Cinta antara aku, dia, dan kau yang kuanggap malaikat. Namun, terhalang dia yang terus nekat. Hanya jodoh yang mampu mempertemukan, memisahkan, kemudian menyatukan sesuai alur-Nya.
View MoreSore ini seorang ibu muda terlihat melamun sendu sambil memandangi wajah ceria putri kecilnya, menyaksikan guratan senyum bahagia terpancar di wajah polos yang tengah asyik bermain bersama teman barunya di taman itu.
"Maafkan mama, Sayang, mama terlalu egois padamu ... mama akan berusaha sebaik mungkin menjadi mama sekaligus ayah untukmu", gumamnya pelan sambil menyeka bulir bening yang meluncur bebas dari sudut mataku.
***Ria POV***
Empat tahun sudah aku berjuang membawanya pergi dari kehidupan kami yang sebelumnya, dimana kehidupan yang sangat membuatku tersiksa penuh dengan tekanan bathin.
Aku pergi dari suami tercinta dan mertua yang selalu menyakiti hati dan perasaanku.
Aku akui caraku memang salah, tapi sang waktu telah membuktikan bahwa apa yang kulakukan ini memang benar dan semua untuk kebaikan putri semata wayangku yang sekarang berusia delapan tahun.
"Mama ... Dhea main dulu ya di sini, Dhea janji gak lama, kok," teriak putriku dari tempatnya bermain dengan teman-temannya sambil menyunggingkan senyuman.
"Iya, Sayang, hati-hati jangan lari-larian nanti jatuh!" balasku padanya yang sedang kejar-kejaran penuh dengan tawa riangnya.
Setiap sore sepulang kerja aku memang selalu mengajaknya bermain di taman dekat kompleks. Alasannya agar dia selalu bisa menikmati masa indah bermain bersama teman-temannya.
Tanpa sadar aku kembali mengingat senyuman gadis kecilku, senyuman itu adalah senyuman yang sama yang dimiliki ayahnya.
Lelaki yang dulu sangat kucintai, tapi lama-lama kubenci karna sikap bodohnya yang terlalu membiarkan ibunya mencampuri urusan pribadinya meski dia telah berumah tangga.
Rasanya sakit sekali hati ini bila mengingat semua kejadian itu, dimana suamiku hanya bisa diam melihatku disakiti oleh ibunya. Bahkan selalu membenarkan juga membela ibunya. Katanya dia selalu percaya dan harus menuruti setiap perkataan ibunya meskipun sebenarnya salah agar dia tak menjadi anak durhaka.
"Oh Tuhan setelah aku bisa memendam lukaku selama empat tahun ini, kenapa engkau pertemukanku kembali dengannya, lelaki yang tak bisa tegas mempertahankan anak dan istrinya?" keluhku pelan yang diiringi bulir bening yang jatuh bebas dari sudut mataku.
*** Flash back dua hari yang lalu ***Aku tengah asyik menikmati makan malam dengan Dhea putriku di sebuah rumah makan sederhana tapi cukup terkenal di dekat kompleks rumahku, lebih tepatnya disebut mess yang disediakan oleh perusahaan tempatku bekerja.
Aku sangat bersyukur bisa mendapatkan fasilitas mess itu karna selain dekat dengan kantor jadi tidak perlu mengeluarkan uang untuk ongkos berangkat maupun pulang, aku juga bisa pulang untuk sekadar menengok dan makan siang bersama putriku saat jam istirahat tiba yang hanya sendirian di rumah.
Entah karna apa alasannya, aku yang hanya seorang bawahan biasa yaitu sebagai OG (office girl) bisa mendapatkan fasilitas itu. Yang jelas aku sangat bersyukur dan berterima kasih pada bos yang belum pernah kulihat orangnya itu.
Saat tengah asyik bercanda dengan Dhea, tiba-tiba datanglah seorang anak laki-laki masih kecil berusia sekitar 3 tahun-an tersenyum pada kami.
Dengan malu-malu dia menyapa kami dan memegang tangan kananku.
"Tante Cantik, boleh tidak Diego ikutan main?" tanyanya polos dan pelan nyaris tak terdengar mungkin sambil menahan malu.
"Oh ... nama adik ganteng Diego ya?" tanyaku sambil tangan kiriku mengelus tangan kecilnya yang masih memegang tangan kananku.
"Iya, Tante. Boleh gak, Diego ikut main sama Kkak Cantik itu?" ijinnya lalu tersenyum ke arah Dhea.
"Tentu boleh, Sayang, sini duduk di kursi sebelah tante sama kak Dhea. Diego kesini sama siapa?" tanyaku lagi sambil mendudukannya di kursi sebelah.
"Sama papa, Tante," jawabnya polos sambil celingukan mungkin mencari papanya.
