Hari kelima, Klub Sahara ternyata tutup. Malam ini aku mengikuti Nindi yang ternyata pergi menemui Roy.Memarkirkan mobil agak jauh dari lokasi mereka berada, yaitu Pos Ronda yang kebetulan tak beroperasi. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun, saat terdengar petikan gitar. Suara samar yang mengalun merdu pun terdengar.Ku ambil gitar dan mulai memainkanLagu lama yang biasa kita nyanyikanTapi tak sepatah kata yang bisa terucapHanya ingatan yang ada di kepalaHari berganti angin tetap berhembusCuaca berubah daun-daun tetap tumbuhDan kata hatiku pun tak pernah berubahBerjalan dengan apa adanyaTanpa sadar senyumku terkembang. Suaranya sangat lepas dan seolah bebas. Di malam yang dingin dan gelap sepiBenakku melayang pada kisah kitaTerlalu sakit untuk dilupakanKenangan yang buruk bersamamuTinggallah mimpiTerlalu sesak untuk dilupakanWalau memang aku tak pernah cintaTakkan terjadi kebangsatan ini ....Aku tertegun begitu liriknya berganti. Kedua orang yang
Untuk KhalidHei, Ganteng!Aku tahu hal ini pasti mengejutkan untuk kalian, khususnya untukmu. Setelah mengembalikan semua tepat pada tempat yang seharusnya aku justru memilih pergi, tanpa pamit, tanpa salam, bahkan tanpa pelukan. Asal kamu tahu ini nggak mudah, nggak akan pernah mudah. Aku cuma takut perpisahan yang dilakukan dengan cara saling berhadapan kembali membuatku gundah, aku cuma takut menatap wajahmu saat mengucap kata pisah, membuatku menyerah dan akhirnya mengurungkan niat, lalu kembali mengaku kalah oleh perasaan yang lemah.Terima kasih, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena telah mengajukan sebuah kesepakatan hingga akhirnya aku memiliki cukup pilihan masa depan. Pilihan untuk keluar dari lingkaran setan, pilihan untuk berubah, dan pilihan untuk menjadi manusia yang lebih baik setidaknya di hadapan Tuhan.Seseorang pernah mengatakan padaku, bahwa hidup nggak selalu adil untuk para pendosa. Ya, mungkin dia benar, karena sampai detik ini aku belum juga meras
Tak ada satu pun kabar kematian yang membawa suka. Sekalipun itu orang yang pernah membuatmu murka. Aku memang sempat tak menyukai keberadaan bundanya Naya beberapa waktu terakhir. Terlebih saat kutahu bahwa dia pernah menghasut Naya bahkan memaki-maki fakta tentang Nindi yang saat itu masih terbaring koma di hadapan Papa dan Mama. Namun, meski bagaimanapun, Bunda adalah ibu kandung dari istriku.Di samping gundukan makam, aku melihat Naya terisak kencang. Kepergian Bunda yang lebih cepat dari vonis dokter tentu membuat Naya yang memang sedang tak stabil menjadi kian terpukul. Hanya sepekan, sepekan setelah kami pulang dari Pulau Penawar Rindu, beliau berpulang. Meski telah dari jauh-jauh hari kami mempersiapkan diri, tetap saja duka itu datang menghampiri.Bagaiman pun sikap Bu Siska yang kadang tak disukai orang-orang di sekitar, kehadirannya selama hampir sebelas tahun, dan fakta bahwa beliau adalah mertuaku, tetap saja masih menciptakan rasa kehilangan yang cukup besar.Wafat pag
Hanya berselang dua bulan setelah kepergian Bunda, kondisi fisik Naya semakin melemah. Meski berkian kali kupaksa, tetapi dia tetap enggan melakukan kemoterapi, hanya obat-obat yang dikonsumsi dan tak cukup memberi perubahan yang berarti. Dokter mengatakan bahwa sel kankernya sudah lebih cepat menyebar ke jaringan tubuh lain.Ucapan Naya beberapa kali membuatku tertampar, dia mengatakan bahwa banyak cara untuk ikhtiar. Tawakal dan berserah adalah salah satu jalan, bila waktu yang Tuhan tentukan hanya tersisa hitungan jam, dia seolah sudah siap untuk risiko terbesar.Jujur sebenarnya aku sempat kecewa pada Naya. Fakta bahwa Fatina adalah anak kandungku dengan Nindi membuatku sedikit enggan. Bahkan, untuk mendekapnya di saat terpuruknya seperti ini.Apakah aku kejam? Apakah layak bagiku untuk berlaku demikian? Entah kenapa, ego begitu mudah menguasai belakangan ini. Siapa korban sebenarnya di sini? Lama bergelut dengan perasaan, akhirnya aku beranjak menghampiri perempuan yang duduk be
