"Lepas, Karan!"
Arcelia hendak memukul menggunakan siku, namun Karan menahan pergerakannya.
"Jangan mentang-mentang semalam kamu bisa membuatku pingsan, sekarang mau melumpuhkanku lagi? Tidak akan bisa, Arcelia. Aku tidak mungkin jatuh pada lubang yang sama, istriku." Karan semakin mempererat kunciannya.
Arcelia mendengus kesal. "Sepertinya kamu memang ingin menjadi gelandangan, sedikit saja berani menyentuhku. Aku pastikan nanti malam kamu akan tidur di jalanan!" bentaknya mengancam.
Tertawa keras, Karan malah justru mengecup pipi Arcelia dari belakang. "Maksudmu seperti ini?" tanyanya sengaja, menunjukkan jika ia tidak takut dengan ancaman Arcelia.
"Karan! Awas saja, aku benar-benar akan membuatmu tinggal di jalanan!"
Lagi-lagi, Karan mengecup pipi Arcelia. "Arcelia, poin-poin yang kamu tulis itu sangat lucu. Selucu dirimu. Mana ada suami yang tidak diizinkan menyentuh istrinya? Mau dibawa ke hukum pun, pasti kamu yang akan ditertawakan," jelas Karan.
"Berhenti menciumku, si*l*n!"
"Baiklah, sekarang waktunya memberi hukuman untuk istriku yang sangat pandai ini. Semalaman kamu telah membuatku tidak bisa berjalan. Sekarang giliran aku yang akan membuatmu berbaring tidak bisa beranjak dari kasur."
Usai berucap, Karan mengangkat Arcelia layaknya karung beras. Tidak perduli dengan pukulan serta jambakkan yang Arcelia lakukan, Karan tetap melakukan apa yang dia inginkan.
"Kamu tidak akan bisa melakukannya, Karan," ucap Arcelia yakin sekali. Gadis itu sudah memakai celana serta baju berlapis. Mengingat semalam Karan dengan mudah merobek bajunya.
"Kau memang benar-benar pandai. Tapi ini tidak masalah bagiku. Kamu harus segera memberiku bayi, Arcelia. Bayi laki-laki akan lebih baik," ucapnya serius.
Sejenak Arcelia terdiam, wajah Karan begitu serius saat mengucapkan kata bayi. "Jadi ini alasan yang membuat kamu tiba-tiba memutuskan untuk menikahi aku?"
"Ya. Salah satunya." Karan mulai bergerak melepas satu persatu pakaian yang dikenakan Arcelia, namun tetap saja tidak ada habisnya.
"Kenapa tidak mengadopsi saja? Kau sangat jahat, Karan. Selain menghancurkan masa depanku, kamu juga menyeret aku ke dalam rumah yang tidak layak disebut rumah!" bentak Arcelia, gadis itu mendorong Karan sekuat tenaga hingga laki-laki itu tersungkur ke atas lantai.
"Akh!" Karan mengusap pan*a*nya yang terasa ngilu. Laki-laki itu segera bangkit dan kembali menerkam Arcelia yang hendak kabur.
"Kamu benar-benar jelmaan kucing, Arcelia," geramnya, menahan rasa sakit di bagian pinggang dan pan*a*nya. Belum apa-apa dia sudah nyaris dibuat babak belur. Pukulan yang membuatnya pingsan semalam saja masih terasa sakit.
"Makanya menjauhlah sebelum aku gigit!"
"Gigit saja aku tidak takut!" Karan menantang.
Pergulatan antara serangan dan pertahanan diri terjadi beberapa menit. Hingga Karan memenangkannya. Arcelia sudah berada dalam kendali Karan.
"Biar aku beri tahu. Menolak suami akan membuatmu berdosa jadi lebih baik lakukan saja dengan ikhlas," kata Karan menekan.
Menggelengkan kepala, Arcelia sungguh tidak mengerti dengan jalan pikiran Karan. "Apa kamu tidak tahu, jika seorang suami membuat istrinya menangis, maka tujuh puluh ribu malaikat akan mendoakan keburukan untuk orang itu?"
