Hanya berselang dua bulan setelah kepergian Bunda, kondisi fisik Naya semakin melemah. Meski berkian kali kupaksa, tetapi dia tetap enggan melakukan kemoterapi, hanya obat-obat yang dikonsumsi dan tak cukup memberi perubahan yang berarti. Dokter mengatakan bahwa sel kankernya sudah lebih cepat menyebar ke jaringan tubuh lain.Ucapan Naya beberapa kali membuatku tertampar, dia mengatakan bahwa banyak cara untuk ikhtiar. Tawakal dan berserah adalah salah satu jalan, bila waktu yang Tuhan tentukan hanya tersisa hitungan jam, dia seolah sudah siap untuk risiko terbesar.Jujur sebenarnya aku sempat kecewa pada Naya. Fakta bahwa Fatina adalah anak kandungku dengan Nindi membuatku sedikit enggan. Bahkan, untuk mendekapnya di saat terpuruknya seperti ini.Apakah aku kejam? Apakah layak bagiku untuk berlaku demikian? Entah kenapa, ego begitu mudah menguasai belakangan ini. Siapa korban sebenarnya di sini? Lama bergelut dengan perasaan, akhirnya aku beranjak menghampiri perempuan yang duduk be
Beberapa bulan kemudian ....Ternyata memang benar, bukan tanpa alasan syariat menyarankan bahwa poligami hanya diperuntukan untuk orang-orang yang 'mampu' Aku baru merasakannya, keadilan yang susah payah kubagi di antara kedua istri ternyata tak pernah benar-benar rata. Selalu ada celah, selalu ada lubang tidak kasat mata yang menjadi awal mula petaka.Cinta, kasih, perhatian bahkan materi yang kuberikan tak pernah cukup adil untuk dibagi berdua. Aku merasa telah gagal, gagal membimbing masing-masing dari mereka, hingga Tuhan akhirnya menghukumku dengan membuat aku kehilangan keduanya.Penjara kesepian ini benar-benar menyiksa. Berbulan-bulan aku habiskan waktu untuk merenung, ibadah, dan interopeksi diri setelah kepergian Naya.Hampir tiap hari dalam beberapa bulan terakhir, kukunjungi makamnya yang disemayamkan tepat di belakang rumah, di samping pohon Areca di mana bakal calon anak kami yang sudah lebih dulu beristirahat dengan tenang.Selalu, setiap waktu, dalam berbagai kesem
"Haus, Pa!"Di tengah perjalanan Fatin tiba-tiba mengeluh kehausan, beruntungnya saat itu kami juga melihat sebuah toko grosir lengkap yang jaraknya hanya 150 meter dari pesantren Al-Huda yang tampak dari gapura di depan tadi. Melihat Fatin yang kepanasan dan kehausan, akhirnya kuputuskan untuk singgah sebentar membeli beberapa camilan untuk di jalan sembari mempertanyakan alamat yang tertera pada si penjual."Permisi, Pak. Assalamualaikum." Lelaki berjambang yang tengah menyemproti burung di depan tokohnya itu menoleh."Ya? Ada yang bisa dibanting?" tanyanya yang membuatku sedikit mengurutkan kening.""Begini, Pak. S--""Apa mau nawarin asuransi? Maaf, ya, Mas. Saya lagi nggak butuh asuransi apalagi minyak wang--""Hus! Mas Fariz!" Seorang wanita yang bisa kutaksir berumur awal empat puluhan keluar dari dalam toko dan menginterupsi kami. "Kebiasaan, deh suka judge orang sembarangan. Maaf, ya, Mas!" Wanita berjilbab itu beralih padaku dan tersenyum kecil."Habis rapi bener, Ci. Mana
Umar bin Khattab pernah mengatakan, "Jika kamu benar-benar mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika ia kembali, maka ia milikmu. Namun jika tidak kembali, ketahuilah maka dia bukan milikmu."Sebelum memutuskan untuk meninggalkan semua beban yang membelenggu, sejujurnya aku sempat berada di fase pergi sulit, namun bertahan sakit.Bahkan timbul keinginan untuk menjalani kehidupan pernikahan poligami seperti yang akhirnya Khalid dan Naya sepakati.Namun, sesudahnya aku berpikir lagi. Masih banyak jalan menuju Roma. Bila memang tak bisa kenapa harus dipaksa?Surga yang Tuhan janjikan untuk para wanita mulia yang bersedia didua, tak selalu didambakan semua kaum Hawa. Meskipun bukan wanita suci, tapi aku cukup tahu diri. Aku tak mau menyakiti hati wanita lain, hanya karena perasaan yang kian besar ini. Karena aku jelas berbeda jauh dengan wanita di luar sana apalagi para istri nabi. Aku tak punya cukup kemampuan untuk membagi hati, ataupun sekuat mereka yang bisa ikhlas berbagi suami.L