"Papanya mana sayang?" Aku pun ikut celingukan berusaha mencari orang yang dimaksud Diego.
"Tadi papa bilang mau ke toilet, Diego disuruh nunggu di meja. Tapi pas Diego lihat Kakak sama Tante Cantik main, Diego pengen ikutan," terangnya terbata.
"Ok, Sayang, kalau begitu sambil nunggu papanya Diego, kita main tebak-tebakan yuk sama kak Dhea? Oh iya, kenalan dulu dong! Masa mau main bareng gak saling kenal!" Kugeser piring dan gelas kami yang sudah selesai makan ke arah meja kosong yang tak terpakai.
"Anak pintar, berani, manis dan ganteng Diego ini," gumamku pelan memuji sosok anak kecil menggemaskan yang tengah bermain dan bercanda tawa dengan kepolosan dan keluguan mereka.
Aku sampai tersenyum lepas lebih tepatnya menahan tawa mendengar ocehan konyol keduanya. Hingga tiba-tiba tanpa kusadari ada seorang pria yang mendekat setelah beberapa saat mengamati kami dari kejauhan dengan mata berkaca-kaca.
"Diego ... kamu di sini? Papa nyari kamu kemana-mana, Nak!" ucap lelaki itu lalu menggendong dan memeluk Diego.
Aku pun terkaget lalu menengok ke arah suara nge bass itu, untuk beberapa saat waktu terasa berhenti berputar. Aku terkejut bukan main saat menatap wajah lelaki itu, dia ... dia ... ah, kenapa aku harus bertemu dengannya?
*** Dio POV ***
Setelah selesai menunaikan panggilan alam yang sedari tadi tak mampu kutahan, aku segera berjalan setengah berlari untuk segera menemui putraku Diego yang terpaksa kutinggal sebentar di meja rumah makan di kota B yang baru tadi pagi kuinjaki.
Aku sebenarnya tidak tega meninggalkan Diego sendirian, anak yang masih berusia tiga tahun, tapi apalah daya karna hasratku untuk ke toilet sudah tak tertahankan di tambah dia merengek tidak mau ikut dan lebih memilih menghabiskan menu makan malamnya.
Walau ragu, tapi aku berusaha yakin akan kepandaian dan keberaniannya bahwa dia akan baik-baik saja, dan sebisa mungkin secepat kilat kuselesaikan misiku itu.
Namun, setelah kembali, alangkah terkejutnya aku yang melihatnya tidak ada di meja makan yang kami tempati tadi. Dengan panik aku berusaha mencarinya, kukelilingi rumah makan ini, tapi tetap tak menemukannya dan pandanganku berubah kelegaan saatku ketahui dia ada di salah satu kursi di pojok ruangan di salah satu meja rumah makan ini.
Aku berusaha mendekat ke meja itu dan alangkah terkejutnya saat melihat seorang perempuan dan gadis kecil yang sedang bercanda dengan Diegoku.
"Ria ...," ucapku pelan saat melihat dengan jelas wajah yang sangat kukenali dan bahkan kurindukan itu.
"Tunggu, mungkinkah itu Dhea putriku? Kamu sudah besar, Sayang?" Memoriku kembali memutar saat-saat kebersamaan kami dulu, tak terasa sudut mataku mengalir butiran air mata yang kemudian segera kuhapus mengingat saat mereka pergi meninggalkanku empat tahun yang lalu.
Kumantabkan langkah kaki menghampiri mereka, sejujurnya aku merasa sangat bahagia melihat orang-orang yang kusayangi berkumpul di tempat yang sama setelah lama tak berjumpa.
