“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu.
Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap.
“Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya.
Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.
Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.
“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.
Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya cukup dekat tanpa membuat Rachel merasa terpojok.
“Kalau kamu lelah… kenapa kamu tidak bilang?” tanyanya pelan, berusaha menahan gejolak emosinya sendiri.
Rachel tersenyum miris. “Dan kalau aku bilang, apa itu akan mengubah sesuatu?”
Nathan terdiam. Itu adalah tamparan baginya.
Rachel akhirnya menoleh, menatap Nathan dengan mata yang penuh luka. “Aku sudah sering mencoba bicara, Nathan. Aku sudah memberi banyak tanda. Tapi kamu selalu sibuk. Selalu pergi. Selalu punya alasan untuk tidak benar-benar melihatku.”
Napas Nathan tercekat. Kata-kata Rachel menyakitinya lebih dari yang ia duga.
“Aku tidak menyalahkanmu,” lanjut Rachel. “Kamu memang seperti itu sejak dulu. Aku yang salah, karena berharap lebih.”
“Tapi sekarang aku di sini,” kata Nathan dengan suara yang lebih tegas. “Aku di sini, Hel. Aku melihatmu. Aku mendengarkanmu.”
Rachel menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam tatapan pria itu. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan dan penyesalan yang begitu dalam.
“Jadi, apa kamu akan tetap pergi terbang besok?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar datar.
Nathan tertegun. Itu bukan pertanyaan biasa. Itu adalah ujian.
Dan ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada sesuatu yang lebih penting daripada pekerjaannya.
“Aku tidak akan pergi,” jawab Nathan mantap. “Aku akan tetap di sini, bersamamu.”
Rachel yang mendengar jawaban itu, tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan tiba-tiba menghela napasnya.
“Kurasa, aku tidak bisa berharap apapun lagi padamu, Nathan. Harapanku padamu sudah terlalu sering pupus,” jawabnya.
Kata-kata Rachel menusuk Nathan lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Hatinya mencelos. Ia sudah mengatakan bahwa ia akan tetap di sini, bersamanya. Tapi Rachel... Rachel seolah sudah berhenti percaya.
"Hel, aku serius," ucap Nathan, suaranya lebih pelan, nyaris putus asa. "Aku akan tetap di sini. Aku tidak akan pergi."
Rachel tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan. "Kamu bilang begitu sekarang, Nathan. Tapi berapa lama? Seminggu? Dua minggu? Lalu setelah itu, pekerjaanmu akan memanggilmu lagi, dan aku... aku akan kembali sendirian."
Nathan menggeleng, mencoba meraih tangan Rachel, tapi wanita itu menarik tangannya lebih dulu.
"Kamu tahu?" Rachel menatap Nathan dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak pernah membenci pekerjaanmu. Aku tahu itu mimpimu. Tapi... aku juga ingin menjadi bagian dari duniamu, bukan hanya seseorang yang kamu tinggalkan dan harapkan tetap menunggumu di rumah."
Nathan meremas tangannya sendiri. "Kamu adalah duniaku, Rachel," suaranya serak. "Dan aku bodoh karena terlalu lama tidak menyadarinya."
Rachel menutup matanya, menahan air mata yang mulai menggenang. "Tapi aku sudah lelah, Nathan..."
"Lalu biarkan aku ada di sini," kata Nathan dengan suara bergetar. "Biarkan aku memperbaiki semuanya. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang aku butuhkan, aku akan berusaha."
Rachel menatapnya sekali lagi, dan kali ini, tatapan itu penuh keraguan. Ia ingin percaya, tapi hatinya sudah terlalu sering kecewa.
Jadi, apakah ia masih sanggup berharap?
“Aku tau, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan. Tidak mudah berharap pada sesuatu yang berkali kali membuatmu kecewa. Tapi, untuk sekarang, jangan pikirkan apapun, ya. Kalau kamu lelah, istirahat dan jangan memikirkan hal yang berat. Aku akan di sini, menemanimu setiap saat. Jangan takut apa pun, Hel. Sekarang cukup nikmati saja dan turutin keinginanmu padaku, jangan melawannya,” ujar Nathan dengan serius hingga tatapan mereka terpaut satu sama lain. “Jangan cemaskan apapun, kamu aman bersamaku, Hel.”
Rachel masih diam, hanya menatap Nathan tanpa ekspresi yang jelas. Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan hatinya, tapi bagian dalam dirinya masih menolak untuk percaya. Terlalu banyak malam yang ia lalui sendirian, terlalu banyak harapan yang ia genggam hanya untuk hancur dalam kekecewaan.
