"Arcelia, kamu jangan membuat aturan yang gila! Robek kertas itu! Aku tidak setuju!" Pinta Karan sangat panik.
Arcelia lantas menjauh dari Karan yang bergerak tidak beraturan mendekat padanya, Karan mirip sekali dengan ulat bulu. "Oh, tidak bisa. Kamu menjanjikan neraka padaku, sebagai istri yang baik aku juga harus menyuguhkan hal yang sama, wahai suami."
Karan benar-benar kehilangan kata-kata dengan kelakuan sang istri. "Arcelia!!" Laki-laki itu berteriak merasa frustasi.
"Iya, suamiku? Apa kamu kekurangan selimut? Kurang hangat, ya," balas Arcelia meledek.
Karan menggeleng, dalam keadaan terikat seperti itu sungguh membuatnya begitu tersiksa, andai saja tidak diikat Karan sudah pasti akan menerkam sang istri tanpa ampun.
"Arcelia, semua bisa dibicarakan secara baik-baik. Lepaskan aku, kita buat kesepakatan yang masuk akal."
Arcelia melayangkan tatapan tajam. "Dengan baik-baik? Apa menurutmu ada kemungkinan jika aku bisa percaya terhadap pembohong sepertimu. Bahkan kamu berbohong pada semua orang. Bisa-bisanya kamu sangat baik dalam berpura-pura, aku benar-benar takjub padamu."
Arcelia menggelengkan kepala. Mata gadis itu fokus mengamati wajah rupawan Karan yang terlihat tenang dan berwibawa. Benar-benar jauh dari peran antagonis. Wajah dan sikap yang selama ini telah menipunya.
"Tidak ada kebohongan, aku memang begini. Seperti apa penilaian mereka terhadapku, terserah kalian, itu diluar kendaliku."
Sejenak Arcelia terdiam, apa yang dikatakan Karan ada benarnya. Namun mengapa Karan membangun citra baik sementara aslinya ia seperti ibl*s?
"Arcelia, ayo lepaskan aku. Aku akan membuat kesepakatan yang tidak akan merugikan kamu. Biar aku beri tahu alasan mengapa aku melamarmu-"
"Apa, kenapa? Ingin menyiksaku, apa salahku padamu?" tanya Arcelia penasaran.
Karan memang datang melamarnya secara tiba-tiba. Mempertimbangkan dalam waktu yang singkat, Arcelia lantas menerima Karan, karena memang sudah sejak lama ia mengagumi laki-laki itu, tanpa tahu yang sebenarnya. Bukan hanya karena itu saja. Kakek Karan pun turut serta dalam meyakinkan dirinya.
Didukung oleh kedua orang tuanya yang begitu cocok dengan Karan, hingga membuat Arcelia terjerumus dalam pernikahan tidak sehat ini.
"Karena aku tertarik padamu. Aku tidak mengira kamu akan menerimaku, awalnya hanya coba-coba," ungkapnya jujur.
Selain itu, Karan menghindari suatu hal hingga ia mengambil langkah untuk menikah.
Kata coba-coba kembali membakar rasa marah dan kecewa Arcelia. Kecewa pada dirinya sendiri karena telah menerima Karan.
"kamu bilang coba-coba? Si*l! Kau pikir aku ini apa! Dasar laki-laki sinting! Aku benar-benar menyesal telah mengagumi makhluk sepertimu!" teriak Arcelia sembari melempari Karan dengan semua bantal yang ada termasuk bantal sofa.
"Mengagumiku lalu mencintai adikku?" gumam Karan sinis, namun Arcelia tidak dapat mendengarnya.
"Aku tidak mau tau. Besok kita bercerai, terserah mau membuat alasan apa. Yang penting ceraikan aku!"
"Tidak akan pernah. Apa yang sudah menjadi milikku, maka akan selamanya tetap menjadi milikku!" Karan berucap dengan tegas. Kilatan amarah, dendam dan sungguh-sungguh terlihat pada mata minimalis laki-laki itu.
