"Golongan darah saya juga AB negatif."Kulihat wanita dengan cardigan putih dan rambut yang dikucir itu berjalan menghampiri kami. "Tunjukkan di mana ruang tranfusinya!""Maaf, kalau boleh tahu ibu siapanya, ya?" Dokter bertanya untuk memastikan.Sejenak pandangan wanita yang sama cantiknya dengan Nindi itu beredar, menatap satu per satu dari kami, lantas menjawab dengan tegas. "Saya ibunya, Dok. Melani Pertiwi!"***Setelah kedatangan Bu Melani yang secara tiba-tiba menambah kelam atmosfer yang terjadi di rumah sakit ini. Perang dingin antara Roy dan Bang Khalid terus terjadi. Bahkan sampai jam dua dini hari ini nyaris tak ada percakapan di antara kami. Harap-harap cemas kami semua masih menunggu perkembangan kondisi Nindi sampai selesai transfusi."Bu, Pak? Apa tidak ada yang mau menengok bayinya lebih dulu?" Seorang perawat tiba-tiba datang menghampiri.Aku dan Bang Khalid bersitatap, sesudahnya kami mengangguk bersamaan."Kebetulan bayinya juga belum sempat di-adzani," tambah pera
Di ruangan steril yang hanya menyisakan aku seorang. Kutatap bayi perempuan yang bergerak gelisah dalam kotak inkubator. Jemari mungil itu bergerak-gerak lucu. Bayi yang baru selesai di-adzani dan belum sempat diberi nama itu seperti mencari-cari susu.Rekah senyum di bibirku melebar, meski sesak yang masih tersisa belum juga usai. Kuseka air mata yang berkali-kali menetes tanpa sadar. Setidaknya sakit yang terus-menerus menghunjam dada ini sedikit terbayar kala menatap bayi mungil yang sudah lama kunantikan.Dia akan jadi penawar luka, penghapus air mata, penghibur derita, kala hidup yang akan kujalani nantinya tak lagi sama.Kurasakan sebuah pergerakan di belakang, suara derap langkah terdengar, dan sosok itu akhirnya berdiri di sebelah."Bu Melani?" Kutatap wanita berusia awal empat puluhan itu. Dia hanya geming menatap bayi di hadapan."Saya pikir satu-satunya kesalahan terbesar saya hanyalah menuruti nafsu sesaat dan memutuskan menjalin hubungan dengan suami orang. Saya pikir me
Setelah Nindi dinyatakan koma, rumah sakit menyarankan untuk merujuknya ke RSCM, Jakarta Pusat yang hanya berjarak kurang lebih setengah jam dari Kemayoran. Hampir 2 x 24 jam semua pihak terkait dibuat terjaga siang dan malam melakukan segala tindakan agar Nindi mampu diselamatkan. Terlepas dari itu, ada bayi prematur berusia dua hari yang juga dipindahkan untuk mendapatkan penanganan khusus karena tubuhnya yang rentan. Dia diletakkan di ruang neonatal intensive care unit (NICU).Dokter bilang pemberian Asi yang memadai diperlukan untuk mempercepat pemulihan bayi prematur. Mendengar penjelasan itu aku jadi merasa bersalah dengan apa yang kukatakan tempo hari. Karena dalam ketidaksadarannya Nindi masih sangat beguna untuk menunjang kehidupan bayi kami.Bayi perempuan yang sebenarnya lahir sehat dengan bobot dua kilogram itu kami beri nama Fatina Alwadiea Rizqi yang artinya perempuan titipan pembawa rezeki. Sejak kemarin pengurusan akta kelahiran sudah mulai dilakukan dengan tentu saja
Tiba di rumah kami disambut Neli. Fatina langsung dipindahkan ke kamarku dan Bang Khalid yang sudah difasilitasi dengan box bayi berstandar khusus yang direkomendasikan dokter ahli. Bayi prematur yang butuh perhatian khusus agar menjaga kestabilitasan tubuhnya yang rentan. Sementara Papa pamit untuk mengurus beberapa keperluan selama kami tinggal di Jakarta dalam kurun yang belum bisa ditentukan."Kalau Nindi udah sadar, kayaknya kalian bisa pindah ke rumah yang lebih besar. Atau bisa juga Naya yang pindah, nanti biar Khalid yang pulang-pergi." Tiba di kamar, aku sudah dihadiahi dengan celetukan Mama yang terasa menohok hati."Loh, harusnya sesuai kesepakatan, pernikahannya diakhiri. Bayinya, kan udah lahir," sahut Bunda menimpali."Sejak awal kita nggak pernah setuju dengan kesepakatan itu Bu Siska. Lagian Fatina butuh Asi ekslusif sampe usia dua tahun. Sejauh ini saya liat anak-anak juga adem-adem aja. Iya, kan, Nay?" Aku terbungkam begitu Mama melempar pertanyaan."Mana ada adem-a
Entah setan apa yang telah merasuki Naya? Setelah menyumpahiku mati, kali ini dia ingin mencabut alat-alat yang menunjang kehidupanku di ruangan ini.Caranya yang amatir membuatku yakin bahwa sebenarnya dia ragu, ragu dengan apa yang terjadi, ragu dengan keputusan yang dia ambil sendiri.Kecemburuan telah membuatnya lupa, kecemburuan telah membuatnya menutup mata, hati, dan telinga. Bahwa sekeras apa pun usahanya untuk menyingkirkanku, tak akan pernah bisa mengubah takdir yang Maha Kuasa."Ma-u a-pa, Na-y?"Sontak tangan itu dia tarik paksa. Gemetar bukan hanya jari tapi juga sekujur tubuhnya saat ini. Secepat tangisan Naya yang akhirnya pecah, secepat itu pula Khalid tiba bersama dengan tim medis untuk memeriksa.Mungkin Naya tidak tahu, bahwa sebelum dia datang Khalid sudah lebih dulu menyadari bahwa tanpa-tanpa kesadaranku sudah terjadi. Setelah Khalid selesai membaca Surat Yasiin aku bisa menggerakan kedua jari, tapi memang belum bisa membuka mata ini.Begitu lelaki itu pergi, Nay
Seperti plester yang digunakan untuk menutup luka. Sebisa mungkin kututupi lubang-lubang kecil yang menganga di hati pasangan suami-istri Khalid-Naya. Kubunuh jarak membentang yang semula membatasi mereka. Kuikat kembali tali simpul yang semula mengendur.Lagi-lagi dan lagi, semua tak mudah, mungkin tak akan pernah mudah untuk dijalani. Berkian kali kuredam ego dalam diri, berkian kali kutekan perasaan terbakar saat mempersilakan keduanya untuk menghabiskan banyak waktu bersama dengan sang buah hati.Sampai di hari ke empat puluh ini. Semua mulai berjalan semestinya.Kekeluarga yang diimpikan masing-masing dari kami. Kehidupan poligami yang harmonis itu akhirnya benar-benar terjadi.Dari kamar di lantai atas, aku turun ke bawah menuju kamar Khalid dan Naya.Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu yang menjulang di hadapan."Masuk aja, Nin!" Terdengar suara Naya dari arah dalam.Setelah mendengar persetujuan, kubuka pintu perlahan, dan masuk ke dalam."Kirain lagi nggak pada pake baju," candaku.
Semua tamu sudah berkumpul di acara pengajian yang langsung dibuka ustaz setempat. Semua prosesi berjalan lancar sampai tiba di proses pemotongan rambut."Nin ...." Naya memintaku untuk menemani Khalid saat prosesi. Namun, aku memilih menarik diri dan masuk ke barisan tepat di samping Roy."Kamu aja!" Aku tersenyum simpul dan mendorongnya pelan agar lekas mendampingi lelaki itu.Pancaran kebahagiaan terlihat di matanya. Sebelum pergi Naya sempat bergumam. "Terima kasih."Aku mengangguk, dan nanar menatap mereka yang mulai memutari jamaah pengajian yang dipimpin Pak Ustaz.Entah sudah berapa kali aku mengalah dalam situasi-situasi seperti ini. Tak terhitung jari nyeri bercampur sesak yang terasa di tiap kalimat yang terucap ikhlas."Sumpah, gue muak sama semua ini," celetuk Roy tiba-tiba. Aku menoleh dan mencubit perutnya."Berisik.""Lu, tuh cewek tersinting yang pernah gue kenal."Aku terkekeh. "Gue suka panggilan itu.""Dasar sarap. Otak lu pindah ke mana, sih, Nin?""Emang kapan g
Tok! Tok! Tok!"Nay! Naya!"Aku bangkit setelah melipat sajadah saat mendengar suara gedoran pintu yang diiringi suara panik Bang Khalid terdengar memanggil.Setengah berlari, kuburu pintu dan bergegas membukanya."Ada apa, Bang?" Di balik pintu, kulihat Bang Khalid berdiri mondar-mandir dengan penampilan yang berantakan. Kausnya bahkan terbalik dengan sarung yang hanya dia ikat asal."Nindi, Nay ... kamu liat Nindi nggak?"Aku mengerutkan kening."Loh, bukannya Nindi tidur sama Abang?""Iya, tapi pas bangun tadi dia tiba-tiba ilang." Bang Khalid mengacak rambut frustrasi."Ilang gimana maksud Abang?" "Semua barangnya nggak ada di lemari, Nay. Koper-kopernya juga nggak ada!"Deg!"Ada apa ini?" Mama dan Papa yang kebetulan menginap semalam, langsung keluar dari kamar tamu begitu mendengar keributan, tak terkecuali Neli dan juga Bunda yang baru keluar dari kamar mandi."Nindi nggak ada di mana-mana, Pa. Khalid udah cari ke seluruh penjuru rumah," tutur lelaki itu."Kok, bisa? Kalian