"Apa kamu benar-benar akan tetap di sini?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Nathan mengangguk mantap. "Ya. Aku tidak akan pergi ke mana-mana."
Rachel menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam sorot matanya. Tapi Nathan tetap teguh.
Akhirnya, Rachel menghela napas panjang. Ia tahu dirinya terlalu lelah untuk bertengkar, terlalu lelah untuk terus merasa marah. Jadi untuk saat ini, ia memilih menyerah pada kelelahan itu.
"Baiklah," ujarnya pelan, lalu berbaring kembali, memejamkan mata. "Aku ingin tidur."
Nathan tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi kecemasan. "Tidurlah, aku akan tetap di sini."
Rachel tidak menjawab, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan yang mulai merayap pelan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa cukup aman untuk tidur tanpa rasa takut.
Baru beberapa saat Rachel menutup matanya, wanita itu kembali membuka mata.
“Ada apa? Kamu tidak bisa terus? Atau merasa gelisah?” tanya Nathan.
“Aku-” Rachel terdiam cukup lama.
Tiba-tiba Nathan memegang tangan wanita itu membuatnya menoleh ke arah Nathan dengan kernyitan di dahi.
“Kalau kamu merasa gelisah. Genggam tanganku dan tidurlah, aku harap itu bisa meringankan kegelisahanmu dan bisa tidur nyenyak,” ucap Nathan tersenyum pada istrinya.
Rachel menatap tangan Nathan yang menggenggamnya erat, seolah pria itu takut jika ia melepaskan, Rachel akan menghilang. Ada sesuatu dalam tatapan Nathan malam ini—sesuatu yang tulus, sesuatu yang selama ini ia rindukan.
Tapi bisakah ia mempercayainya?
Ia menggigit bibirnya ragu, lalu akhirnya menghela napas pelan. Tangannya sedikit bergerak, jemarinya meremas tangan Nathan dengan lemah.
Nathan tersenyum kecil. "Aku di sini, Hel. Aku tidak akan pergi."
Rachel tidak menjawab. Ia hanya menutup matanya lagi, dan untuk pertama kalinya, genggaman tangan Nathan terasa cukup untuk menenangkannya.
Hanya butuh beberapa menit sebelum napasnya mulai melambat, dadanya naik turun dengan ritme yang lebih tenang.
Nathan mengamati wajah istrinya yang kini tertidur, lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca melihat Rachel.
“Seberat apa trauma kamu, Hel?” batinnya.
Rachel membuka matanya saat sinar matahari masuk ke celah jendela. Dia menolehkan kepalanya dan cukup terkejut kalau dia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan rasa cemas yang biasa dia rasakan. Sudah beberapa minggu sejak Nathan pergi bertugas dan Rachel tinggal di rumah Tantenya, dia tidak tidur dengan nyenyak dan bahkan semalaman tidak bisa tidur. Tetapi, sekarang dia bisa tidur dengan lelap tanpa perasaan gelisah lagi. Wanita itu menyadari sesuatu yang sedang dia genggam dengan cukup kuat. Wanita itu menundukkan pandangannya dan langsung melihat genggaman tangan Nathan. Pria itu dengan setia menggenggam tangannya semalaman, bahkan dia tidur dengan posisi duduk di kursi yang ada di samping brankar dan menyandarkan kepalanya ke brankar. Tidak bisa dipungkiri, kalau Rachel terharu dengan apa yang dilakukan Nathan. Tetapi, rasa kecewa dan sakitnya terlalu dalam, sampai dia terus menepis perasaan itu. Rachel tidak mau berharap lagi pada Nathan karena sudah berkali
“Gimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Nathan pada Dokter yang melakukan pemeriksaan Rachel.“Untuk mualnya sudah tidak ada, hanya saja anemianya masih belum stabil. Pasien harus banyak-banyak istirahat dan makan yang banyak. Semoga rasa mual dan gerdnya tidak kambuh lagi. Saya sudah meresepkan beberapa obat dan antibiotiknya,” jelas Dokter di sana.Nathan mengangguk paham, matanya sesekali melirik ke arah Rachel yang tengah duduk di ranjang, mendengarkan percakapan mereka dengan ekspresi datar."Jadi, kapan Rachel bisa pulang, Dok?" tanya Nathan lagi.Dokter melihat catatan medis Rachel sebelum menjawab, "Jika kondisi anemianya membaik dalam satu atau dua hari ke depan, dia bisa pulang. Tapi tetap harus menjaga pola makan dan istirahat, jangan sampai kelelahan."Nathan menghela napas lega, lalu menatap Rachel penuh perhatian. "Dengar itu, Hel? Kamu harus makan lebih banyak dan jangan membantah kalau aku merawatmu nanti."Rachel hanya mendesah pelan, tidak ingin berdebat.Dokter ters
“Kamu sudah siap?” tanya Nathan menatap Rachel yang sudah bersiap dan terlihat lebih segar dibanding sebelumnya. “Ya, aku sudah siap,” jawab Rachel. “Hel, kita pulang ke rumah kita, ya?” ajak Nathan dan Rachel masih diam di sana. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” tambah Nathan seakan ingin meyakinkan Rachel. “Kumohon, pulang bersamaku ke rumah kita.” Rachel merasa tidak punya pilihan lain, dia pun lelah berdebat dengan Nathan akhir-akhir ini. Pria itu terus saja memaksanya, sampai Rachel tidak bisa mengatakan apapun. “Ya, baiklah,” jawab Rachel akhirnya. Saat itu pun, seulas senyuman terbit di bibir Nathan. “Kalian sudah siap?” tanya Laela yang kembali masuk ke dalam ruangan Rachel. “Sudah, Tante.” Nathan yang menjawab di sana. “Baiklah, Tante bawa tasnya,” ucap Laela pergi lebih dulu. Nathan mengulurkan tangannya ke arah Rachel. “Mau aku gendong?” tawarnya menggoda istrinya. “
Nathan memperhatikan Rachel yang terlelap di atas ranjang tanpa kata. Setelah tenang, Rachel bilang ingin tidur, dan ternyata tidak butuh waktu lama wanita itu pun terlelap di atas ranjang. “Sebenarnya, apa yang dia alami selama ini? Dia tidak hanya merasa kesepian? Apa dia takut akan sesuatu?” batin Nathan masih berdiri dengan melipat kedua tangannya di dada. Melihat respon Rachel saat masuk ke dalam kamarnya tadi, seperti ada hal yang mengusiknya dan membuatnya ketakutan. Entah apa itu, tapi itu cukup mengganggunya. “Sebenarnya kenapa? apa yang membuatmu ketakutan setiap saat sampai tidak tidur? Berapa banyak hal yang kamu rahasiakan di belakangku?” batin Nathan hanya bisa menghela napas panjang.Nathan akhirnya menghela napas panjang, lalu berjalan pelan mendekati tempat tidur. Ia menatap wajah Rachel yang terlelap, namun bahkan dalam tidurnya, ekspresi wanita itu tetap tampak gelisah.Nathan duduk di tepi tempat tidur, menatap lekat wajah istrinya. Ad
Rachel menatap Nathan yang terduduk di lantai dengan kepala tertunduk, bahunya bergetar hebat. Suaminya menangis.Bukan sekadar kecewa, bukan sekadar marah—tapi hancur.Rachel menggigit bibirnya, hatinya sakit melihatnya seperti ini. Ia ingin mendekat, tapi kakinya terasa berat. Selama ini, ia berpikir bahwa dengan menahan semuanya sendiri, ia bisa melindungi Nathan dari beban tambahan. Tapi ternyata, keputusan itu malah menyakiti mereka berdua.Dengan tangan gemetar, Rachel berlutut di hadapan Nathan. “Nathan...” panggilnya lirih.Nathan tidak menjawab, hanya menyembunyikan wajahnya di antara kedua tangan.Rachel menarik napas dalam, lalu menyentuh bahu Nathan dengan ragu. “Aku tidak pernah bermaksud tidak mempercayaimu. Aku hanya... takut.”Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah dan basah. “Takut? Takut apa, Hel?” suaranya serak.Rachel mengusap air matanya sendiri. “Takut kalau aku membebanimu. Takut kalau kamu akan melihatku sebagai istri yang lemah, yang menyusahkan.
Drrrrtt…Nathan melihat nama yang muncul di layar ponselnya adalah Pak Edwin, atasannya di maskapai tempatnya bekerja. “Halo, Pak.”“Nathan. Apa maksudmu dengan mengajukan pengunduran diri mendadak seperti ini? Kamu tau kan aturan di maskapai, tidak bisa mundur begitu saja,” ucap Edwin terdengar sangat marah di sana. “Maafkan saya, Pak. Tapi, saya tidak ada pilihan lain,” ucap Nathan menghela napasnya. “Sebenarnya apa yang terjadi? Sebelumnya kamu meninggalkan bandara begitu saja, padahal sudah mau take off. Jangan meninggalkan tanggung jawab begitu saja!” tegur Edwin penuh kekesalan. Nathan sadar, dia sudah tidak bertanggung jawab. Baik pada istrinya, maupun ke pekerjaannya. Tapi, situasinya saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. Nathan menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum menjawab. “Saya tahu, Pak. Saya tahu ini tidak profesional, dan saya minta maaf. Tapi saya benar-benar tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini sekarang.”Di seberang telepon, Edwin
“Makanlah, aku buatkan nasi goreng kesukaanmu,” ucap Nathan meletakan nasi goreng buatannya di atas meja tepat di hadapan Rachel. Wanita itu melihat ke piring nasi goreng, kemudian melihat ke arah Nathan yang masih berdiri dengan senyuman menawannya, celemek masih menempel di tubuh kekarnya. “Ada apa?” tanya Nathan karena Rachel hanya diam memperhatikan tanpa mengatakan apa pun. “Um... tidak. Hanya saja, entah kapan terakhir kali aku menikmati nasi goreng buatanmu,” jawab Rachel di sana. Nathan tersenyum kikuk. “Aku juga tidak ingat.” Rachel tidak mengatakan apa pun lagi selain mengambil sendok dan mulai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. “Bagaimana? Rasanya masih sama, kan? enak?” tanya Nathan yang masih memperhatikan Rachel di depannya.Rachel mengunyah pelan, merasakan setiap bumbu yang melebur di lidahnya. Kemudian, tanpa sadar, ia tersenyum tipis. “Iya, masih sama. Masih seenak dulu.”Nathan menghela nap
“Hel, kamu sudah siap? Kita pergi ke dokter sekarang,” ajak Nathan. “Nathan, jadwalku tidak hari ini,” jawab Rachel yang sedang merapikan pakaiannya. “Tapi aku ingin tahu kondisimu,” ucap Nathan. Rachel menghela napasnya di sana. “Aku baik-baik saja, Nathan. Percayalah,” ucap Rachel. Nathan masih terus memperhatikan Rachel di depannya. “Apa kamu masih menyembunyikan sesuatu dariku?” tanya Nathan. “Menyembunyikan apa? Kamu jangan berlebihan, aku tidak menyembunyikan apa pun darimu,” jawab Rachel walau terlihat panik dan salah tingkah. “Aku sangat mengenalmu, Rachel.” Dan saat itu, Rachel hanya diam sambil memalingkan wajahmu. “Kamu yang biasanya tidak begitu peduli padaku, tidak ingin tahu apa yang terjadi dan apa yang aku lakukan. Tiba-tiba bersikap seperti ini,” ucap Rachel. “Ini cukup mengejutkan dan membuat canggung, Nathan. Aku tidak bisa mengatakan semua hal yang sudah aku pendam selama ini.” Nathan m
Setelah mandi dan mengenakan gaun elegan itu, Rachel berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya. Gaun itu pas sekali di tubuhnya, membingkai siluet rampingnya dengan begitu anggun.Rachel berdiri di depan cermin dengan jantung yang berdebar pelan. Gaun elegan pemberian Nathan kini membalut tubuhnya dengan anggun. Warnanya yang lembut berpadu sempurna dengan rona hangat kulitnya. Potongan gaun itu mempertegas siluet tubuhnya, sementara kilau halus pada permukaannya memantulkan cahaya dengan cara yang nyaris magis.Rambut Rachel ditata lembut, sebagian digerai, sebagian disanggul sederhana, memberi kesan manis sekaligus dewasa. Ia menyematkan anting mutiara kecil di telinganya, lalu meraih kalung yang dulu juga diberikan Nathan, mutiara putih yang menggantung anggun di leher jenjangnya.Rachel menarik napas panjang dan mematut dirinya sekali lagi. Ada kilau baru di matanya, seperti semangat yang baru menyala. Malam ini bukan malam biasa. Ini adalah momen yang sudah lama tidak mereka mi
