Semua tamu sudah berkumpul di acara pengajian yang langsung dibuka ustaz setempat. Semua prosesi berjalan lancar sampai tiba di proses pemotongan rambut."Nin ...." Naya memintaku untuk menemani Khalid saat prosesi. Namun, aku memilih menarik diri dan masuk ke barisan tepat di samping Roy."Kamu aja!" Aku tersenyum simpul dan mendorongnya pelan agar lekas mendampingi lelaki itu.Pancaran kebahagiaan terlihat di matanya. Sebelum pergi Naya sempat bergumam. "Terima kasih."Aku mengangguk, dan nanar menatap mereka yang mulai memutari jamaah pengajian yang dipimpin Pak Ustaz.Entah sudah berapa kali aku mengalah dalam situasi-situasi seperti ini. Tak terhitung jari nyeri bercampur sesak yang terasa di tiap kalimat yang terucap ikhlas."Sumpah, gue muak sama semua ini," celetuk Roy tiba-tiba. Aku menoleh dan mencubit perutnya."Berisik.""Lu, tuh cewek tersinting yang pernah gue kenal."Aku terkekeh. "Gue suka panggilan itu.""Dasar sarap. Otak lu pindah ke mana, sih, Nin?""Emang kapan g
Tok! Tok! Tok!"Nay! Naya!"Aku bangkit setelah melipat sajadah saat mendengar suara gedoran pintu yang diiringi suara panik Bang Khalid terdengar memanggil.Setengah berlari, kuburu pintu dan bergegas membukanya."Ada apa, Bang?" Di balik pintu, kulihat Bang Khalid berdiri mondar-mandir dengan penampilan yang berantakan. Kausnya bahkan terbalik dengan sarung yang hanya dia ikat asal."Nindi, Nay ... kamu liat Nindi nggak?"Aku mengerutkan kening."Loh, bukannya Nindi tidur sama Abang?""Iya, tapi pas bangun tadi dia tiba-tiba ilang." Bang Khalid mengacak rambut frustrasi."Ilang gimana maksud Abang?" "Semua barangnya nggak ada di lemari, Nay. Koper-kopernya juga nggak ada!"Deg!"Ada apa ini?" Mama dan Papa yang kebetulan menginap semalam, langsung keluar dari kamar tamu begitu mendengar keributan, tak terkecuali Neli dan juga Bunda yang baru keluar dari kamar mandi."Nindi nggak ada di mana-mana, Pa. Khalid udah cari ke seluruh penjuru rumah," tutur lelaki itu."Kok, bisa? Kalian
Satu-satunya harapan kita kandas ketika menemui indekos yang sempat Nindi tinggali sudah ditempati orang lain. Club dan rumah Roy serta Bu Lala sudah terjual. Sementara Bu Nia dan Nana memilih bungkam.Papa dan Mama bahkan sudah mengabari bahwa tak ada nama penumpang atas nama Nindia Putri entah darat, laut, maupun udara. Lebih parahnya lagi sama sekali tak ada nomber yang bisa dihubungi. Semua seolah sudah diblokir satu arah. Tak ingin menyerah terlalu dini, aku dan Bang Khalid terus memutari Jakarta seharian. Sampai kami lupa bahwa perut sama sekali belum terisi makanan.Sore menjelang, tujuan terakhir kami adalah bank. Tempat di mana selama ini Nindi menyimpan semua uangnya. Sebagai nasabah prioritas aku yakin bank punya informasi bila tiba-tiba terjadi pemindahan saldo pada akun rekening baru yang kemungkinkan juga memuat alamat baru.Namun, tiba di depan teller, setelah kami memperkenalkan identitas diri. Pil pahit itu kembali harus ditelan, ketika teller mengatakan,"Bu Nindia
Empat tahun kemudian ....Terkadang hidup memang tak selalu berjalan seperti apa yang diharapkan. Roda selalu berputar mengelilingi tiap takdir seseorang dan menentukan ke mana arah yang akan dituju setiap insan.Kehidupan tak mungkin sama bila kita memutuskan untuk mengambil keputusan besar, selalu ada perubahan dan pengorbanan dari tiap perbuatan. Begitu juga dengan harapan dan angan yang berkian kali karam ditelan pahitnya ombak kenyataan.Sepuluh tahun aku mengenal sosok Khalid Prasetya sebagai seseorang yang hangat, perhatian, dan cenderung agak pendiam. Namun, empat tahun setelah kepergian Nindi, perubahan signifikan terjadi, dia menjadi sosok yang dingin dan nyaris tak tersentuh. Bahkan ada beberapa saat ketika waktunya benar-benar hanya dihabiskan untuk bergelut dengan berbagai macam pekerjaan, berkumpul dengan banyak komunitas bisnis atau kemasyarakatan. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan, selama empat tahun ini dia sudah dihadapkan dengan berbagai macam tekanan setelah
