Share

04. ~BCSI~

"Lepas, Karan!"

Arcelia hendak memukul menggunakan siku, namun Karan menahan pergerakannya.

"Jangan mentang-mentang semalam kamu bisa membuatku pingsan, sekarang mau melumpuhkanku lagi? Tidak akan bisa, Arcelia. Aku tidak mungkin jatuh pada lubang yang sama, istriku." Karan semakin mempererat kunciannya.

Arcelia mendengus kesal. "Sepertinya kamu memang ingin menjadi gelandangan, sedikit saja berani menyentuhku. Aku pastikan nanti malam kamu akan tidur di jalanan!" bentaknya mengancam.

Tertawa keras, Karan malah justru mengecup pipi Arcelia dari belakang. "Maksudmu seperti ini?" tanyanya sengaja, menunjukkan jika ia tidak takut dengan ancaman Arcelia.

"Karan! Awas saja, aku benar-benar akan membuatmu tinggal di jalanan!"

Lagi-lagi, Karan mengecup pipi Arcelia. "Arcelia, poin-poin yang kamu tulis itu sangat lucu. Selucu dirimu. Mana ada suami yang tidak diizinkan menyentuh istrinya? Mau dibawa ke hukum pun, pasti kamu yang akan ditertawakan," jelas Karan.

"Berhenti menciumku, si*l*n!" 

"Baiklah, sekarang waktunya memberi hukuman untuk istriku yang sangat pandai ini. Semalaman kamu telah membuatku tidak bisa berjalan. Sekarang giliran aku yang akan membuatmu berbaring tidak bisa beranjak dari kasur."

Usai berucap, Karan mengangkat Arcelia layaknya karung beras. Tidak perduli dengan pukulan serta jambakkan yang Arcelia lakukan, Karan tetap melakukan apa yang dia inginkan.

"Kamu tidak akan bisa melakukannya, Karan," ucap Arcelia yakin sekali. Gadis itu sudah memakai celana serta baju berlapis. Mengingat semalam Karan dengan mudah merobek bajunya.

"Kau memang benar-benar pandai. Tapi ini tidak masalah bagiku. Kamu harus segera memberiku bayi, Arcelia. Bayi laki-laki akan lebih baik," ucapnya serius.

Sejenak Arcelia terdiam, wajah Karan begitu serius saat mengucapkan kata bayi. "Jadi ini alasan yang membuat kamu tiba-tiba memutuskan untuk menikahi aku?"

"Ya. Salah satunya." Karan mulai bergerak melepas satu persatu pakaian yang dikenakan Arcelia, namun tetap saja tidak ada habisnya.

"Kenapa tidak mengadopsi saja? Kau sangat jahat, Karan. Selain menghancurkan masa depanku, kamu juga menyeret aku ke dalam rumah yang tidak layak disebut rumah!" bentak Arcelia, gadis itu mendorong Karan sekuat tenaga hingga laki-laki itu tersungkur ke atas lantai.

"Akh!" Karan mengusap pan*a*nya yang terasa ngilu. Laki-laki itu segera bangkit dan kembali menerkam Arcelia yang hendak kabur.

"Kamu benar-benar jelmaan kucing, Arcelia," geramnya, menahan rasa sakit di bagian pinggang dan pan*a*nya. Belum apa-apa dia sudah nyaris dibuat babak belur. Pukulan yang membuatnya pingsan semalam saja masih terasa sakit.

"Makanya menjauhlah sebelum aku gigit!"

"Gigit saja aku tidak takut!" Karan menantang.

Pergulatan antara serangan dan pertahanan diri terjadi beberapa menit. Hingga Karan memenangkannya. Arcelia sudah berada dalam kendali Karan.

"Biar aku beri tahu. Menolak suami akan membuatmu berdosa jadi lebih baik lakukan saja dengan ikhlas," kata Karan menekan.

Menggelengkan kepala, Arcelia sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Karan. "Apa kamu tidak tahu, jika seorang suami membuat istrinya menangis, maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakan keburukan untuk orang itu?"

"Ya ya ya, aku tau. Tapi ini hak milikku." Karan ngeyel.

Kedua mata Arcelia melirik jam. "Lakukan saja," katanya sembari tersenyum.

Karan pun tersenyum menang, laki-laki itu dengan semangat kembali membuka pakaian Arcelia yang masih berlapis. "Astaga, berapa baju yang kamu pakai, Arcelia!" Kesalnya.

"Banyak. Mengapa berhenti? Apa sudah menyerah?"

Karan terdiam, entah mengapa perutnya tiba-tiba terasa sakit dan mual. Laki-laki itu segera bangkit dan berlari ke kamar mandi.

Melihat reaksi itu, membuat Arcelia tertawa pelan, Arcelia bangun dari baringnya menatap sisa bayangan karan yang lari terbirit-birit ke dalam kamar mandi. "Binggo, udang itu sudah bekerja. Ternyata memakan waktu cukup lama, hampir saja aku habis," ucapnya lega.

Sebelumnya, Arcelia memasukkan udang cincang ke dalam nasi goreng. Udang merupakan makana terlarang bagi Karan. Laki-laki itu alergi terhadap udang.

"Aku selamat! Ayo, berpikir lagi supaya kedepannya tetap selamat," gumamnya sembari memijit pelipis.

Sudah beberapa menit berlalu, Karan belum juga keluar dari kamar mandi.

"Karan! Kamu tidak mati, kan? Apakah aku akan jadi janda?" Arcelia berteriak.

"Kau benar-benar istri durhaka, Arcelia!" Karan keluar dari kamar mandi, terlihat bibir laki-laki itu sedikit bengkak wajahnya pun sekarang pucat.

Karan berjalan menuju nakas, langkahnya terhuyung nyaris jatuh.

"Apa efeknya separah itu?" gumam Arcelia.

"Di mana ponselku?" Racaunya. Usai menemukan ponsel, Karan segera menghubungi seseorang, belum sempat berucap tubuh Karan sudah ambruk.

"Ya ampun, apa dia pingsan lagi?" Arcelia segera lari menghampiri Karan.

Karan tidak pingsan, laki-laki itu tidak bisa menahan rasa pusing serta lemas hingga kesulitan menopang tubuhnya sendiri.

"Hallo, Karan." Terdengar suara dari ponsel. 

"Gawat, ini gawat. Tidak lucu kalau ada kabar seorang istri membunuh suaminya. Aku tidak mau masuk penjara," Arcelia panik.

Mengambil ponsel milik Karan. Arcelia lantas berbicara pada orang itu, "Hallo, tolong. Tolong panggilkan dokter sekarang juga. Karan, dia ... dia pingsan setelah makan udang, tolong, aku takut dia mati. Cepat!" 

Arcelia, menepuk-nepuk pipi Karan, supaya laki-laki itu sadar. "Karan, bangun. Jangan mati dulu, setidaknya ceraikan aku lebih dulu supaya aku tidak jadi tersangka," celoteh Arcelia.

Beberapa menit berlalu dengan Arcelia yang terus berusaha untuk membuat Karan sadar.

"Karan!"

Arcelia menoleh ke arah pintu. Terlihat seseorang laki-laki yang mengenakan celana boxer dengan atasan singlet, namun membawa tas besar serta stetoskop di lehernya.

"Siapa kamu?" 

"Aku Noah, seorang dokter." Noah masuk begitu saja meski Arcelia belum mempersilahkannya.

"Dokter? Mengapa pakaiannya seperti ini, semua orang yang berkaitan dengan Karan benar-benar aneh," lirih Arcelia.

Noah segera melakukan pemeriksaan serta penanganan pertama. Usai melakukan itu, Noah membantu Karan naik ke atas kasur.

"Bagaimana kondisinya, Dokter?" tanya Arcelia.

"Untuk sekarang tidak apa-apa, aku sudah memberinya obat. Tapi jika nanti gejalanya berlanjut lebih baik dibawa ke rumah sakit. Karan sangat sensitif terhadap udang, sedikit saja lambat menanganinya, nyawanya bisa melayang." Noah menjelaskan sembari menggambarkan dengan tangan yang melayang.

Mendengar itu, kedua mata Arcelia membola. "Dia bisa mati?"

Noah mengangguk. "Yap."

"Terima kasih, Noah." Lirih Karan. Noah, merupakan teman dekat Karan yang berprofesi sebagai dokter. Kebetulan rumah mereka berdekatan.

"Karan! Kamu tidak apa-apa, Nak?" Semua pasang mata tertuju pada dua wanita yang masuk kedalam kamar. Satu Mona dan yang satu lagi Arcelia tidak mengenalinya.

"Untuk sekarang tidak apa-apa, Tan." Noah yang menjawab.

Mona lantas menatap tajam pada Arcelia. "Jadi pagi tadi kamu masak di dapur hanya untuk meracuni, Karan? Istri macam apa kamu!" Bentak Mona.

'Drama dimulai. Mari kita berakting.' Arcelia membatin.

"Maaf, Ma. Aku tidak tau kalau Karan alergi udang," balas Arcelia. Bohong, Arcelia sangat tau hal itu. Ia memang sengaja.

"Lihat, Karan. Gadis macam apa yang kamu nikahi. Sudah tidak sopan, ceroboh, sangat buruk! Sudah aku bilang, lebih baik, menikah dengan Fela. Dia baik dalam segala hal," katanya berapi-api.

Arcelia melirik gadis yang mengenakan mini dress, setiap lekuk tubuhnya sangat terlihat menonjol. Gadis itu lalu melirik Karan, yang malah tengah menatap dirinya.

Arcelia pun tersenyum tipis, seolah berkata, "Ayo, cepat ceraikan aku. Ibumu juga tidak suka padaku."

"Karan, mumpung masih belum terlanjur memiliki anak. Lebih baik kembalikan saja Arcelia pada orang tuanya," perintah Mona.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status