Matahari belum terlalu tinggi saat Rachel dan Nathan bersiap di dermaga kecil, mengenakan perlengkapan menyelam yang telah dipersiapkan oleh pemandu wisata. Rachel terlihat gugup, tetapi antusiasme di matanya tidak bisa disembunyikan. Nathan memeriksa kembali maskernya dan memastikan tangan Rachel tetap dalam genggamannya.“Kamu siap?” tanya Nathan sambil tersenyum lembut.Rachel mengangguk. “Ya. Walau gugup, tapi aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Kalau ada kamu, aku berani.”“Good.”Mereka pun perlahan menuruni tangga kecil yang mengarah langsung ke laut. Air terasa sejuk saat menyentuh kulit mereka, dan dalam hitungan menit, mereka sudah benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut dengan pemandu yang mengikuti dari belakang untuk berjaga.Begitu memasuki dunia bawah laut, semua keheningan daratan seakan lenyap. Suara hanya berupa gelembung-gelembung udara dan detak jantung yang terdengar di dalam kepala mereka. Rachel membuka matanya lebar-lebar saat melihat sekumpulan ikan
Langit biru cerah membentang luas di atas kepala saat Nathan membuka pintu mobil sport berwarna hitam metalik yang mengilap. Angin laut semilir langsung menyapa kulit begitu Rachel melangkah keluar dari villa, gaun putih selututnya berkibar ringan mengikuti gerak langkahnya. Matanya membulat saat melihat kendaraan yang terparkir di depan halaman.“Wow... Kamu dapat mobil ini dari mana?” tanyanya, setengah tak percaya.Nathan tersenyum bangga, menyandarkan tangan di bodi mobil. “Disewa khusus buat hari ini. Kita mau ke Tanah Lot, kan? Aku pikir, kenapa nggak sekalian gaya dikit?”Rachel terkekeh, matanya berbinar penuh semangat. “Waw... kamu memang bisa menciptakan suasana yang romantis dan menyenangkan, ya?”“Tentu saja. Apa sih yang nggak buat istriku yang cantik,” balas Nathan dengan senyuman lebarnya.“Ck... gombal banget. Ah, kamu jadi sangat romantis karena kegiatan tadi malam, kan?” tuduh Rachel membuat Nathan terkekeh.“Ya, sebenarnya aku hanya ingin membuat istriku bahagia. Ta
Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik saat Nathan dan Rachel melangkah keluar dari mobil mereka, menginjak pasir yang masih basah oleh ombak semalam. Aroma laut langsung menyapa, bercampur dengan semilir angin dan suara camar yang beterbangan di atas perahu-perahu nelayan yang bersandar.Rachel menatap ke arah deretan perahu yang mulai menurunkan hasil tangkapan mereka. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia bawah laut dalam bentuk nyata. “Lihat, Nath! Ikan itu masih loncat-loncat!” serunya, menunjuk ember besar berisi ikan kerapu segar.Nathan tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Kamu kayak anak kecil yang baru nemu mainan baru.”Rachel mencubit lengannya pelan. “Ini pertama kalinya aku langsung ke tempat nelayan, lho. Selama ini cuma lihat di pasar atau supermarket. Rasanya beda.”Mereka mulai berkeliling, menyapa para nelayan yang ramah dan menjajakan hasil tangkapannya. Udang, cumi-cumi, kakap merah, bahkan kerang laut tertata di atas meja ka
“Rachel...” Nathan mengelus lembut rahang Rachel di sana. “Bangun Sayang.” Mendengar itu, Rachel perlahan membuka matanya dan menatap Nathan di depannya. Senyuman manis terukir indah di bibir wanita itu. “Pagi, Nathan... “ sapa Rachel. “Bangun, yuk. Kita sarapan, aku sudah siapkan sarapan untuk kita,” ajak Nathan di sana. Rachel menganggukkan kepalanya, masih dengan senyumannya. Sejak dia mengatakan semuanya pada Nathan, semua beban hidupnya dan Nathan memilih untuk mempercayainya. Itu sudah sangat cukup untuk membantunya bangkit dan merasa lega.Nathan tersenyum hangat melihat ekspresi tenang di wajah Rachel, berbeda jauh dari malam-malam sebelumnya yang selalu diwarnai tangis dan mimpi buruk. Ia membungkuk sedikit, mengecup kening Rachel dengan penuh kasih.“Pagi ini kamu cantik banget, tahu nggak?” goda Nathan sambil membelai rambut Rachel yang sedikit kusut.Rachel tertawa kecil, suaranya pelan namun tulus. “Itu karena aku tidur ny