"Ya ya ya, aku tau. Tapi ini hak milikku." Karan ngeyel.
Kedua mata Arcelia melirik jam. "Lakukan saja," katanya sembari tersenyum.
Karan pun tersenyum menang, laki-laki itu dengan semangat kembali membuka pakaian Arcelia yang masih berlapis. "Astaga, berapa baju yang kamu pakai, Arcelia!" Kesalnya.
"Banyak. Mengapa berhenti? Apa sudah menyerah?"
Karan terdiam, entah mengapa perutnya tiba-tiba terasa sakit dan mual. Laki-laki itu segera bangkit dan berlari ke kamar mandi.
Melihat reaksi itu, membuat Arcelia tertawa pelan, Arcelia bangun dari baringnya menatap sisa bayangan karan yang lari terbirit-birit ke dalam kamar mandi. "Binggo, udang itu sudah bekerja. Ternyata memakan waktu cukup lama, hampir saja aku habis," ucapnya lega.
Sebelumnya, Arcelia memasukkan udang cincang ke dalam nasi goreng. Udang merupakan makana terlarang bagi Karan. Laki-laki itu alergi terhadap udang.
"Aku selamat! Ayo, berpikir lagi supaya kedepannya tetap selamat," gumamnya sembari memijit pelipis.
Sudah beberapa menit berlalu, Karan belum juga keluar dari kamar mandi.
"Karan! Kamu tidak mati, kan? Apakah aku akan jadi janda?" Arcelia berteriak.
"Kau benar-benar istri durhaka, Arcelia!" Karan keluar dari kamar mandi, terlihat bibir laki-laki itu sedikit bengkak wajahnya pun sekarang pucat.
Karan berjalan menuju nakas, langkahnya terhuyung nyaris jatuh.
"Apa efeknya separah itu?" gumam Arcelia.
"Di mana ponselku?" Racaunya. Usai menemukan ponsel, Karan segera menghubungi seseorang, belum sempat berucap tubuh Karan sudah ambruk.
"Ya ampun, apa dia pingsan lagi?" Arcelia segera lari menghampiri Karan.
Karan tidak pingsan, laki-laki itu tidak bisa menahan rasa pusing serta lemas hingga kesulitan menopang tubuhnya sendiri.
"Hallo, Karan." Terdengar suara dari ponsel.
"Gawat, ini gawat. Tidak lucu kalau ada kabar seorang istri membunuh suaminya. Aku tidak mau masuk penjara," Arcelia panik.
Mengambil ponsel milik Karan. Arcelia lantas berbicara pada orang itu, "Hallo, tolong. Tolong panggilkan dokter sekarang juga. Karan, dia ... dia pingsan setelah makan udang, tolong, aku takut dia mati. Cepat!"
Arcelia, menepuk-nepuk pipi Karan, supaya laki-laki itu sadar. "Karan, bangun. Jangan mati dulu, setidaknya ceraikan aku lebih dulu supaya aku tidak jadi tersangka," celoteh Arcelia.
Beberapa menit berlalu dengan Arcelia yang terus berusaha untuk membuat Karan sadar.
"Karan!"
Arcelia menoleh ke arah pintu. Terlihat seseorang laki-laki yang mengenakan celana boxer dengan atasan singlet, namun membawa tas besar serta stetoskop di lehernya.
"Siapa kamu?"
"Aku Noah, seorang dokter." Noah masuk begitu saja meski Arcelia belum mempersilahkannya.
"Dokter? Mengapa pakaiannya seperti ini, semua orang yang berkaitan dengan Karan benar-benar aneh," lirih Arcelia.
Noah segera melakukan pemeriksaan serta penanganan pertama. Usai melakukan itu, Noah membantu Karan naik ke atas kasur.
"Bagaimana kondisinya, Dokter?" tanya Arcelia.