"Sarapan buat Bunda udah selesai, Mbok?" Kuhampiri Mbok Warmi ke dapur, setelah kembali ke dalam."Sudah, Non. Ini baru mau simbok anter." Terlihat di tangan Simbok Warmi sebuah nampan berisi bubur, buah, dan gelas tinggi berisi air putih."Biar sama saya aja, Mbok." Kuambil-alih nampan di tangan Mbok Warmi, lalu lekas naik ke atas.Kudorong pintu yang setengah terbuka dengan badan. Menatap tubuh Bunda yang terbaring lemah di ranjang dengan pandangan yang jauh menatap keluar jendela kamar."Bun ...."Dia menoleh saat kupanggil, wanita paruh baya yang kini terlihat begitu renta itu tersenyum kecil.Kuletakkan nampan di atas nakas, lalu beranjak naik ke ranjang dan duduk di sisinya.Sejak Bunda dan Ayah resmi bercerai, Bunda tinggal bersama kami, di sini, di Batam. Setahun terakhir kanker yang memang sudah lama diidapnya menyentuh angka stadium empat. Kemoterapi kembali beliau jalani, dan untuk kedua kali Bunda terpaksa harus memangkas habis mahkotanya untuk menghindari kerontokan. Seb
Ternyata aku salah saat berpikir bahwa anak adalah satu-satunya sumber kebahagiaan kami. Kehadiran Fatina memang melengkapi, tapi tak sertamerta melingkupi.Sudah empat tahun sejak Nindi memutus segala komunikasi dengan kami begitu juga dengan dirinya yang menghilang bak ditelan bumi. Banyak hal yang terjadi. Kerinduan Bang Khalid pada Nindi telah membuatnya semakin menutup diri.Tak ada lagi ungkapan cinta, kasih sayang, atau kata-kata sederhana yang berhasil membuatku melambung tinggi. Seharusnya aku memang cukup tahu diri, kini hatinya telah terbagi, tak utuh milikku lagi."Nay!" Panggilan itu menyentak lamunan. Bang Khalid melambaikan tangan tepat di depan wajah."Eh, iya?" Kutatap koper kecil dari masing-masing kami, dan juga milik Neli sudah di pindahkan ke bagasi."Udah sembilan puluh persen persiapan, tapi kita belum ada tujuan. Mau ke mana jadinya?" tanya Bang Khalid untuk yang kedua kali sejak malam tadi.Aku terdiam sejenak. Menatap satu per satu orang yang ada di hadapan.
Di salah satu bangku dekat kuliner pinggir pantai Pulau Penawar Rindu. Aku membawa Bang Khalid menemui seseorang. Seorang dokter muda yang sengaja datang jauh-jauh dari Singapura."Mau apa dokter Antoni ke sini, Nay?" Bang Khalid yang kebingungan langsung mengajukan pertanyaan.Kugenggam tangannya erat, lalu berujar. "Nanti juga Abang tahu. Dengerin aja, ya! Dan tolong jangan dipotong, sampe semua disampaikan dengan benar."Bang Khalid menghela napas panjang, dengan pasrah akhirnya dia mengangguk pelan. "Mari, Dok!" Setelah keadaan mulai kondusif, aku menyerahkan sisanya pada Dokter Antoni."Sebelumnya saya mau minta maaf pada Pak Khalid. Karena semua prosedur yang dilakukan sudah berdasarkan kesepakatan antara saya dan Bu Naya.""Kesepakatan? Kesepakatan apaan, Nay?" Belum apa-apa Bang Khalid sudah menyela."Bang ... tolong!" Kuremas sejenak tangannya yang tiba-tiba terkepal."Baik, bisa saya lanjutkan?"Aku mengangguk cepat."Kurang lebih enam tahun lalu, sebelum Bu Naya jatuh koma
"Nindia Putri Zaelani," gumamku saat menerima map cokelat yang diberikan Naya di malam sebelum dia menjalani prosedur pengangkatan rahim. Kualihkan pandangan dari berkas di genggaman, lalu menatapnya kemudian."Apa ini, Nay?""Ini satu-satunya jalan, Bang. Kesempatan bagi kita untuk memiliki keturunan.""Maksud kamu?" Kukernyitkan dahi tak mengerti.Naya mengambil alih map cokelat tersebut dari tanganku. Kemudian dia beranjak duduk perlahan dari posisi setengah terbaring di brankar ruang ICU. Sembari mengeluarkan isi map tersebut, ia mulai menjelaskan."Nindi adik biologisku dari Ayah." Kepalanya tertunduk menatap map di genggaman tangan. "Apa?""Setidaknya dia yang cukup bisa kupercaya untuk mengandung benih kita." Jemari Naya masih bergerak di atas di atas permukaan berkas."Sebenarnya apa maksud kamu?" Naya mengangkat kepala. Kami bersitatap."Dokter Antoni bilang, masih ada cara untuk kita punya anak dengan teknologi. Namanya surogasi atau metode kehamilan dengan ibu pengganti."