Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop ituâdokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache
Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil
Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. âPagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?â tanya Nathan. âRachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?â tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. âTidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.âLaela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. âSilakan duduk. Mau teh atau kopi?ââKopi saja, Tante. Terima kasih.âNathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me
âSial!â keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. âKita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelahâĶ â Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le
âJadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?â tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. âAku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,â ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal
Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?RachelâĶ pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb
âKata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?â tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. âSampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?â tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.âAku hanya lelah, Nathan,â gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya
Rachel membuka matanya saat sinar matahari masuk ke celah jendela. Dia menolehkan kepalanya dan cukup terkejut kalau dia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan rasa cemas yang biasa dia rasakan. Sudah beberapa minggu sejak Nathan pergi bertugas dan Rachel tinggal di rumah Tantenya, dia tidak tidur dengan nyenyak dan bahkan semalaman tidak bisa tidur. Tetapi, sekarang dia bisa tidur dengan lelap tanpa perasaan gelisah lagi. Wanita itu menyadari sesuatu yang sedang dia genggam dengan cukup kuat. Wanita itu menundukkan pandangannya dan langsung melihat genggaman tangan Nathan. Pria itu dengan setia menggenggam tangannya semalaman, bahkan dia tidur dengan posisi duduk di kursi yang ada di samping brankar dan menyandarkan kepalanya ke brankar. Tidak bisa dipungkiri, kalau Rachel terharu dengan apa yang dilakukan Nathan. Tetapi, rasa kecewa dan sakitnya terlalu dalam, sampai dia terus menepis perasaan itu. Rachel tidak mau berharap lagi pada Nathan karena sudah berkali
Setelah mandi dan mengenakan gaun elegan itu, Rachel berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya. Gaun itu pas sekali di tubuhnya, membingkai siluet rampingnya dengan begitu anggun.Rachel berdiri di depan cermin dengan jantung yang berdebar pelan. Gaun elegan pemberian Nathan kini membalut tubuhnya dengan anggun. Warnanya yang lembut berpadu sempurna dengan rona hangat kulitnya. Potongan gaun itu mempertegas siluet tubuhnya, sementara kilau halus pada permukaannya memantulkan cahaya dengan cara yang nyaris magis.Rambut Rachel ditata lembut, sebagian digerai, sebagian disanggul sederhana, memberi kesan manis sekaligus dewasa. Ia menyematkan anting mutiara kecil di telinganya, lalu meraih kalung yang dulu juga diberikan Nathan, mutiara putih yang menggantung anggun di leher jenjangnya.Rachel menarik napas panjang dan mematut dirinya sekali lagi. Ada kilau baru di matanya, seperti semangat yang baru menyala. Malam ini bukan malam biasa. Ini adalah momen yang sudah lama tidak mereka mi
Matahari belum terlalu tinggi saat Rachel dan Nathan bersiap di dermaga kecil, mengenakan perlengkapan menyelam yang telah dipersiapkan oleh pemandu wisata. Rachel terlihat gugup, tetapi antusiasme di matanya tidak bisa disembunyikan. Nathan memeriksa kembali maskernya dan memastikan tangan Rachel tetap dalam genggamannya.âKamu siap?â tanya Nathan sambil tersenyum lembut.Rachel mengangguk. âYa. Walau gugup, tapi aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Kalau ada kamu, aku berani.ââGood.âMereka pun perlahan menuruni tangga kecil yang mengarah langsung ke laut. Air terasa sejuk saat menyentuh kulit mereka, dan dalam hitungan menit, mereka sudah benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut dengan pemandu yang mengikuti dari belakang untuk berjaga.Begitu memasuki dunia bawah laut, semua keheningan daratan seakan lenyap. Suara hanya berupa gelembung-gelembung udara dan detak jantung yang terdengar di dalam kepala mereka. Rachel membuka matanya lebar-lebar saat melihat sekumpulan ikan
Langit biru cerah membentang luas di atas kepala saat Nathan membuka pintu mobil sport berwarna hitam metalik yang mengilap. Angin laut semilir langsung menyapa kulit begitu Rachel melangkah keluar dari villa, gaun putih selututnya berkibar ringan mengikuti gerak langkahnya. Matanya membulat saat melihat kendaraan yang terparkir di depan halaman.âWow... Kamu dapat mobil ini dari mana?â tanyanya, setengah tak percaya.Nathan tersenyum bangga, menyandarkan tangan di bodi mobil. âDisewa khusus buat hari ini. Kita mau ke Tanah Lot, kan? Aku pikir, kenapa nggak sekalian gaya dikit?âRachel terkekeh, matanya berbinar penuh semangat. âWaw... kamu memang bisa menciptakan suasana yang romantis dan menyenangkan, ya?ââTentu saja. Apa sih yang nggak buat istriku yang cantik,â balas Nathan dengan senyuman lebarnya.âCk... gombal banget. Ah, kamu jadi sangat romantis karena kegiatan tadi malam, kan?â tuduh Rachel membuat Nathan terkekeh.âYa, sebenarnya aku hanya ingin membuat istriku bahagia. Ta
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik saat Nathan dan Rachel melangkah keluar dari mobil mereka, menginjak pasir yang masih basah oleh ombak semalam. Aroma laut langsung menyapa, bercampur dengan semilir angin dan suara camar yang beterbangan di atas perahu-perahu nelayan yang bersandar.Rachel menatap ke arah deretan perahu yang mulai menurunkan hasil tangkapan mereka. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia bawah laut dalam bentuk nyata. âLihat, Nath! Ikan itu masih loncat-loncat!â serunya, menunjuk ember besar berisi ikan kerapu segar.Nathan tersenyum melihat antusiasme istrinya. âKamu kayak anak kecil yang baru nemu mainan baru.âRachel mencubit lengannya pelan. âIni pertama kalinya aku langsung ke tempat nelayan, lho. Selama ini cuma lihat di pasar atau supermarket. Rasanya beda.âMereka mulai berkeliling, menyapa para nelayan yang ramah dan menjajakan hasil tangkapannya. Udang, cumi-cumi, kakap merah, bahkan kerang laut tertata di atas meja ka
âRachel...â Nathan mengelus lembut rahang Rachel di sana. âBangun Sayang.â Mendengar itu, Rachel perlahan membuka matanya dan menatap Nathan di depannya. Senyuman manis terukir indah di bibir wanita itu. âPagi, Nathan... â sapa Rachel. âBangun, yuk. Kita sarapan, aku sudah siapkan sarapan untuk kita,â ajak Nathan di sana. Rachel menganggukkan kepalanya, masih dengan senyumannya. Sejak dia mengatakan semuanya pada Nathan, semua beban hidupnya dan Nathan memilih untuk mempercayainya. Itu sudah sangat cukup untuk membantunya bangkit dan merasa lega.Nathan tersenyum hangat melihat ekspresi tenang di wajah Rachel, berbeda jauh dari malam-malam sebelumnya yang selalu diwarnai tangis dan mimpi buruk. Ia membungkuk sedikit, mengecup kening Rachel dengan penuh kasih.âPagi ini kamu cantik banget, tahu nggak?â goda Nathan sambil membelai rambut Rachel yang sedikit kusut.Rachel tertawa kecil, suaranya pelan namun tulus. âItu karena aku tidur ny
Mata Nathan langsung membelalak. Rahangnya mengeras seketika.. âApa?â suaranya rendah, hampir seperti bisikan marah yang tertahan.Rachel mengangguk lemah, air matanya kembali jatuh. âDia bebas, NathâĶ Karena kejahatannya tidak besar. Saat aku mendengar nama itu dari Tante Laela, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku kalau dia tidak akan melakukan hal seperti itu dulu. Aku tidak mungkin bertemu lagi dengannya, jadi aku masih aman. Tapi aku tetap ketakutan. Setiap malam aku mimpi buruk, aku merasa seperti dia ada di sekitarku, mengawasikuâĶ Dan kamu, kamu selalu tidak ada di sampingku. Sampai aku merasa frustrasi sendiri,â gumam Rachel. âAku paham, aku mengerti, kamu sedang bekerja. Kamu punya tanggung jawab di maskapai sebagai seorang pilot. Aku sadar, kamu tidak sepenuhnya milikku, tapi aku tetap ketakutan dan terlalu mengharapkanmu. Maafkan akuâĶ âNathan mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak kemarahan yang semakin membara di dadanya. âKenapa kamu tidak memberitahuku
âJadi, apa yang sebenarnya terjadi?â tanya Nathan. Saat ini, mereka berdua sudah duduk di kursi ruang tengah dekat televisi. âAku sebenarnya takut untuk mengatakannya padamu. Aku takut kamu tidak akan mempercayaiku,â ujar Rachel menggigit bibir bawahnya. âAku pasti akan mempercayaimu, Hel. Aku sangat percaya 100% padamu,â ujar Nathan dengan serius. Rachel pun menggigit bibirnya sambil menghela napas. â10 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku SMA. Orang tuaku bercerai, mereka memilih menikah lagi dan menitipkanku pada Tante Yeni, adik dari Mama. Aku dicampakkan oleh orang tuaku sendiri karena mereka lebih mementingkan keluarga baru mereka. Sedangkan hidup di rumah tante Yeni, aku menjadi pembantu di sana. Selain membersihkan rumah, memasak untuk mereka semua, aku juga harus melayani keluarga Tante Yang jumlahnya tidak sedikit. Selain dua anaknya, di sana ada adik dari suami tante Yeni yang tinggal di sana,â tutur Rachel dan saat itu Nathan melihat wajah Rachel pucat dan kedua t
Tok! Tok! Tok! âApa kamu akan terus mengurung diri sendiri seperti itu, Hel?â Nathan masih berusaha sabar dengan sikap Rachel yang terus menghindar. Semua keanehan yang terjadi pada istrinya itu, diluar kebiasaan. Dan itu memicu rasa penasaran nya semakin besar. âRachel, bisa bicara? Jangan terus menghindar dan membuatku bingung karena tidak tau apa pun.â Nathan masih terus berusaha memanggil Rachel sambil mengetuk pintu kamar. Dibalik pintu, Rachel duduk bersandar ke daun pintu, dia sedang menangis tanpa suara. âMaaf, Nathan.â Rachel hanya bisa membatin dengan penuh rasa bersalah. Dia ingin bicara dan menceritakan semuanya pada Nathan. Tapi, dia masih takut dan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya. Nathan menghela napas panjang, lalu menyandarkan keningnya ke pintu. Suaranya lebih lembut kali ini.âHelâĶ Aku nggak akan marah, jadi bisakah kamu berhenti menghindari seperti ini. Kita datang ke sini untuk berlibur dan menikmati momen bahagia bersama. Kalau kamu sepert
âWah, indah banget pemandangannya,â gumam Rachel yang berdiri di bagian depan kapal feri dengan pemandangan laut yang indah. Angin berhembus menerpa tubuhnya. Dress putih dan rambutnya melambai-melambai karena hembusan angin. Nathan sedang fokus menyetir kapal feri itu sambil memperhatikan Rachel di sana.âKamu suka?â tanya Nathan dengan senyum kecil di wajahnya, tangannya masih kokoh menggenggam kemudi kapal.Rachel menoleh dan mengangguk penuh antusias. âSuka banget! Lautnya jernih, anginnya sejuk... rasanya menenangkan.âNathan tertawa kecil. âAku tahu kamu pasti suka. Makanya aku bawa kamu ke sini.âRachel kembali menatap laut yang membentang luas di hadapannya, matanya berbinar. âKamu tahu, rasanya seperti... aku bisa melupakan semuanya untuk sesaat. Hanya ada angin, ombak, dan langit yang luas.âNathan diam sejenak, lalu berjalan mendekati Rachel, membiarkan kapal melaju dengan tenang. âKalau begitu, jadikan ini sebagai tempat untuk memulai sesuatu yang baru. Kita bisa