"Mas, aku ... mencintaimu." Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa malu saat mengucapkannya."Oh, terima kasih, Ria, aku juga sangat sangat sangat mencintaimu!" ucapnya girang. Kemudian melumat bibirku."Ish, Mas Reyhan! Katanya tadi nggak menciumku? Kenapa malah nyosor gitu?" Aku sedikit merajuk. Padahal dalam hati girang juga."Maaf, maaf, kebawa suasana. Gak usah melotot gitu, dong! Abis, aku gemes banget sama kamu." Mas Reyhan perlahan melepas cengkeramannya. "Tapi, kamu juga suka, kan dicium?" ledeknya sambil tersenyum manis.Senyummu, Mas, bikin meleleh!"Apaan?""Buktinya, tadi kamu bales juga! Pasti mau lagi, kan?" godanya.Ah, bodoh! Kenapa tadi secara gak sadar aku bales ciumannya? Bikin malu aja, Ria!"Udah, gak usah malu-malu gitu! Nanti kalau udah nikah pasti tiap hari aku kasih. Apa perlu tiap waktu?" godanya lagi yang semakin membuatku malu.Aku memang bukan anak gadis yang masih malu-malu dalam urusa
"Semoga yang Kakak ucapkan itu benar, tapi aku akan cari tahu sendiri kebenarannya." Lagi, Vanya tersenyum lalu menepuk tanganku."Beneran, Vanya. Kami cuma teman lama." Aku mencoba meyakinkannya."Udah, lupain aja, Kak. Aku senang bisa kenal sama Kakak. Di sini aku masih belum punya teman. Aku harap, Kakak mau jadi temanku.""Tentu saja aku mau jadi temanmu. Tapi, apa kamu gak malu temenan sama aku?"Vanya meringis."Kenapa harus malu, Kak? Aku yakin Kakak orang baik. Oh, ya, sebulan lagi aku akan menikah sama Kak Reyhan. Aku mau minta tolong sama Kakak, bantuin persiapan pernikahanku, ya!""Kamu belum benar-benar kenal aku, Vanya. Aku tak sebaik yang kamu kira.""Aku gak peduli, Kakak mau bilang apa. Yang jelas aku sangat yakin Kakak orang yang baik." Lagi, Vanya tersenyum sambil menatapku."Tapi, maaf, sepertinya aku tak bisa membantu. Aku tak bisa pergi kembali ke kota itu." Aku menolak sopan permintaannya, mendengar
"Jaga dan bahagiakan dia, Mas. Jangan pernah sakiti hatinya, dia sep--"Sebuah ciuman mendarat di bibirku, membuat terkejut sampai lupa dengan kelanjutan ucapan yang belum kuselesaikan itu.Kudorong tubuh Mas Reyhan kuat-kuat setelah rasio kembali terkumpul. Ini yang pertama dilakukannya padaku sehingga cukup canggung sekaligus emosi dibuatnya."Mas, apa yang kaulakukan?" bentakku padanya sambil tersengal menata napas dan gemuruh di dada, jantungku berdegup sangat kencang."Maaf, Ria, aku terbawa suasana, aku terlalu merindukanmu hingga tak sadar telah ... menciummu.""Kamu sudah berubah, Mas!" Merasa kesal aku mencoba membuka pintu mobil berusaha untuk keluar. Namun, pintunya sudah otomatis dikunci oleh Mas Reyhan membuatku kembali terdiam menahan amarah."Maaf, Ria, aku tidak sadar melakukannya. Maafkan aku!" Reyhan kembali memegang tanganku."Tapi, bukan begitu caranya, Mas!" Air mataku menetes, entah apa yang kurasakan saat ini. R
"Kuharap kamu bisa hadir di pernikahan kami, Ria," imbuhnya lagi."Tunggu, kalian mau menikah? Selamat ya, tapi gimana bisa?" ucapku sumringah disertai penuh rasa ingin tahu."Jadi begini, Nina lah yang selama ini selalu menghibur dan menguatkanku. Dia yang telah menyadarkan tentang kenyataan hidup, terutama menerima keputusanmu. Semua perhatiannya membuatku luluh dan merasa nyaman saat bersamanya, dan beruntungnya ternyata dia juga telah lama menyimpan perasaan padaku, lelaki bodoh ini," terang Dio sambil tertawa lalu memandang wajah Nina."Ah, mas Dio ini, bisa saja, aku 'kan nggak tega lihat kamu frustasi!" kelakar Nina sambil mencubit pinggang Dio, dia terlihat malu, pipinya bersemu merah sebelum menunduk."Mungkin memang kalian telah berjodoh, gak ada salahnya, kan? Oh ya, Diego mana kok dari tadi gak kelihatan?" Aku celingukan mencari sosok bocah kecil menggemaskan yang dari tadi tak kulihat keberadaannya itu."Diego telah dibawa Marissa dan
Saat tersadar aku sudah terbaring di ruangan yang beraroma obat-obatan. Rupanya Dio membawaku ke klinik yang tak jauh dari rumah, hal itu kuketahui setelah melihat dokter yang merupakan tetangga dekat itu tersenyum."Mbak Ria, sudah sadar? Apa yang dirasakan sekarang?" tanyanya lalu memeriksaku.Aku hanya menganggukkan kepala, karena badanku masih sangat lemah juga kepala terasa berat dan sedikit pusing."Jangan terlalu stres ya, Mbak, asupan makanannya juga dijaga biar ....""Apakah Ria sedang hamil, Dok?" Dengan semangat Dio memotong perkataan dokter."Apa kalian sedang program hamil?" tanya dokter yang bernama Rika itu balik, aku segera menggeleng sedangkan Dio antusias menganggukan kepalanya dengan cepat."Iya, Dok, kami sedang program hamil," ucap Dio asal."Tapi, sayang sekali kalau kondisi Mbak Ria seperti ini, mana bisa program kalian itu berhasil. Yang ada Mbak Ria malah kena penyakit typus kalau jarang makan seperti ini," te
***POV RIA***"Hai, Mas, maaf aku ganggu!" ucapku setelah melihat Reyhan membuka pintu lebar-lebar."Hai, nggak ganggu kok, ada apa? Mari masuk!" Reyhan mempersilakan ke kamar tempatnya menginap."Terima kasih, ada yang mau aku bicarakan, tapi kita di teras saja, ya!" Aku duduk di kursi teras. Penginapan di sini memang hanya bangunan rumah kecil berisi satu kamar dan kamar mandi, dilengkapi sebuah teras beserta dengan kursi dan mejanya yang menghadap langsung ke laut."Apa yang akan kau bicarakan?" Mata Reyhan menyipit menyelidik ke arahku setelah ikut duduk di kursi kosong sebelahku."Bisa nggak kita batalin acara jalan-jalan nanti malam? Aku sedang tidak enak badan.""Oh, tentu saja bisa. Hanya jalan-jalan saja 'kan gak penting. Udah minum obat apa belum?""Udah, barusan. Mas, boleh nggak aku tanya sesuatu?""Apa?""Mas Reyhan jijik nggak kalau ketemu aku?" tanyaku ragu dengan suara sedikit pelan dan hati-hati.
***POV Reyhan***Lega rasanya bisa menemukan Ria dan Dhea kembali dalam keadaan baik-baik saja. Untungnya dia telah kuberi hp yang bisa dilacak keberadaannya lewat aplikasi di notebook. Bila tidak, entah aku harus mencari mereka ke mana. Ria itu orangnya nekat dan keras kepala. Susah ditebak pula apa maunya.Tadi aku terpaksa menghindar darinya, dengan alasan ingin beristirahat karena dari semalam belum tidur setelah melakukan perjalanan jauh.Aku hanya tidak ingin mengingatkan dia pada peristiwa yang baru dialaminya semalam. Takut itu akan membuatnya sedih. Dan aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana, mengharapkannya salah, meninggalkannya juga salah. Lebih baik sementara saling menata hati saja."Dio, kenapa kau lakukan itu?"Frustasi, kuacak rambut dengan kasar, ingin rasanya marah dan menghancurkan barang-barang yang ada di kamar penginapanku ini, tapi kutahan karena tak ada gunanya. Marah tak akan merubah keadaan, justru pikiran jernihlah
"Aku mencintai mas Reyhan, dan aku tidak ingin bersamamu lagi, Mas!" ucapnya sesenggukan saat kami beradu argument.Kata-katanya itu membuatku murka, kutinju dinding kamar untuk melampiaskan kemarahan. Tak kuhiraukan rasa perih ditangan yang sedikit mengeluarkan darah, karena di dalam dada ini rasanya lebih sakit dan lebih perih daripada luka itu.Sebagai pengalih rasa kecewa, kutindih tubuh Ria yang terbungkus selimut itu, lalu saat hendak mencium bibirnya. Tapi, dia malah mengelak dan itu membuatku semakin murka.Beruntung masih kukuasai diri saat teringat telah membelikannya sebuah lingerie. Kuambil pakaian itu dari dalam lemari kemudian memakaikan pada tubuh Ria tanpa kesulitan dan paksaan karena dia hanya menurut.Ria nampak sexy sekali memakainya, aku yang melihatnya kembali merasa bergairah. Setelah memakai t-shirt kuputuskan untuk pergi ke kamarku sebentar berniat meminum obat kuat yang tak sengaja kupersiapkan juga.Aku menyiapkannya
Dengan alasan Dhea ingin dijemput mamanya, akhirnya Ria mau ikut. Setelah sampai di rumah kuantar dia menuju ke kamar Dhea yang juga milik Diego. Setelah ibu dan anak itu bertemu, lalu kutinggal sebentar ke kamar untuk mengambil obat tidur yang sengaja kubeli kemarin malam.Terpaksa aku harus mengikuti cara kotor Marrisa untuk mendapatkan Ria kembali, karena dengan cara baik-baik meminta dia untuk tetap bersamaku tidak bisa. Dia tetap bersikeras meminta cerai.Sebenarnya aku tahu bahwa Reyhan itu mencintai Ria, sebelum kembali ke sini kami sempat berbicara empat mata. Tentu membicarakan tentang perasaannya pada Ria, bahkan beraninya dia memberi kesempatan padaku untuk membujuk Ria agar kembali. Juga ancaman apabila tidak mau dan lebih memilih cerai, maka aku harus mengikhlaskan wanita yang masih berstatus istriku itu menjadi miliknya.Sungguh negosiasi yang menyebalkan. Jika saja dia bukan atasanku, mungkin aku sudah habis kesabaran untuk menghajarnya. Hanya saj
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments