Arcelia menatap tubuh Karan yang tergeletak tidak sadar di atas karpet tebal. Satu kaki gadis itu bergerak menggoyang tubuh Karan.
"Paling cuma pingsan," gumamnya.
Usai mengenakan baju yang layak, Arcelia berjalan mondar-mandir di depan tubuh Karan yang masih pingsan. Otaknya berpikir keras memikirkan apa yang harus ia lakukan jika Karan sadar nanti.
"Kabur di malam pertama lalu mengadukan pada mertua, kalau aku menolak melakukan kewajiban karena Karan jahat?" Arcelia lantas menggeleng.
"Tidak mungkin, tidak akan ada yang percaya mengingat Karan seperti malaikat bagi mereka. Orang tuaku sendiri saja sangat percaya pada Karan."
Bahkan, saat perayaan pernikahan, banyak orang yang memberi selamat dan mengatakan jika Arcelia adalah gadis paling beruntung yang dipilih oleh Karan menjadi istri. Banyak juga para gadis yang menatap sinis karena iri padanya.
"Si*l, aku paling si*l bukan beruntung!" Arcelia baru mengetahui kepribadian buruk Karan usai melangsungkan ijab qobul. Di dalam ruang ganti, Karan memperlihatkan sisi jahatnya pada Arcelia.
Arcelia mengacak rambutnya karena merasa frustasi. "Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?"
"Tenang, Arche. Tenang, mari berpikir dengan tenang lalu temukan jalan keluar." Beberapa kali, Arcelia menarik napas lalu menghembuskan dengan perlahan.
"Oke, pertama-tama aku harus membatasi geraknya."
Arcelia mengambil kain sprei serta gunting, usai menyiapkan segalanya. Gadis itu mengikat tangan serta kaki Karan.
"Selesai, tinggal menutup mulutnya menggunakan selotip. Ah, aku bisa tidur dengan tenang." Arcelia menatap puas dengan hasil kerjanya.
Namun, tidak seperti yang diinginkan, Arcelia tidak bisa tidur dengan nyenyak, otaknya terus sibuk memikirkan bagaimana cara terlepas dari Karan.
Sementara di bawah sana, Karan mulai membuka matanya secara perlahan, ketika laki-laki itu hendak menggerakkan bibir tidak bisa, terasa sulit serta kaku.
'Aku tidak mungkin stroke, kan?' batinnya panik.
Karan mencoba mengangkat tangan, kelopak matanya beberapa kali mengerjap mencoba mengembalikan kesadaran sepenuhnya ketika merasakan berat untuk sekedar menggerakkan tangan.
Kedua tangan Karan diikat dengan potongan sprei yang membentang pada kaki meja hingga membuat gerakan Karan terbatas.
'Si*l. Gadis itu melakukan hal yang diluar nalar.'
Dengan susah payah, Karan mencoba melepaskan selotip yang menutup mulutnya.
"Aw. Arcelia Parvin!!" Teriak Karan membahana usai berhasil membebaskan mulutnya. Bibirnya terasa kebas dan perih akibat selotip itu.
Arcelia tersentak kaget, namun gadis itu tetap diam berpura-pura tidur.
"Arcelia! Kemari kau, jangan pura-pura tidur!"
Karan tidak bisa melepaskan ikatan pada tangan dan kakinya, sebab Arcelia mengikat begitu banyak dan tebal.
"Ya ampun, kenapa dia sudah sadar. Aku belum menemukan jalan keluar," gumam Arcelia resah.
"Arcelia!!!!" Karan kembali berteriak.
Dengan santai, Arcelia duduk di tepian ranjang, berpura-pura tidak takut meski sejujurnya dia takut. Tubuh Karan itu berotot dan besar. Meski Arcelia sedikit menguasai ilmu bela diri, akan tetapi ia bukan lawan yang seimbang untuk Karan.
"Berisik! Apa mau aku pukul lagi?" Tantangnya dengan tangan yang mengepal seolah hendak memukul.
