka adalah orang-orang pilihan Tuhan yang tak perlu dipertanyakan kelapangan hatinya. Mereka luar biasa.Melihat bangunan ini berdiri dengan nama belakangku yang tertera di plangnya. Jujur, ada rasa haru sekaligus pilu. Di sisi lain aku bahagia atas nama kemanusiaan di mana keluarga yang bahkan tak kukenal baik, bisa membantu sesama dengan membangun sekolah luar biasa yang sama sekali tak dipungut biaya. Namun, di sisi lain seolah ada beban berat yang baru saja ditangguhkan di pun
Hanya menempuh kurang dari sepuluh menit perjalanan dari perumahan CitraLand Megah Batam, kami sampai di perumahan elite lainnya. Tepatnya Royal Bay. Kata Neli perumahan ini dikenal sebagai salah satu kawasan perumahan elit bagi kalangan tertentu. Perumahan Royal Bay dirancang dalam bentuk 2 lantai dengan tampilan eksterior kontemporer. Tiap unit rumahnya, memiliki Double Carport dengan kanopi, plafon setinggi 3 meter, pintu utama dan kusen setinggi 3 meter dengan sistem penguncian otomatis dan lain sebagainya.Fasilitas di tempat ini juga sangat komplit. Ada clubhouse, area yoga, gym & fitness, kolam renang, dan area bermain yang dilengkapi dengan taman bermain khusus untuk anak-anak. Jalannya juga nyaman dan mulus. Ada jalur untuk pejalan kaki dengan taman unik di sisi kiri dan kanan jalan.Sistem rumahnya juga sudah menggunakan konsep smart home yang dilengkapi dengan berbagai teknologi canggih.Tiba di depan bangunan 2 lantai dengan tipe Monat Extension tersebut, aku menyenggol l
"Udah nggak perlu cemberut gitu perkara rumah yang dibeli dua kali lipat ini. Mungkin ada alasan kenapa Pak Khalid memutuskan buat beli dengan kocek lebih.""Habisnya kesel-lah, nggak ada komunikasi, seenak udel aja dia ngabisin duit buat rumah yang seharusnya didapet setengah harga. Emang paling bisa dia, tuh hambur-hamburin duit. Nggak tahu aja gimana susahnya orang kecil nyari. Bahkan sampe ada yang gadein harga diri. Jadi, budak nafsu lelaki."Neli menghela napas, dia memutar tubuhku yang semula membelakangi di ruang tamu ini. Sementara lelaki yang menjadi penyebab kerisauanku malah asik haha-hihi sama anak-anaknya di atas. "Fyi aja, ya. Rumah ini dibeli udah berikut isi, dan yang punya sebelumnya kebetulan bestie-nya Pak Khalid sendiri. Usut-burusut katanya penghuni sebelumnya lagi ada kendala ekonomi juga. Mungkin qja Pak Khalid beli dengan harga dua kali lipat, karena niatnya ngebantu.""Tuh, kan. Dia bilang ke kamu, tapi nggak bilang ke saya. Jadi, di sini yang bininya itu si
"Udah selesai home tour-nya?" Bang Khalid bertanya setibanya aku di kamar utama. Kamar seluas 40 meter persegi yang sudah dilengkapi dengan tempat tidur king size dialasi sprei dan selimut yang sudah dipastikan berkualitas tinggi, meja rias dengan kursi yang sepertinya nyaman. Dua lemari besar yang letaknya berdampingan untuk menyimpan pakaian dan aksesoris, belum lagi satu lemari etalase untuk menyimpan tas dan sepatu-sepatu. Tak lupa TV layar datar dengan home theater, kulkas mini, sofa untuk bersantai, AC, jendela besar yang langsung menghadap ke taman. Juga kamar mandi dalam yang entah selengkap apa lagi fasilitasnya, karena aku belum sempat membersihkan diri. "Kenapa kamu siapin semua ini? Kamu pikir aku nggak akan bisa handle pekerjaan rumah tangga? Kamu lupa sebelum punya buntut dua aku ngurus Nana, suami, mertua, belum lagi kerja nyampi ngebabu di rumah sendiri." Aku duduk di sofa panjang berwarna cokelat, tepat di sebelahnya. Sementara anak-anak sedang mandi bersama Neli.
