Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?
"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.
Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan..
"Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya.
"Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.
Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menjawab. Ia sosok yang ramah dan murah senyum. Terbukti saat kami berpapasan dengan orang-orang di RS, ia nampak sering menyapa mereka entah sekedar mwngangguk atau berhalo-halo.
Namun kembali, semua berubah saat aku keguguran tepat satu bulan yang lalu. Ia menjadi sosok yang cuek, dingin, dan terkesan malas bicara denganku. Ia hanya mengatakan apa yang sekiranya dia ingin katakan.
Tak ada lagi kata, "aku kangen", "Sayang, tidur gih!", "Udah makan?", "Yuk, makan!"
"Jaga kesehatan, ya!"
"Hati-hati, cinta!"
"Love you..."
Sirna begitu saja. Hilang tanpa jejak. Inilah yang membuatku memutuskan untuk rehat dari aktivitasku sebagai modeling dan teater. Entah bagaimana, aku menyadari jika ini salahku. Selain telah membiarkan putraku pergi, aku juga membuat seorang ayah yang sangat berharap akan bayi itu berakhir sirna.
"Ruang Inap Bear 12?" Ejaku lagi saat melihat nama papan ruangan yang menggantung diatas. Nama ruangan ini lucu. Sama halnya nama papan ruangan, pintu putih yang berada dihadapanku juga terlihat lucu. Bernuansa anak-anak dengan sticker hewan-hewan, bumi, galaxi, dan tokoh avanger khas anak laki-laki.
Dari sini dugaanku kuat, bahwa Chan akan mengangkat anak yang dirawat di sini. Dengan kata lain, anak manis yang ia tunjukkan fotonya padaku kemarin berada di sini.
Astaga, ini anugrah atau cobaan? Ups.
"Papa....!" Pekik seorang anak yang terlihat ceria sembari berlari memeluk Chan, "La kangen papa, papa darimana aja, sih?"
"Papa abis beres-beres rumah, baby kan mau pulang hari ini," kata Chan sambil mengelus surai hitam anak itu. Anak yang terlihat berkaca-kaca itu pun terlihat menyunggingkan bibir hingga membuat pipinya berlesung.
Manis.
"Yeayyy, pulanggg!!" Soraknya. Aku bisa melihat raut bahagia terpancar darinya. Namun raut itu memudar saat matanya menangkapku. Ia langsung terlihat memucat.
Tanganku melambai seakan menyapanya, aku berusaha tersenyum meski rasanya canggung.
Seolah sadar dengan keadaan anak yang Chan peluk, Chan pun menoleh ke arahku. Menatapku sinis padahal aku sedang berusaha ramah dengan anak itu.
"Itu capa?" Tanya anak itu polos.
"Itu, istri papa," jawabnya tak terduga. Aku kira dia akan memperkenalkanku sebagai ibu barunya, ternyata aku salah.
Anak itu tak menyahut. Ia hanya kembali memeluk Chan.
"Kamu tunggu disini, ya? Papa mau ngurus adminstrasi," kata Chan sambil perlahan melepas pelukannya. Anak itu nampak enggan. Matanya terlihat memelas, "Nggak lama, kok. Tuh, ada Suster Dara," katanya lalu menunjuk wanita ayu yang berdiri di samping ranjang anak itu.
Wanita itu tersenyum menganguk. Ah, ia tadi juga sempat menyapaku dengan senyum ramahnya.
Anak itu perlahan menatapku, seperti ada raut takut yang ia pancarkan terhadapku. Chan yang seakan tahu pun melirikku sebentar lalu menangkup wajah chubby anak itu.
Ia berkata, "Dia baik kok, nggak papa. Papa cuma sebentar."
Anak itu tak menjawab. Ia membiarkan Chan pergi. Disinilah saatnya aku meminta penjelasannya.
"Chan! Kamu apaan banget sih ngambil keputusan sepihak gitu? Kamu nggak mikirin dia siap atau aku siap gitu? Dia siapa, kenapa, orang tuanya dimana aja kamu nggak ngomong lho!" Cerocosku seraya mengejar Chan. Chan terlihat tak peduli dan tetap berjalan.
"Chan, please! Jawab aku! Setidaknya beri tahu aku apa yang terjadi sama anak itu. Minimal nama, keadaan, aku kan calon ibunya juga!"
Asik, Chan berbalik. Dia menatapku dan menghela nafas.
"Ada papan identitas dan kronologi penderita di tembok kamarnya, ada suster, ada anaknya buat kenalan. Kalau kamu mau tahu bisa kok tanya mereka."
Aku tertohok seketika. Jawaban macam apa ini?
"Aku tahu, Chan! Tapi aku butuh penjelasan untuk ini dari kamu. Ini demi kita juga, Chan!"
Chan mengangkat tangan seolah memintaku diam. "Dah, aku nggak mau ribut, okey? Ini di rumah sakit!" Lalu berjalan lagi.
"Ta- ahh!" Geramku sembari menghentakkan kaki. Aku frustasi!
Aku kembali ke kamar anak itu, ku lihat anak itu tengah asyik bercengkrama dengan boneka panda. Sedangkan Suster Dara tengah menyisir surai anak itu yang terlihat lurus dan lebat.
Secara visual, anak ini bisa ku katakan sangat tampan. Ia memiliki unsur wajah yang manis. Matanya kecil dengan onix kecokelatan, alis tebal nan rapi, hidungnya mancung, lalu bibir merah sedikit tebal bak cherry. Kulit anak tersebut seputih susu, rambutnya hitam legam. Oh aku lupa, dia juga punya lesung.