Beberapa bulan kemudian ....Ternyata memang benar, bukan tanpa alasan syariat menyarankan bahwa poligami hanya diperuntukan untuk orang-orang yang 'mampu' Aku baru merasakannya, keadilan yang susah payah kubagi di antara kedua istri ternyata tak pernah benar-benar rata. Selalu ada celah, selalu ada lubang tidak kasat mata yang menjadi awal mula petaka.Cinta, kasih, perhatian bahkan materi yang kuberikan tak pernah cukup adil untuk dibagi berdua. Aku merasa telah gagal, gagal membimbing masing-masing dari mereka, hingga Tuhan akhirnya menghukumku dengan membuat aku kehilangan keduanya.Penjara kesepian ini benar-benar menyiksa. Berbulan-bulan aku habiskan waktu untuk merenung, ibadah, dan interopeksi diri setelah kepergian Naya.Hampir tiap hari dalam beberapa bulan terakhir, kukunjungi makamnya yang disemayamkan tepat di belakang rumah, di samping pohon Areca di mana bakal calon anak kami yang sudah lebih dulu beristirahat dengan tenang.Selalu, setiap waktu, dalam berbagai kesem
"Haus, Pa!"Di tengah perjalanan Fatin tiba-tiba mengeluh kehausan, beruntungnya saat itu kami juga melihat sebuah toko grosir lengkap yang jaraknya hanya 150 meter dari pesantren Al-Huda yang tampak dari gapura di depan tadi. Melihat Fatin yang kepanasan dan kehausan, akhirnya kuputuskan untuk singgah sebentar membeli beberapa camilan untuk di jalan sembari mempertanyakan alamat yang tertera pada si penjual."Permisi, Pak. Assalamualaikum." Lelaki berjambang yang tengah menyemproti burung di depan tokohnya itu menoleh."Ya? Ada yang bisa dibanting?" tanyanya yang membuatku sedikit mengurutkan kening.""Begini, Pak. S--""Apa mau nawarin asuransi? Maaf, ya, Mas. Saya lagi nggak butuh asuransi apalagi minyak wang--""Hus! Mas Fariz!" Seorang wanita yang bisa kutaksir berumur awal empat puluhan keluar dari dalam toko dan menginterupsi kami. "Kebiasaan, deh suka judge orang sembarangan. Maaf, ya, Mas!" Wanita berjilbab itu beralih padaku dan tersenyum kecil."Habis rapi bener, Ci. Mana
Umar bin Khattab pernah mengatakan, "Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika ia kembali, maka ia milikmu. Namun jika tidak kembali, ketahuilah maka dia bukan milikmu."Sebelum memutuskan untuk meninggalkan semua beban yang membelenggu, sejujurnya aku sempat berada di fase pergi sulit, namun bertahan sakit.Bahkan timbul keinginan untuk menjalani kehidupan pernikahan poligami seperti yang akhirnya Khalid dan Naya sepakati.Namun, sesudahnya aku berpikir lagi. Masih banyak jalan menuju Roma. Bila memang tak bisa kenapa harus dipaksa?Surga yang Tuhan janjikan untuk para wanita mulia yang bersedia didua, tak selalu didambakan semua kaum Hawa. Meskipun bukan wanita suci, tapi aku cukup tahu diri. Aku tak mau menyakiti hati wanita lain, hanya karena perasaan yang kian besar ini. Karena aku jelas berbeda jauh dengan wanita di luar sana apalagi para istri nabi. Aku tak punya cukup kemampuan untuk membagi hati, ataupun sekuat mereka yang bisa ikhlas berbagi suami.L
