Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?
Rachel… pergi ke psikiater?
Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?
Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.
Apa yang selama ini dia tidak tahu?
Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel.
Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak rambutnya. Tak jarang, dia juga memukuli dadanya sendiri dan duduk dipojokan kasur. Wanita itu seperti sedang ketakutan, entah apa yang membuatnya takut, karena Nathan tidak menemukan sesuatu yang janggal di sana.
Nathan merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, rasa bersalah yang begitu menghancurkan.
Selama ini, ia mengira Rachel hanya marah padanya, hanya ingin perhatian lebih, hanya lelah dengan pernikahan mereka. Tapi apa yang baru saja ia lihat… jauh lebih dari itu.
Rachel tidak hanya kesepian.
Rachel sedang berjuang dalam kesakitannya sendiri.
Nathan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mencerna semuanya. Apakah ini sebabnya Rachel ingin bercerai? Bukan karena ia tidak mencintainya lagi, tetapi karena ia sudah terlalu lelah bertahan sendirian?
Tanpa pikir panjang, Nathan melepaskan earphonenya dan segera keluar dari kokpit, beberapa pramugari dibuat heran oleh tingkahnya, dan beberapa ada yang bertanya kemana Nathan akan pergi, karena sebentar lagi mereka akan melakukan penerbangan.
Namun, Nathan tidak peduli.
Langkahnya cepat, hampir berlari melewati koridor bandara. Napasnya memburu, pikirannya dipenuhi oleh satu nama, Rachel.
Ia harus menemui istrinya. Sekarang.
Saat ia melewati pintu keluar, suara Adrian memanggilnya dari belakang.
“Nathan! Hei! Kau mau ke mana?!”
Nathan tidak berhenti. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak bisa menjelaskan sekarang.
Lalu, ponselnya kembali bergetar di genggaman. Kali ini, panggilan dari Rachel.
Ia langsung menjawab tanpa berpikir. “Rachel—”
Tapi yang terdengar di ujung sana bukan suara istrinya.
Melainkan suara Tante Laela.
“Nathan?” Laela terdengar menangis di sana.
Jantung Nathan mencelos. “Tante, ada apa? Di mana, Rachel?”
“Rachel… dia baru saja dibawa ke rumah sakit dalam keadaan—”
Suaranya terputus oleh deru mobil yang melintas.
“Rumah sakit mana? Aku akan segera ke sana,” ucap Nathan dan Laela menyebutkan nama rumah sakitnya sebelum menutup panggilan itu.
Nathan berlari ke arah tempat parkir tanpa memedulikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya. Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil, lalu segera menyalakan mesin dan tancap gas keluar dari area bandara.
Pikirannya penuh dengan skenario buruk. Apa yang terjadi pada Rachel? Kenapa dia sampai dilarikan ke rumah sakit?
Jantungnya berdetak terlalu kencang hingga terasa menyakitkan. “Kumohon, tidak terjadi apa pun padamu, Hel. Kumohon, jangan meninggalkanku!” gumamnya tidak menentu.
Akhirnya, ia menginjak gas dalam-dalam saat lampu hijau menyala, menerobos jalanan dengan kecepatan gila.
Ia harus sampai di sana.
Mobil Nathan melaju seperti peluru, menyalip kendaraan lain tanpa peduli pada klakson marah yang bersahutan di belakangnya.
Tangannya mencengkeram setir erat, matanya berkaca-kaca, tetapi fokusnya tetap pada jalan.
Rachel…
Hatinya berdebar semakin kencang saat rumah sakit mulai terlihat di kejauhan. Ia langsung membanting stir ke parkiran, lalu melompat keluar sebelum mesin mobil benar-benar mati.
Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju lobi rumah sakit, mencari seseorang, siapa saja, yang bisa memberitahunya di mana Rachel berada.
Saat ia hampir mencapai meja informasi, matanya menangkap sosok Tante Laela yang berdiri di dekat lorong, wajahnya penuh air mata.
"Tante!" Nathan hampir berteriak saat menghampiri wanita itu. "Di mana Rachel?! Apa yang terjadi?!"
“Nathan?” panggil Laela.
“Bagaimana Rachel, Tante? Apa yang terjadi?” tanya Nathan dengan napas ngos-ngosan.
“Tenang, Nathan. Rachel ada di IGD, Tante sedang melakukan pendaftaran di sini. Tadi, dia tiba-tiba pungsan di rumah, Dokter bilang kalau jantung Rachel berdebar terlalu cepat dan dia juga mengalami anemia,” jawab Laela. “Kalau kamu mau menemuinya, dia masih ada di IGD.”
Tanpa menunggu lebih lama, Nathan bergegas menuju ruang IGD. Langkahnya cepat dan panik, hampir menabrak beberapa orang di lorong rumah sakit.
Dadanya sesak, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Saat tiba di depan pintu IGD, seorang perawat menghentikannya.
"Maaf, Anda keluarga pasien?" tanya perawat itu.
"Saya suaminya! Rachel, dia baik-baik saja? Saya harus menemuinya!"
Perawat itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan membuka tirai bilik tempat Rachel dirawat.
Di sana, Rachel terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan napasnya terdengar pelan namun tidak stabil.
Hati Nathan seperti diremas.
Ia melangkah mendekat, tangannya bergetar saat menyentuh jemari Rachel yang terasa dingin.
"Hel..." bisiknya lirih. "Aku di sini."
Rachel tidak bereaksi.
Nathan menelan ludah, lalu duduk di sampingnya, jemarinya masih menggenggam erat tangan istrinya.
“Maafkan aku, Hel. Aku sungguh egois dan bodoh. Aku benar-benar tidak peka, padahal kamu sangat membutuhkanku,” gumam Nathan tidak bisa menahan kesakitan di hatinya.
“Aku janji, setelah ini, aku tidak akan pernah membiarkanmu merasakan rasa sakit itu sendirian. Aku akan menemanimu setiap saat, maafkan aku, Hel,” gumamnya dengan menundukkan kepalanya.
Kedua kelopak mata Rachel bergerak, perlahan terbuka lebar. “Ugh… “ Dia meringis saat merasakan kepalanya sakit.
“Rachel,” panggil Nathan membuat wanita itu menoleh ke arah Nathan yang sedang menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca dan memerah.
Rachel memperhatikan seragam pilot yang dikenakan Nathan dan kembali melihat wajah pria itu yang terlihat sendu.
“Aku masih hidup, Nathan,” ucap Rachel walau terdengar konyol, tetapi reaksi Nathan justru membuatnya bingung sekaligus takut.
“Aku tau. Dan aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, Hel,” ucap Nathan. “Gimana keadaanmu? apa yang sakit, bagian mana yang tidak nyaman? Kata Dokter, kamu anemia, apa kamu tidak tidur dengan cukup? Apa kamu bermimpi buruk?” tanya Nathan memborong penuh kekhawatiran.
“Berhenti, Nathan!” Rachel yang masih menahan sakit di kepalanya, semakin sakit saat mendengar pertanyaan Nathan yang memborong.
“Apa yang terjadi denganmu. Kamu tidak pernah bertanya seperti itu padaku sebelumnya,” ucap Rachel.
“Ya, aku tau aku sangat tidak peka. Maafkan aku,” ucap Nathan.
“Tapi, sikapmu sekarang justru membuatku takut. Aku tidak akan mati karena anemia, Nathan.” Rachel merasa reaksi Nathan berlebihan.
Nathan menghela napas berat, menundukkan kepalanya. “Aku tahu. Aku tahu kamu tidak akan mati hanya karena anemia.”
Ia mengeratkan genggaman tangannya di atas tangan Rachel, seolah memastikan bahwa wanita itu benar-benar ada di sana, bersamanya.
“Ya, aku hanya mengkhawatirkanmu,” ucap Nathan.
“Bersikaplah seperti kamu biasanya. Sikapmu sekarang justru membuatku takut,” ujar Rachel masih terkesan dingin. “Dan kalau kamu ada penerbangan, pergilah, aku baik-baik saja, lagipula ada Tante Laela yang nemenin aku,” ucap Rachel.
“Aku tidak akan pergi ke manapun. Aku akan tetap di sisi kamu.” Rachel benar-benar terkejut dengan jawaban Nathan yang menurutnya sangat bukan Nathan. Tetapi, Rachel juga tidak memiliki tenaga lebih untuk berdebat dengan pria itu.
“Terserah,” jawab Rachel mengubah posisinya jadi menyamping dan memunggungi Nathan. Rachel terlalu syock dan salah tingkah karena kata-kata Nathan itu.
***
“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya
Rachel membuka matanya saat sinar matahari masuk ke celah jendela. Dia menolehkan kepalanya dan cukup terkejut kalau dia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan rasa cemas yang biasa dia rasakan. Sudah beberapa minggu sejak Nathan pergi bertugas dan Rachel tinggal di rumah Tantenya, dia tidak tidur dengan nyenyak dan bahkan semalaman tidak bisa tidur. Tetapi, sekarang dia bisa tidur dengan lelap tanpa perasaan gelisah lagi. Wanita itu menyadari sesuatu yang sedang dia genggam dengan cukup kuat. Wanita itu menundukkan pandangannya dan langsung melihat genggaman tangan Nathan. Pria itu dengan setia menggenggam tangannya semalaman, bahkan dia tidur dengan posisi duduk di kursi yang ada di samping brankar dan menyandarkan kepalanya ke brankar. Tidak bisa dipungkiri, kalau Rachel terharu dengan apa yang dilakukan Nathan. Tetapi, rasa kecewa dan sakitnya terlalu dalam, sampai dia terus menepis perasaan itu. Rachel tidak mau berharap lagi pada Nathan karena sudah berkali
“Gimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Nathan pada Dokter yang melakukan pemeriksaan Rachel.“Untuk mualnya sudah tidak ada, hanya saja anemianya masih belum stabil. Pasien harus banyak-banyak istirahat dan makan yang banyak. Semoga rasa mual dan gerdnya tidak kambuh lagi. Saya sudah meresepkan beberapa obat dan antibiotiknya,” jelas Dokter di sana.Nathan mengangguk paham, matanya sesekali melirik ke arah Rachel yang tengah duduk di ranjang, mendengarkan percakapan mereka dengan ekspresi datar."Jadi, kapan Rachel bisa pulang, Dok?" tanya Nathan lagi.Dokter melihat catatan medis Rachel sebelum menjawab, "Jika kondisi anemianya membaik dalam satu atau dua hari ke depan, dia bisa pulang. Tapi tetap harus menjaga pola makan dan istirahat, jangan sampai kelelahan."Nathan menghela napas lega, lalu menatap Rachel penuh perhatian. "Dengar itu, Hel? Kamu harus makan lebih banyak dan jangan membantah kalau aku merawatmu nanti."Rachel hanya mendesah pelan, tidak ingin berdebat.Dokter ters
“Kamu sudah siap?” tanya Nathan menatap Rachel yang sudah bersiap dan terlihat lebih segar dibanding sebelumnya. “Ya, aku sudah siap,” jawab Rachel. “Hel, kita pulang ke rumah kita, ya?” ajak Nathan dan Rachel masih diam di sana. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” tambah Nathan seakan ingin meyakinkan Rachel. “Kumohon, pulang bersamaku ke rumah kita.” Rachel merasa tidak punya pilihan lain, dia pun lelah berdebat dengan Nathan akhir-akhir ini. Pria itu terus saja memaksanya, sampai Rachel tidak bisa mengatakan apapun. “Ya, baiklah,” jawab Rachel akhirnya. Saat itu pun, seulas senyuman terbit di bibir Nathan. “Kalian sudah siap?” tanya Laela yang kembali masuk ke dalam ruangan Rachel. “Sudah, Tante.” Nathan yang menjawab di sana. “Baiklah, Tante bawa tasnya,” ucap Laela pergi lebih dulu. Nathan mengulurkan tangannya ke arah Rachel. “Mau aku gendong?” tawarnya menggoda istrinya. “
Nathan memperhatikan Rachel yang terlelap di atas ranjang tanpa kata. Setelah tenang, Rachel bilang ingin tidur, dan ternyata tidak butuh waktu lama wanita itu pun terlelap di atas ranjang. “Sebenarnya, apa yang dia alami selama ini? Dia tidak hanya merasa kesepian? Apa dia takut akan sesuatu?” batin Nathan masih berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada. Melihat respon Rachel saat masuk ke dalam kamarnya tadi, seperti ada hal yang mengusiknya dan membuatnya ketakutan. Entah apa itu, tapi itu cukup mengganggunya. “Sebenarnya kenapa? apa yang membuatmu ketakutan setiap saat sampai tidak tidur? Berapa banyak hal yang kamu rahasiakan di belakangku?” batin Nathan hanya bisa menghela napas panjang.Nathan akhirnya menghela napas panjang, lalu berjalan pelan mendekati tempat tidur. Ia menatap wajah Rachel yang terlelap, namun bahkan dalam tidurnya, ekspresi wanita itu tetap tampak gelisah.Nathan duduk di tepi tempat tidur, menatap lekat wajah istrinya. Ad
Rachel menatap Nathan yang terduduk di lantai dengan kepala tertunduk, bahunya bergetar hebat. Suaminya menangis.Bukan sekadar kecewa, bukan sekadar marah—tapi hancur.Rachel menggigit bibirnya, hatinya sakit melihatnya seperti ini. Ia ingin mendekat, tapi kakinya terasa berat. Selama ini, ia berpikir bahwa dengan menahan semuanya sendiri, ia bisa melindungi Nathan dari beban tambahan. Tapi ternyata, keputusan itu malah menyakiti mereka berdua.Dengan tangan gemetar, Rachel berlutut di hadapan Nathan. “Nathan...” panggilnya lirih.Nathan tidak menjawab, hanya menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangan.Rachel menarik napas dalam, lalu menyentuh bahu Nathan dengan ragu. “Aku tidak pernah bermaksud tidak mempercayaimu. Aku hanya... takut.”Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah dan basah. “Takut? Takut apa, Hel?” suaranya serak.Rachel mengusap air matanya sendiri. “Takut kalau aku membebanimu. Takut kalau kamu akan melihatku sebagai istri yang lemah, yang menyusahkan.
Drrrrtt…Nathan melihat nama yang muncul di layar ponselnya adalah Pak Edwin, atasannya di maskapai tempatnya bekerja. “Halo, Pak.”“Nathan. Apa maksudmu dengan mengajukan pengunduran diri mendadak seperti ini? Kamu tau kan aturan di maskapai, tidak bisa mundur begitu saja,” ucap Edwin terdengar sangat marah di sana. “Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak ada pilihan lain,” ucap Nathan menghela napasnya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Sebelumnya kamu meninggalkan bandara begitu saja, padahal sudah mau take off. Jangan meninggalkan tanggung jawab begitu saja!” tegur Edwin penuh kekesalan. Nathan sadar, dia sudah tidak bertanggung jawab. Baik pada istrinya, maupun ke pekerjaannya. Tapi, situasinya saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. Nathan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab. “Saya tahu, Pak. Saya tahu ini tidak profesional, dan saya minta maaf. Tapi saya benar-benar tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini sekarang.”Di seberang telepon, Edwin
“Makanlah, aku buatkan nasi goreng kesukaanmu,” ucap Nathan meletakan nasi goreng buatannya di atas meja tepat di hadapan Rachel. Wanita itu melihat ke piring nasi goreng, kemudian melihat ke arah Nathan yang masih berdiri dengan senyuman menawannya, celemek masih menempel di tubuh kekarnya. “Ada apa?” tanya Nathan karena Rachel hanya diam memperhatikan tanpa mengatakan apa pun. “Um... tidak. Hanya saja, entah kapan terakhir kali aku menikmati nasi goreng buatanmu,” jawab Rachel di sana. Nathan tersenyum kikuk. “Aku juga tidak ingat.” Rachel tidak mengatakan apa pun lagi selain mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. “Bagaimana? Rasanya masih sama, kan? enak?” tanya Nathan yang masih memperhatikan Rachel di depannya.Rachel mengunyah pelan, merasakan setiap bumbu yang melebur di lidahnya. Kemudian, tanpa sadar, ia tersenyum tipis. “Iya, masih sama. Masih seenak dulu.”Nathan menghela nap
Setelah mandi dan mengenakan gaun elegan itu, Rachel berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya. Gaun itu pas sekali di tubuhnya, membingkai siluet rampingnya dengan begitu anggun.Rachel berdiri di depan cermin dengan jantung yang berdebar pelan. Gaun elegan pemberian Nathan kini membalut tubuhnya dengan anggun. Warnanya yang lembut berpadu sempurna dengan rona hangat kulitnya. Potongan gaun itu mempertegas siluet tubuhnya, sementara kilau halus pada permukaannya memantulkan cahaya dengan cara yang nyaris magis.Rambut Rachel ditata lembut, sebagian digerai, sebagian disanggul sederhana, memberi kesan manis sekaligus dewasa. Ia menyematkan anting mutiara kecil di telinganya, lalu meraih kalung yang dulu juga diberikan Nathan, mutiara putih yang menggantung anggun di leher jenjangnya.Rachel menarik napas panjang dan mematut dirinya sekali lagi. Ada kilau baru di matanya, seperti semangat yang baru menyala. Malam ini bukan malam biasa. Ini adalah momen yang sudah lama tidak mereka mi
Matahari belum terlalu tinggi saat Rachel dan Nathan bersiap di dermaga kecil, mengenakan perlengkapan menyelam yang telah dipersiapkan oleh pemandu wisata. Rachel terlihat gugup, tetapi antusiasme di matanya tidak bisa disembunyikan. Nathan memeriksa kembali maskernya dan memastikan tangan Rachel tetap dalam genggamannya.“Kamu siap?” tanya Nathan sambil tersenyum lembut.Rachel mengangguk. “Ya. Walau gugup, tapi aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Kalau ada kamu, aku berani.”“Good.”Mereka pun perlahan menuruni tangga kecil yang mengarah langsung ke laut. Air terasa sejuk saat menyentuh kulit mereka, dan dalam hitungan menit, mereka sudah benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut dengan pemandu yang mengikuti dari belakang untuk berjaga.Begitu memasuki dunia bawah laut, semua keheningan daratan seakan lenyap. Suara hanya berupa gelembung-gelembung udara dan detak jantung yang terdengar di dalam kepala mereka. Rachel membuka matanya lebar-lebar saat melihat sekumpulan ikan
Langit biru cerah membentang luas di atas kepala saat Nathan membuka pintu mobil sport berwarna hitam metalik yang mengilap. Angin laut semilir langsung menyapa kulit begitu Rachel melangkah keluar dari villa, gaun putih selututnya berkibar ringan mengikuti gerak langkahnya. Matanya membulat saat melihat kendaraan yang terparkir di depan halaman.“Wow... Kamu dapat mobil ini dari mana?” tanyanya, setengah tak percaya.Nathan tersenyum bangga, menyandarkan tangan di bodi mobil. “Disewa khusus buat hari ini. Kita mau ke Tanah Lot, kan? Aku pikir, kenapa nggak sekalian gaya dikit?”Rachel terkekeh, matanya berbinar penuh semangat. “Waw... kamu memang bisa menciptakan suasana yang romantis dan menyenangkan, ya?”“Tentu saja. Apa sih yang nggak buat istriku yang cantik,” balas Nathan dengan senyuman lebarnya.“Ck... gombal banget. Ah, kamu jadi sangat romantis karena kegiatan tadi malam, kan?” tuduh Rachel membuat Nathan terkekeh.“Ya, sebenarnya aku hanya ingin membuat istriku bahagia. Ta
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik saat Nathan dan Rachel melangkah keluar dari mobil mereka, menginjak pasir yang masih basah oleh ombak semalam. Aroma laut langsung menyapa, bercampur dengan semilir angin dan suara camar yang beterbangan di atas perahu-perahu nelayan yang bersandar.Rachel menatap ke arah deretan perahu yang mulai menurunkan hasil tangkapan mereka. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia bawah laut dalam bentuk nyata. “Lihat, Nath! Ikan itu masih loncat-loncat!” serunya, menunjuk ember besar berisi ikan kerapu segar.Nathan tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Kamu kayak anak kecil yang baru nemu mainan baru.”Rachel mencubit lengannya pelan. “Ini pertama kalinya aku langsung ke tempat nelayan, lho. Selama ini cuma lihat di pasar atau supermarket. Rasanya beda.”Mereka mulai berkeliling, menyapa para nelayan yang ramah dan menjajakan hasil tangkapannya. Udang, cumi-cumi, kakap merah, bahkan kerang laut tertata di atas meja ka
“Rachel...” Nathan mengelus lembut rahang Rachel di sana. “Bangun Sayang.” Mendengar itu, Rachel perlahan membuka matanya dan menatap Nathan di depannya. Senyuman manis terukir indah di bibir wanita itu. “Pagi, Nathan... “ sapa Rachel. “Bangun, yuk. Kita sarapan, aku sudah siapkan sarapan untuk kita,” ajak Nathan di sana. Rachel menganggukkan kepalanya, masih dengan senyumannya. Sejak dia mengatakan semuanya pada Nathan, semua beban hidupnya dan Nathan memilih untuk mempercayainya. Itu sudah sangat cukup untuk membantunya bangkit dan merasa lega.Nathan tersenyum hangat melihat ekspresi tenang di wajah Rachel, berbeda jauh dari malam-malam sebelumnya yang selalu diwarnai tangis dan mimpi buruk. Ia membungkuk sedikit, mengecup kening Rachel dengan penuh kasih.“Pagi ini kamu cantik banget, tahu nggak?” goda Nathan sambil membelai rambut Rachel yang sedikit kusut.Rachel tertawa kecil, suaranya pelan namun tulus. “Itu karena aku tidur ny
