Keputusanku untuk datang ke Jakarta ternyata sudah benar. Aku tak mau celah yang terbuka itu semakin lebar dan membuatku semakin menyesal.Cukup mudah melacak lokasi indekos di daerah padat penduduk seperti Jakarta Pusat khususnya Kemayoran. Dari bandara aku hanya perlu menempuh tiga puluh menit perjalanan menggunakan taksi. Kuperhatikan sekitar pemukiman yang ramai. Untukku yang suka ketenangan jelas tempat ini kurang nyaman. Aku juga sangat tahu Bang Khalid luar dan dalam. Lelaki itu sangat pemilih bahkan untuk urusan tempat dan makanan. Kami pernah sekali menginap di sebuah vila karena perjalanan bisnis mengharuskan. Dan suamiku itu demam sampai dua hari dua malam karena tak cocok dengan lingkungan dan airnya.Aku heran bagaimana bisa Bang Khalid mudah beradaptasi di tempat ini? Tok! Tok! Tok!Kuketuk pintu yang hanya berukuran kurang lebih 1,8 meter di hadapan. Melihat pintu tua ini aku jadi membayangkan tinggi Bang Khalid yang bisa dibilang sama.Ceklek!Pintu terbuka. Terliha
"I am home!" Roy tiba-tiba muncul beberapa saat setelah Khalid dan Naya pergi meninggalkan kosan. Selain tulang lunak, panggilan yang cocok untuknya memang Jelangkung. Datang tak diundang, pulang minta traktir."Ada apenih? Asem banget tuh muka kayak ketek kena matahari!"Aku memutar bola mata, dan melanjutkan melipat pakaian di ruang tamu menghadap TV yang tengah menyiarkan berita."Lu nggak liat yang mulia ratu baru aja bawa rajanya pergi?""Demi?" Roy melotot. Seketika dia mengempaskan bokong di sisiku. "Kapan si Naya ke sini?""Tadi pagi, numpang makan, ngomel, terus bawa Khalid pergi.""Dih, belum juga sebulan. Mpoksesip amat jadi orang. Lupa kali kalau lakinya udah siko bagi duo!"Kulempar wajahnya dengan selembar dalaman."Yey, gue mah bener kali. Sesuai kesepakatan, kan harusnya dia adil membagi peran. Perasaan sama si Naya Khalid udah tiga minggu, masa sama lu baru seminggu udah disusulin.""Bodo amat, ah. Nggak usah bahas lagi mereka. Mending lu beli martabak, gih! Ketan sa
Aku tertegun, entah kenapa apa yang Roy katakan hampir semua benar. Melihat nasib yang dialami dari mulai lahir sampai saat ini, aku belum benar-benar bisa menerima takdir. Menerima keberadaanku sebagai anak yang terbuang, sebagai benih dosa dari perselingkuhan, dan sebagai sampah masyarakat yang mencari nafkah dari menjual selangkangan.Aku tak pernah bisa benar-benar mencintai diriku, mencintai apa yang Tuhan anugerahkan, meski di luar banyak yang menginginkan paras dan tubuh seperti ini.Semua memang harus dimulai dariku, perubahan memang selalu datang dari diri sendiri."Ah, masa?" Sepanjang ceritanya, aku hanya bisa menanggapi dengan ejekan."Iya, Pea!" Roy yang tampak kesal, langsung menoyor kepalaku yang berada tepat di hadapan.Aku hanya bisa terkekeh pelan. Kemudian merenung sejenak sebelum melanjutkan."Ngomong-ngomong kabar Emak lu gimana? Gue denger baru-baru ini gula darahnya naik karena beliau sempet meriang.""Udah baikan, baru tadi pagi gue anter buat beli stok insulin
"Hape yang kemarin, kan nggak sengaja aku jatohin. Jadi, Abang pake aja yang ini!" Kusodorkan ponsel baru dengan merk dan tipe yang sama pada Bang Khalid yang tengah duduk di tepi kolam berenang, memangku laptop, menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai sepekan terakhir, karena sepertinya dia lebih sibuk dengah hal lain saat bersama Nindi.Dia mengambil-alih benda pipih tersebut dari tanganku, kemudian mulai memeriksa data eksternal dan internal juga akun google yang dipakai untuk log in."Kok, semua data dari memori card-nya ilang? Nomber kontak? foto? Mana Abang simpen nomber orang-orang deket sama foto-foto pribadi di memori ini." Dahinya bertautan. Bang Khalid menatapku penuh tuntutan."Maaf, nggak sengaja ke-reset." Kutautkan kedua tangan, dan menunduk kemudian."Apa?" Dia tampak memastikan, hingga refleks meletakkan laptop dari pangkuan. "Kok, bisa?""Namanya juga nggak sengaja. Ya, aku juga nggak tahu sebabnya. Lagian di hape itu aku liat kontaknya cuma sepuluh biji, ga
"Apa yang kamu pake, Nay?" Bang Khalid mengusap wajah sesaat setelah keluar dari kamar mandi begitu melihatku duduk bersandar di tepi ranjang."Lingerie."Dia menghela napas gusar, lalu meraih sepasang piama dari lemari, kemudian berjalan menghampiri."Sebelumnya kamu nggak pernah begini. Udah, nggak usah aneh-aneh, Nay. Nanti masuk angin. Abang suka kamu yang apa adanya." Dia pasangkan atasan piama tersebut untuk memutup tubuhku yang sebelumnya terekspos."Tapi, Abang suka Nindi yang ada apanya, kan?" sahutku kemudian.Gerakannya yang tengah mengancing piama terhenti. "Kenapa jadi bahas Nindi?""Karena dari sisi mana pun dia lebih unggul dari aku!""Astagfirullah, Nay. Nggak ada yang minta kamu buat bandingin diri. Kalian punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lagian Nindi nggak pernah pake yang beginian di depan Abang. Dia malah lebih sering dasteran.""Tapi, Abang suka, kan? Bahkan saat dia cuma dasteran pasti keliatan lebih menggoda dan seksi, ka--""Naya!" Aku tersentak sa
Siangnya ...."Udah lebih dari dua minggu, Beb. Coba lu turunin sedikit gengsi dan hubungin dia duluan," celetuk Roy di tengah-tengah kegiatan mengemasi sembako untuk syukuran yang akan kuadakan demi kelancaran persalinan dalam beberapa minggu ke depan.Aku terdiam, menatap kantong berisi beras, minyak, telur, dan mie instan.Ini bukan tentang gengsi, tapi tentang harga diri dan kepedulian. Aku tak malu untuk memulai duluan, tapi bila yang bersangkutan tak ada upaya untuk sekadar memberi kabar, untuk apa aku berjuang?Meski jauh di sudut hati terdalam, kebersamaan kami dalam sepekan, membuatku mulai merasakan getaran dan rasa kehilangan serta rindu yang sulit digambarkan."Ogah, ngapain? Kalau dia nggak ada effort buat hubungin, berarti gue emang nggak pernah diprioritaskan.""Ck, kapan, sih lu bisa positif thinking sama si Khalid?""Nggak tahu, sejak Naya sadar, gue bahkan makin susah buat percaya sama dia. Bahkan saat dia janji bakal kembali dalam waktu dekat ini." Sejenak kulempar
"Banyak yang terjadi hari ini, lu beneran nggak apa-apa, kan?" Roy memapahku sampai ke ambang pintu kosan. Aku mengangguk pelan, lalu perlahan menahan perut sembari duduk di karpet ruang tamu."Iya, nggak apa-apa. Mending lo buruan anter Emak lo pulang. Udah mau maghrib. Gue liat pucet banget dia tadi, kecapean." Kudorong pelan bahunya yang masih membungkuk memastikan keadaan."Sumpah, gue bakal balik lagi nanti malem. Pintunya nggak usah dikonci!"Aku mengangguk pelan, lalu melihat Roy berlalu dari pandangan.Beberapa saat kemudian adzan maghrib berkumandang. Dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lemas tak bertenaga, kuseret langkah ke belakang, menuju keran dan mengambil wudu.Selesai bersuci, kugelar sajadah menghadap kiblat di kamar, kemudian menggunakan mukena dan mulai sembahyang.Tiap takbir yang dikumandangkan, tiap sujud yang lakukan, perasaan yang menggangguku dalam beberapa waktu belakangan tiba-tiba datang. Kutumpahkan tangis bahkan sampai di akhir salam. Bersimpuh dalam kuk
Prang!Sontak aku terlonjak, sesaat sebelum terlelap, saat mendengar kaca kamar yang dilempar sebuah batu seukuran genggaman tangan dari arah halaman."Tunggu!" Bang Khalid yang merasakan hal yang sama, lebih dulu bangkit dan bersikap waspada saat dia memeriksa batu yang dilempar begitu menemukan secarik kertas yang direkatkan karet di atas permukaannya.Sementara Bang Khalid membaca kertas dan pesan di dalamnya, aku berjalan ke dekat kaca jendela dan melihat langsung keluar.Tampak seorang lelaki berperawakan tinggi besar meninggalkan halaman dari depan gerbang menggunakan motornya. Samar terlihat dia berhenti sejenak, begitu sadar aku memerhatikan. Jari tengah pun dia acungkan sebelum tancap gas dan menghilang.Aku tahu siapa sosok itu. Dia Roy, teman Nindi."Sorry, gue sengaja pake cara kasar. Soalnya gue nggak suka basa-basi apalagi kudu pencet bel yang nggak yakin bisa kedengaran, setelah telepon dari gue sengaja lu matiin tadi. Gue tunggu di RSU Kemayoran. Kalau nggak sampe dala