"Mas, aku ... mencintaimu." Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa malu saat mengucapkannya.
"Oh, terima kasih, Ria, aku juga sangat sangat sangat mencintaimu!" ucapnya girang. Kemudian melumat bibirku.
"Ish, Mas Reyhan! Katanya tadi nggak menciumku? Kenapa malah nyosor gitu?" Aku sedikit merajuk. Padahal dalam hati girang juga.
"Maaf, maaf, kebawa suasana. Gak usah melotot gitu, dong! Abis, aku gemes banget sama kamu." Mas Reyhan perlahan melepas cengkeramannya. "Tapi, kamu juga suka, kan dicium?" ledeknya sambil tersenyum manis.
Senyummu, Mas, bikin meleleh!
"Apaan?"
"Buktinya, tadi kamu bales juga! Pasti mau lagi, kan?" godanya.
Ah, bodoh! Kenapa tadi secara gak sadar aku bales ciumannya? Bikin malu aja, Ria!
"Udah, gak usah malu-malu gitu! Nanti kalau udah nikah pasti tiap hari aku kasih. Apa perlu tiap waktu?" godanya lagi yang semakin membuatku malu.
Aku memang bukan anak gadis yang masih malu-malu dalam urusa
Sore ini seorang ibu muda terlihat melamun sendu sambil memandangi wajah ceria putri kecilnya, menyaksikan guratan senyum bahagia terpancar di wajah polos yang tengah asyik bermain bersama teman barunya di taman itu."Maafkan mama, Sayang, mama terlalu egois padamu ... mama akan berusaha sebaik mungkin menjadi mama sekaligus ayah untukmu", gumamnya pelan sambil menyeka bulir bening yang meluncur bebas dari sudut mataku.***Ria POV***Empat tahun sudah aku berjuang membawanya pergi dari kehidupan kami yang sebelumnya, dimana kehidupan yang sangat membuatku tersiksa penuh dengan tekanan bathin.Aku pergi dari suami tercinta dan mertua yang selalu menyakiti hati dan perasaanku.Aku akui caraku memang salah, tapi sang waktu telah membuktikan bahwa apa yang kulakukan ini memang benar dan semua untuk kebaikan putri semata wayangku yang sekarang berusia delapan tahun."Mama ... Dhea main dulu ya di sini, Dhea janji gak lama, kok," ter
Tapi, bisa apa aku? Rasa bersalah jauh lebih besar daripada rasa bahagiaku, maafkan aku yang telah menyia-nyiakan kalian. Sungguh ingin rasanya aku menebus semua perlakuanku dulu pada kalian, aku terlalu banyak menyakiti kalian dan malah lebih mempercayai ucapan ibuku yang berniat memisahkan kita sekalipun sudah memiliki cucu darimu, wanita yang dianggapnya tak pantas dan tak memenuhi kriterianya meskipun beliau tahu aku sangat mencintaimu.Sebelum sampai di hadapan mereka kutarik dalam-dalam nafasku untuk sedikit mengurangi gemuruh di dadaku dan mencegah tangisku pecah karna terharu bisa menemukan orang terkasih yang selama ini selalu kurindukan dan kucari keberadaannya."Diego ... kamu di sini? Papa nyari kamu kemana-mana, Nak!" Aku langsung memeluk dan menggendong Diego merasa lega telah menemukannya.Kulirik Ria tengah memandangku kaget mungkin dia syock melihatku berdiri di hadapannya di kota ini, sedang Dhea dia terdiam kaget juga sepertinya,
"Hei, Ria .. ngelamun aja! Kesambet, loh!" Tiba-tiba ada yang mengagetkanku dan segera kuhapus lelehan air mata untuk menutupi kesedihanku."Gak kok, Mas, aku gak lagi ngelamun, kok!" elakku lalu mengalihkan pandangan pada Dhea untuk menyembunyikan sorot mataku yang mungkin terlihat sembab."Kenapa? Dhea minta jajan, ya? Terus kakaknya juga kepengen, akhirnya merengek nangis, ikutan minta terus gak dikasih, ya? Hahaha ...," godanya."Apaan sih, Mas Reyhan ini, Dhea itu anakku bukan adik ku! lagian siapa juga yang rebutan jajan?" protesku kesal mendengar ejekan yang terus dilontarkannya setiap kali dia melihatku sedih."What? Anak? Kalian itu pantesnya adik-kakak, karena usianya gak beda jauh hahaha ... makanya dulu kalau masih kecil jangan buru-buru nikah terus punya anak! Akhirnya gak ada yang percaya,kan, kalau itu anaknya? Terus kalau anaknya nangis minta jajan, ibunya juga ikutan nangis pengen jajannya juga!" ejeknya panjang kali lebar s
*** MASIH POV RIA***Di rumah dengan lincah kupersiapkan menu makan malam, walau hanya seadanya.Tak sadar aku senyum-senyum sendiri mengingat candaanku dengan Reyhan tadi, aku sebenarnya tak tega mengolokinya seperti tadi, tapi itu di luar kendaliku.Kata-kata itu seperti lolos begitu saja dari mulutku, aku jadi bisa tertawa lepas melupakan kesedihan.Terima kasih tuan Reyhan Pratama, kau adalah malaikat tak bersayapku. Selama empat tahun ini sudah banyak membantuku.Seperti hari-hari kita yang penuh kekonyolan, saat pertama berjumpa pun dengan cara yang konyol.Aku yang saat itu tengah berjalan menggandeng Dhea yang sudah kelelahan. Saat itu matahari tengah teriknya. Aku dan Dhea terus mencari kost-an kosong untuk kami tinggali di kota asing ini, karena kasihan melihat putri kecilku kepanasan juga kelelahan, akhirnya aku berinisiatif mencari ojek saja biar lebih cepat dapat kost yang nyaman dan sesuai budget.Saat lewa
" Assalamualaikum, Mama ... Dhea pulang!" teriaknya lalu berlari menuju kipas angin yang ada di kamar, kemudian menyalakannya, mungkin kegerahan.Suara Dhea mengagetkan lamunanku, membuatku kembali konsentrasi memasak menu makan malam."Waalaikumusalam, Sayang, udah pulang? Mana Om Reyhan?""Itu di luar, Ma, Om Reyhan ketinggalan, kalah cepet larinya sama Dhea, hihihi...," kelakar Dhea bahagia.Selalu, Reyhan pasti selalu punya cara untuk membuat Dhea senang. Dia pasti mengalah untuk anak itu."Assalamualaikum, hem ... harum banget baunya, masak apa, sih?" Yang dibicarakan datang, kemudian masuk dan duduk di depan tv yang sekaligus menjadi ruang tamu di mess ini.Mess ini memang tidak terlalu besar, hanya terdiri ruang tamu sekaligus yang kufungsikan sebagai ruang tv, satu kamar tidur, ditambah satu dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi minimalis. Tidak ada sofa, hanya karpet berukuran sebesar ruang tamu yang terbentang.Me
"Maafkan aku yang sudah meragukanmu, Ria, aku terpengaruh oleh ucapan ibuku," sesalnya."Itulah kebodohanmu, Mas, kamu hanya mendengarkan ibumu tanpa mendengar penjelasanku. Aku sangat sakit hati akan hal itu, Mas!" Bibirku bergetar menahan rasa marah yang selama ini kupendam."Maaf Ria, maaf ... tapi aku sudah tahu semuanya yang telah terjadi, ibu sudah menjelaskan segalanya sebelum beliau meninggal," isaknya."Innaillahi wa innaillahi rojiuun, apa, ibu meninggal, Mas? Kapan?" tanyaku kaget mendengar berita kematian mertuaku. Meski beliau pernah menyakiti hatiku tapi aku tetap menghormatinya."Dua tahun yang lalu, ibu juga berpesan ingin meminta maaf padamu dan juga Dhea. Ibu menyesal atas semua perlakuannya kalian. Andaikan bisa, beliau ingin bersujud meminta maaf langsung padamu. Namun, setelah mengucapkan keinginannya itu beliau sudah dipanggil Allah terlebih dahulu," terangnya sambil matanya menerawang."Lalu Marissa? Dan Diego itu bukankah be
Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku."Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis."Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya."Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan
Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian."Kamu uda
"Mas, aku ... mencintaimu." Kupejamkan mata untuk mengurangi rasa malu saat mengucapkannya."Oh, terima kasih, Ria, aku juga sangat sangat sangat mencintaimu!" ucapnya girang. Kemudian melumat bibirku."Ish, Mas Reyhan! Katanya tadi nggak menciumku? Kenapa malah nyosor gitu?" Aku sedikit merajuk. Padahal dalam hati girang juga."Maaf, maaf, kebawa suasana. Gak usah melotot gitu, dong! Abis, aku gemes banget sama kamu." Mas Reyhan perlahan melepas cengkeramannya. "Tapi, kamu juga suka, kan dicium?" ledeknya sambil tersenyum manis.Senyummu, Mas, bikin meleleh!"Apaan?""Buktinya, tadi kamu bales juga! Pasti mau lagi, kan?" godanya.Ah, bodoh! Kenapa tadi secara gak sadar aku bales ciumannya? Bikin malu aja, Ria!"Udah, gak usah malu-malu gitu! Nanti kalau udah nikah pasti tiap hari aku kasih. Apa perlu tiap waktu?" godanya lagi yang semakin membuatku malu.Aku memang bukan anak gadis yang masih malu-malu dalam urusa
"Semoga yang Kakak ucapkan itu benar, tapi aku akan cari tahu sendiri kebenarannya." Lagi, Vanya tersenyum lalu menepuk tanganku."Beneran, Vanya. Kami cuma teman lama." Aku mencoba meyakinkannya."Udah, lupain aja, Kak. Aku senang bisa kenal sama Kakak. Di sini aku masih belum punya teman. Aku harap, Kakak mau jadi temanku.""Tentu saja aku mau jadi temanmu. Tapi, apa kamu gak malu temenan sama aku?"Vanya meringis."Kenapa harus malu, Kak? Aku yakin Kakak orang baik. Oh, ya, sebulan lagi aku akan menikah sama Kak Reyhan. Aku mau minta tolong sama Kakak, bantuin persiapan pernikahanku, ya!""Kamu belum benar-benar kenal aku, Vanya. Aku tak sebaik yang kamu kira.""Aku gak peduli, Kakak mau bilang apa. Yang jelas aku sangat yakin Kakak orang yang baik." Lagi, Vanya tersenyum sambil menatapku."Tapi, maaf, sepertinya aku tak bisa membantu. Aku tak bisa pergi kembali ke kota itu." Aku menolak sopan permintaannya, mendengar
"Jaga dan bahagiakan dia, Mas. Jangan pernah sakiti hatinya, dia sep--"Sebuah ciuman mendarat di bibirku, membuat terkejut sampai lupa dengan kelanjutan ucapan yang belum kuselesaikan itu.Kudorong tubuh Mas Reyhan kuat-kuat setelah rasio kembali terkumpul. Ini yang pertama dilakukannya padaku sehingga cukup canggung sekaligus emosi dibuatnya."Mas, apa yang kaulakukan?" bentakku padanya sambil tersengal menata napas dan gemuruh di dada, jantungku berdegup sangat kencang."Maaf, Ria, aku terbawa suasana, aku terlalu merindukanmu hingga tak sadar telah ... menciummu.""Kamu sudah berubah, Mas!" Merasa kesal aku mencoba membuka pintu mobil berusaha untuk keluar. Namun, pintunya sudah otomatis dikunci oleh Mas Reyhan membuatku kembali terdiam menahan amarah."Maaf, Ria, aku tidak sadar melakukannya. Maafkan aku!" Reyhan kembali memegang tanganku."Tapi, bukan begitu caranya, Mas!" Air mataku menetes, entah apa yang kurasakan saat ini. R
"Kuharap kamu bisa hadir di pernikahan kami, Ria," imbuhnya lagi."Tunggu, kalian mau menikah? Selamat ya, tapi gimana bisa?" ucapku sumringah disertai penuh rasa ingin tahu."Jadi begini, Nina lah yang selama ini selalu menghibur dan menguatkanku. Dia yang telah menyadarkan tentang kenyataan hidup, terutama menerima keputusanmu. Semua perhatiannya membuatku luluh dan merasa nyaman saat bersamanya, dan beruntungnya ternyata dia juga telah lama menyimpan perasaan padaku, lelaki bodoh ini," terang Dio sambil tertawa lalu memandang wajah Nina."Ah, mas Dio ini, bisa saja, aku 'kan nggak tega lihat kamu frustasi!" kelakar Nina sambil mencubit pinggang Dio, dia terlihat malu, pipinya bersemu merah sebelum menunduk."Mungkin memang kalian telah berjodoh, gak ada salahnya, kan? Oh ya, Diego mana kok dari tadi gak kelihatan?" Aku celingukan mencari sosok bocah kecil menggemaskan yang dari tadi tak kulihat keberadaannya itu."Diego telah dibawa Marissa dan
Saat tersadar aku sudah terbaring di ruangan yang beraroma obat-obatan. Rupanya Dio membawaku ke klinik yang tak jauh dari rumah, hal itu kuketahui setelah melihat dokter yang merupakan tetangga dekat itu tersenyum."Mbak Ria, sudah sadar? Apa yang dirasakan sekarang?" tanyanya lalu memeriksaku.Aku hanya menganggukkan kepala, karena badanku masih sangat lemah juga kepala terasa berat dan sedikit pusing."Jangan terlalu stres ya, Mbak, asupan makanannya juga dijaga biar ....""Apakah Ria sedang hamil, Dok?" Dengan semangat Dio memotong perkataan dokter."Apa kalian sedang program hamil?" tanya dokter yang bernama Rika itu balik, aku segera menggeleng sedangkan Dio antusias menganggukan kepalanya dengan cepat."Iya, Dok, kami sedang program hamil," ucap Dio asal."Tapi, sayang sekali kalau kondisi Mbak Ria seperti ini, mana bisa program kalian itu berhasil. Yang ada Mbak Ria malah kena penyakit typus kalau jarang makan seperti ini," te
***POV RIA***"Hai, Mas, maaf aku ganggu!" ucapku setelah melihat Reyhan membuka pintu lebar-lebar."Hai, nggak ganggu kok, ada apa? Mari masuk!" Reyhan mempersilakan ke kamar tempatnya menginap."Terima kasih, ada yang mau aku bicarakan, tapi kita di teras saja, ya!" Aku duduk di kursi teras. Penginapan di sini memang hanya bangunan rumah kecil berisi satu kamar dan kamar mandi, dilengkapi sebuah teras beserta dengan kursi dan mejanya yang menghadap langsung ke laut."Apa yang akan kau bicarakan?" Mata Reyhan menyipit menyelidik ke arahku setelah ikut duduk di kursi kosong sebelahku."Bisa nggak kita batalin acara jalan-jalan nanti malam? Aku sedang tidak enak badan.""Oh, tentu saja bisa. Hanya jalan-jalan saja 'kan gak penting. Udah minum obat apa belum?""Udah, barusan. Mas, boleh nggak aku tanya sesuatu?""Apa?""Mas Reyhan jijik nggak kalau ketemu aku?" tanyaku ragu dengan suara sedikit pelan dan hati-hati.
