"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.
Ngangkat anak?
"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya.
"Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.
Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!
"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi.
"Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku.
"Iya, ini anak kita mulai besok."
Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti masa bodoh padaku yang kemungkinan belum siap menjadi ibu angkat dari anak yang bahksn sudah dewasa.
"Kamu nggak mau nanya aku setuju atau nggak? Kamu nggak mau tahu keadaanku?"
"Persetan dengan perasaanmu, memang kamu peduli juga denganku saat itu?" Pikiranku mencoba traveling ke masa 'itu' yang belum ku temukan.dimana.
Aku masih terdiam bahkan setelah Chan pergi dari jangkauan mataku. Tiba-tiba angin malam seperti membawa siratan kenangan untuk diriku. Ia seperti datang membawa clue tentang apa yang disinggung Chan.
"Oh, aku tahu...."
Aku benar-benar melemas sekarang. Ku sandarkan tubuhku di punggyng kursi.
BRAK!
"Kamu kenapa, sih? Dari kemarin nyuekin aku? Padahal aku lagi berduka gini?" Pekikku kesal pada Chan yang terlihat masa bodoh. Aku terbelenggi rasa kesal yang menggebu saat merasa Chan bersikap dingin sedari aku masuk rumah sakit kemarin.
Ia nampak tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. Ia terlihat masih menatap buku yang ia baca. Tak lama kemudia setelah ia melontarkan decihan kesalku sambil berkacak pinggang, ia menoleh ke arahku.
Ia melihatku dengan tatapan sinis yang bak memiliki pisau.
"Apa? Duka? Kamu berduka? Nggak mungkin, ini kan keinginan kamu." Katanya lalu merunduk lagi dan membolak-balikan halaman.
Aku bingung.
Apa maksudnya ini keinginanku. Siapa yang mau kehilangan anak? Iyups, aku baru saja mengalami hal yang belum pernah aku pikirkan, keguguran diusia 3 bulan.
"Apa maksud kamu bilang kayak gitu? Gila apa ini keinginanku?!" Sahutku menggertak.
"TERUS APA KALAU BUKAN KEINGINAN KAMU?" Seketika nada Chan jauh lebih tinggi dariku. Aku terkejut sungguh. Ia langsung kembali berdiri dan membentakku lebih keras hingga bisa ku pandang urat-uratnya.
"Kamu yang nggak menjaga bayi itu dengan baik, kamu yang nggak mau istirahat selama kamu hamil, kamu yang nggak mau dengerin aku yang cuma minta satu aja," nada bicaranya merendah, ia berbicara bersama bulir liquid yang mengumpul di pelupuk matanya, "tolong jaga kandungan kamu, dia masih lemah ini demi kebaikan kamu dan dia."
"Tapi apa? Kamu ngapain selama hamil? Pecicilan sana sini, kan? Setiap aku negur, ada aja alasan. Kalau udah emosi kamu bilang, "kamu kenapa, sih? Jadi cuma anak ini yang kamu pikirin? Kebahagiaanku nggak? Padahal kamu tahu sendiri kan bumil itu harus bahagia?" Dan sekawanannya," katanya mengulang ucapanku. Aku masih terdiam saat itu.
"Iya, kamu bahagia. Tapi kalo
cuma bahagia pasti sehat? Hah? Nggak kan? Kalau iya, aku bakal mabuk-mabukan tiap hari!" Ucapnya lagi dengan beberapa penekanan pada kata yang menurut dia memang patut aku dengar, "aku kasih keloggaran untuk kamu kerja, tapi? Kamu tetap minta lebih dengan banyak alasan.""Hasilnya??? Sekarang??? Kamu lihat, kan?"
"Kamu keguguran!"
"Janin kita meninggal, anak kita pergi!"
"KITA KEHILANAGAN ANAK KITA!" Bentaknya lagi sambil menarik tubuhku dan menggoyanhkannya kasar.
Aku memalingkan wajahku dari pandangannya, dalam mata ini juga memendam seribu air mata yang kian menetes.
"Dan kamu tahu itu karena apa, itu karena kamu! KAMU!" Ujarnya lagi seolah menyudutkanku, "kamu tahu kan aku pengen banget punya anak? Tapi kamu.... Kamu ngehancurin semua itu demi egomu. Harusnya kamu seneng anak itu pergi, biar apa? Biar kamu bebas. Sekarang ini itu udah nggak ada lagi di kandunganmu,"
"JADI KAMU BEBAS!"
Tuntasnya lalu melepas cengkramanku. Ia nampak melangkahkan kakinya pergi dariku. Membiarkan aku tetap terpaku seakan memintaku nencerna ucapannya. Aku tak bisa membalasnya sedikitpun, biasanya aku bisa membela diri.
Tapi kali ini tdak. Sama sekali tidak.
Aku lemas, tubuhku sangat tak sanggup menopang diri ini, hingga aku bersimpuh menindih bayanganku. Perlahan aku memegang perut yang kini hanyak berisi alat pencernaan dan rahim kosong. Perlahan pula air mataku menetes.
Iya, aku salah.
Aku sudah benar-benar menghancurkan mimpi keluarga bahagia sekarang. Aku terlalu egois dan memaksakan diri untuk apa yang aku inginkan tanpa tahu nyawa siapa yang aku bawa. Aku bodoh tidak bisa melihat usaha nan penantian Chan atas bayi ini.
"Maaf.." Lirihku sambil melihat perut ini. Perut yang memiliki rahim tempat singgah anakku sementara.
Aku selalu merasa bahwa aku dan bayiku kuat serta meremehkan wanti-wanti dokter atas keadaanku. Aku juga memasa bodohi anjuran suami yang jelas sangat mengharapkan dan menjagaku serta anaknya. Ini semua demi cuan dan karier semata, demi ketakutanku akan kehilangan mereka, aku meloloskan anakku pergi.
"Maaf..."
Kataku lagi saat deru sejuk AC membiarkan ku mengingat segala yang kulakukan terhadap janin ini. Aku sering telat makan bahkan berani diet, aku sering pulang malam, melewatkan vitamin, jarang istirahat. Dikadaan normal, itu adalah hal.biasa untukku yang berkarier menjadi modeling dan aktris teater. Tapi tanpa sadar aku melupakan sosokku yang saat itu sering beraktivitas dengan anakku.
Iya, aku sering beradu mulut dengan Chan. Tapi, kini aku sadar jika dia melakukan itu bukan untuk mencegahku bahagia berkarier, ia melakukannya demi menghindari kejadian hari ini.
"Maaf sayangku, mama sudah secara tak sengaja menyakitimu," kataku berusaha sekuat tenaga terlihat kuat meski aku seorang diri disini.
Bisa saja anakku sedang ada di sekitarku.
- Wait For Next Chapter
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m