"Apa yang kamu pake, Nay?" Bang Khalid mengusap wajah sesaat setelah keluar dari kamar mandi begitu melihatku duduk bersandar di tepi ranjang."Lingerie."Dia menghela napas gusar, lalu meraih sepasang piama dari lemari, kemudian berjalan menghampiri."Sebelumnya kamu nggak pernah begini. Udah, nggak usah aneh-aneh, Nay. Nanti masuk angin. Abang suka kamu yang apa adanya." Dia pasangkan atasan piama tersebut untuk memutup tubuhku yang sebelumnya terekspos."Tapi, Abang suka Nindi yang ada apanya, kan?" sahutku kemudian.Gerakannya yang tengah mengancing piama terhenti. "Kenapa jadi bahas Nindi?""Karena dari sisi mana pun dia lebih unggul dari aku!""Astagfirullah, Nay. Nggak ada yang minta kamu buat bandingin diri. Kalian punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lagian Nindi nggak pernah pake yang beginian di depan Abang. Dia malah lebih sering dasteran.""Tapi, Abang suka, kan? Bahkan saat dia cuma dasteran pasti keliatan lebih menggoda dan seksi, ka--""Naya!" Aku tersentak sa
Siangnya ...."Udah lebih dari dua minggu, Beb. Coba lu turunin sedikit gengsi dan hubungin dia duluan," celetuk Roy di tengah-tengah kegiatan mengemasi sembako untuk syukuran yang akan kuadakan demi kelancaran persalinan dalam beberapa minggu ke depan.Aku terdiam, menatap kantong berisi beras, minyak, telur, dan mie instan.Ini bukan tentang gengsi, tapi tentang harga diri dan kepedulian. Aku tak malu untuk memulai duluan, tapi bila yang bersangkutan tak ada upaya untuk sekadar memberi kabar, untuk apa aku berjuang?Meski jauh di sudut hati terdalam, kebersamaan kami dalam sepekan, membuatku mulai merasakan getaran dan rasa kehilangan serta rindu yang sulit digambarkan."Ogah, ngapain? Kalau dia nggak ada effort buat hubungin, berarti gue emang nggak pernah diprioritaskan.""Ck, kapan, sih lu bisa positif thinking sama si Khalid?""Nggak tahu, sejak Naya sadar, gue bahkan makin susah buat percaya sama dia. Bahkan saat dia janji bakal kembali dalam waktu dekat ini." Sejenak kulempar
"Banyak yang terjadi hari ini, lu beneran nggak apa-apa, kan?" Roy memapahku sampai ke ambang pintu kosan. Aku mengangguk pelan, lalu perlahan menahan perut sembari duduk di karpet ruang tamu."Iya, nggak apa-apa. Mending lo buruan anter Emak lo pulang. Udah mau maghrib. Gue liat pucet banget dia tadi, kecapean." Kudorong pelan bahunya yang masih membungkuk memastikan keadaan."Sumpah, gue bakal balik lagi nanti malem. Pintunya nggak usah dikonci!"Aku mengangguk pelan, lalu melihat Roy berlalu dari pandangan.Beberapa saat kemudian adzan maghrib berkumandang. Dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lemas tak bertenaga, kuseret langkah ke belakang, menuju keran dan mengambil wudu.Selesai bersuci, kugelar sajadah menghadap kiblat di kamar, kemudian menggunakan mukena dan mulai sembahyang.Tiap takbir yang dikumandangkan, tiap sujud yang lakukan, perasaan yang menggangguku dalam beberapa waktu belakangan tiba-tiba datang. Kutumpahkan tangis bahkan sampai di akhir salam. Bersimpuh dalam kuk
Prang!Sontak aku terlonjak, sesaat sebelum terlelap, saat mendengar kaca kamar yang dilempar sebuah batu seukuran genggaman tangan dari arah halaman."Tunggu!" Bang Khalid yang merasakan hal yang sama, lebih dulu bangkit dan bersikap waspada saat dia memeriksa batu yang dilempar begitu menemukan secarik kertas yang direkatkan karet di atas permukaannya.Sementara Bang Khalid membaca kertas dan pesan di dalamnya, aku berjalan ke dekat kaca jendela dan melihat langsung keluar.Tampak seorang lelaki berperawakan tinggi besar meninggalkan halaman dari depan gerbang menggunakan motornya. Samar terlihat dia berhenti sejenak, begitu sadar aku memerhatikan. Jari tengah pun dia acungkan sebelum tancap gas dan menghilang.Aku tahu siapa sosok itu. Dia Roy, teman Nindi."Sorry, gue sengaja pake cara kasar. Soalnya gue nggak suka basa-basi apalagi kudu pencet bel yang nggak yakin bisa kedengaran, setelah telepon dari gue sengaja lu matiin tadi. Gue tunggu di RSU Kemayoran. Kalau nggak sampe dala