Kupalingkan pandangan, tak sanggup menyaksikan momen yang bahkan dalam mimpi sekalipun tak pernah kubayangkan.Sudah setahun, setahun sejak Alid mulai mengerti kehadiran seorang Papa yang dia damba sejak lama. Setahun, sejak kukatakan bahwa Roy yang selama ini mendampingi bukanlah sosok yang dia nanti.Rasa haru menyeruak, tapi di satu sisi juga terasa sesak. Kala akhirnya Alid mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang dia ajukan."Tante cantik ini siapa, Pa?"Belum reda keterkejutannya, Khalid kembali dihadapkan dengan pertanyaan dari gadis kecil yang tampak kebingungan.Sesaat dia sempat tertegun, masih dengan Alid dalam pelukan dan tatapan hangat yang dilayangkan, lelaki itu akhirnya menjelaskan."Dia Mama Nindi, Sayang.""Mama?" Bocah yang kutahu pasti Fatina itu tertegun sejenak. "Mama Nindi?" Mata bulat itu tiba-tiba berbinar."Fatin punya dua Mama? Yeaaay!"***Khalid Zaelani, atau kami biasa memanggilnya Alid. Bukan tanpa alasan aku memberinya nama demikian. Penyatuan ter
"Silakan diminum dulu, Mas. Mumpung masih hangat." Mulut Khalid terbuka setengah, matanya nyaris tak berkedip saat mengitari seisi rumah mewah ini. Dia bahkan tak menanggapi seorang perempuan bercadar yang tengah hamil besar, sedang menyodorkan minum padanya.Di sebuah rak khusus dia melihat tumpukan brosur catering dan dekorasi, matanya juga tak berhenti menatap foto-foto pernikahan Roy yang terpajang di beberapa titik dalam ruangan. Saat melihatnya ternyata Khalid juga baru ingat kalau 'Berkah catering & decoration' adalah perusahaan WO yang sedang naik daun beberapa tahun belakangan. Jasanya banyak digunakan artis dan orang-orang penting, karena harga, rasa, kualitas, serta pelayanannya yang sama sekali tak mengecewakan."Kenalin, ini istri saya Ainun!" Ucapan Roy membuat Khalid kembali tersadar. Dia menatap pria yang tak percaya akan menyambutnya selayaknya tamu, setelah apa yang terjadi pada sahabat baiknya sewindu lalu.Namun, tak bisa dipungkiri. Tatapan Roy terlihat begitu taj
Roy berdiri terpaku di dekat brankar yang ditempati Nindi pasca persalinan yang perempuan itu jalani. Kedua tangannya terkepal, sementara air matanya terus mengalir memerhatikan perempuan yang berkaca-kaca menatap kedua bayi kembarnya dalam gendongan.Seolah masih lekat dalam ingatan Roy fakta demi fakta yang Nindi ungkapkan seiring dengan perutnya yang semakin membuncit"Setelah keguguran gue dan Bang Khalid pisah ranjang kurang lebih satu bulan, jadi sebelum sidang putusan cerai gue bisa dengan mudah mengidentifikasi dari mana benih yang mulai tumbuh di rahim gue berasal. Lucunya hidup ini ketika akhirnya gue sadar tengah mengandung anak dari keparat yang udah gue enyahkan. Kebetulan di hari yang sama saat tragedi itu terjadi, ternyata gue lagi ovulasi." Nindi menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Entah anugerah atau kutukan ketika Tuhan memberikan gue kesuburan, meski hanya dengan satu atau dua kali penetrasi ... benih-benih janin yang tak diinginkan tumbuh dengan mudah di r
Di sebuah desa kecil yang terselip di antara gemerlap hijaunya alam, anak-anak kecil berlarian di bawah langit senja, gembira dan bersemangat mengikuti tradisi yang telah diteruskan dari generasi ke generasi. Mereka melantunkan sholawat sembari menyusuri jalan berkerikil dengan langkah kecil yang penuh semangat menuju masjid terdekat.Di sela-sela ladang hijau yang melambai-lambai sejalan dengan angin, para petani yang menjadi mata pencaharian utama di desa, juga terlihat berbondong-bondong pulang dari ladang membawa hasil panen yang diangkut menggunakan kendaraan roda dua, roda empat, maupun gerobak melewati jalan utama. Peluh, lapar, serta dahaga tak lagi dirasa mengingat ada sebuah keluarga yang menunggu untuk disambung hidupnya."Mas Roy! Wes mandi langsung ke masjid ae, ya! Ditunggu karo Budhe Lala buat buka puasa bersama!"Salah satu petani yang mengangkut hasil panennya menggunakan mobil bak terbuka langsung menyenggol sang sopir untuk menghentikkan laju kendaraannya."Sek, sek!
