Share

Chapter Enam

last update Last Updated: 2025-02-26 16:08:08

Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?

Rachel… pergi ke psikiater?

Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?

Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.

Apa yang selama ini dia tidak tahu?

          Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel.

          Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak rambutnya. Tak jarang, dia juga memukuli dadanya sendiri dan duduk dipojokan kasur. Wanita itu seperti sedang ketakutan, entah apa yang membuatnya takut, karena Nathan tidak menemukan sesuatu yang janggal di sana.

Nathan merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, rasa bersalah yang begitu menghancurkan.

Selama ini, ia mengira Rachel hanya marah padanya, hanya ingin perhatian lebih, hanya lelah dengan pernikahan mereka. Tapi apa yang baru saja ia lihat… jauh lebih dari itu.

Rachel tidak hanya kesepian.

Rachel sedang berjuang dalam kesakitannya sendiri.

Nathan mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mencerna semuanya. Apakah ini sebabnya Rachel ingin bercerai? Bukan karena ia tidak mencintainya lagi, tetapi karena ia sudah terlalu lelah bertahan sendirian?

          Tanpa pikir panjang, Nathan melepaskan earphonenya dan segera keluar dari kokpit, beberapa pramugari dibuat heran oleh tingkahnya, dan beberapa ada yang bertanya kemana Nathan akan pergi, karena sebentar lagi mereka akan melakukan penerbangan.

Namun, Nathan tidak peduli.

Langkahnya cepat, hampir berlari melewati koridor bandara. Napasnya memburu, pikirannya dipenuhi oleh satu nama, Rachel.

Ia harus menemui istrinya. Sekarang.

Saat ia melewati pintu keluar, suara Adrian memanggilnya dari belakang.

“Nathan! Hei! Kau mau ke mana?!”

Nathan tidak berhenti. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat bahwa ia tidak bisa menjelaskan sekarang.

Lalu, ponselnya kembali bergetar di genggaman. Kali ini, panggilan dari Rachel.

Ia langsung menjawab tanpa berpikir. “Rachel—”

Tapi yang terdengar di ujung sana bukan suara istrinya.

Melainkan suara Tante Laela.

“Nathan?” Laela terdengar menangis di sana.

Jantung Nathan mencelos. “Tante, ada apa? Di mana, Rachel?”

“Rachel… dia baru saja dibawa ke rumah sakit dalam keadaan—”

Suaranya terputus oleh deru mobil yang melintas.

          “Rumah sakit mana? Aku akan segera ke sana,” ucap Nathan dan Laela menyebutkan nama rumah sakitnya sebelum menutup panggilan itu.

Nathan berlari ke arah tempat parkir tanpa memedulikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya. Tangannya gemetar saat membuka pintu mobil, lalu segera menyalakan mesin dan tancap gas keluar dari area bandara.

Pikirannya penuh dengan skenario buruk. Apa yang terjadi pada Rachel? Kenapa dia sampai dilarikan ke rumah sakit?

Jantungnya berdetak terlalu kencang hingga terasa menyakitkan. “Kumohon, tidak terjadi apa pun padamu, Hel. Kumohon, jangan meninggalkanku!” gumamnya tidak menentu.

Akhirnya, ia menginjak gas dalam-dalam saat lampu hijau menyala, menerobos jalanan dengan kecepatan gila.

Ia harus sampai di sana.

Mobil Nathan melaju seperti peluru, menyalip kendaraan lain tanpa peduli pada klakson marah yang bersahutan di belakangnya.

Tangannya mencengkeram setir erat, matanya berkaca-kaca, tetapi fokusnya tetap pada jalan.

Rachel…

Hatinya berdebar semakin kencang saat rumah sakit mulai terlihat di kejauhan. Ia langsung membanting stir ke parkiran, lalu melompat keluar sebelum mesin mobil benar-benar mati.

Tanpa pikir panjang, ia berlari menuju lobi rumah sakit, mencari seseorang, siapa saja, yang bisa memberitahunya di mana Rachel berada.

Saat ia hampir mencapai meja informasi, matanya menangkap sosok Tante Laela yang berdiri di dekat lorong, wajahnya penuh air mata.

"Tante!" Nathan hampir berteriak saat menghampiri wanita itu. "Di mana Rachel?! Apa yang terjadi?!"

          “Nathan?” panggil Laela.

          “Bagaimana Rachel, Tante? Apa yang terjadi?” tanya Nathan dengan napas ngos-ngosan.

          “Tenang, Nathan. Rachel ada di IGD, Tante sedang melakukan pendaftaran di sini. Tadi, dia tiba-tiba pungsan di rumah, Dokter bilang kalau jantung Rachel berdebar terlalu cepat dan dia juga mengalami anemia,” jawab Laela. “Kalau kamu mau menemuinya, dia masih ada di IGD.”

Tanpa menunggu lebih lama, Nathan bergegas menuju ruang IGD. Langkahnya cepat dan panik, hampir menabrak beberapa orang di lorong rumah sakit.

Dadanya sesak, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Saat tiba di depan pintu IGD, seorang perawat menghentikannya.

"Maaf, Anda keluarga pasien?" tanya perawat itu.