Melotot karena terkejut, Karan tidak mengira gadis yang ia anggap anggun ternyata memiliki sisi bar-bar yang tidak terduga.
"Lepaskan ikatan ini, aku ingin tidur di atas kasur bukan di sini," katanya menggeram.
"Tidak akan! Kamu pikir aku akan tertipu lagi? Setelah aku lepaskan pasti kamu akan mengeksekusi aku, kan? Jangan harap!" balas Arcelia sengit.
'Bahkan mungkin dia bisa menggantungku karena aku sudah membuatnya pingsan.'
"Tidak, aku lelah ingin istirahat. Cepat lepaskan!"
"Ya, sudah istirahat tinggal istirahat, apa salahnya sekali-kali bos besar tidur di atas karpet," balas Arcelia santai.
Karan memejamkan matanya, menahan rasa kesal. "Arcelia, kau ingin membuat suamimu sakit? Aku bisa masuk angin jika tidur di bawah sini." Karan berbicara dengan nada yang lembut.
Tersenyum sinis, Arcelia meraih selimut. Gadis itu berjalan mendekat lalu menyelimuti Karan yang penuh dengan ikatan hingga menyerupai ulat.
"Tidur yang nyenyak, ya suamiku. Sudah aku selimuti, kamu tidak akan kedinginan. Oh, iya. Aku juga akan menyalakan penghangat ruangan, supaya kamu tidak masuk angin." Arcelia berucap tak kalah lembut.
Menggeleng beberapa kali, Karan bisa menangkap maksud rencana Arcelia. "Jangan, jangan melakukan hal gila Arcelia. Kau berniat membakarku? Menyalakan penghangat ruangan dan menutupiku se-rapat ini menggunakan selimut tebal!"
Mengangguk polos. Arcelia lalu tersenyum manis. "Bila perlu aku akan menambah selimutnya, hahaha."
"Arcelia, aku ini suami kamu, tidak seharusnya kau durhaka pada suami!" kesal Karan.
"Ck." Arcelia berdecak sembari menggelengkan kepala. "Sepertinya kepalamu butuh dipukul agar mengingat apa yang telah kamu lakukan. Membentakku, merobek bajuku, memaksa agar melayanimu. Bukankah itu durhaka terhadap istri? Aku hanya melakukan apa yang suamiku contohkan. Bersyukurlah karena kamu mendapatkan istri yang pandai."
Arcelia menahan tawanya. Ia tidak mau menjadi istri model sinetron ikan tenggelam yang selalu sabar dan hanya bisa menangis meratapi meski nyaris mati karena disakiti suami. Tidak! Arcelia akan membalas sesuai apa yang ia dapatkan. Hidup keadilan istri!
Karan mengatupkan bibirnya, seakan kehilangan kata-kata. Kedua matanya menatap Arcelia dengan sorot yang sangat-sangat tidak percaya. Benar-benar diluar ekspektasinya. Ia pikir, Arcelia akan menurut dan tunduk padanya. Namun, nyatanya ....
Arcelia beranjak dari posisinya, gadis itu mencari kertas yang ada di laci. Menulis beberapa poin untuk dijadikan kesepakatan, menjamin dirinya sendiri dari sisi jahanam Karan. Sebab ia tidak mungkin begitu saja menggugat cerai Karan tanpa masalah yang terlihat nyata, apa lagi mereka baru menikah satu hari.
"Setidaknya ini berguna selama aku mengumpulkan bukti kejahatannya agar bisa terlepas darinya," gumam Arcelia sembari menulis dengan serius.
"Arcelia, lepaskan aku, ini sangat panas. Aku berjanji tidak akan memaksamu!" teriak Karan sembari menggerak-gerakkan tubuhnya karena tidak tahan dengan suhu panas.
"Siapa yang akan percaya dengan mulut manusia pohon pisang sepertimu," cibir Arcelia masih sembari menulis.
"Manusia pohon pisang?" tanya Karan bingung. Sesaat ia menunduk melirik kebanggaannya.
"Ya, punya jantung tapi tidak punya hati. Minus akhlak!"
"Si*l!" Karan mengumpat lirih.
"Aku benar-benar berjanji, Arcelia." Suara Karan terdengar memohon.
"Baiklah."
Arcelia kembali menghampiri Karan yang masih berbaring. "Aku akan melepaskanmu dengan syarat."
Satu lembar kertas, Arcelia tunjukkan. "Baca ini baik-baik. Kamu harus setuju tanpa penolakan."
Karan asal mengangguk saja, mengira isi surat itu yang paling akan berujung dengan penalti uang. Ia banyak uang, tidak masalah jika nanti melanggar peraturan itu.
"Lepaskan aku dulu, supaya aku bisa tanda tangan," kata Karan tidak sabar.
"Tidak. Aku hanya membutuhkan stempel ibu jarimu. Jadi kamu setuju, ya dan tidak boleh melanggarnya." Arcelia meraih tangan Karan, menuntun ibu jari Karan untuk menyentuh tinta lalu menempelnya di kertas.
"Selesai, biar aku bacakan isinya supaya kamu paham."
"Ya ya ya, aku akan mendengarnya," balas Karan malas.
Arcelia membaca setiap poin yang ia buat hingga berakhir pada penalti. "Jika Karan Hanenda melanggar, maka seluruh aset kekayaannya akan menjadi milik Arcelia Parvin, seutuhnya tanpa terkecuali dan Karan akan ditendang menjadi gelandangan." Arcelia tersenyum puas melihat wajah Karan yang berubah menjadi pias.
Mendengar penalti mengerikan itu, kedua mata Karan membola hingga nyaris keluar dari tempatnya, nafas laki-laki itu pun tercekat serasa tidak bisa bernapas.
"Arcelia, kamu jangan membuat aturan yang gila! Robek kertas itu! Aku tidak setuju!" Pinta Karan sangat panik.Arcelia lantas menjauh dari Karan yang bergerak tidak beraturan mendekat padanya, Karan mirip sekali dengan ulat bulu. "Oh, tidak bisa. Kamu menjanjikan neraka padaku, sebagai istri yang baik aku juga harus menyuguhkan hal yang sama, wahai suami."Karan benar-benar kehilangan kata-kata dengan kelakuan sang istri. "Arcelia!!" Laki-laki itu berteriak merasa frustasi."Iya, suamiku? Apa kamu kekurangan selimut? Kurang hangat, ya," balas Arcelia meledek.Karan menggeleng, dalam keadaan terikat seperti itu sungguh membuatnya begitu tersiksa, andai saja tidak diikat Karan sudah pasti akan menerkam sang istri tanpa ampun."Arcelia, semua bisa dibicarakan secara baik-baik. Lepaskan aku, kita buat kesepakatan yang masuk akal."Arcelia melayangkan tatapan tajam. "Dengan baik-baik? Apa menurutmu ada kemungkinan jika aku bisa percaya terhadap pembohong sepertimu. Bahkan kamu berbohong pa
"Lepas, Karan!"Arcelia hendak memukul menggunakan siku, namun Karan menahan pergerakannya."Jangan mentang-mentang semalam kamu bisa membuatku pingsan, sekarang mau melumpuhkanku lagi? Tidak akan bisa, Arcelia. Aku tidak mungkin jatuh pada lubang yang sama, istriku." Karan semakin mempererat kunciannya.Arcelia mendengus kesal. "Sepertinya kamu memang ingin menjadi gelandangan, sedikit saja berani menyentuhku. Aku pastikan nanti malam kamu akan tidur di jalanan!" bentaknya mengancam.Tertawa keras, Karan malah justru mengecup pipi Arcelia dari belakang. "Maksudmu seperti ini?" tanyanya sengaja, menunjukkan jika ia tidak takut dengan ancaman Arcelia."Karan! Awas saja, aku benar-benar akan membuatmu tinggal di jalanan!"Lagi-lagi, Karan mengecup pipi Arcelia. "Arcelia, poin-poin yang kamu tulis itu sangat lucu. Selucu dirimu. Mana ada suami yang tidak diizinkan menyentuh istrinya? Mau dibawa ke hukum pun, pasti kamu yang akan ditertawakan," jelas Karan."Berhenti menciumku, si*l*n!"