Konflik rumah tangga antara Khalid dan Nindi berakhir di meja pengadilan agama. Setelah tiga bulan serangkaian proses berjalan, kedu belah pihak tetap tak menemukan titik terang. Mereka sudah sepakat berpisah. Hari ini, 15 Desember waktu setempat, sidang putusan perceraian mereka berlangsung di Pengadilan Agama Batam. Pengunjung yang menghadiri kebanyakan didominasi oleh pihak keluarga penggugat. Semua orang yang memenuhi ruang sidang seolah tak bisa memalingkan pandangan dari kedua pasangan yang duduk di depan meja hakim. Pasangan suami istri yang pernah saling memiliki itu terlihat menunjukkan ekspresi yang berlawanan.Nindi duduk dengan tenang di sisi kanan, wajahnya menunjukkan ekspresi datar yang sulit diartikan. Namun, mata bulatnya seolah memancarkan kepedihan mendalam yang dengan sempurna dia tutupi dalam kebungkaman.Sementara di sisi kiri, Khalid duduk dengan tegang, di tempatnya dia tampak gelisah, bahkan tak henti menoleh pada sosok di sebelahnya. Rahang kokoh itu mengeta
Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri dan dua anak itu tengah menatap api unggun yang berkobar di depan tenda mereka. Warnanya berubah-ubah dari merah, putih, hingga oranye dengan menyebarkan kehangatan untuk orang-orang di sekelilingnya. Mereka terlihat bersuka-cita menghabiskan waktu akhir pekannya, meski hanya berkemah di belakang rumah.Suara riang sepasang anak yang hanya selisih kurang dari setahun itu memecah keheningan malam. Keduanya tampak bercanda dan berlari kecil mengelilingi api unggun. Derai tawa menggelora, kebahagiaan sederhana itu dirasakan mereka saat mengejar api kecil yang melompat-lompat dari perapian."Sayang, ya si Neli nggak ada di sini." Nindi menyenggol lengan Khalid saat keduanya tengah memerhatikan anak-anak yang asik bermain, sembari menusuki marshmallow yang siap dibakar."Bukannya lebih bagus kalau nggak ada Neli? Jadi, kita bisa bebas ngapain aja tanpa perlu denger sindirannya yang kadang bikin risi?" Khalid terkekeh sembari melingkark
Langit mendung menyelimuti kota Batam. Sebuah pemakaman yang tak biasa digelar, dihadiri oleh banyak kolega, teman-teman, bahkan sampai awak media. Mereka semua berkumpul untuk mengucapkan selamat jalan pada Vincent Benedict Tjahjono, pengusaha juga anak konglomerat yang telah berpulang akibat sebuah tragedi.Di tengah kerumunan, Khalid hadir, meski dia harus menjaga jarak dari keluarga mendiang. Dia tahu bahwa kedatangannya di sini adalah sebuah tindakan yang berani, mengingat situasi yang tengah dihadapinya. Namun, mengingat hubungannya dengan keluarga Vincent selama ini telah berjalan cukup baik, dia merasa perlu memberikan penghormatan terakhir.Mrs. Diane yang menyadari kehadiran Khalid di tengah kerumunan, mencoba menutupi kesedihan dan berniat menghampirinya dengan hati-hati agar tak disadari oleh sang suami.Begitu wanita paruh baya itu sampai di hadapan, Khalid langsung meraih tangannya."Bu, saya sangat menyesal atas apa yang terjadi," ucapnya dengan suara lirih dan Bahasa In