"Untuk sekarang tidak apa-apa, aku sudah memberinya obat. Tapi jika nanti gejalanya berlanjut lebih baik dibawa ke rumah sakit. Karan sangat sensitif terhadap udang, sedikit saja lambat menanganinya, nyawanya bisa melayang." Noah menjelaskan sembari menggambarkan dengan tangan yang melayang.
Mendengar itu, kedua mata Arcelia membola. "Dia bisa mati?"
Noah mengangguk. "Yap."
"Terima kasih, Noah." Lirih Karan. Noah, merupakan teman dekat Karan yang berprofesi sebagai dokter. Kebetulan rumah mereka berdekatan.
"Karan! Kamu tidak apa-apa, Nak?" Semua pasang mata tertuju pada dua wanita yang masuk kedalam kamar. Satu Mona dan yang satu lagi Arcelia tidak mengenalinya.
"Untuk sekarang tidak apa-apa, Tan." Noah yang menjawab.
Mona lantas menatap tajam pada Arcelia. "Jadi pagi tadi kamu masak di dapur hanya untuk meracuni, Karan? Istri macam apa kamu!" Bentak Mona.
'Drama dimulai. Mari kita berakting.' Arcelia membatin.
"Maaf, Ma. Aku tidak tau kalau Karan alergi udang," balas Arcelia. Bohong, Arcelia sangat tau hal itu. Ia memang sengaja.
"Lihat, Karan. Gadis macam apa yang kamu nikahi. Sudah tidak sopan, ceroboh, sangat buruk! Sudah aku bilang, lebih baik, menikah dengan Fela. Dia baik dalam segala hal," katanya berapi-api.
Arcelia melirik gadis yang mengenakan mini dress, setiap lekuk tubuhnya sangat terlihat menonjol. Gadis itu lalu melirik Karan, yang malah tengah menatap dirinya.
Arcelia pun tersenyum tipis, seolah berkata, "Ayo, cepat ceraikan aku. Ibumu juga tidak suka padaku."
"Karan, mumpung masih belum terlanjur memiliki anak. Lebih baik kembalikan saja Arcelia pada orang tuanya," perintah Mona.
Mendengar ucapan ibu mertuanya, membuat Arcelia menahan senyum bahagianya. Gadis itu menatap wajah datar Karan dengan penuh harap. Berdoa dalam hati supaya Karan menyetujui kata ibunya.'Sebentar lagi aku akan terlepas dari manusia jahanam ini. Hore! Terimakasih udang!' dalam hati Arcelia bersorak gembira."Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut?" Budi, papa Karan beserta kakek masuk ke dalam kamar."Ini, Pa. Arcelia meracuni Karan. Lihat, Karan sampai tidak berdaya seperti itu," adu Mona terhadap suaminya.Membenahi letak kacamata yang melorot, Budi lalu menatap Arcelia. "Apa benar seperti itu, menantu?" tanyanya datar.Arcelia pun mengangguk mengakuinya , karena terlalu semangat ingin diceraikan. "Benar, aku nyaris membunuhnya. Aku sangat ceroboh.""Astaga, lihat wajahnya itu. Mengapa tidak merasa bersalah sama sekali," kata Mona yang ditunjukan pada Arcelia."Ehem, tidak apa-apa. Karan masih hidup," ucap Budi.Arcelia melongo, tidak menduga dengan respon sang papa mertua yang sangat sa
"Kau sungguh ingin tau alasannya?""Ya. Katakan!"Karan terdiam, laki-laki itu malah betah memandangi wajah cantik Arcelia. Kesal dengan tingkah Karan, Telapak tangan Arcelia lantas menutup kedua mata Karan secara kasar. Hingga kepala Karan membentur kepala ranjang."Aku bilang katakan, kamu pikir aku bisa mengerti bahasa kalbu? Hanya dengan melihat matamu yang melotot seperti itu!" Sewot Arcelia.Lagi-lagi Karan dibuat tertawa. Ia meraih jemari Arcelia yang menutupi mata kemudian mengecupnya."Aku harus mencuci tanganku menggunakan disinfektan!" Sinis Arcelia usai menarik tangannya."Bukankah ini yang kamu mau? Diperlakukan dengan lembut?"Arcelia menatap sinis, ia harus benar-benar waspada menghadapi seorang Karan yang memiliki jurus seribu muslihat. "Bukan. Aku ingin cerai! Berhenti berbicara omong kosong, Karan!""Baiklah, tidak ada alasan tertentu mengapa aku memberikan neraka diawal untukmu. Tujuannya untuk menguji seberapa manusiawi dan seberapa layak kamu disebut gadis yang