"Udah hampir seminggu, kenapa tiap bangun tidur kamu masih selalu liatin aku?" Tepat saat mataku terbuka pagi ini, kudapati tatapan yang sama setiap harinya. Dia selalu terbangun lebih dulu. Kemudian lekat menatapku."Dejavu. Aku cuma takut saat bangun kamu nggak ada di sampingku." Lelaki yang bahkan dalam kondisi bangun tidur tetap terlihat tampan itu tersenyum. Dia mengulurkan tangan membelai pipiku. "Kan, siapa tahu aku ke WC dulu, ke kamar anak-anak, atau bahkan nongkrong sambil ngopi di balkon. "Kamu tahu maksud aku, Nin." Suaranya merendah, berat dan serak di waktu yang bersamaan. Ya Tuhan, entah kapan aku akan benar-benar terbiasa bangun di sisi lelaki ini. Rasanya asing, tapi di satu sisi juga nyaman. Seperti terlindungi. "Iya tahu, tahu banget." Aku tersenyum penuh arti. "Jangan tatap aku kayak gitu, Nindi!" Dia salah tingkah saat kutatap lekat dari atas ke bawah. Harusnya cewek yang saltingan, kan? Ini, kok kebalik. "Jadi?""Jadi?" Dia malah membalikkan pertanyaan.
"Kita makan dulu, ya. Habis itu baru lanjut ke Nongsa," kata Bang Khalid tepat setelah aku dan Neli menuntun anak-anak keluar dari Zona Kids. "Makan di mana?" tanyaku dengan mata memicing curiga. "Di restoran langgananku aja, ya," tawarnya. Sudah kududa, eh kuduga. "Menunya ada apa aja emang?" Aku kembali bertanya. Sengaja guna mengulur waktu agar aku benar-benar tahu tempat makan macam apa yang akan menjadi tujuan kita. "Macem-macem jenis makanan Western. Tapi, di sana steak yang paling best seller-nya. Kamu harus coba! Sejauh ini resto itu yang paling cocok di lidah aku, Naya, sama Fatina."Aku menghela napas panjang. Bukannya antusias, jujur mood-ku langsung turun mendengarnya. Memang apa susahnya, sih diskusi dulu? Kan, nggak semua yang Naya suka aku suka juga. "Udah reservasi emangnya?""Belum, sih. Tapi, kita udah langganan di sana, jadi biasanya begitu sampe pasti langsung disiap--""Ya udah kalau gitu kita ke Solaria aja!" potongku sekaligus mengusulkan. "Tap--""Udah
Dari Mega Mall Batam Center kami lekas melanjutkan perjalanan menuju Pantai Nongsa. Jarak yang kami tempuh dari Mall ke Nongsa Beach sekitar 22 kilometer dengan rentang waktu kurang lebih 37 menitan menggunakan mobil melalui jalan Tol Batam. Selama mengenal Batam, mungkin ini adalah kali ketiga aku mengunjungi pantai yang menawarkan pemandangan yang indah dengan air laut yang jernih dan ombak yang tenang ini. Pepohonan hijau dan bunga-bunga yang bermekaran di sekitar pantai juga berhasil membangkitkan kenangan empat tahun silam saat aku mengandung Fatina tujuh bulan dan untuk pertama kalinya aku dan Bang Khalid makan di pinggiran menikmati pecel lele dengan kol goreng. Namun, momen nostalgia tersebut rasanya tak bisa benar-benar kurasakan. Sebab sebelum kami sempat menikmati fasilitas liburan yang disediakan sepertisnorkeling, diving, banana boat, jet ski, dan lain-lain. Anak perempuanku lagi-lagi rewel dan merengek ingin pulang. Padahal kulihat adiknya baru saja menginjakkan kaki
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce