Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat.
Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai.
"Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik.
"Akut... (Takut)"
"Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai.
"No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar.
"Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan.
"Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama papa uga, jadi ndak takut, (Disana tuh Bara naik sama banyam teman papa juga sama papa, jadi nggak takut.)!" Balasnya bercerita. Aku beroh-ria mulai paham situasi Bara.
Apa ini ada hubungan dari masa lalu Bara? Dia takut naik lift yang kosong dan hanya berdua. Apa pernah terjadi sesuatu sebelum menjadi little.
"Tidak ada kabar apapun mengenai Bara saat ditemukan dulu. Kami hanya bisa mengorek informasi seputar profil Bara, tapi tidak latar belakang anak ini."
Itu adalah penjelasan Suster Dara saat aku meminta penjelasan mengenai latar belakang Bara satu bulan yang lalu. Yang aku dapatkan dari pencarian diam-diam saat itu adalah nama Bara, umur asli dan little, waktu ditemukan, sisanya adalah kepingan tentang Bara yang Suster Dara dapatkan selama merawat Bara.
Tapi untuk takut lift ini, aku belum pernah tahu. Bahkan mungkin Suster Dara tidak tahu juga.
Kami akhirnya naik juga dari eskalator. Dan kini kami sudah ada di lantai 4. Lantai dimana para mainan bersemayam menunggu ithikad baik pembeli.
"Bara, buka matanya dong! Lihat tuh, ada banyak mainan!" Ajakku antusias. Ia nampak menggeleng.
"Kenapa?"
"Akut! (Takut!)" Lirihnya. Aku menghela nafas. Perlahan tanganku mencoba melepaskan diri dari genggamannya. Bukan melepaskan tangan untuk meninggalkannya, aku hanya melepas untuk berpindah posisi saja. Kini tangnku berada di pundaknya untuk memberi kekuatan tersendiri.
“Ayo dong, masa masih takut. Percuma kesini!” Ujarku pura-pura kesal. Tapi sebenarnya aku juga kesal sih. Jarak mall dan rumah itu jauh, jadi sia-sia jika dia tetap melanjutkan dramanya.
Ia sedikit berjengkit kaget, sepertinya niatanku menakutinya mulai berhasil. Ayo lanjutkan sampai ia membuka matanya. Dan dengan ragu-ragu ia membuka matanya. Perlahan ia melihat ke arah kios.
Ajaib! Pandangan takut-takutnya berubah seketika. Matanya berbinar dan memberi kesan takjub yang sudah jelas ia arahkan ke apa.
“Bagus, kan?” Tanyaku meyakinkan. Ia tak menjawab, hanya mengangguk. Berhasil!
“Cobalah dan buang rasa takut, maka kamu bisa melihat keindahan!” Kataku sembari menasihatinya. Ia hanya tersenyum kecil lantas berlari penuh kepenasaran pada benda-benda yang ada di depan. Tentu aku tak melarangnya. Aku hanya mengekor di belakang sambil mengawasi. Layaknya anak-anak pada umumnya, ia melihat mainan dan menanyakannya padaku tentang mainan itu. Kios ini tak terlalu ramai, hanya ada beberapa pembeli dan penjaga kios yang sesekali melihat tingkah Bara yang di rasa aneh.
Memang aneh sih jika kita hanya melihat dari covernya.
“Mbak, pacarnya kenapa?”
SETAN! Kaget aku.
Tiba-tiba saja ada sebuah suara yang tanpa izin menyapaku, menanyakanku sesuatu yang bagiku kurang etis. Mungkin dia penasaran, tapi ayolah! Jangan di depan anaknya langsung!
Kadang orang memang tak tahu sikon kalau mau menyeletuk.
Dan apa tadi dia bilang? Pacar? Ini matanya yang rabun, atau memang aku yang terlihat muda dan seumuran Bara?
“Oh, nggak papa. Dia memang suka bertingkah imut kok!”
Hehe, maaf ya tapi menjelaskan tentang kondisi Bara padanya hanya membuang waktu dan tenagaku untuk meladeni. Aku sedang tidak ingiin berceloteh panjang
kali lebar!
Orang yang tadi menanyaiku hanya mengangguk ber-oh ria. Haish, dasar orang!
Aku pun beranjak menyebelahi Bara yang sibuk melihat mainan bus biru yang saat ku lihat pada bungkusnya memiliki banyak fitur dan keunggulan. Bisa berjalan dan bersuara karena dilengkapi baterai, lalu bisa menyalakan pada bagiam lampu bahkan berkedip bak bus sungguhan. Katanya jika berada di kegelapan, lampu bus yang ada di dalam juga akan menyala, mirip bus modern di malam hari.
“Kamu mau ini?”
“Oleh? (Boleh?)” Tanyanya yang langsung ku sanggupi.
“Ih, kenapa om main mainan anak-anak?” Tiba-tiba seorang bocah berdecih di bawah sana. Aku dan Bara ttentu terkejut sekaligus tersinggung. Apalagi Bara yang pasti merasa lebih muda dari anak itu tapi malah dipanggil “om”.
“Ala bukan om-om!” Serunya menegaskan. Wah, sepertinya akan ada perdebatan anak-anak sungguhan dan yang menyerupai.
“Terus apa? Kakak?” Si Anak tadi belum mau mengalah.
“Kakak? Kamu yang kakak!” Anak tadi terlihat kebingungan. Ia menggaruk rambutnya yang tak gatal sambil ber-hah ria. Aku dibuat terkekeh sendiri dengan tingkah keduanya.
Masih ku pantau saja aksi kedua bocah ini. Si Anak tadi terlihat masih mencerna perkataan Bara, dan Bara kembali sibuk memilih warna bus. Namun itu tak berlangsung lama, anak itu keburu pusing dan pergi.
“Nggak jelas, ih!” Cicitnya di tengah jalan.
Wah anak siapa ini? Entah kenapa rasanya ini bocah bakal jadi bibit-bibit pembully, ya? Mana sih orang tuanya?!
Aku terus memperhatikan langkah kaki anak itu pergi sambil memendam geram. Sayang, semua itu berubah saat Bara bertanya sesuatu.
“Kok kakak itu bilang Ala nggak jelas, sih?” Tanyanya dengan raut sedih. Ia terlihat merunduk dengan mata sendu dan jemari yang sok sibuk pada mainannya.
Baru, baru kali ini aku melihat Bara nampak sedih begini. Padahal anak itu hanya becicit tak jelas, namun entah mengapa cicitan itu bagai pisau yang menggores lapisan tipis selaput. Aku yang bukan objek perkataan anak itu saja bisa merasakan goresan itu, bagaimana dengan Bara yang pasti jarang mendengar hal seperti ini?
Padahal ia hanyalah bocah berusia dibawah 10 tahun ku tebak, yang mungkin masih berucap tanpa menimbang. Namun entah kenapa gatal sekali ingin menyeletukinya.
Eits, sebentar! Menyeletukinya saat ini adalah pikiran kedua. Yang utama adalah menyembuhkan kembali perasaan Bara yang tergores.
“Eh, nggak papa. Dia kan nggak sengaja. Mungkin karena dia tidak mengerti ucapan kamu?” Kataku menenangkannya yang masih lesu.
“Beyayti Ala memang nggak jelas dong ngomongnya?”
ADUH! Susah nih ngomong alias jelasin ke anak-anak! Kudu bagaimana, ya? Apa ya bahasa simpelnya?
“Bukan tapi kakaknya mungkin sudah ngerasa kalah, jadi ya ngomong gitu!” Tukasku dengan sejuta harapan pengertiannya. Bara tak menjawab, ia hanya diam dan masih merunduk. Asumsiku, harapanku gagal.
“Sudah sayang, jangan dipikirin! Bara nggak aneh kok, Bara baik, Bara ganteng!” Pujiku. Ini natural lho ya, jujur!
Bara langsung tersipu dengan bibir menyungging malu-malu dan rona pipi yang memerah. Ah, lucunya!
“Sudah yuk pilih yang lain!” Ajakku mengalihkan atensinya,
Disinilah aku semakin menyayanginya. Saat ku ajak membeli mainan yang lain. Ia berkata, “jangan ah, nanti uangnya abis! Kata papa kita hayus beyhemat! (Jangan ah, nanti uangnya habis! Kata papa kita harus berhemat?)” Katanya dengan sok ceramahnya. Aku dibuat tersenyum lagi.
Disisi kekagumanku pada kepeduliaanya, aku juga kagum dan sangat kagum atas sikap yang diajarkan dan diturunkan oleh Chan.
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
Drtt.. Drtt... )>Chan : Makan siang, yuk! )> Aku tidak salah baca, kan? Pesan ini sungguhan dari Chan? Habis brtemu bidadari secantik apa dia sampai mengajakky dan tentunya Bara lunch? Sekedar cerita saja, Chan dan aku tak pernah saling makan diluar sebelumnya, ya tepatnya setelah aku dinyatakan keguguran. Bahkan ia selalu menghabiskan waktu istirahatnya di kantor atau pulang sekedar tidur sebentar. Setelah ada Bara pun juga begitu, ia lebih memilih di kantor bersama Bara. Ah, iya, Bara bersamaku. Tentu saja ia akan mengajakku makan siang. Tapi ya sudahlah, mungkin ini bagian dari memperbaiki semua. Aku harap, ia tak hanya mengajakku makan siang karena Bara bersamaku, tapi lebih dari itu. Aku harap ia mulai mengerti dan memahami diriku mulai dari sini. <( Me : Tumben! Oke, dimana? <( )> Chan : Kamu di Golden Build Mall, kan? Di Flovin Cafe di depan mall bagaimana? )> <( Me : Boleh, sih. <(
Pada akhirnya, aku dan Bara berada di eskalator dengan tangan Bara yang terus menggnggam tanganku. Satu tangan menggenggam tanganku, yang satu lagi menggenggam lenganku. Sedari naik, ia menutup matanya rapat-rapat. Pemandangan ini tentu sangat asing di mata orang-orang, itulah mengapa ada banyak mata yang mengarah pada kami. Mungkin mereka berpikir jika laki-laki yang ada di sampingku ini aneh dan norak karena sikapnya tidak sepadan dengan style yang ia pakai. "Bara, buka matamu!" Kataku sedikit berbisik. "Akut... (Takut)" "Nggak papa, sayang. Pemandamgannya bagus lho," rayuku dengan harapan tercapai. "No! Akut!" Katanya kekeh dan semakin menunduk. Aku menghela nafasku sabar. "Lucu deh, kamu kan sering ikut papa ke kantor, disana juga ada liftnya, kayaknya kamu baik-baik aja?" Tanyaku mencoba memecahkan masalah ini. Lebih tepatnya mencari akar permasalahan. "Dicana tuh Ala naik cama banak temen papa cama pa
"HUAAAA.... PAPA...!"Aku hanya bisa duduk mengatur nafas. Sudah ada sekitar 20 menit Bara menangis histeris. Anak itu baru saja terbangun dari tidur lelapnya semalam. Awalnya ia terbangun dengan keadaan baik-baik saja tadi. Namun menjadi kacau saat ia menyadari ketidiadaberadaan Chan di rumah. Anak itu bangun 10 menit setelah Chan pergi dan bertepatan dengan aku yang sedang menyapu.Ia menangis secara bertahap. Dari hanya sesenggukkan sampai kepuncak seperti ini. Histeris tak karuan. Sekarang wajah tampan bangun tidurnya jadi berantakan. Air mata yang bak air terjun, lendir ingus yang tak mau di hapus, rambut dan pakaian yang acak-acakan, serta suara parau yang semakin serak."Ssst, udah dong nangisnya,""Yuk, main yuk!""Bara, kamu kenapa sayang?""Mau aku gendong?"Eh?Iya aku tiba-tiba ngerasa aneh sendiri sama omongan yang begitu saja lolos dari bibirku. Gendong? Cari pegel encok sepertinya.
"Ahahaha..." Aku ikut tertawa saat lelaki yang ku sadari bukan berusia remaja lagi tertawa dengan tayangan kartun televisi di hadapannya. Ia nampak sedikit terhibur rupanya. Dan entah bagaimana aku merasa ikut senang juga melihatnya sedikit terhibur. Ku rasa ia bukan sosok anak atau mungkin bisa disebut Little yang manja dan terlalu bergantung. Buktinya saja saat ini ia bisa berbaur denganku, padahal sebelumnya kami jarang bicara. Oh, aku bukan baru menyadarinya tapi baru merasakannya. Aku sudah tahu jika anak ini bukanlah tipe yang manja dan sangat bergantung pada papanya atau siapapun yang mengasuhnya. Ia cenderung tenang dan pendiam, mungkin juga pemalu. Ingat kan bagaimana ia bertemu denganku untuk kali pertama? Hanya mata dan ekspresi yang berbicara, tapi ia terlihat diam. Aku pikir saat itu, itu karena ada Suster Dara. Tapi saat satu bulan kami tinggal bersama, aku tahu tenang adalah sifat alaminya.bisa dibilang