Hal itu membuat Arcelia bergidik ngeri, aura Karan pun ikut berubah. Mengerikan.
"Mari merevisi surat kesepakatan itu," lanjut Karan.
"Tidak mau! Ini adalah jaminan hidupku," tegas Arcelia.
'Tidak boleh gentar apa lagi terlihat takut.'
Sejenak Karan terdiam memikirkan sesuatu. "Baiklah kalau begitu lepaskan, aku. Ini sudah pagi," kata Karan usai melirik jam yang tergantung di dinding. Pukul setengah lima pagi.
Mendapat persetujuan yang mudah, menimbulkan rasa curiga bagi Arcelia. Gadis itu meningkatkan kewaspadaannya.
"Tidak. Matahari belum terbit itu tidak bisa menjamin."
Menghembuskan napas lelah. Karan melirik kertas yang masih di pegang oleh Arcelia. "Kau sudah memiliki itu. Untuk apa takut?"
"Entah." Arcelia menyimpan kertas itu. Lalu melangkah memasuki kamar mandi meninggalkan Karan.
Usai mandi dengan rambut yang basah, Arcelia hendak keluar dari kamar.
"Arcelia, sampai kapan kamu akan mengikatku seperti ini?"
"Tunggu sebentar, aku akan menunjukkan baktiku sebagai seorang istri." Tentu saja bakti untuk pertahanan diri, lanjutnya dalam hati.
Usai mengatakan itu. Arcelia keluar dari kamar.
"Sebenarnya apa tujuannya mau menikah denganku? Alasan satu-satunya adalah harta, tapi dilihat dari sikapnya itu sedikit membuatku ragu," gumam Karan.
Arcelia tengah berkutat di dapur, menyiapkan sesuatu untuk Karan.
"Apa yang kamu lakukan di sini?"
Menoleh kebelakang, Arcelia mendapati, Mona. Ibu mertuanya, menatap penuh selidik padanya. Seakan Arcelia adalah pencuri.
"Membuat sarapan untuk Karan, Ma," jawab Arcelia dengan senyum tipis.
"Sepagi ini?" Tanyanya sinis.
"Iya, apa salahnya sarapan lebih pagi?"
Mona melipat kedua tangannya di depan dada, dagunya terangkat menatap Arcelia dengan angkuh. "Setiap pagi kami sarapan bersama, apa kamu mau mengubah kebiasaan itu? Kamu baru jadi menantu seharusnya mengikuti aturan di rumah ini, bukanya tidak sopan begini." Mona berucap dengan nada sinis.
Menarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Arcelia masih menampilkan senyum manis. Pertama, dia mendapat suami jahanam dan dibonusi ibu mertua model Valak. Sungguh apes sekali.
"Bukan seperti itu, kami pengantin baru. Jadi mohon pengertiannya, ya, Ma. Eh, Mama 'kan udah pengantin kadaluarsa, jadi mungkin lupa, ya. Bagaimana indahnya pengantin baru yang butuh banyak energi."
Energi untuk bertarung menyelamatkan diri. 'Keluarga tidak beres, kesopanan tidak diperlukan di keluarga ini.'
Mendapat jawaban seperti itu, bibir Mona reflek terbuka antara kaget dan geram akan keberanian Arcelia.
Arcelia melanjutkan kegiatannya, dengan sengaja gadis itu memotong-motong udang dengan gerakan brutal. Yang mana membuat Mona takut.
"Karan benar-benar salah memilih istri!" Mona menggerutu sembari meninggalkan dapur.
"Di sini akulah yang paling sial masuk ke dalam kandang kalian para manusia jelmaan!" Sewot Arcelia sembari melempar pisau karena kesal.
Selesai menyiapkan sarapan, Arcelia lantas membawanya menuju kamar. Di depan pintu, gadis itu terdiam, menyiapkan mental untuk menghadapi suami jahanamnya.
"Tenang, mari kita bermain permainan bertahan hidup."
Arcelia membuka pintu, terlihat Karan masih di posisi yang sama, tergeletak di atas karpet.
"Lepaskan aku, Arcelia." Suara Karan terdengar sekali sedang menahan marah.
Arcelia tersenyum, gadis itu menghampiri Karan sembari membawa nampan berisi nasi goreng dan minuman.
"Aku tau kamu pasti lelah dan lapar. Ayo makan dulu." Satu sendok nasi goreng, Arcelia arahkan pada bibir Karan.
Tentu saja Karan merasa curiga, laki-laki itu melengos. "Dari pada nasi goreng, aku lebih ingin memakanmu," sewotnya.
Arcelia terkekeh, ia lalu membelokkan sendok itu pada mulutnya sendiri. "Tidak ada racun di dalamnya. Lihat, aku berani memakannya. Ini murni sisi kemanusiaanku sebagai istri yang ingin berbakti. Ayo makan."
Melihat Arcelia yang memakan beberapa suap, dapat mengurangi rasa curiga Karan. Pada akhirnya laki-laki itu menerima setiap suapan hingga nasi goreng buatan Arcelia habis.
Tersenyum senang, Arcelia kemudian menepuk-nepuk kepala Karan secara pelan layaknya memperlakukan hewan peliharaan. Hal itu tentu sangat menguji emosi Karan, membuatnya merasa begitu dipermainkan.
"Arcelia, lepaskan aku. Aku sudah menahan ingin buang air kecil dari semalam," kata Karan dengan suara datar.
"Baiklah-baiklah."
Usai terlepas, Karan segera masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Arcelia membuka setiap tirai serta jendela.
"Arcelia, perjuanganmu dimulai. Bukan hanya suami jahanam yang harus dihadapi tapi juga mertua Valak," gumamnya.
Arcelia memejamkan mata, menghirup udara pagi yang menyegarkan. Namun saat akan menghembuskan napas, ia tercekat. Merasakan ada tangan yang melingkar di perutnya serta hembusan nafas yang menerpa kulit lehernya.
"Kena kau, istri durhaka. Kau pikir karena ada perjanjian itu aku tidak berani melakukannya? Salah, ini adalah hak 'ku. Kau akan habis saat ini juga." Karan menyeringai devil.
"Lepas, Karan!"Arcelia hendak memukul menggunakan siku, namun Karan menahan pergerakannya."Jangan mentang-mentang semalam kamu bisa membuatku pingsan, sekarang mau melumpuhkanku lagi? Tidak akan bisa, Arcelia. Aku tidak mungkin jatuh pada lubang yang sama, istriku." Karan semakin mempererat kunciannya.Arcelia mendengus kesal. "Sepertinya kamu memang ingin menjadi gelandangan, sedikit saja berani menyentuhku. Aku pastikan nanti malam kamu akan tidur di jalanan!" bentaknya mengancam.Tertawa keras, Karan malah justru mengecup pipi Arcelia dari belakang. "Maksudmu seperti ini?" tanyanya sengaja, menunjukkan jika ia tidak takut dengan ancaman Arcelia."Karan! Awas saja, aku benar-benar akan membuatmu tinggal di jalanan!"Lagi-lagi, Karan mengecup pipi Arcelia. "Arcelia, poin-poin yang kamu tulis itu sangat lucu. Selucu dirimu. Mana ada suami yang tidak diizinkan menyentuh istrinya? Mau dibawa ke hukum pun, pasti kamu yang akan ditertawakan," jelas Karan."Berhenti menciumku, si*l*n!"
Mendengar ucapan ibu mertuanya, membuat Arcelia menahan senyum bahagianya. Gadis itu menatap wajah datar Karan dengan penuh harap. Berdoa dalam hati supaya Karan menyetujui kata ibunya.'Sebentar lagi aku akan terlepas dari manusia jahanam ini. Hore! Terimakasih udang!' dalam hati Arcelia bersorak gembira."Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut?" Budi, papa Karan beserta kakek masuk ke dalam kamar."Ini, Pa. Arcelia meracuni Karan. Lihat, Karan sampai tidak berdaya seperti itu," adu Mona terhadap suaminya.Membenahi letak kacamata yang melorot, Budi lalu menatap Arcelia. "Apa benar seperti itu, menantu?" tanyanya datar.Arcelia pun mengangguk mengakuinya , karena terlalu semangat ingin diceraikan. "Benar, aku nyaris membunuhnya. Aku sangat ceroboh.""Astaga, lihat wajahnya itu. Mengapa tidak merasa bersalah sama sekali," kata Mona yang ditunjukan pada Arcelia."Ehem, tidak apa-apa. Karan masih hidup," ucap Budi.Arcelia melongo, tidak menduga dengan respon sang papa mertua yang sangat sa
"Kau sungguh ingin tau alasannya?""Ya. Katakan!"Karan terdiam, laki-laki itu malah betah memandangi wajah cantik Arcelia. Kesal dengan tingkah Karan, Telapak tangan Arcelia lantas menutup kedua mata Karan secara kasar. Hingga kepala Karan membentur kepala ranjang."Aku bilang katakan, kamu pikir aku bisa mengerti bahasa kalbu? Hanya dengan melihat matamu yang melotot seperti itu!" Sewot Arcelia.Lagi-lagi Karan dibuat tertawa. Ia meraih jemari Arcelia yang menutupi mata kemudian mengecupnya."Aku harus mencuci tanganku menggunakan disinfektan!" Sinis Arcelia usai menarik tangannya."Bukankah ini yang kamu mau? Diperlakukan dengan lembut?"Arcelia menatap sinis, ia harus benar-benar waspada menghadapi seorang Karan yang memiliki jurus seribu muslihat. "Bukan. Aku ingin cerai! Berhenti berbicara omong kosong, Karan!""Baiklah, tidak ada alasan tertentu mengapa aku memberikan neraka diawal untukmu. Tujuannya untuk menguji seberapa manusiawi dan seberapa layak kamu disebut gadis yang
"Karan! Apa yang kamu lakukan? Apa kamu gila!"Pakaian yang dikenakan Arcelia kini basah kuyup. Hingga mencetak dibagian tertentu.Melihat pemandangan indah, wajah marah Karan seketika berubah menjadi datar. 'Sial! Jangan lemah hanya karena melihat itu, Karan!' Makinya dalam hati.Melihat wanita seksi biasanya tidak berpengaruh pada Karan, namun entah mengapa melihat Arcelia cukup membuat jiwa lelakinya terusik. Mungkinkah efek halal.Karan meraih pergelangan tangan Arcelia, menyeret sang istri masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Arcelia kesulitan berjalan karena pergelangan kaki yang masih sakit akibat terkilir."Kamu apa-apaan sih!" Arcelia mencoba melepaskan cengkraman tangan Karan.Menoleh pada Arcelia, Karan menatap wajah sang istri begitu intens. "Sekali saja, apa kamu tidak bisa menurut pada suami?" ucapnya dengan nada dingin. Tidak seperti sebelumnya.'Peran apa lagi yang sedang dia mainkan?' batin Arcelia bingung."Lepas bajumu," perintah Karan.Reflek, Arcelia menyilangkan
