"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan.
"Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya.
"Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya.
"Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi."
"Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang.
"Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.
Usai mengantar dokter keluar dan menunggunya sampai pergi, aku kembali masuk. Mata ini langsung tertuju pada koper hijau yang ku letakkan di samping sofa. Niatanku untuk pergi entah kenapa sirna. Aku jadi merasa cukup berat meninggalkan Bara yang sedang sakit, dan ikut bersimpati bersama Chan.
Apa aku harus mengalah?
Aku masuk ke kamar Bara. Anak itu masih terlelap dengan Chan yang bagai sosok ayah menemani anaknya tidur. Ia usap surainya, kadang ia pijit lengan tangan kakinya dan juga mengganti kompresan air. Seniat itu dia ingin punya anak.
Lagi-lagi aku jadi merasa jahat.
"Kenapa nggak tidur?" Tanya Chan yang memergokiku melihatnya.
"Nggak papa, aku mau kesini, boleh?" Ujarku sembari mendekati ranjang yang kini tak berpenyangga. Chan hanya mengangguk tanda mengiizinkan. Aku pun duduk di sisi yang berbeda.
"Besok nggak usah bawa Bara ke kantor, kasihan." Kataku terdengar agak dingin. Entah diotakku ternyiang kesombongannya yang katanya bisa merawat Bara. Cih, nyatanya zonk!
"Hm..." Aku memutar bola mataku malas, jawaban menyebalkan.
Terlihat sekali raut kekalahan yang sok disembunyikan.
"Mending kamu beliin plester fever di apotek 24 jam depan komplek, daripada kompras kompres." Chan terlihat terjengkit sedikit lalu menampakkan raut berpikir. Otakku langsung berasumsi jika dia khawatir, Bara akan ku tongseng atau ku jadikan semur jika ia tinggal.
Jadi ku lemparkanlah celetukkan ini, "Bara nggak bakal aku oseng-oseng kok, tenang!"
Terdengar hembusan nafas pasrah dari Chan yang bersamaan dengan bangkitnya Chan dari box.
"Aku pergi dulu, titip Bara." Aku mengangguk.
Chan berjalan keluar ruangan sambil membenahi celana pendeknya. Aku pun menyusul, bukan untuk mengekori tapi untuk membantu menyiapkannya. Seperti menyiapkan dompet, kunci motor, helm, dan jacket yang suka tersebar.
Seusai menyiapkan Chan aku jadi teringat resep dokter yang bisa ditebus di apotek, "Chan resepnya sekalian ditebus gih," kataku sambil balik ke kamar Bara mengambil resep.
"Ya udah taruh di deket dompet aja," serunya yang agak berisik. Pasalnya, Bara agak menggeliat.
Eh, jadi dia hampir sadar, dong?
Aku kembali berjalan ke arah Chan dengan suara langkah yang sangat aku kecilkan.
"Kamu kenapa?" Tanyanya bingung.
"Bara hampir bangun, udah-udah sana!" Bisikku sambil menahan Chan yang ingin masuk ke kamar lagi.
"Tapi-"
"Sst...!" Desisku menariknya keluar, "tuntun itu motor, jangan nyalain disini!" Pintaku lalu masuk lagi.
Aku sudah tak peduli lagi dengan Chan yang pasti bingung di luar sana. Sekarang aku sudah berada di kamar Bara lagi. Melihat anak itu menggeliat seperti hendak bangun aku pun berdiri diam.
"Pa-" Rengeknya terdengar lucu. Mataku mulai melihat sosoknya yang mulai membuka mata. Mata kecilnya membuka menutup menjadikan bibirnya menyunging sedikit. Tentu saja pipi chubbynya jadi ikut menggembung.
Anak ini katanya berusia 23, tapi kenapa malah seperti berusia 3 tahun sungguhan?
"Hiks, pa-" Rengeknya lagi yang kini bertambah isakan kecil.
"Erm, halo sayang," kataku mencoba lembut sambil mengelus kepalanya. Bisa ku lihat mata berkaca-kaca milik Bara. Tanganku merasakan hangat suhu kulit kepala Bara.
Bara tak menjawab, ia hanya melihatku terus tanpa ekspresi. Tentu saja otakku langsung melayangkan tuduhan negatif pada Chan, "setan jenis apa yang ia deskripsikan untuk menggambarkan aku? Mengapa Bara sebegitunya padaku?"