Mata Nathan langsung membelalak. Rahangnya mengeras seketika.. “Apa?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan marah yang tertahan.Rachel mengangguk lemah, air matanya kembali jatuh. “Dia bebas, Nath… Karena kejahatannya tidak besar. Saat aku mendengar nama itu dari Tante Laela, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku kalau dia tidak akan melakukan hal seperti itu dulu. Aku tidak mungkin bertemu lagi dengannya, jadi aku masih aman. Tapi aku tetap ketakutan. Setiap malam aku mimpi buruk, aku merasa seperti dia ada di sekitarku, mengawasiku… Dan kamu, kamu selalu tidak ada di sampingku. Sampai aku merasa frustrasi sendiri,” gumam Rachel. “Aku paham, aku mengerti, kamu sedang bekerja. Kamu punya tanggung jawab di maskapai sebagai seorang pilot. Aku sadar, kamu tidak sepenuhnya milikku, tapi aku tetap ketakutan dan terlalu mengharapkanmu. Maafkan aku… “Nathan mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak kemarahan yang semakin membara di dadanya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nathan. Saat ini, mereka berdua sudah duduk di kursi ruang tengah dekat televisi. “Aku sebenarnya takut untuk mengatakannya padamu. Aku takut kamu tidak akan mempercayaiku,” ujar Rachel menggigit bibir bawahnya. “Aku pasti akan mempercayaimu, Hel. Aku sangat percaya 100% padamu,” ujar Nathan dengan serius. Rachel pun menggigit bibirnya sambil menghela napas. “10 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku SMA. Orang tuaku bercerai, mereka memilih menikah lagi dan menitipkanku pada Tante Yeni, adik dari Mama. Aku dicampakkan oleh orang tuaku sendiri karena mereka lebih mementingkan keluarga baru mereka. Sedangkan hidup di rumah tante Yeni, aku menjadi pembantu di sana. Selain membersihkan rumah, memasak untuk mereka semua, aku juga harus melayani keluarga Tante Yang jumlahnya tidak sedikit. Selain dua anaknya, di sana ada adik dari suami tante Yeni yang tinggal di sana,” tutur Rachel dan saat itu Nathan melihat wajah Rachel pucat dan kedua t
Tok! Tok! Tok! “Apa kamu akan terus mengurung diri sendiri seperti itu, Hel?” Nathan masih berusaha sabar dengan sikap Rachel yang terus menghindar. Semua keanehan yang terjadi pada istrinya itu, diluar kebiasaan. Dan itu memicu rasa penasaran nya semakin besar. “Rachel, bisa bicara? Jangan terus menghindar dan membuatku bingung karena tidak tau apa pun.” Nathan masih terus berusaha memanggil Rachel sambil mengetuk pintu kamar. Dibalik pintu, Rachel duduk bersandar ke daun pintu, dia sedang menangis tanpa suara. “Maaf, Nathan.” Rachel hanya bisa membatin dengan penuh rasa bersalah. Dia ingin bicara dan menceritakan semuanya pada Nathan. Tapi, dia masih takut dan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya. Nathan menghela napas panjang, lalu menyandarkan keningnya ke pintu. Suaranya lebih lembut kali ini.“Hel… Aku nggak akan marah, jadi bisakah kamu berhenti menghindari seperti ini. Kita datang ke sini untuk berlibur dan menikmati momen bahagia bersama. Kalau kamu sepert
“Wah, indah banget pemandangannya,” gumam Rachel yang berdiri di bagian depan kapal feri dengan pemandangan laut yang indah. Angin berhembus menerpa tubuhnya. Dress putih dan rambutnya melambai-melambai karena hembusan angin. Nathan sedang fokus menyetir kapal feri itu sambil memperhatikan Rachel di sana.“Kamu suka?” tanya Nathan dengan senyum kecil di wajahnya, tangannya masih kokoh menggenggam kemudi kapal.Rachel menoleh dan mengangguk penuh antusias. “Suka banget! Lautnya jernih, anginnya sejuk... rasanya menenangkan.”Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti suka. Makanya aku bawa kamu ke sini.”Rachel kembali menatap laut yang membentang luas di hadapannya, matanya berbinar. “Kamu tahu, rasanya seperti... aku bisa melupakan semuanya untuk sesaat. Hanya ada angin, ombak, dan langit yang luas.”Nathan diam sejenak, lalu berjalan mendekati Rachel, membiarkan kapal melaju dengan tenang. “Kalau begitu, jadikan ini sebagai tempat untuk memulai sesuatu yang baru. Kita bisa