Kupalingkan pandangan, tak sanggup menyaksikan momen yang bahkan dalam mimpi sekalipun tak pernah kubayangkan.Sudah setahun, setahun sejak Alid mulai mengerti kehadiran seorang Papa yang dia damba sejak lama. Setahun, sejak kukatakan bahwa Roy yang selama ini mendampingi bukanlah sosok yang dia nanti.Rasa haru menyeruak, tapi di satu sisi juga terasa sesak. Kala akhirnya Alid mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan yang dia ajukan."Tante cantik ini siapa, Pa?"Belum reda keterkejutannya, Khalid kembali dihadapkan dengan pertanyaan dari gadis kecil yang tampak kebingungan.Sesaat dia sempat tertegun, masih dengan Alid dalam pelukan dan tatapan hangat yang dilayangkan, lelaki itu akhirnya menjelaskan."Dia Mama Nindi, Sayang.""Mama?" Bocah yang kutahu pasti Fatina itu tertegun sejenak. "Mama Nindi?" Mata bulat itu tiba-tiba berbinar."Fatin punya dua Mama? Yeaaay!"***Khalid Zaelani, atau kami biasa memanggilnya Alid. Bukan tanpa alasan aku memberinya nama demikian. Penyatuan ter
"Gue hamil, Roy!" Aku keluar dari kamar mandi dan menyodorkan tespek dengan dua garis merah itu ke hadapan Roy yang tengah me-packing barang, sebulan setelah pelarian.Lelaki dengan celana compang-camping itu langsung beranjak bangkit dan menyambar benda kecil memanjang di genggaman tangan."Anj--lu ngelakuin berapa kali, sih?""Cuma sekali, habis nifas.""Langsung jadi?"Aku mengangguk pasrah."Bangsat! Tokcer juga si Khalid."Aku hanya bisa terdiam mendengarnya mengumpat. Siapa yang tahu kalau kesan perpisahan yang sebenarnya bertujuan untuk menciptakan kenangan, justru malah menumbuhkan kembali benih dalam rahim sebagai titipan yang seolah sengaja dia tinggalkan agar membuatku semakin sulit melupakan.Sebulan setelah meninggalkan Jakarta dan menyewa salah satu vila di Lembang-Bandung, hingga sempat menderita demam, mual, dan meriang selama dua pekan, kupikir hanya sakit biasa yang menyerang akibat tak cukup mampu menerima kenyataan. Ternyata hal tersebut disebabkan oleh gejala keh
"Khalid sekeluarga udah pulang ke Batam." Seketika gerakan tanganku yang tengah menyisir rambut terhenti. "Kata Mami, kita udah bisa bawa semua barang yang ketinggalan di Jakarta sekarang."Kuletakkan sisir di atas meja rias, lalu memutar tubuh menatap lelaki di hadapan dengan nanar."Kenapa? Lu kecewa karena Khalid cuma butuh tiga bulan buat meninggalkan semua kenangan yang pernah tercipta di antara kalian?"Tanganku terkepal tanpa sadar, walau tak sepenuhnya benar, tapi ucapan Roy berhasil membuatku merasa tertampar.Sejak memutuskan untuk meninggalkan kehidupan yang pada awalnya memang tak pernah diinginkan, seharusnya aku tidak perlu menyisakan setitik pun celah harapan yang kelak akan menciptakan berbagai macam bentuk kekecewaan. Meski hanya sebentar, aku tak layak berharap bahwa suatu saat nanti dia akan kembali, kembali dengan uluran tangan dan menjanjikan kehidupan layak sebagai pasangan sampai maut memisahkan.Sudah tiga bulan, 3 x 30 hari sejak aku berjuang sendiri melewati
"Ganti aja di sini!" Aku menuntun Khalid ke kamar dan menyodorkan baju yang Roy pinjamkan.Tak ada lawan, si Roy memang patut dapat predikat orang terkejam. Bagaimana bisa meminjamkan pakaian yang biasa dia pakai ke ladang? Mana bolong di beberapa bagian."Maaf, ya. Emang bener-bener si Roy."Khalid tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Nggak apa-apa."Tanpa aba-aba dia langsung melepas pakaian beserta kaus dalam sebelum sempat aku meninggalkan kamar."Ekhmm." Aku berdeham sejenak, lalu memalingkan pandangan saat menyadari nyaris tak ada perubahan dari fisiknya meski sudah empat tahun berlalu. "Kalau gitu aku keluar du--"Namun, sebuah tangan tiba-tiba menahan sebelum aku sempat beranjak."Aku cuma mau bilang, Nin. Tentang gugatan yang kamu ajukan empat tahun lalu."Deg!"Gugatan itu nggak pernah naik ke meja sidang. Satu kali panggilan sempat kuhadiri, tapi hanya untuk naik banding. Gugatan nggak cukup kuat, hingga akhirnya pengadilan menolak. Jadi, secara resmi, kita masih sah se