Share

Chapter Empat

Penulis: Kinan Larasati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-26 16:07:09

“Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main.

          Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan.

          Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya.

          “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “

          Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.

Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya.

"Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah…"

Nathan mengembuskan napas kasar, kepalanya tertunduk. Selama ini, dia berpikir bahwa Rachel hanya butuh waktu, bahwa amarah dan kecewanya akan mereda dengan sendirinya. Tapi nyatanya, waktu justru semakin menjauhkan mereka.

Rachel benar-benar ingin berpisah darinya.

Tangan Nathan mengepal. Hatinya menolak menerima kenyataan ini. Tidak mungkin Rachel menyerah begitu saja. Tidak mungkin dia akan membiarkan semuanya berakhir seperti ini.

Dia bangkit berdiri, menatap layar ponselnya sekali lagi. Ingin membalas pesan itu, ingin menelepon, ingin mendengar suaranya. Tapi, apa yang bisa dia katakan?

"Jangan pergi?"

          "Aku janji akan berubah?"

          "Aku butuh kamu, Rachel?"

Semua itu terdengar seperti kebohongan yang terlambat diucapkan.

Nathan menekan pelipisnya, merasa frustrasi. Dia berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang gelap.

"Aku tidak mau kehilanganmu, Hel," gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Matanya memerah, tapi dia menolak menangis. Entah sejak kapan air matanya mengering, sama seperti hubungan mereka yang perlahan kehilangan warnanya.

Dia harus melakukan sesuatu.

Nathan meraih jaketnya dan mengambil kunci mobil. Jika Rachel pikir ini sudah berakhir, maka dia akan membuktikan bahwa dia tidak akan menyerah secepat itu.

Tidak, sebelum dia melakukan segalanya untuk mempertahankannya.

Nathan menyalakan mesin mobilnya dengan gerakan kasar, dadanya masih terasa sesak. Hujan gerimis mulai turun, menambah hawa dingin di malam yang terasa semakin kelam. Tapi tidak ada yang lebih dingin dari hatinya saat ini.

Dia menginjak pedal gas, melaju menuju rumah Laela, tempat di mana Rachel bersembunyi darinya.

Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Bagaimana jika Rachel menolak menemuinya? Bagaimana jika dia malah semakin menjauh? Atau yang lebih buruk, bagaimana jika Rachel benar-benar sudah berhenti mencintainya?

Nathan menggeleng cepat. Tidak. Dia tidak akan membiarkan ketakutan menguasainya.

Setelah berkendara selama lima belas menit, dia sampai di depan rumah Laela. Cahaya dari dalam rumah masih menyala, menandakan bahwa penghuninya belum tidur.

Nathan menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk pintu. Tapi sebelum tangannya sempat bergerak, pintu terbuka lebih dulu.

Rachel berdiri di sana.

Wanita itu tampak terkejut melihatnya, tapi hanya sebentar. Wajahnya kembali dingin, seolah sudah siap menghadapi Nathan dengan segala konsekuensinya.

"Nathan?" tanyanya, suaranya terdengar datar.

Nathan menelan ludah, menatap lekat wajah istrinya yang begitu dikenalnya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mata Rachel tak lagi berbinar seperti dulu.

Dia benar-benar sudah lelah.

"Kita perlu bicara," ujar Nathan akhirnya.

Rachel menghela napas panjang sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. "Aku rasa, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."

"Jangan bicara seperti itu," suara Nathan sedikit bergetar. "Aku tahu aku salah, aku tahu aku banyak mengabaikanmu. Tapi kita bisa memperbaikinya, Rachel. Aku bersedia melakukan apa pun."

Rachel tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya kepahitan.

"Sekarang kamu bilang ingin memperbaiki semuanya? Setelah aku hampir hancur menunggu kamu sadar? Nathan, aku tidak punya energi lagi untuk berharap."

Nathan terdiam. Kata-kata Rachel menusuk lebih dalam daripada yang dia bayangkan.

"Aku tidak ingin kehilanganmu," suaranya terdengar lebih lirih, lebih putus asa.

Rachel menatapnya, mata mereka saling bertaut dalam keheningan yang menyakitkan. Untuk pertama kalinya, Nathan melihat betapa dalam luka yang telah ia sebabkan.

"Sayangnya, Nathan," Rachel berbisik, "Kamu sudah kehilangan aku sejak lama."

Hatinya mencelos.

Hujan semakin deras. Tapi tidak ada yang lebih menyakitkan dari kenyataan bahwa mungkin… dia benar-benar sudah terlambat.

          “Tolong jangan egois, Rachel. Kita pulang, ya. Kita sudah berpisah selama tiga hari, aku kangen kamu. Aku tidak berniat bercerai denganmu, aku tidak akan pernah melepaskanmu, Rachel!” ucap Nathan dengan tegas.

          “Kamu selalu egois dan semaunya, ya?” ujar Rachel menahan tangisnya di sana.

          “Ayo, program hamil. Kamu menginginkan seorang anak, bukan? Ayo kita program,” ujar Nathan dengan tegas dan terlihat ekspresi Rachel terkejut di sana.

*** 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Reny Yunita
ya Allah Rachel si Nathan bikin gemas bgt ya Rachel ternyata km sesabar itu ya Rachel
goodnovel comment avatar
Reny Yunita
aish bner bner Lo ya Nathan bikin emosi mana ada bujuk istri kaya gtu Nathan ya Allah Rachel sesabar itu kau Rachel aah Nathan menyebalkan
goodnovel comment avatar
Jeon Shanty
bukan begitu cara membujuk wanita Nathan km emng bnr² kaku ya... Rachel udh terlalu cape dan jika pun dia kembali rasanya tdk akan sama seperti sebelumnya than
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Lima

    “Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Enam

    Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tujuh

    “Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Satu

    Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua

    Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga

    Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23

Bab terbaru

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tujuh

    “Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Enam

    Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Lima

    “Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Empat

    “Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga

    Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua

    Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Satu

    Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status