"Gue hamil, Roy!" Aku keluar dari kamar mandi dan menyodorkan tespek dengan dua garis merah itu ke hadapan Roy yang tengah me-packing barang, sebulan setelah pelarian.Lelaki dengan celana compang-camping itu langsung beranjak bangkit dan menyambar benda kecil memanjang di genggaman tangan."Anj--lu ngelakuin berapa kali, sih?""Cuma sekali, habis nifas.""Langsung jadi?"Aku mengangguk pasrah."Bangsat! Tokcer juga si Khalid."Aku hanya bisa terdiam mendengarnya mengumpat. Siapa yang tahu kalau kesan perpisahan yang sebenarnya bertujuan untuk menciptakan kenangan, justru malah menumbuhkan kembali benih dalam rahim sebagai titipan yang seolah sengaja dia tinggalkan agar membuatku semakin sulit melupakan.Sebulan setelah meninggalkan Jakarta dan menyewa salah satu vila di Lembang-Bandung, hingga sempat menderita demam, mual, dan meriang selama dua pekan, kupikir hanya sakit biasa yang menyerang akibat tak cukup mampu menerima kenyataan. Ternyata hal tersebut disebabkan oleh gejala keh
"Khalid sekeluarga udah pulang ke Batam." Seketika gerakan tanganku yang tengah menyisir rambut terhenti. "Kata Mami, kita udah bisa bawa semua barang yang ketinggalan di Jakarta sekarang."Kuletakkan sisir di atas meja rias, lalu memutar tubuh menatap lelaki di hadapan dengan nanar."Kenapa? Lu kecewa karena Khalid cuma butuh tiga bulan buat meninggalkan semua kenangan yang pernah tercipta di antara kalian?"Tanganku terkepal tanpa sadar, walau tak sepenuhnya benar, tapi ucapan Roy berhasil membuatku merasa tertampar.Sejak memutuskan untuk meninggalkan kehidupan yang pada awalnya memang tak pernah diinginkan, seharusnya aku tidak perlu menyisakan setitik pun celah harapan yang kelak akan menciptakan berbagai macam bentuk kekecewaan. Meski hanya sebentar, aku tak layak berharap bahwa suatu saat nanti dia akan kembali, kembali dengan uluran tangan dan menjanjikan kehidupan layak sebagai pasangan sampai maut memisahkan.Sudah tiga bulan, 3 x 30 hari sejak aku berjuang sendiri melewati
"Ganti aja di sini!" Aku menuntun Khalid ke kamar dan menyodorkan baju yang Roy pinjamkan.Tak ada lawan, si Roy memang patut dapat predikat orang terkejam. Bagaimana bisa meminjamkan pakaian yang biasa dia pakai ke ladang? Mana bolong di beberapa bagian."Maaf, ya. Emang bener-bener si Roy."Khalid tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Nggak apa-apa."Tanpa aba-aba dia langsung melepas pakaian beserta kaus dalam sebelum sempat aku meninggalkan kamar."Ekhmm." Aku berdeham sejenak, lalu memalingkan pandangan saat menyadari nyaris tak ada perubahan dari fisiknya meski sudah empat tahun berlalu. "Kalau gitu aku keluar du--"Namun, sebuah tangan tiba-tiba menahan sebelum aku sempat beranjak."Aku cuma mau bilang, Nin. Tentang gugatan yang kamu ajukan empat tahun lalu."Deg!"Gugatan itu nggak pernah naik ke meja sidang. Satu kali panggilan sempat kuhadiri, tapi hanya untuk naik banding. Gugatan nggak cukup kuat, hingga akhirnya pengadilan menolak. Jadi, secara resmi, kita masih sah se
"Ngapain lu bediri di situ dari tadi?" celetuk Roy yang membuatku tersadar dari lamunan."Eh, itu ... anu. Liwetnya udah mateng.""Dih, bilang, dong dari tadi. Pan gue udah laper." Sebelum sempat beranjak pergi, kutahan Roy agar tetap di posisi"Eh, bentar!" "Apaan?""Gimana?" "Gimana apanya?"Aku mendengkus, lalu menunjuk dengan dagu, lelaki yang masih sibuk membelahi kayu.Roy memutar bola mata, dan bergumam sembari berlalu."Gue males mengakui, tapi dia lulus ospek."Senyumku melebar. Kualihkan pandangan pada yang bersangkutan."Bang!"Khalid menoleh. Sejenak dia seka peluh dengan ujung kaus yang mengekspos sebagian tubuh.Astagfirullah.Kuatkan imamku, Tuhan ...."Ya?""Liwetnya udah mateng. Kita makan dulu.""Apa? Nggak kedengeran. Sini!""Ck." Aku berdecak, lalu berjalan menghampirinya."Liwetnya udah--"Aku terpana, tak bisa berkata-kata. Saat dia tiba-tiba mendaratkan kecupan di pipi, dan dengan datar langsung beranjak pergi.Apa-apaan ini?Kurang, kan harusnya sebelah lagi