"Keadaan Nindi gimana?" Bang Khalid langsung bertanya saat kami tiba di hadapan Roy dan ibunya yang tengah menunggu di depan ruang bersalin."Nggak usah munafik, Sat!" Melihat kehadiran kami Roy langsung bangkit dan mendorong bahu Bang Khalid. "Lu salah alamat. Walaupun prematur tapi anak kalian udah lahir dengan selamat di sebelah sana. Peduli apa kalian sama perempuan yang bertaruh nyawa demi benih yang kalian tanam di rahimnya?"Bang Khalid tak berkutik. Kulihat kedua tangannya terkepal, menatap Roy tak kalah tajam."Akhiri kesepakatan kalian, bawa bayi kalian pergi, biar gue sama Mami yang rawat Nindi!""Nggak bisa!" sentak Bang Khalid tiba-tiba. "Secara hukum dan agama Nindi masih istri sah saya. Anda nggak berhak mengatur kapan pernikahan kami harus di akhiri. Saya masih punya tanggung jawab penuh atas dirinya!""Istri? Tanggung jawab?" Roy tertawa mencibir menanggapinya. "Bangsaaat!"Bugh!Aku terlonjak setelah melihat gerakan yang tiba-tiba Roy layangkan saat menghantam wajah
"Golongan darah saya juga AB negatif."Kulihat wanita dengan cardigan putih dan rambut yang dikucir itu berjalan menghampiri kami. "Tunjukkan di mana ruang tranfusinya!""Maaf, kalau boleh tahu ibu siapanya, ya?" Dokter bertanya untuk memastikan.Sejenak pandangan wanita yang sama cantiknya dengan Nindi itu beredar, menatap satu per satu dari kami, lantas menjawab dengan tegas. "Saya ibunya, Dok. Melani Pertiwi!"***Setelah kedatangan Bu Melani yang secara tiba-tiba menambah kelam atmosfer yang terjadi di rumah sakit ini. Perang dingin antara Roy dan Bang Khalid terus terjadi. Bahkan sampai jam dua dini hari ini nyaris tak ada percakapan di antara kami. Harap-harap cemas kami semua masih menunggu perkembangan kondisi Nindi sampai selesai transfusi."Bu, Pak? Apa tidak ada yang mau menengok bayinya lebih dulu?" Seorang perawat tiba-tiba datang menghampiri.Aku dan Bang Khalid bersitatap, sesudahnya kami mengangguk bersamaan."Kebetulan bayinya juga belum sempat di-adzani," tambah pera
Di ruangan steril yang hanya menyisakan aku seorang. Kutatap bayi perempuan yang bergerak gelisah dalam kotak inkubator. Jemari mungil itu bergerak-gerak lucu. Bayi yang baru selesai di-adzani dan belum sempat diberi nama itu seperti mencari-cari susu.Rekah senyum di bibirku melebar, meski sesak yang masih tersisa belum juga usai. Kuseka air mata yang berkali-kali menetes tanpa sadar. Setidaknya sakit yang terus-menerus menghunjam dada ini sedikit terbayar kala menatap bayi mungil yang sudah lama kunantikan.Dia akan jadi penawar luka, penghapus air mata, penghibur derita, kala hidup yang akan kujalani nantinya tak lagi sama.Kurasakan sebuah pergerakan di belakang, suara derap langkah terdengar, dan sosok itu akhirnya berdiri di sebelah."Bu Melani?" Kutatap wanita berusia awal empat puluhan itu. Dia hanya geming menatap bayi di hadapan."Saya pikir satu-satunya kesalahan terbesar saya hanyalah menuruti nafsu sesaat dan memutuskan menjalin hubungan dengan suami orang. Saya pikir me
Setelah Nindi dinyatakan koma, rumah sakit menyarankan untuk merujuknya ke RSCM, Jakarta Pusat yang hanya berjarak kurang lebih setengah jam dari Kemayoran. Hampir 2 x 24 jam semua pihak terkait dibuat terjaga siang dan malam melakukan segala tindakan agar Nindi mampu diselamatkan. Terlepas dari itu, ada bayi prematur berusia dua hari yang juga dipindahkan untuk mendapatkan penanganan khusus karena tubuhnya yang rentan. Dia diletakkan di ruang neonatal intensive care unit (NICU).Dokter bilang pemberian Asi yang memadai diperlukan untuk mempercepat pemulihan bayi prematur. Mendengar penjelasan itu aku jadi merasa bersalah dengan apa yang kukatakan tempo hari. Karena dalam ketidaksadarannya Nindi masih sangat beguna untuk menunjang kehidupan bayi kami.Bayi perempuan yang sebenarnya lahir sehat dengan bobot dua kilogram itu kami beri nama Fatina Alwadiea Rizqi yang artinya perempuan titipan pembawa rezeki. Sejak kemarin pengurusan akta kelahiran sudah mulai dilakukan dengan tentu saja