Empat tahun kemudian ....Terkadang hidup memang tak selalu berjalan seperti apa yang diharapkan. Roda selalu berputar mengelilingi tiap takdir seseorang dan menentukan ke mana arah yang akan dituju setiap insan.Kehidupan tak mungkin sama bila kita memutuskan untuk mengambil keputusan besar, selalu ada perubahan dan pengorbanan dari tiap perbuatan. Begitu juga dengan harapan dan angan yang berkian kali karam ditelan pahitnya ombak kenyataan.Sepuluh tahun aku mengenal sosok Khalid Prasetya sebagai seseorang yang hangat, perhatian, dan cenderung agak pendiam. Namun, empat tahun setelah kepergian Nindi, perubahan signifikan terjadi, dia menjadi sosok yang dingin dan nyaris tak tersentuh. Bahkan ada beberapa saat ketika waktunya benar-benar hanya dihabiskan untuk bergelut dengan berbagai macam pekerjaan, berkumpul dengan banyak komunitas bisnis atau kemasyarakatan. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan, selama empat tahun ini dia sudah dihadapkan dengan berbagai macam tekanan setelah
"Sarapan buat Bunda udah selesai, Mbok?" Kuhampiri Mbok Warmi ke dapur, setelah kembali ke dalam."Sudah, Non. Ini baru mau simbok anter." Terlihat di tangan Simbok Warmi sebuah nampan berisi bubur, buah, dan gelas tinggi berisi air putih."Biar sama saya aja, Mbok." Kuambil-alih nampan di tangan Mbok Warmi, lalu lekas naik ke atas.Kudorong pintu yang setengah terbuka dengan badan. Menatap tubuh Bunda yang terbaring lemah di ranjang dengan pandangan yang jauh menatap keluar jendela kamar."Bun ...."Dia menoleh saat kupanggil, wanita paruh baya yang kini terlihat begitu renta itu tersenyum kecil.Kuletakkan nampan di atas nakas, lalu beranjak naik ke ranjang dan duduk di sisinya.Sejak Bunda dan Ayah resmi bercerai, Bunda tinggal bersama kami, di sini, di Batam. Setahun terakhir kanker yang memang sudah lama diidapnya menyentuh angka stadium empat. Kemoterapi kembali beliau jalani, dan untuk kedua kali Bunda terpaksa harus memangkas habis mahkotanya untuk menghindari kerontokan. Seb
Ternyata aku salah saat berpikir bahwa anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan kami. Kehadiran Fatina memang melengkapi, tapi tak sertamerta melingkupi.Sudah empat tahun sejak Nindi memutus segala komunikasi dengan kami begitu juga dengan dirinya yang menghilang bak ditelan bumi. Banyak hal yang terjadi. Kerinduan Bang Khalid pada Nindi telah membuatnya semakin menutup diri.Tak ada lagi ungkapan cinta, kasih sayang, atau kata-kata sederhana yang berhasil membuatku melambung tinggi. Seharusnya aku memang cukup tahu diri, kini hatinya telah terbagi, tak utuh milikku lagi."Nay!" Panggilan itu menyentak lamunan. Bang Khalid melambaikan tangan tepat di depan wajah."Eh, iya?" Kutatap koper kecil dari masing-masing kami, dan juga milik Neli sudah di pindahkan ke bagasi."Udah sembilan puluh persen persiapan, tapi kita belum ada tujuan. Mau ke mana jadinya?" tanya Bang Khalid untuk yang kedua kali sejak malam tadi.Aku terdiam sejenak. Menatap satu per satu orang yang ada di hadapan.
Di salah satu bangku dekat kuliner pinggir pantai Pulau Penawar Rindu. Aku membawa Bang Khalid menemui seseorang. Seorang dokter muda yang sengaja datang jauh-jauh dari Singapura."Mau apa dokter Antoni ke sini, Nay?" Bang Khalid yang kebingungan langsung mengajukan pertanyaan.Kugenggam tangannya erat, lalu berujar. "Nanti juga Abang tahu. Dengerin aja, ya! Dan tolong jangan dipotong, sampe semua disampaikan dengan benar."Bang Khalid menghela napas panjang, dengan pasrah akhirnya dia mengangguk pelan. "Mari, Dok!" Setelah keadaan mulai kondusif, aku menyerahkan sisanya pada Dokter Antoni."Sebelumnya saya mau minta maaf pada Pak Khalid. Karena semua prosedur yang dilakukan sudah berdasarkan kesepakatan antara saya dan Bu Naya.""Kesepakatan? Kesepakatan apaan, Nay?" Belum apa-apa Bang Khalid sudah menyela."Bang ... tolong!" Kuremas sejenak tangannya yang tiba-tiba terkepal."Baik, bisa saya lanjutkan?"Aku mengangguk cepat."Kurang lebih enam tahun lalu, sebelum Bu Naya jatuh koma
"Nindia Putri Zaelani," gumamku saat menerima map cokelat yang diberikan Naya di malam sebelum dia menjalani prosedur pengangkatan rahim. Kualihkan pandangan dari berkas di genggaman, lalu menatapnya kemudian."Apa ini, Nay?""Ini satu-satunya jalan, Bang. Kesempatan bagi kita untuk memiliki keturunan.""Maksud kamu?" Kukernyitkan dahi tak mengerti.Naya mengambil alih map cokelat tersebut dari tanganku. Kemudian dia beranjak duduk perlahan dari posisi setengah terbaring di brankar ruang ICU. Sembari mengeluarkan isi map tersebut, ia mulai menjelaskan."Nindi adik biologisku dari Ayah." Kepalanya tertunduk menatap map di genggaman tangan. "Apa?""Setidaknya dia yang cukup bisa kupercaya untuk mengandung benih kita." Jemari Naya masih bergerak di atas di atas permukaan berkas."Sebenarnya apa maksud kamu?" Naya mengangkat kepala. Kami bersitatap."Dokter Antoni bilang, masih ada cara untuk kita punya anak dengan teknologi. Namanya surogasi atau metode kehamilan dengan ibu pengganti."