"Ngapa lu liatin gue begitu?" sungut Roy begitu kubuka pintu, setelah dua kali ketukan. Kulihat di kanan-kirinya dia mengantar Fatina dan Alid pulang dengan senyum yang sama-sama lebar dengan keadaan sudah bersih dan wangi setelah dimandikan dan didandani.Melihatnya entah kenapa membuatku teringat waktu empat tahun silam, saat diri tak cukup mampu menanggung beban, saat Alid masih berkembang dalam kandungan, dan saat waktu terasa benar-benar lamban. Dia ada, dia datang, dia menetap dalam ruang yang tak terlihat, dalam tempat yang tak bisa kuraba, tetapi nyata adanya. Selalu siap sedia menguluran tangan yang dilakukan untuk menyeka air mataku yang seringkali gugur tanpa sadar. Sulit untuk mendeskripsikan sosoknya. Namun, satu yang pasti. Sejak aku berpikir bahwa dunia begitu kejam, dialah cahaya yang datang di tengah-tengah kegelapan."Lo apain anak-anak gue?" Antara menahan tawa dan haru kuajukan pertanyaan saat melihat wajah Alid dan Fatina sama-sama seperti adonan moci yang diberi
"Udah selesai?" Bang Khalid bertanya saat aku baru selesai memasangkan jaket untuk Fatina. Dia berdiri di ambang pintu dengan Alid yang sudah rapi di sampingnya.Kupicingkan mata saat melihat sesuatu yang asing. "Kapan kamu beli jaket yang sama?" Kutatap bapak dan anak itu bergatian."Dua hari lalu, kan paketnya datang. Nggak liat emang?"Aku menggeleng pelan."Oh, iya. Kalau nggak salah hari itu kamu lagi pergi bareng Roy.""Pantesan. Ya udah kita berangkat sekarang, Roy sama Tante Lala kayaknya udah nunggu di depan."Bang Khalid mengangguk pelan, tanpa diduga dia menarik pinggangku dan merapatkan tubuhnya saat kami berjalan berdampingan ke halaman depan. Sementara anak-anak sudah berlarian lebih dulu keluar.Sampai di di ambang pintu aku baru menyadari sesuatu saat tak sengaja menatapnya barusan."Resleting, Bang!"Bang Khalid mengikuti arah pandangku, lalu menepuk dahi begitu sadar resleting celananya belum sempat dinaikan."Astagfirullah ... untung kamu sadar.""Yaiyalah. Emang a
Entah kapan tepatnya, saat pertama kali gue memilih menarik diri dari dunia, dunia yang gue pikir tak akan pernah bisa menerima. Dunia yang hanya bisa menatap gue tak lebih dari makhluk hina, karena terlahir tanpa Bapak.Ketika memasuki usia remaja, saat harusnya gue bisa menatap kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda, bersama dengan tahapan menuju dewasa. Gue justru dicerca berbagai tanya. Tentang siapa gue sebenarnya. Tentang kenapa dan bagaimana gue awalnya? Ternyata gue terlahir dari benih hina para lelaki nista, saat Mami diperkosa. Saat masa-masa remajanya terenggut oleh para bedebah dunia. Di hari saat gue memutuskan untuk berhenti bergaul dengan teman sebaya, berhenti membiarkan diri dicaci dan dimaki hanya karena hidup yang tak pernah gue minta. Gue justru melihat Mami kembali merendahkan dirinya di hadapan tiga bandot tua berseragam pelayan negara, yang selalu datang hanya untuk mempersulit izin akan tempat usaha Mami yang baru berjalan setengah tahun. Padahal gue tah
"Dunia emang kejam bagi sebagian orang. Nggak ada yang bener-bener bisa nerima saat orang yang seharusnya melindungi justru norehin luka paling nyeri. Keadilan ada, cuma buat mereka yang percaya." Di tempat yang sama. Gue melihat wanita itu masih duduk terpaku dengan pandangan kosong ke depan. Kemeja yang dia kenakan tampak belum terkancing sempurna. Bahkan sebelum ini, gue dan Mami mendapatinya pagi tadi hanya beralaskan selembar selimut yang tak cukup mampu menutup tubuh polosnya.Dia seolah telah mati, meski raga itu dipaksa untuk berdiri."Nindi!" Gue panggil namanya.Wanita berambut panjang itu akhirnya menoleh. Menunjukkan wajah cantik yang benar-benar mengenaskan dengan beberapa lebam merah keunguan di mata dan sudut bibirnya."Saya mau pulang." Hanya itu kalimat yang terlontar, meski berbagai kata tanya ingin sekali gue ajukan."Oke, gue nggak akan maksa. Lu pasti butuh waktu untuk beradaptasi dengan semua ini. Walaupun pada akhirnya lu nggak kembali, dan utang si Indra belum