“Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main.
Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan.
Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya.
“Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “
Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.
Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya.
"Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah…"
Nathan mengembuskan napas kasar, kepalanya tertunduk. Selama ini, dia berpikir bahwa Rachel hanya butuh waktu, bahwa amarah dan kecewanya akan mereda dengan sendirinya. Tapi nyatanya, waktu justru semakin menjauhkan mereka.
Rachel benar-benar ingin berpisah darinya.
Tangan Nathan mengepal. Hatinya menolak menerima kenyataan ini. Tidak mungkin Rachel menyerah begitu saja. Tidak mungkin dia akan membiarkan semuanya berakhir seperti ini.
Dia bangkit berdiri, menatap layar ponselnya sekali lagi. Ingin membalas pesan itu, ingin menelepon, ingin mendengar suaranya. Tapi, apa yang bisa dia katakan?
"Jangan pergi?" "Aku janji akan berubah?" "Aku butuh kamu, Rachel?"
Semua itu terdengar seperti kebohongan yang terlambat diucapkan.
Nathan menekan pelipisnya, merasa frustrasi. Dia berjalan ke arah jendela, menatap langit malam yang gelap.
"Aku tidak mau kehilanganmu, Hel," gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Matanya memerah, tapi dia menolak menangis. Entah sejak kapan air matanya mengering, sama seperti hubungan mereka yang perlahan kehilangan warnanya.
Dia harus melakukan sesuatu.
Nathan meraih jaketnya dan mengambil kunci mobil. Jika Rachel pikir ini sudah berakhir, maka dia akan membuktikan bahwa dia tidak akan menyerah secepat itu.
Tidak, sebelum dia melakukan segalanya untuk mempertahankannya.
Nathan menyalakan mesin mobilnya dengan gerakan kasar, dadanya masih terasa sesak. Hujan gerimis mulai turun, menambah hawa dingin di malam yang terasa semakin kelam. Tapi tidak ada yang lebih dingin dari hatinya saat ini.
Dia menginjak pedal gas, melaju menuju rumah Laela, tempat di mana Rachel bersembunyi darinya.
Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan. Bagaimana jika Rachel menolak menemuinya? Bagaimana jika dia malah semakin menjauh? Atau yang lebih buruk, bagaimana jika Rachel benar-benar sudah berhenti mencintainya?
Nathan menggeleng cepat. Tidak. Dia tidak akan membiarkan ketakutan menguasainya.
Setelah berkendara selama lima belas menit, dia sampai di depan rumah Laela. Cahaya dari dalam rumah masih menyala, menandakan bahwa penghuninya belum tidur.
Nathan menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk pintu. Tapi sebelum tangannya sempat bergerak, pintu terbuka lebih dulu.
Rachel berdiri di sana.
Wanita itu tampak terkejut melihatnya, tapi hanya sebentar. Wajahnya kembali dingin, seolah sudah siap menghadapi Nathan dengan segala konsekuensinya.
"Nathan?" tanyanya, suaranya terdengar datar.
Nathan menelan ludah, menatap lekat wajah istrinya yang begitu dikenalnya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mata Rachel tak lagi berbinar seperti dulu.
Dia benar-benar sudah lelah.
"Kita perlu bicara," ujar Nathan akhirnya.
Rachel menghela napas panjang sebelum melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya. "Aku rasa, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Jangan bicara seperti itu," suara Nathan sedikit bergetar. "Aku tahu aku salah, aku tahu aku banyak mengabaikanmu. Tapi kita bisa memperbaikinya, Rachel. Aku bersedia melakukan apa pun."
Rachel tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya kepahitan.
"Sekarang kamu bilang ingin memperbaiki semuanya? Setelah aku hampir hancur menunggu kamu sadar? Nathan, aku tidak punya energi lagi untuk berharap."
Nathan terdiam. Kata-kata Rachel menusuk lebih dalam daripada yang dia bayangkan.
"Aku tidak ingin kehilanganmu," suaranya terdengar lebih lirih, lebih putus asa.
Rachel menatapnya, mata mereka saling bertaut dalam keheningan yang menyakitkan. Untuk pertama kalinya, Nathan melihat betapa dalam luka yang telah ia sebabkan.
"Sayangnya, Nathan," Rachel berbisik, "Kamu sudah kehilangan aku sejak lama."
Hatinya mencelos.
Hujan semakin deras. Tapi tidak ada yang lebih menyakitkan dari kenyataan bahwa mungkin… dia benar-benar sudah terlambat.
“Tolong jangan egois, Rachel. Kita pulang, ya. Kita sudah berpisah selama tiga hari, aku kangen kamu. Aku tidak berniat bercerai denganmu, aku tidak akan pernah melepaskanmu, Rachel!” ucap Nathan dengan tegas.
“Kamu selalu egois dan semaunya, ya?” ujar Rachel menahan tangisnya di sana.
“Ayo, program hamil. Kamu menginginkan seorang anak, bukan? Ayo kita program,” ujar Nathan dengan tegas dan terlihat ekspresi Rachel terkejut di sana.
***
“Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal
Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb
“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya
Rachel membuka matanya saat sinar matahari masuk ke celah jendela. Dia menolehkan kepalanya dan cukup terkejut kalau dia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan rasa cemas yang biasa dia rasakan. Sudah beberapa minggu sejak Nathan pergi bertugas dan Rachel tinggal di rumah Tantenya, dia tidak tidur dengan nyenyak dan bahkan semalaman tidak bisa tidur. Tetapi, sekarang dia bisa tidur dengan lelap tanpa perasaan gelisah lagi. Wanita itu menyadari sesuatu yang sedang dia genggam dengan cukup kuat. Wanita itu menundukkan pandangannya dan langsung melihat genggaman tangan Nathan. Pria itu dengan setia menggenggam tangannya semalaman, bahkan dia tidur dengan posisi duduk di kursi yang ada di samping brankar dan menyandarkan kepalanya ke brankar. Tidak bisa dipungkiri, kalau Rachel terharu dengan apa yang dilakukan Nathan. Tetapi, rasa kecewa dan sakitnya terlalu dalam, sampai dia terus menepis perasaan itu. Rachel tidak mau berharap lagi pada Nathan karena sudah berkali
“Gimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Nathan pada Dokter yang melakukan pemeriksaan Rachel.“Untuk mualnya sudah tidak ada, hanya saja anemianya masih belum stabil. Pasien harus banyak-banyak istirahat dan makan yang banyak. Semoga rasa mual dan gerdnya tidak kambuh lagi. Saya sudah meresepkan beberapa obat dan antibiotiknya,” jelas Dokter di sana.Nathan mengangguk paham, matanya sesekali melirik ke arah Rachel yang tengah duduk di ranjang, mendengarkan percakapan mereka dengan ekspresi datar."Jadi, kapan Rachel bisa pulang, Dok?" tanya Nathan lagi.Dokter melihat catatan medis Rachel sebelum menjawab, "Jika kondisi anemianya membaik dalam satu atau dua hari ke depan, dia bisa pulang. Tapi tetap harus menjaga pola makan dan istirahat, jangan sampai kelelahan."Nathan menghela napas lega, lalu menatap Rachel penuh perhatian. "Dengar itu, Hel? Kamu harus makan lebih banyak dan jangan membantah kalau aku merawatmu nanti."Rachel hanya mendesah pelan, tidak ingin berdebat.Dokter ters
“Kamu sudah siap?” tanya Nathan menatap Rachel yang sudah bersiap dan terlihat lebih segar dibanding sebelumnya. “Ya, aku sudah siap,” jawab Rachel. “Hel, kita pulang ke rumah kita, ya?” ajak Nathan dan Rachel masih diam di sana. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” tambah Nathan seakan ingin meyakinkan Rachel. “Kumohon, pulang bersamaku ke rumah kita.” Rachel merasa tidak punya pilihan lain, dia pun lelah berdebat dengan Nathan akhir-akhir ini. Pria itu terus saja memaksanya, sampai Rachel tidak bisa mengatakan apapun. “Ya, baiklah,” jawab Rachel akhirnya. Saat itu pun, seulas senyuman terbit di bibir Nathan. “Kalian sudah siap?” tanya Laela yang kembali masuk ke dalam ruangan Rachel. “Sudah, Tante.” Nathan yang menjawab di sana. “Baiklah, Tante bawa tasnya,” ucap Laela pergi lebih dulu. Nathan mengulurkan tangannya ke arah Rachel. “Mau aku gendong?” tawarnya menggoda istrinya. “
Nathan memperhatikan Rachel yang terlelap di atas ranjang tanpa kata. Setelah tenang, Rachel bilang ingin tidur, dan ternyata tidak butuh waktu lama wanita itu pun terlelap di atas ranjang. “Sebenarnya, apa yang dia alami selama ini? Dia tidak hanya merasa kesepian? Apa dia takut akan sesuatu?” batin Nathan masih berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada. Melihat respon Rachel saat masuk ke dalam kamarnya tadi, seperti ada hal yang mengusiknya dan membuatnya ketakutan. Entah apa itu, tapi itu cukup mengganggunya. “Sebenarnya kenapa? apa yang membuatmu ketakutan setiap saat sampai tidak tidur? Berapa banyak hal yang kamu rahasiakan di belakangku?” batin Nathan hanya bisa menghela napas panjang.Nathan akhirnya menghela napas panjang, lalu berjalan pelan mendekati tempat tidur. Ia menatap wajah Rachel yang terlelap, namun bahkan dalam tidurnya, ekspresi wanita itu tetap tampak gelisah.Nathan duduk di tepi tempat tidur, menatap lekat wajah istrinya. Ad
Rachel menatap Nathan yang terduduk di lantai dengan kepala tertunduk, bahunya bergetar hebat. Suaminya menangis.Bukan sekadar kecewa, bukan sekadar marah—tapi hancur.Rachel menggigit bibirnya, hatinya sakit melihatnya seperti ini. Ia ingin mendekat, tapi kakinya terasa berat. Selama ini, ia berpikir bahwa dengan menahan semuanya sendiri, ia bisa melindungi Nathan dari beban tambahan. Tapi ternyata, keputusan itu malah menyakiti mereka berdua.Dengan tangan gemetar, Rachel berlutut di hadapan Nathan. “Nathan...” panggilnya lirih.Nathan tidak menjawab, hanya menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangan.Rachel menarik napas dalam, lalu menyentuh bahu Nathan dengan ragu. “Aku tidak pernah bermaksud tidak mempercayaimu. Aku hanya... takut.”Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah dan basah. “Takut? Takut apa, Hel?” suaranya serak.Rachel mengusap air matanya sendiri. “Takut kalau aku membebanimu. Takut kalau kamu akan melihatku sebagai istri yang lemah, yang menyusahkan.
Setelah mandi dan mengenakan gaun elegan itu, Rachel berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya. Gaun itu pas sekali di tubuhnya, membingkai siluet rampingnya dengan begitu anggun.Rachel berdiri di depan cermin dengan jantung yang berdebar pelan. Gaun elegan pemberian Nathan kini membalut tubuhnya dengan anggun. Warnanya yang lembut berpadu sempurna dengan rona hangat kulitnya. Potongan gaun itu mempertegas siluet tubuhnya, sementara kilau halus pada permukaannya memantulkan cahaya dengan cara yang nyaris magis.Rambut Rachel ditata lembut, sebagian digerai, sebagian disanggul sederhana, memberi kesan manis sekaligus dewasa. Ia menyematkan anting mutiara kecil di telinganya, lalu meraih kalung yang dulu juga diberikan Nathan, mutiara putih yang menggantung anggun di leher jenjangnya.Rachel menarik napas panjang dan mematut dirinya sekali lagi. Ada kilau baru di matanya, seperti semangat yang baru menyala. Malam ini bukan malam biasa. Ini adalah momen yang sudah lama tidak mereka mi
Matahari belum terlalu tinggi saat Rachel dan Nathan bersiap di dermaga kecil, mengenakan perlengkapan menyelam yang telah dipersiapkan oleh pemandu wisata. Rachel terlihat gugup, tetapi antusiasme di matanya tidak bisa disembunyikan. Nathan memeriksa kembali maskernya dan memastikan tangan Rachel tetap dalam genggamannya.“Kamu siap?” tanya Nathan sambil tersenyum lembut.Rachel mengangguk. “Ya. Walau gugup, tapi aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Kalau ada kamu, aku berani.”“Good.”Mereka pun perlahan menuruni tangga kecil yang mengarah langsung ke laut. Air terasa sejuk saat menyentuh kulit mereka, dan dalam hitungan menit, mereka sudah benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut dengan pemandu yang mengikuti dari belakang untuk berjaga.Begitu memasuki dunia bawah laut, semua keheningan daratan seakan lenyap. Suara hanya berupa gelembung-gelembung udara dan detak jantung yang terdengar di dalam kepala mereka. Rachel membuka matanya lebar-lebar saat melihat sekumpulan ikan