"Saya suaminya! Rachel, dia baik-baik saja? Saya harus menemuinya!"

Perawat itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan membuka tirai bilik tempat Rachel dirawat.

Di sana, Rachel terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan napasnya terdengar pelan namun tidak stabil.

Hati Nathan seperti diremas.

Ia melangkah mendekat, tangannya bergetar saat menyentuh jemari Rachel yang terasa dingin.

"Hel..." bisiknya lirih. "Aku di sini."

Rachel tidak bereaksi.

Nathan menelan ludah, lalu duduk di sampingnya, jemarinya masih menggenggam erat tangan istrinya.

          “Maafkan aku, Hel. Aku sungguh egois dan bodoh. Aku benar-benar tidak peka, padahal kamu sangat membutuhkanku,” gumam Nathan tidak bisa menahan kesakitan di hatinya. 

          “Aku janji, setelah ini, aku tidak akan pernah membiarkanmu merasakan rasa sakit itu sendirian. Aku akan menemanimu setiap saat, maafkan aku, Hel,” gumamnya dengan menundukkan kepalanya.

          Kedua kelopak mata Rachel bergerak, perlahan terbuka lebar. “Ugh… “ Dia meringis saat merasakan kepalanya sakit.

          “Rachel,” panggil Nathan membuat wanita itu menoleh ke arah Nathan yang sedang menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca dan memerah.

          Rachel memperhatikan seragam pilot yang dikenakan Nathan dan kembali melihat wajah pria itu yang terlihat sendu.

          “Aku masih hidup, Nathan,” ucap Rachel walau terdengar konyol, tetapi reaksi Nathan justru membuatnya bingung sekaligus takut. 

          “Aku tau. Dan aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, Hel,” ucap Nathan. “Gimana keadaanmu? apa yang sakit, bagian mana yang tidak nyaman? Kata Dokter, kamu anemia, apa kamu tidak tidur dengan cukup? Apa kamu bermimpi buruk?” tanya Nathan memborong penuh kekhawatiran.

          “Berhenti, Nathan!” Rachel yang masih menahan sakit di kepalanya, semakin sakit saat mendengar pertanyaan Nathan yang memborong.

          “Apa yang terjadi denganmu. Kamu tidak pernah bertanya seperti itu padaku sebelumnya,” ucap Rachel.

          “Ya, aku tau aku sangat tidak peka. Maafkan aku,” ucap Nathan.

          “Tapi, sikapmu sekarang justru membuatku takut. Aku tidak akan mati karena anemia, Nathan.” Rachel merasa reaksi Nathan berlebihan.

Nathan menghela napas berat, menundukkan kepalanya. “Aku tahu. Aku tahu kamu tidak akan mati hanya karena anemia.”

Ia mengeratkan genggaman tangannya di atas tangan Rachel, seolah memastikan bahwa wanita itu benar-benar ada di sana, bersamanya.

“Ya, aku hanya mengkhawatirkanmu,” ucap Nathan.

“Bersikaplah seperti kamu biasanya. Sikapmu sekarang justru membuatku takut,” ujar Rachel masih terkesan dingin. “Dan kalau kamu ada penerbangan, pergilah, aku baik-baik saja, lagipula ada Tante Laela yang nemenin aku,” ucap Rachel.

“Aku tidak akan pergi ke manapun. Aku akan tetap di sisi kamu.” Rachel benar-benar terkejut dengan jawaban Nathan yang menurutnya sangat bukan Nathan. Tetapi, Rachel juga tidak memiliki tenaga lebih untuk berdebat dengan pria itu.

“Terserah,” jawab Rachel mengubah posisinya jadi menyamping dan memunggungi Nathan. Rachel terlalu syock dan salah tingkah karena kata-kata Nathan itu.

*** 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
fitri hd
kasian banget jadi Rachel pernikahan berujung kena mental itu benar-benar menyakitkan tau komunikasi yang kurang dengan pasangan benar-benar bisa jdi boomerang untuk sebuah hubungan
goodnovel comment avatar
Reny Yunita
Nathan knpa km baru tau ya dan batu sadar ya klw istri mu si Rachel sakit parah mangkanya Nathan jdi suami tu peka ini ma cuek bebek dan egois bgt kerja kerja aja
goodnovel comment avatar
Jeon Shanty
sebenarnya km sakit apa Hel?! dan Lo Nathan perubahan Lo itu terlalu cepat dan mengejutkan, Lo bikin Rachel jadi takut tau wkwkwk semoga kalian ini km bnr² menepati ucapanmu Nathan jika tdk maka km akan menyesal bahkan mungkin tdk akan kesampaian tu kata maaf....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tujuh

    “Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya

    Last Updated : 2025-03-12
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Satu

    Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache

    Last Updated : 2025-02-23
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua

    Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil

    Last Updated : 2025-02-23
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga

    Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me

    Last Updated : 2025-02-23
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Empat

    “Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le

    Last Updated : 2025-02-26
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Lima

    “Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal

    Last Updated : 2025-02-26

Latest chapter

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tujuh

    “Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Enam

    Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Lima

    “Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Empat

    “Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga

    Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua

    Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Satu

    Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status