Hampir sebulan berlalu, proses visum sudah Nindi jalani setelah dia berhasil memberi keterangan yang meyakinkan pada pihak penyidik. Kemungkinan akan diadakan mediasi bila Vincent berhasil sadarkan diri.Hari-hari yang Nindi lewati tak berjalan semestinya. Nasibnya tak pasti, dia seperti ada di tepi jurang yang siap dilompati bisa seseorang dengan sengaja mendorongnya dari belakang. Perempuan itu seolah sudah pasrah dengan keadaan. Untuk sekarang Nindi hanya merindukan anak-anaknya, teman-teman juga waktu kebersamaan yang tak yakin bisa kembali dia lalui."Mbak, liat, Mbak!" Neli menepuk bahu Nindi. Dari balik jendela dia melihat sebuah mobil memasuki pelataran.Seketika semangat Nindi kembali saat melihat Khalid pulang setelah hampir dua minggu suaminya nyaris tak ada kabar. Nindi tak tahu apa yang sudah lelaki itu lewati selama dua pekan terakhir ini.Nindi langsung memeluk Khalid begitu lelaki itu memasuki ruangan. Dia kesampingkan ego dan menelan bulat-bulat rasa kecewanya sendir
Perempuan dengan pakaian serampangan dan hanya kerudung yang disampirkan itu duduk di salah satu bangku ruang tunggu sebuah rumah sakit ternama di kota Batam. Satu setengah jam lalu ambulans mengantar lelaki yang terkapar tak sadar dengan luka serius di kepala. Ruangan itu dipenuhi dengan atmosfer tegang, dan perempuan berusia 31 tahun tersebut justru tenggelam dalam kecamuk pikirannya yang kacau.Beberapa kali dia meremas kedua tangan, tubuhnya gemetar. Ibu dua anak itu tertunduk dalam memerhatikan pijakkan, mencoba menenangkan diri dan perasaan yang sulit dideskripsikan.Dia berharap semua yang terjadi hanya mimpi. Mulai dari pertemuan kembali dengan sosok dari masa lalu yang membangkitkan kenangan kelam yang coba dia kubur dalam, lalu kontrak tak masuk akal yang terpaksa ditandatangani, hingga kesepakatan yang seharusnya tak pernah terjadi. Dia merasa seperti telah terjebak dalam perjanjian yang menjadi pemicu keretakan rumah tangganya dengan sang suami.Imbas dari semua yang terja
Suara hujan yang lembut mengalir di luar jendela, seperti melodi kenangan yang berputar di kepala. Di ruang tengah aku duduk sendiri, menatap benda persegi yang membawa kembali ingatan akan momen-momen tak terlupakan dalam empat tahun kebersamaan kami di Lumajang. Kusaksikan kembali tubuh kembang Alid dari mulai tengkurap, merangkak, berjalan, sampai berlari. Begitu juga dengan proses hijrahku yang dibimbing oleh orang-orang ahli yang sukarela mengajari tanpa menghakimi.Seolah masih lekat dalam ingatan saat aku dengannya berbagi tawa dan tangis dalam setiap lembar cerita. Kala itu, hidupku terasa begitu ringan, meski beban yang kupikul sangatlah berat. Kami optimis mampu mewujudkan mimpi dan harapan di tengah terpaan cobaan.Namun, kini aku duduk di sini, dengan rasa berat di dada. Hidup telah membawaku ke dalam peran yang jauh dari apa yang kumimpikan. Pernikahan yang diawali dengan cinta, kini terasa seperti penjara yang mengekangku dalam dilema. Harapan-harapan yang dulu begitu ce