Langit biru cerah membentang luas di atas kepala saat Nathan membuka pintu mobil sport berwarna hitam metalik yang mengilap. Angin laut semilir langsung menyapa kulit begitu Rachel melangkah keluar dari villa, gaun putih selututnya berkibar ringan mengikuti gerak langkahnya. Matanya membulat saat melihat kendaraan yang terparkir di depan halaman.“Wow... Kamu dapat mobil ini dari mana?” tanyanya, setengah tak percaya.Nathan tersenyum bangga, menyandarkan tangan di bodi mobil. “Disewa khusus buat hari ini. Kita mau ke Tanah Lot, kan? Aku pikir, kenapa nggak sekalian gaya dikit?”Rachel terkekeh, matanya berbinar penuh semangat. “Waw... kamu memang bisa menciptakan suasana yang romantis dan menyenangkan, ya?”“Tentu saja. Apa sih yang nggak buat istriku yang cantik,” balas Nathan dengan senyuman lebarnya.“Ck... gombal banget. Ah, kamu jadi sangat romantis karena kegiatan tadi malam, kan?” tuduh Rachel membuat Nathan terkekeh.“Ya, sebenarnya aku hanya ingin membuat istriku bahagia. Ta
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik saat Nathan dan Rachel melangkah keluar dari mobil mereka, menginjak pasir yang masih basah oleh ombak semalam. Aroma laut langsung menyapa, bercampur dengan semilir angin dan suara camar yang beterbangan di atas perahu-perahu nelayan yang bersandar.Rachel menatap ke arah deretan perahu yang mulai menurunkan hasil tangkapan mereka. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia bawah laut dalam bentuk nyata. “Lihat, Nath! Ikan itu masih loncat-loncat!” serunya, menunjuk ember besar berisi ikan kerapu segar.Nathan tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Kamu kayak anak kecil yang baru nemu mainan baru.”Rachel mencubit lengannya pelan. “Ini pertama kalinya aku langsung ke tempat nelayan, lho. Selama ini cuma lihat di pasar atau supermarket. Rasanya beda.”Mereka mulai berkeliling, menyapa para nelayan yang ramah dan menjajakan hasil tangkapannya. Udang, cumi-cumi, kakap merah, bahkan kerang laut tertata di atas meja ka
“Rachel...” Nathan mengelus lembut rahang Rachel di sana. “Bangun Sayang.” Mendengar itu, Rachel perlahan membuka matanya dan menatap Nathan di depannya. Senyuman manis terukir indah di bibir wanita itu. “Pagi, Nathan... “ sapa Rachel. “Bangun, yuk. Kita sarapan, aku sudah siapkan sarapan untuk kita,” ajak Nathan di sana. Rachel menganggukkan kepalanya, masih dengan senyumannya. Sejak dia mengatakan semuanya pada Nathan, semua beban hidupnya dan Nathan memilih untuk mempercayainya. Itu sudah sangat cukup untuk membantunya bangkit dan merasa lega.Nathan tersenyum hangat melihat ekspresi tenang di wajah Rachel, berbeda jauh dari malam-malam sebelumnya yang selalu diwarnai tangis dan mimpi buruk. Ia membungkuk sedikit, mengecup kening Rachel dengan penuh kasih.“Pagi ini kamu cantik banget, tahu nggak?” goda Nathan sambil membelai rambut Rachel yang sedikit kusut.Rachel tertawa kecil, suaranya pelan namun tulus. “Itu karena aku tidur ny