Hari kelima, Klub Sahara ternyata tutup. Malam ini aku mengikuti Nindi yang ternyata pergi menemui Roy.Memarkirkan mobil agak jauh dari lokasi mereka berada, yaitu Pos Ronda yang kebetulan tak beroperasi. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Namun, saat terdengar petikan gitar. Suara samar yang mengalun merdu pun terdengar.Ku ambil gitar dan mulai memainkanLagu lama yang biasa kita nyanyikanTapi tak sepatah kata yang bisa terucapHanya ingatan yang ada di kepalaHari berganti angin tetap berhembusCuaca berubah daun-daun tetap tumbuhDan kata hatiku pun tak pernah berubahBerjalan dengan apa adanyaTanpa sadar senyumku terkembang. Suaranya sangat lepas dan seolah bebas. Di malam yang dingin dan gelap sepiBenakku melayang pada kisah kitaTerlalu sakit untuk dilupakanKenangan yang buruk bersamamuTinggallah mimpiTerlalu sesak untuk dilupakanWalau memang aku tak pernah cintaTakkan terjadi kebangsatan ini ....Aku tertegun begitu liriknya berganti. Kedua orang yang
Untuk KhalidHei, Ganteng!Aku tahu hal ini pasti mengejutkan untuk kalian, khususnya untukmu. Setelah mengembalikan semua tepat pada tempat yang seharusnya aku justru memilih pergi, tanpa pamit, tanpa salam, bahkan tanpa pelukan. Asal kamu tahu ini nggak mudah, nggak akan pernah mudah. Aku cuma takut perpisahan yang dilakukan dengan cara saling berhadapan kembali membuatku gundah, aku cuma takut menatap wajahmu saat mengucap kata pisah, membuatku menyerah dan akhirnya mengurungkan niat, lalu kembali mengaku kalah oleh perasaan yang lemah.Terima kasih, terima kasih untuk semuanya. Terima kasih karena telah mengajukan sebuah kesepakatan hingga akhirnya aku memiliki cukup pilihan masa depan. Pilihan untuk keluar dari lingkaran setan, pilihan untuk berubah, dan pilihan untuk menjadi manusia yang lebih baik setidaknya di hadapan Tuhan.Seseorang pernah mengatakan padaku, bahwa hidup nggak selalu adil untuk para pendosa. Ya, mungkin dia benar, karena sampai detik ini aku belum juga meras
Tak ada satu pun kabar kematian yang membawa suka. Sekalipun itu orang yang pernah membuatmu murka. Aku memang sempat tak menyukai keberadaan bundanya Naya beberapa waktu terakhir. Terlebih saat kutahu bahwa dia pernah menghasut Naya bahkan memaki-maki fakta tentang Nindi yang saat itu masih terbaring koma di hadapan Papa dan Mama. Namun, meski bagaimanapun, Bunda adalah ibu kandung dari istriku.Di samping gundukan makam, aku melihat Naya terisak kencang. Kepergian Bunda yang lebih cepat dari vonis dokter tentu membuat Naya yang memang sedang tak stabil menjadi kian terpukul. Hanya sepekan, sepekan setelah kami pulang dari Pulau Penawar Rindu, beliau berpulang. Meski telah dari jauh-jauh hari kami mempersiapkan diri, tetap saja duka itu datang menghampiri.Bagaiman pun sikap Bu Siska yang kadang tak disukai orang-orang di sekitar, kehadirannya selama hampir sebelas tahun, dan fakta bahwa beliau adalah mertuaku, tetap saja masih menciptakan rasa kehilangan yang cukup besar.Wafat pag