***POV Reyhan***Lega rasanya bisa menemukan Ria dan Dhea kembali dalam keadaan baik-baik saja. Untungnya dia telah kuberi hp yang bisa dilacak keberadaannya lewat aplikasi di notebook. Bila tidak, entah aku harus mencari mereka ke mana. Ria itu orangnya nekat dan keras kepala. Susah ditebak pula apa maunya.Tadi aku terpaksa menghindar darinya, dengan alasan ingin beristirahat karena dari semalam belum tidur setelah melakukan perjalanan jauh.Aku hanya tidak ingin mengingatkan dia pada peristiwa yang baru dialaminya semalam. Takut itu akan membuatnya sedih. Dan aku sendiri bingung harus bersikap bagaimana, mengharapkannya salah, meninggalkannya juga salah. Lebih baik sementara saling menata hati saja."Dio, kenapa kau lakukan itu?"Frustasi, kuacak rambut dengan kasar, ingin rasanya marah dan menghancurkan barang-barang yang ada di kamar penginapanku ini, tapi kutahan karena tak ada gunanya. Marah tak akan merubah keadaan, justru pikiran jernihlah
"Aku mencintai mas Reyhan, dan aku tidak ingin bersamamu lagi, Mas!" ucapnya sesenggukan saat kami beradu argument.Kata-katanya itu membuatku murka, kutinju dinding kamar untuk melampiaskan kemarahan. Tak kuhiraukan rasa perih ditangan yang sedikit mengeluarkan darah, karena di dalam dada ini rasanya lebih sakit dan lebih perih daripada luka itu.Sebagai pengalih rasa kecewa, kutindih tubuh Ria yang terbungkus selimut itu, lalu saat hendak mencium bibirnya. Tapi, dia malah mengelak dan itu membuatku semakin murka.Beruntung masih kukuasai diri saat teringat telah membelikannya sebuah lingerie. Kuambil pakaian itu dari dalam lemari kemudian memakaikan pada tubuh Ria tanpa kesulitan dan paksaan karena dia hanya menurut.Ria nampak sexy sekali memakainya, aku yang melihatnya kembali merasa bergairah. Setelah memakai t-shirt kuputuskan untuk pergi ke kamarku sebentar berniat meminum obat kuat yang tak sengaja kupersiapkan juga.Aku menyiapkannya
Dengan alasan Dhea ingin dijemput mamanya, akhirnya Ria mau ikut. Setelah sampai di rumah kuantar dia menuju ke kamar Dhea yang juga milik Diego. Setelah ibu dan anak itu bertemu, lalu kutinggal sebentar ke kamar untuk mengambil obat tidur yang sengaja kubeli kemarin malam.Terpaksa aku harus mengikuti cara kotor Marrisa untuk mendapatkan Ria kembali, karena dengan cara baik-baik meminta dia untuk tetap bersamaku tidak bisa. Dia tetap bersikeras meminta cerai.Sebenarnya aku tahu bahwa Reyhan itu mencintai Ria, sebelum kembali ke sini kami sempat berbicara empat mata. Tentu membicarakan tentang perasaannya pada Ria, bahkan beraninya dia memberi kesempatan padaku untuk membujuk Ria agar kembali. Juga ancaman apabila tidak mau dan lebih memilih cerai, maka aku harus mengikhlaskan wanita yang masih berstatus istriku itu menjadi miliknya.Sungguh negosiasi yang menyebalkan. Jika saja dia bukan atasanku, mungkin aku sudah habis kesabaran untuk menghajarnya. Hanya saj