Mendengar ucapan ibu mertuanya, membuat Arcelia menahan senyum bahagianya. Gadis itu menatap wajah datar Karan dengan penuh harap. Berdoa dalam hati supaya Karan menyetujui kata ibunya.'Sebentar lagi aku akan terlepas dari manusia jahanam ini. Hore! Terimakasih udang!' dalam hati Arcelia bersorak gembira."Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut?" Budi, papa Karan beserta kakek masuk ke dalam kamar."Ini, Pa. Arcelia meracuni Karan. Lihat, Karan sampai tidak berdaya seperti itu," adu Mona terhadap suaminya.Membenahi letak kacamata yang melorot, Budi lalu menatap Arcelia. "Apa benar seperti itu, menantu?" tanyanya datar.Arcelia pun mengangguk mengakuinya , karena terlalu semangat ingin diceraikan. "Benar, aku nyaris membunuhnya. Aku sangat ceroboh.""Astaga, lihat wajahnya itu. Mengapa tidak merasa bersalah sama sekali," kata Mona yang ditunjukan pada Arcelia."Ehem, tidak apa-apa. Karan masih hidup," ucap Budi.Arcelia melongo, tidak menduga dengan respon sang papa mertua yang sangat sa
"Kau sungguh ingin tau alasannya?""Ya. Katakan!"Karan terdiam, laki-laki itu malah betah memandangi wajah cantik Arcelia. Kesal dengan tingkah Karan, Telapak tangan Arcelia lantas menutup kedua mata Karan secara kasar. Hingga kepala Karan membentur kepala ranjang."Aku bilang katakan, kamu pikir aku bisa mengerti bahasa kalbu? Hanya dengan melihat matamu yang melotot seperti itu!" Sewot Arcelia.Lagi-lagi Karan dibuat tertawa. Ia meraih jemari Arcelia yang menutupi mata kemudian mengecupnya."Aku harus mencuci tanganku menggunakan disinfektan!" Sinis Arcelia usai menarik tangannya."Bukankah ini yang kamu mau? Diperlakukan dengan lembut?"Arcelia menatap sinis, ia harus benar-benar waspada menghadapi seorang Karan yang memiliki jurus seribu muslihat. "Bukan. Aku ingin cerai! Berhenti berbicara omong kosong, Karan!""Baiklah, tidak ada alasan tertentu mengapa aku memberikan neraka diawal untukmu. Tujuannya untuk menguji seberapa manusiawi dan seberapa layak kamu disebut gadis yang
"Karan! Apa yang kamu lakukan? Apa kamu gila!"Pakaian yang dikenakan Arcelia kini basah kuyup. Hingga mencetak dibagian tertentu.Melihat pemandangan indah, wajah marah Karan seketika berubah menjadi datar. 'Sial! Jangan lemah hanya karena melihat itu, Karan!' Makinya dalam hati.Melihat wanita seksi biasanya tidak berpengaruh pada Karan, namun entah mengapa melihat Arcelia cukup membuat jiwa lelakinya terusik. Mungkinkah efek halal.Karan meraih pergelangan tangan Arcelia, menyeret sang istri masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Arcelia kesulitan berjalan karena pergelangan kaki yang masih sakit akibat terkilir."Kamu apa-apaan sih!" Arcelia mencoba melepaskan cengkraman tangan Karan.Menoleh pada Arcelia, Karan menatap wajah sang istri begitu intens. "Sekali saja, apa kamu tidak bisa menurut pada suami?" ucapnya dengan nada dingin. Tidak seperti sebelumnya.'Peran apa lagi yang sedang dia mainkan?' batin Arcelia bingung."Lepas bajumu," perintah Karan.Reflek, Arcelia menyilangkan