Mata Nathan langsung membelalak. Rahangnya mengeras seketika.. “Apa?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan marah yang tertahan.Rachel mengangguk lemah, air matanya kembali jatuh. “Dia bebas, Nath… Karena kejahatannya tidak besar. Saat aku mendengar nama itu dari Tante Laela, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku kalau dia tidak akan melakukan hal seperti itu dulu. Aku tidak mungkin bertemu lagi dengannya, jadi aku masih aman. Tapi aku tetap ketakutan. Setiap malam aku mimpi buruk, aku merasa seperti dia ada di sekitarku, mengawasiku… Dan kamu, kamu selalu tidak ada di sampingku. Sampai aku merasa frustrasi sendiri,” gumam Rachel. “Aku paham, aku mengerti, kamu sedang bekerja. Kamu punya tanggung jawab di maskapai sebagai seorang pilot. Aku sadar, kamu tidak sepenuhnya milikku, tapi aku tetap ketakutan dan terlalu mengharapkanmu. Maafkan aku… “Nathan mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak kemarahan yang semakin membara di dadanya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nathan. Saat ini, mereka berdua sudah duduk di kursi ruang tengah dekat televisi. “Aku sebenarnya takut untuk mengatakannya padamu. Aku takut kamu tidak akan mempercayaiku,” ujar Rachel menggigit bibir bawahnya. “Aku pasti akan mempercayaimu, Hel. Aku sangat percaya 100% padamu,” ujar Nathan dengan serius. Rachel pun menggigit bibirnya sambil menghela napas. “10 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku SMA. Orang tuaku bercerai, mereka memilih menikah lagi dan menitipkanku pada Tante Yeni, adik dari Mama. Aku dicampakkan oleh orang tuaku sendiri karena mereka lebih mementingkan keluarga baru mereka. Sedangkan hidup di rumah tante Yeni, aku menjadi pembantu di sana. Selain membersihkan rumah, memasak untuk mereka semua, aku juga harus melayani keluarga Tante Yang jumlahnya tidak sedikit. Selain dua anaknya, di sana ada adik dari suami tante Yeni yang tinggal di sana,” tutur Rachel dan saat itu Nathan melihat wajah Rachel pucat dan kedua t
Tok! Tok! Tok! “Apa kamu akan terus mengurung diri sendiri seperti itu, Hel?” Nathan masih berusaha sabar dengan sikap Rachel yang terus menghindar. Semua keanehan yang terjadi pada istrinya itu, diluar kebiasaan. Dan itu memicu rasa penasaran nya semakin besar. “Rachel, bisa bicara? Jangan terus menghindar dan membuatku bingung karena tidak tau apa pun.” Nathan masih terus berusaha memanggil Rachel sambil mengetuk pintu kamar. Dibalik pintu, Rachel duduk bersandar ke daun pintu, dia sedang menangis tanpa suara. “Maaf, Nathan.” Rachel hanya bisa membatin dengan penuh rasa bersalah. Dia ingin bicara dan menceritakan semuanya pada Nathan. Tapi, dia masih takut dan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya. Nathan menghela napas panjang, lalu menyandarkan keningnya ke pintu. Suaranya lebih lembut kali ini.“Hel… Aku nggak akan marah, jadi bisakah kamu berhenti menghindari seperti ini. Kita datang ke sini untuk berlibur dan menikmati momen bahagia bersama. Kalau kamu sepert
“Wah, indah banget pemandangannya,” gumam Rachel yang berdiri di bagian depan kapal feri dengan pemandangan laut yang indah. Angin berhembus menerpa tubuhnya. Dress putih dan rambutnya melambai-melambai karena hembusan angin. Nathan sedang fokus menyetir kapal feri itu sambil memperhatikan Rachel di sana.“Kamu suka?” tanya Nathan dengan senyum kecil di wajahnya, tangannya masih kokoh menggenggam kemudi kapal.Rachel menoleh dan mengangguk penuh antusias. “Suka banget! Lautnya jernih, anginnya sejuk... rasanya menenangkan.”Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti suka. Makanya aku bawa kamu ke sini.”Rachel kembali menatap laut yang membentang luas di hadapannya, matanya berbinar. “Kamu tahu, rasanya seperti... aku bisa melupakan semuanya untuk sesaat. Hanya ada angin, ombak, dan langit yang luas.”Nathan diam sejenak, lalu berjalan mendekati Rachel, membiarkan kapal melaju dengan tenang. “Kalau begitu, jadikan ini sebagai tempat untuk memulai sesuatu yang baru. Kita bisa