"Karan! Apa yang kamu lakukan? Apa kamu gila!"Pakaian yang dikenakan Arcelia kini basah kuyup. Hingga mencetak dibagian tertentu.Melihat pemandangan indah, wajah marah Karan seketika berubah menjadi datar. 'Sial! Jangan lemah hanya karena melihat itu, Karan!' Makinya dalam hati.Melihat wanita seksi biasanya tidak berpengaruh pada Karan, namun entah mengapa melihat Arcelia cukup membuat jiwa lelakinya terusik. Mungkinkah efek halal.Karan meraih pergelangan tangan Arcelia, menyeret sang istri masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Arcelia kesulitan berjalan karena pergelangan kaki yang masih sakit akibat terkilir."Kamu apa-apaan sih!" Arcelia mencoba melepaskan cengkraman tangan Karan.Menoleh pada Arcelia, Karan menatap wajah sang istri begitu intens. "Sekali saja, apa kamu tidak bisa menurut pada suami?" ucapnya dengan nada dingin. Tidak seperti sebelumnya.'Peran apa lagi yang sedang dia mainkan?' batin Arcelia bingung."Lepas bajumu," perintah Karan.Reflek, Arcelia menyilangkan
"Karan! Jangan!" Arcelia berteriak histeris, otaknya saat ini benar-benar buntu, tidak bisa menemukan cara menghindari Karan dengan keadaan seperti ini.Karan tetap menggendong Arcelia menuju tempat tidur, laki-laki itu sempat terhuyung akibat kepala yang masih terasa pusing."Karan, kamu tidak bisa melakukan ini padaku!"Karan masih tidak perduli, ia meletakkan Arcelia di atas kasur, posisi laki-laki itu berada di atas Arcelia, menggunakan kedua tangan untuk menopang tubuhnya."Bisa! Aku berhak atas dirimu, Arche!" Katanya menekan."Tapi aku tidak mau! Kamu jahat, Karan!"Karan menatap Arcelia dengan tajam. "Bagaimana pun diriku, nyatanya aku sekarang adalah suamimu, Arche. Jadi terima saja."Karan mengambil posisi, tangannya meraih satu kaki Arcelia yang terkilir."Jangan menyentuhku, Karan!"Karan semakin menulikan pendengarannya laki-laki itu tetap melakukan apa yang harus ia lakukan."Sakit! Pelan-pelan, Karan. Ini sangat sakit!" Pekik Arcelia."Diamlah, aku pastikan rasa sakitny
Karan penasaran, antara Arcelia memang tidak rela ia sentuh karena gadis itu mencintai pria lain. Atau memang mutlak karena dirinya.Sejenak Arcelia menghentikan gerakan tangannya. "Definisi jahat bukan hanya tentang yang kamu sebutkan tadi. Bagiku, suami yang berani mendua apa lagi melalukan hal seperti itu dengan wanita lain. Maka dia layak untuk dimusnahkan dari muka bumi. Namun, kejahatan verbal juga tidak kalah mengkhawatirkan.""Maksudmu, aku melakukan kejahatan jenis kedua? Aku, hanya meminta hakku, Arche. Apa itu termasuk jenis kejahatan bagimu?""Ya, caramu yang sangat kasar lalu bagaimana kamu mengancam akan memberikan neraka, apakah menurutmu itu tidak jahat?""Aku melakukan itu karena ada alasannya." Karan masih belum sadar juga."Oke, anggap saja begitu. Lalu dengan keadaan kita ini suami istri aneh yang saling bermusuhan tidak ada sedikit kepercayaan diantara kita. Kemudian jika satu bayi terlahir, masa depannya akan terancam suram. Pernahkah kamu berpikir ke sana, Karan