Mata Nathan langsung membelalak. Rahangnya mengeras seketika.. “Apa?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan marah yang tertahan.Rachel mengangguk lemah, air matanya kembali jatuh. “Dia bebas, Nath… Karena kejahatannya tidak besar. Saat aku mendengar nama itu dari Tante Laela, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku kalau dia tidak akan melakukan hal seperti itu dulu. Aku tidak mungkin bertemu lagi dengannya, jadi aku masih aman. Tapi aku tetap ketakutan. Setiap malam aku mimpi buruk, aku merasa seperti dia ada di sekitarku, mengawasiku… Dan kamu, kamu selalu tidak ada di sampingku. Sampai aku merasa frustrasi sendiri,” gumam Rachel. “Aku paham, aku mengerti, kamu sedang bekerja. Kamu punya tanggung jawab di maskapai sebagai seorang pilot. Aku sadar, kamu tidak sepenuhnya milikku, tapi aku tetap ketakutan dan terlalu mengharapkanmu. Maafkan aku… “Nathan mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak kemarahan yang semakin membara di dadanya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nathan. Saat ini, mereka berdua sudah duduk di kursi ruang tengah dekat televisi. “Aku sebenarnya takut untuk mengatakannya padamu. Aku takut kamu tidak akan mempercayaiku,” ujar Rachel menggigit bibir bawahnya. “Aku pasti akan mempercayaimu, Hel. Aku sangat percaya 100% padamu,” ujar Nathan dengan serius. Rachel pun menggigit bibirnya sambil menghela napas. “10 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku SMA. Orang tuaku bercerai, mereka memilih menikah lagi dan menitipkanku pada Tante Yeni, adik dari Mama. Aku dicampakkan oleh orang tuaku sendiri karena mereka lebih mementingkan keluarga baru mereka. Sedangkan hidup di rumah tante Yeni, aku menjadi pembantu di sana. Selain membersihkan rumah, memasak untuk mereka semua, aku juga harus melayani keluarga Tante Yang jumlahnya tidak sedikit. Selain dua anaknya, di sana ada adik dari suami tante Yeni yang tinggal di sana,” tutur Rachel dan saat itu Nathan melihat wajah Rachel pucat dan kedua t
Tok! Tok! Tok! “Apa kamu akan terus mengurung diri sendiri seperti itu, Hel?” Nathan masih berusaha sabar dengan sikap Rachel yang terus menghindar. Semua keanehan yang terjadi pada istrinya itu, diluar kebiasaan. Dan itu memicu rasa penasaran nya semakin besar. “Rachel, bisa bicara? Jangan terus menghindar dan membuatku bingung karena tidak tau apa pun.” Nathan masih terus berusaha memanggil Rachel sambil mengetuk pintu kamar. Dibalik pintu, Rachel duduk bersandar ke daun pintu, dia sedang menangis tanpa suara. “Maaf, Nathan.” Rachel hanya bisa membatin dengan penuh rasa bersalah. Dia ingin bicara dan menceritakan semuanya pada Nathan. Tapi, dia masih takut dan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya. Nathan menghela napas panjang, lalu menyandarkan keningnya ke pintu. Suaranya lebih lembut kali ini.“Hel… Aku nggak akan marah, jadi bisakah kamu berhenti menghindari seperti ini. Kita datang ke sini untuk berlibur dan menikmati momen bahagia bersama. Kalau kamu sepert
“Wah, indah banget pemandangannya,” gumam Rachel yang berdiri di bagian depan kapal feri dengan pemandangan laut yang indah. Angin berhembus menerpa tubuhnya. Dress putih dan rambutnya melambai-melambai karena hembusan angin. Nathan sedang fokus menyetir kapal feri itu sambil memperhatikan Rachel di sana.“Kamu suka?” tanya Nathan dengan senyum kecil di wajahnya, tangannya masih kokoh menggenggam kemudi kapal.Rachel menoleh dan mengangguk penuh antusias. “Suka banget! Lautnya jernih, anginnya sejuk... rasanya menenangkan.”Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti suka. Makanya aku bawa kamu ke sini.”Rachel kembali menatap laut yang membentang luas di hadapannya, matanya berbinar. “Kamu tahu, rasanya seperti... aku bisa melupakan semuanya untuk sesaat. Hanya ada angin, ombak, dan langit yang luas.”Nathan diam sejenak, lalu berjalan mendekati Rachel, membiarkan kapal melaju dengan tenang. “Kalau begitu, jadikan ini sebagai tempat untuk memulai sesuatu yang baru. Kita bisa