"Karan! Jangan!" Arcelia berteriak histeris, otaknya saat ini benar-benar buntu, tidak bisa menemukan cara menghindari Karan dengan keadaan seperti ini.Karan tetap menggendong Arcelia menuju tempat tidur, laki-laki itu sempat terhuyung akibat kepala yang masih terasa pusing."Karan, kamu tidak bisa melakukan ini padaku!"Karan masih tidak perduli, ia meletakkan Arcelia di atas kasur, posisi laki-laki itu berada di atas Arcelia, menggunakan kedua tangan untuk menopang tubuhnya."Bisa! Aku berhak atas dirimu, Arche!" Katanya menekan."Tapi aku tidak mau! Kamu jahat, Karan!"Karan menatap Arcelia dengan tajam. "Bagaimana pun diriku, nyatanya aku sekarang adalah suamimu, Arche. Jadi terima saja."Karan mengambil posisi, tangannya meraih satu kaki Arcelia yang terkilir."Jangan menyentuhku, Karan!"Karan semakin menulikan pendengarannya laki-laki itu tetap melakukan apa yang harus ia lakukan."Sakit! Pelan-pelan, Karan. Ini sangat sakit!" Pekik Arcelia."Diamlah, aku pastikan rasa sakitny
Karan penasaran, antara Arcelia memang tidak rela ia sentuh karena gadis itu mencintai pria lain. Atau memang mutlak karena dirinya.Sejenak Arcelia menghentikan gerakan tangannya. "Definisi jahat bukan hanya tentang yang kamu sebutkan tadi. Bagiku, suami yang berani mendua apa lagi melalukan hal seperti itu dengan wanita lain. Maka dia layak untuk dimusnahkan dari muka bumi. Namun, kejahatan verbal juga tidak kalah mengkhawatirkan.""Maksudmu, aku melakukan kejahatan jenis kedua? Aku, hanya meminta hakku, Arche. Apa itu termasuk jenis kejahatan bagimu?""Ya, caramu yang sangat kasar lalu bagaimana kamu mengancam akan memberikan neraka, apakah menurutmu itu tidak jahat?""Aku melakukan itu karena ada alasannya." Karan masih belum sadar juga."Oke, anggap saja begitu. Lalu dengan keadaan kita ini suami istri aneh yang saling bermusuhan tidak ada sedikit kepercayaan diantara kita. Kemudian jika satu bayi terlahir, masa depannya akan terancam suram. Pernahkah kamu berpikir ke sana, Karan
"Arcelia!"Karan berjalan menuju jendela, masih terkunci dengan baik. Laki-laki itu berpindah memeriksa walk in closet, namun tidak ada Arcelia di sana.Saat keluar dari dalam walk in closet, Karan melihat Arcelia baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu lantas berlari dan memeluk Arcelia."Karan! Kenapa kamu selalu membuatku terkejut! Lepas!" Sewot Arcelia, gadis itu masih sangat mengantuk ia terbangun karena panggilan alam yang tidak bisa ditahan."Awas! Aku mau tidur!" Karan masih tetap memeluk Arcelia. 'Ya tuhan, aku kira dia hilang.'Sementara itu, Noah melihat keduanya dari celah pintu. "Semoga Karan benar-benar mencintai Arcelia. Atau dia akan lebih hancur dari sebelumnya."Karan melepaskan pelukannya, laki-laki itu menggendong Arcelia ala bridal style."Karan! Tolong jangan mengajak ribut untuk saat ini, aku sangat mengantuk!""Aku hanya mau mengantarmu ke tempat tidur," katanya sembari melangkah menuju ranjang, Karan pun meletakkan Arcelia dengan hati-hati di atas ka
Disaat Arcelia masih termenung, tiba-tiba hembusan angin hangat menyapa telinganya."Jangan merancang sesuatu yang akan memberatkanmu, aku tau apa yang sedang kamu pikirkan, istriku," bisik Karan, laki-laki itu yang telah meniup pelan daun telinga Arcelia.Terkejut dan kesal, Arcelia lantas mendorong Karan hingga laki-laki itu membentur dinding. Lengan gadis itu kini menekan leher Karan. "Karan, aku benar-benar sangat ingin membunuhmu!" Geram Arcelia.Karan menggulirkan bola matanya kesamping. Lalu memberi senyum lebar. Melihat tingkah aneh Karan membuat Arcelia mengikuti arah pandang laki-laki itu, Arcelia segera menurunkan tangannya ketika melihat kakek tengah terdiam menatap mereka. "Hati-hati, jangan menunjukkan ketidak akuran kita di luar kamar. Kakek sedang shock melihat apa yang kamu lakukan padaku," lirih Karan."Suamiku, maaf. Aku tidak tahu kamu yang datang. Aku terlalu waspada, karena berada di tempat baru." Arcelia berucap dengan keras supaya kakek mendengarnya. Telapak t