"J-jangan takut sayang, i-ini aku bukan orang jahat kok, kenal aku, kan ya?" Mulaku menyapanya. Sumpah demi apapun aku grogi sekali berbicara sepanjang ini dan hanya berdua dengannya. Ini semua lagi-lagi ulah Chan juga.
"Papa mana?" Tanyanya polos.
"Lagi beli obat sayang, yuk duduk dulu!" Ujarku sambil membantunya duduk, "kamu minum teh hangat dulu, ya?Bunda ambilin."
Eh apa? Aku tadi kerasukan apa ya sampai menyebut diriku sendiri "bunda"? Tapi aku memang bingung sih mau menyebut diriku siapa, tante? Kakak? Mama?
Hih.
"Ini sayang," kataku sambil membawa segelas teh hangat dari dapur. Bara pun segera meneguknya.
"Uhuk... Anas..." Katanya setelah tersedak dan menjauh dari teh.
Aku tentu terkejut dan panik.
"Eh? Nggak papa, kan? Maaf-maaf sayang, tunggu bentar," panikku sembari mengelus punggung anak itu. Aku langsung beranjak dan berlari ke dapur mengambil sendok dan air putih hangat tuk meredakan batuknya.
Ketahuilah malam ini, aku kerasukan splash, jadi kaki ini berlari bak angin.
"Sst... Maaf, maaf, maaf ya," ucapku sambil menyendoki dan menyuapinya air putih hangat. Aku juga meniup air putih itu agar tidak terlalu panas. Seakan aku tidak ingin mengulang kembali kesalahanku.
Ia menyudahi tegukan air putihnya. Aku pun menaruh gelas itu di atas nakas lagi. Tangan ini dengan sigap menyamankan posisi bantal agar ia bisa bersandar di kepala ranjangnya.
"Apa yang sakit?"
"Pala Bala sakit..." Ia berusaha menjelaskan kondisi badannya dengan bahasa dan aksen khas anak-anaknya.
"Mau di pijat?" Tawarku. Ia menggeleng. Wajahnya terlihat lesu sekali, aku yakin ia pasti lemas. Ku lirik jam di arloji tanganku yang menunjukkan pukul 1 dini hari.
Merasa ingat sesuatu, aku pun mengambil obat penurun panas dan sebuah vitamin yang tadi dianjurkan dokter.
"Sekarang minum ini dulu, ya?" Matanya nampak melebar kaget mendapati sesuatu di tanganku, 2 benda yang siap ia telan. Aku terkikik kecil, "aku tahu kamu belum berani makan pil dan kapsul seperti ini, jadi akan aku olah dulu, okay?" Ia mengangguk setuju.
Sekarang panggilan bunda menjadi "aku" lagi.
Sembari tangan ini melarutkan obat, aku jadi penasaran ingin tanya beberapa hal dengan Bara. Tapi rasanya kurang etis. Pikirannya sudah buyar dengan adanya sakit yang ia alami, apa aku setega itu memintanya berpikir lagi.
"Jadi deh," kataku sedikit bersorak.
Bara menutup mulutnya seketika, "baunya ndak enak, pasti pait!"
Sabar... Tenang...
"Oh tentu, kan ini obat. Tapi obat ini bakal bikin kamu cepat sembuh, bikin kamu cepat makan es krim sama kue lagi," terangku mengiming-imingi, "kamu mau, nggak? Kalau nggak mau, its okey. Nanti semua kue cokelat dan permen, ku ambil!"
Sh*t!!! Aku sangat tidak bisa mengubah kata "aku" menjadi lebih manis.
"Hah? Noo!" Pekiknya. Ia langsung memajukan tubuhnya dan melahap suapan larutan obat dariku, "wle! Pahit!"
Aku buru-buru menyendokinya air putih lalu teh hangat dengan maksud menghilangkan rasa pahitnya. Bara sendiri hanya menurut setiap pergerakan dan pemberianku.
"Yeay, udah!" Pekikku bersenang telah menuntaskan satu misi. Hal ini Bara sedikit tersenyum.
Sedikit tersenyum padaku.
Padaku.
Aku rasa ini bukan mimpi. Apa ini awal mula dari hubungan baik kami?
- Wait For Next Chapter"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m