"Tandal, aku bakalan tinggal sama papa ya mulai nanti malam?" Tanyanya pada Dara. Oh lucu sekali cara dia memanggil Suster Dara.
"Yes baby, kamu tinggal sama papa mulai nanti. Jadi jangan nakal, ya? Nurut sama orang tua baru kamu," titah Suster Dara.
"Umh, aku nggak bakal nakal!" balasnya antusias. Keduanya nampak saling tertawa renyah.
Diam-diam senyumku juga mulai menyungging. Senyum kelegaan yang belum pernah aku tebarkan sejak perginya anak itu. Meski aku bukan bagian dari mereka, meski ini kali pertama aku menemui mereka. Tapi aku percaya mereka adalah 2 insan yang terlihat saling mengasihi. Bukan lagi sebagai Suster dan pasien, tapi lebih seperti ibu dan anak berkat sifat keribuan Suster Dara yang masih terlihat muda, dan kepolosan anak itu.
"Eh, Nyonya Chan, silakan masuk!" Sapa Suster Dara yang menyadari kebaradaanku. Aku yang merasa di sapa, akhirnya melangkah masuk. Anak itu terlihat memendam ketakutan saat aku berjalan masuk. Ia memeluk Suster Dara dan membenamkan wajahnya di perut suster tersebut.
"Eh, sayang jangan takut dia bakal jadi mama kamu juga kok, yuk kenalan!"
Anak itu tak bereaksi. Suster Dara nampak tersenyum meminta kesediaanku memaklumi keadaan ini. Aku juga menganggukkan diriku sebagai jawaban.
****
"Little Space?" Aku bertanya setelah Suster Dara menjelaskan keadaan anak lelaki bernama Bara Zhoida Putra.
Yups, kini aku dan Suster Dara saling mengobrol di sofa depan ranjang Bara. Sedangkan Bara asyik memainkan lego-legonya di atas kasur putih dengan motif beruang.
Kami mengobrol beberapa hal tentang anak itu. Seperti namanya dan juga apa yang ia alami. Syukur sekali rasanya bertemu suster yang ramah dan frendly diajak bicara.
Dengan tenang ia menjelaskan apa itu "little space".
"Jadi itu sebuah syndrome yang dialami oleh orang dewasa saat mereka merasa tertekan, depresi, atau mungkin jengah dengan kehidupan masa dewasanya dan seakan benar-benar merindukan masa kecilnya. Ketika mereka merasa tertekan dan lelah, ketika itulah syndrome ini muncul," jelas yang hanya ku angguki saja, "Little Space punya usia sendiri untuk pengidap. Ada yang kembali menjadi anak usia 7, 8, 9 atau bahkan balita."
"Anak itu?"
"Dia kini berusia 4 tahun, usia sesungguhnya adalah 21 tahun," pungkasnya yang lalu berdiri menyambut langkah kaki yang datang. Sudah ku duga itu adalah Chan.
"PAPA!" Anak itu kembali berteriak menyambut Chan.
Aku bisa melihat raut bahagia diantara mereka berdua. Terlihat bak ayah dan anak. Tidak, meski aku berpikir Chan kini tidaklah terlalu 'bucin' seperti dulu, tapi aku tak memiliki pikiran jika Chan selingkuh dan anak itu juga anaknya dan selingkuhannya.
Usia Chan terlalu muda untuk memiliki anak sebongsor itu.
"Yuk, kita pulang!"
"YEAY!"
Senangnya yang langsung menimpa tubuh Chan, sehingga terlihat seperti Chan menggendong anak itu.
"Maaf, semua keperluannya sudah siap untuk dibawa," kata Suster Dara. Chan mengangguk sambil membenarkan gendongannys.
***
Mobil ini terasa ramai sekarang, tawa renyah anak itu dan juga Chan menghiasi ruang ini sekarang. Play list musik di tip pun mulai terdengar setelah sekian hari hening. Aku senang, sesekali ikut tersenyum.
Meski nyatanya, aku canggung.
Ya, aku canggung.
Orang mana yang tidak terkejut, termenung, kikuk, bingung jika tiba-tiba memiliki anak tanpa tahu latar belakang anak itu, siapa anak itu. Masih mending jika ia adalah bayi, ini? Anak remaja, camkan itu!
Aku tak masalah jika Chan ingin mengadopsi anak, tapi lihat-lihat dulu atau paling tidak berdiskusi denganku. Seburuk itu aku di matanya, hingga seucap kata tentang anak ini pun tak ia sampaikan padaku? Harus aku yang memulai.
"Kita mau kemana?" Tanyaku ketika mobil mulai hening dari tawa renyah keduanya.
"Supermarket." Orang ini tiba-tiba berubah menjadi batuan es setelah tadi serenyah biskuit. Raut mendungnya juga mendominan ketika menjawabku daripada saat bercengkrama dengan Bara.
"Untuk?"
"Membeli peralatan yang dibutuhkan, sekaligus makanan ringan untuk Bara." Aku hanya mengangguk. Ku lirik anak itu yang sedang memandangi pemandangan jalan dari cendela mobil. Ia terlihat ceria memgamati lalu lalang kendaraan.
Pasti ia sering kesepian di rumah sakit.
"Kalau mau istirahat, aku bisa mengantarmu pulang dulu," lanjut Chan.
"Tidak aku ikut saja,"
Aku memang lelah, tapi aku lebih memilih ikut. Kasihan mereka jika harus bolak-balik.
- Wait For Next ChapterPART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m