"Suhu badannya sekitar 38° C, yups benar ada alergi yang ia derita, kulitnya kemerahan." Kata Dokter Davi yang merupakn dokter keluarga Chan."Jika ingin mengetesnya lebih lanjut, kalian bisa membawanya ke rumah sakit." Lanjutnya."Ah, tidak perlu. Kami sebenarnya sudah tahu. Hanya saja kelalaian kami jadi alerginya kambuh," kata Chan yang diangguki dokter. Sejenak dokter itu menyobek secarik kertas dan menuliskannya."Tebus ini di apotik besok, ini adalah obat untuk mengatasi alergi dan menurunkan demam. Untuk saat ini saya akan berikan obat penurun demam dan vitamin," kami mengangguk bersama, "jangan lupa untuk memberinya banyak minum, jangan sampai ia dehidrasi.""Baik Dok, terimakasih banyak," seruku. Dokter Davi berdiri dari bangkunya bersiap untuk pulang."Biar saya antar ke depan," sahutku sambil membuka pintu kamar yang hampir benar-benar tertutup. Kami pun berjalan keluar meninggalkan Chan dan Bara di kamar.Usai m
PART 4 *Aku Punya Peran*Aku melambaikan tangan saat mobil Chan melaju membawa dua orang di dalamnya. Aku tersenyum dengan kehundahan hati atas apa yang terjadi kamarin, hari ini, besok dan seterusnya."Karma mungkin," kataku sembari masuk ke dalam rumah. Sejenak aku berdiri di bibir pintu, menghadap ruang di dalam yang sepi. Entah mengapa setelah kepergian janin 3 bulan dari rahim ini aku jadi merasakan sesuatu yang hampa, tidak ada semangat, tidak ada hal yang bisa membuatku hidup seperti matahari.Padahal ya sebelumnya, rumah ini memang selalu sepi jika aku hanya sendiri. Tapi entah sekarang berbeda. Lebih terlihat sepi, sunyi, bahkan agak tak bernyawa kalau saja Bara tidak ada.Ya, anak itu menjadikan rumah ini setidaknya punya suara dan hidup."Papa, Bara boleh nonton tv?""Papa, Bara mau mam cokelat, boleh?""Papa baik deh, i love you..."Aku jarang berbicara bahkan tidak dengan Bara. Tapi telinga
PART 3 *Aku Bukan Orang Tuanya*Sippy cup, diapers, oniesie, box bayi ah tepatnya ranjang besar dengan penyangga di kanan kirinya, dan berbagai peralatan bayi tertata di sebuah ruang yang semula adalah kamar tidur kosong. Kamar tidur itu bersebelahan dengan kamar tidur calon anak kami.Jangan tanya kapan ia membeli barang-barang ini, apalagi box bayi berukuran besar itu. Aku tebak ini pasti dibeli saat kami menjemput Bara lalu melayap ke supermarket. Iya, aku bilang melayap karena bukan hanya sekedar berbelanja tapi juga bermain di lantai atas. Kami melayap cukup lama hingga tak terasa saat keluar dari supermarket hari sudah gelap."Wahh kamalnya bagus pa...!" Sorak Bara saat membuka ruangan yang langsung terasa sejuknya."Ehe, ini kamarmu sayang, mulai hari ini kamu tidur disini," jawab Chan."Sendilian?""Iya sayang." Entah faktor little atau bagaimana, Bara tiba-tiba saja memurungkan wajahnya, bibirnya menekuk seperti kerucut
Gleb!Aku menutup pintu mobil sesaat setelah aku keluar dari mobil. Ku lihat sekitar yang nampak sepi. Hanya ada tanaman yang ditata sedemikian rupa agar terlihat rapi bak taman. Udara disini sangat segar, banyak burung beterbangan, kupu-kupu cantik yang hinggap entah dimana pun. Tempat apa ini? Bukankah Chan bilang ingin menjemput calon anak kami, ya?"Rumah Sakit Jiwa Health & Happy? Rumah sakit jiwa?" Ejaku sembari bertanya.Ini aku tidak salah baca papan nama lokasi, kan? Chan membawaku kesini? Untuk apa? Apa jangan-jangan.."Ngapain masih disitu?" Aku langsung menoleh ke arah Chan yang berdiri dengan muka badmoodnya di depan pintu masuk. Aku tak menjawab apapun selain menunjuk papan nama sembari menunjukkan wajah bertanya."Hmm.." Katanya lalu berbalik dan masuk terlebih dahulu. Aku yang masih bertanya-tanya pun kini mengekorinya masuk.Chan bukan manusia kulkas 12 pintu yang suka berdehem untuk menja
"Aku mau ngangkat anak." Aku terperanjat saat mendengar Chan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Ngangkat anak?"Kamu jangan bercanda, deh!" Sahutku sambil kembali fokus ke majalah yang tengah aku baca. Chan tak menjawab, ia hanya terus fokus meneguk secangkir kopi dan menjelajahi sesuatu di laman ponselnya."Chan?" Aku memanggil suamiku sekali lagi, berharap dia merespon.Bukan merespon, ia malah menunjukkan foto seorang lelaki yang nampak imut dengan poni koma di dahinya. Ah, imutnya!"Ini calon anak kita," katanya masih meneguk kopi."Hah??" Aku memekik dengan segera. Orang ini sedang ngelindur? Mimpi? Sinting? Kok bisa-bisanya ia ingin mengadopsi anak yang kemungkinan sudah remaja atau bahkan dewasa. Ia hanya menaruh gelas sambil tersenyum padaku."Iya, ini anak kita mulai besok."Aku tertawa miris menyadari sempitnya posisiku. Ia langsung memutuskan tanpa ingin berunding denganku. Seperti m