"Karan! Jangan!" Arcelia berteriak histeris, otaknya saat ini benar-benar buntu, tidak bisa menemukan cara menghindari Karan dengan keadaan seperti ini.Karan tetap menggendong Arcelia menuju tempat tidur, laki-laki itu sempat terhuyung akibat kepala yang masih terasa pusing."Karan, kamu tidak bisa melakukan ini padaku!"Karan masih tidak perduli, ia meletakkan Arcelia di atas kasur, posisi laki-laki itu berada di atas Arcelia, menggunakan kedua tangan untuk menopang tubuhnya."Bisa! Aku berhak atas dirimu, Arche!" Katanya menekan."Tapi aku tidak mau! Kamu jahat, Karan!"Karan menatap Arcelia dengan tajam. "Bagaimana pun diriku, nyatanya aku sekarang adalah suamimu, Arche. Jadi terima saja."Karan mengambil posisi, tangannya meraih satu kaki Arcelia yang terkilir."Jangan menyentuhku, Karan!"Karan semakin menulikan pendengarannya laki-laki itu tetap melakukan apa yang harus ia lakukan."Sakit! Pelan-pelan, Karan. Ini sangat sakit!" Pekik Arcelia."Diamlah, aku pastikan rasa sakitny
Karan penasaran, antara Arcelia memang tidak rela ia sentuh karena gadis itu mencintai pria lain. Atau memang mutlak karena dirinya.Sejenak Arcelia menghentikan gerakan tangannya. "Definisi jahat bukan hanya tentang yang kamu sebutkan tadi. Bagiku, suami yang berani mendua apa lagi melalukan hal seperti itu dengan wanita lain. Maka dia layak untuk dimusnahkan dari muka bumi. Namun, kejahatan verbal juga tidak kalah mengkhawatirkan.""Maksudmu, aku melakukan kejahatan jenis kedua? Aku, hanya meminta hakku, Arche. Apa itu termasuk jenis kejahatan bagimu?""Ya, caramu yang sangat kasar lalu bagaimana kamu mengancam akan memberikan neraka, apakah menurutmu itu tidak jahat?""Aku melakukan itu karena ada alasannya." Karan masih belum sadar juga."Oke, anggap saja begitu. Lalu dengan keadaan kita ini suami istri aneh yang saling bermusuhan tidak ada sedikit kepercayaan diantara kita. Kemudian jika satu bayi terlahir, masa depannya akan terancam suram. Pernahkah kamu berpikir ke sana, Karan
"Arcelia!"Karan berjalan menuju jendela, masih terkunci dengan baik. Laki-laki itu berpindah memeriksa walk in closet, namun tidak ada Arcelia di sana.Saat keluar dari dalam walk in closet, Karan melihat Arcelia baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu lantas berlari dan memeluk Arcelia."Karan! Kenapa kamu selalu membuatku terkejut! Lepas!" Sewot Arcelia, gadis itu masih sangat mengantuk ia terbangun karena panggilan alam yang tidak bisa ditahan."Awas! Aku mau tidur!" Karan masih tetap memeluk Arcelia. 'Ya tuhan, aku kira dia hilang.'Sementara itu, Noah melihat keduanya dari celah pintu. "Semoga Karan benar-benar mencintai Arcelia. Atau dia akan lebih hancur dari sebelumnya."Karan melepaskan pelukannya, laki-laki itu menggendong Arcelia ala bridal style."Karan! Tolong jangan mengajak ribut untuk saat ini, aku sangat mengantuk!""Aku hanya mau mengantarmu ke tempat tidur," katanya sembari melangkah menuju ranjang, Karan pun meletakkan Arcelia dengan hati-hati di atas ka