"Arcelia!"Karan berjalan menuju jendela, masih terkunci dengan baik. Laki-laki itu berpindah memeriksa walk in closet, namun tidak ada Arcelia di sana.Saat keluar dari dalam walk in closet, Karan melihat Arcelia baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu lantas berlari dan memeluk Arcelia."Karan! Kenapa kamu selalu membuatku terkejut! Lepas!" Sewot Arcelia, gadis itu masih sangat mengantuk ia terbangun karena panggilan alam yang tidak bisa ditahan."Awas! Aku mau tidur!" Karan masih tetap memeluk Arcelia. 'Ya tuhan, aku kira dia hilang.'Sementara itu, Noah melihat keduanya dari celah pintu. "Semoga Karan benar-benar mencintai Arcelia. Atau dia akan lebih hancur dari sebelumnya."Karan melepaskan pelukannya, laki-laki itu menggendong Arcelia ala bridal style."Karan! Tolong jangan mengajak ribut untuk saat ini, aku sangat mengantuk!""Aku hanya mau mengantarmu ke tempat tidur," katanya sembari melangkah menuju ranjang, Karan pun meletakkan Arcelia dengan hati-hati di atas ka
Disaat Arcelia masih termenung, tiba-tiba hembusan angin hangat menyapa telinganya."Jangan merancang sesuatu yang akan memberatkanmu, aku tau apa yang sedang kamu pikirkan, istriku," bisik Karan, laki-laki itu yang telah meniup pelan daun telinga Arcelia.Terkejut dan kesal, Arcelia lantas mendorong Karan hingga laki-laki itu membentur dinding. Lengan gadis itu kini menekan leher Karan. "Karan, aku benar-benar sangat ingin membunuhmu!" Geram Arcelia.Karan menggulirkan bola matanya kesamping. Lalu memberi senyum lebar. Melihat tingkah aneh Karan membuat Arcelia mengikuti arah pandang laki-laki itu, Arcelia segera menurunkan tangannya ketika melihat kakek tengah terdiam menatap mereka. "Hati-hati, jangan menunjukkan ketidak akuran kita di luar kamar. Kakek sedang shock melihat apa yang kamu lakukan padaku," lirih Karan."Suamiku, maaf. Aku tidak tahu kamu yang datang. Aku terlalu waspada, karena berada di tempat baru." Arcelia berucap dengan keras supaya kakek mendengarnya. Telapak t
'Si*l! Bisa-bisanya di saat seperti ini dia bercanda!' Arcelia mengumpat dalam hati. Rasa iba yang sempat menyapa seketika sirna karena candaan Karan."Aku tau, pasti kamu sedang mengumpatiku." Lagi-lagi Karan berbisik."Tidak usah sok tahu!" sinis Arcelia. Gadis itu belum mengalihkan tatapannya, penasaran namun enggan bertanya.Karan kembali menyeret Arcelia. "Mari keluar dari sini," bisiknya sembari menunjuk pada kalek yang berjalan keluar dari kamar.Arcelia hanya mampu mengikutinya. "Jika aku bertanya, apa kamu akan menjawab?"Karan pun mengangguk. "Jangankan menjawab pertanyaanmu, bahkan aku akan merelakan bibirku untuk-"Ucapan Karan terhenti oleh telapak tangan Arcelia yang menutup bibir laki-laki itu. "Tidak bisakah sekali saja otakmu tidak berpikir ke arah-akh!" Arcelia terkejut ketika Karan menggesernya secara mendadak.Byur, kuah sup panas mengguyur kaki Karan yang sempat Arcelia injak. Jika saja Karan tidak bergerak cepat maka Arcelia yang akan tersiram kuah sup itu.Arcel