“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu.
Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap.
“Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya.
Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.
Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.
“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.
Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya cukup dekat tanpa membuat Rachel merasa terpojok.
“Kalau kamu lelah… kenapa kamu tidak bilang?” tanyanya pelan, berusaha menahan gejolak emosinya sendiri.
Rachel tersenyum miris. “Dan kalau aku bilang, apa itu akan mengubah sesuatu?”
Nathan terdiam. Itu adalah tamparan baginya.
Rachel akhirnya menoleh, menatap Nathan dengan mata yang penuh luka. “Aku sudah sering mencoba bicara, Nathan. Aku sudah memberi banyak tanda. Tapi kamu selalu sibuk. Selalu pergi. Selalu punya alasan untuk tidak benar-benar melihatku.”
Napas Nathan tercekat. Kata-kata Rachel menyakitinya lebih dari yang ia duga.
“Aku tidak menyalahkanmu,” lanjut Rachel. “Kamu memang seperti itu sejak dulu. Aku yang salah, karena berharap lebih.”
“Tapi sekarang aku di sini,” kata Nathan dengan suara yang lebih tegas. “Aku di sini, Hel. Aku melihatmu. Aku mendengarkanmu.”
Rachel menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam tatapan pria itu. Tapi yang ia lihat hanyalah ketulusan dan penyesalan yang begitu dalam.
“Jadi, apa kamu akan tetap pergi terbang besok?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar datar.
Nathan tertegun. Itu bukan pertanyaan biasa. Itu adalah ujian.
Dan ia tahu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ada sesuatu yang lebih penting daripada pekerjaannya.
“Aku tidak akan pergi,” jawab Nathan mantap. “Aku akan tetap di sini, bersamamu.”
Rachel yang mendengar jawaban itu, tidak bisa berkata apa-apa selain diam dan tiba-tiba menghela napasnya.
“Kurasa, aku tidak bisa berharap apapun lagi padamu, Nathan. Harapanku padamu sudah terlalu sering pupus,” jawabnya.
Kata-kata Rachel menusuk Nathan lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Hatinya mencelos. Ia sudah mengatakan bahwa ia akan tetap di sini, bersamanya. Tapi Rachel... Rachel seolah sudah berhenti percaya.
"Hel, aku serius," ucap Nathan, suaranya lebih pelan, nyaris putus asa. "Aku akan tetap di sini. Aku tidak akan pergi."
Rachel tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencerminkan kebahagiaan. "Kamu bilang begitu sekarang, Nathan. Tapi berapa lama? Seminggu? Dua minggu? Lalu setelah itu, pekerjaanmu akan memanggilmu lagi, dan aku... aku akan kembali sendirian."
Nathan menggeleng, mencoba meraih tangan Rachel, tapi wanita itu menarik tangannya lebih dulu.
"Kamu tahu?" Rachel menatap Nathan dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak pernah membenci pekerjaanmu. Aku tahu itu mimpimu. Tapi... aku juga ingin menjadi bagian dari duniamu, bukan hanya seseorang yang kamu tinggalkan dan harapkan tetap menunggumu di rumah."
Nathan meremas tangannya sendiri. "Kamu adalah duniaku, Rachel," suaranya serak. "Dan aku bodoh karena terlalu lama tidak menyadarinya."
Rachel menutup matanya, menahan air mata yang mulai menggenang. "Tapi aku sudah lelah, Nathan..."
"Lalu biarkan aku ada di sini," kata Nathan dengan suara bergetar. "Biarkan aku memperbaiki semuanya. Aku tidak peduli berapa lama waktu yang aku butuhkan, aku akan berusaha."
Rachel menatapnya sekali lagi, dan kali ini, tatapan itu penuh keraguan. Ia ingin percaya, tapi hatinya sudah terlalu sering kecewa.
Jadi, apakah ia masih sanggup berharap?
“Aku tau, tidak mudah untuk mengembalikan kepercayaan. Tidak mudah berharap pada sesuatu yang berkali kali membuatmu kecewa. Tapi, untuk sekarang, jangan pikirkan apapun, ya. Kalau kamu lelah, istirahat dan jangan memikirkan hal yang berat. Aku akan di sini, menemanimu setiap saat. Jangan takut apa pun, Hel. Sekarang cukup nikmati saja dan turutin keinginanmu padaku, jangan melawannya,” ujar Nathan dengan serius hingga tatapan mereka terpaut satu sama lain. “Jangan cemaskan apapun, kamu aman bersamaku, Hel.”
Rachel masih diam, hanya menatap Nathan tanpa ekspresi yang jelas. Kata-kata itu seharusnya bisa menenangkan hatinya, tapi bagian dalam dirinya masih menolak untuk percaya. Terlalu banyak malam yang ia lalui sendirian, terlalu banyak harapan yang ia genggam hanya untuk hancur dalam kekecewaan.
"Apa kamu benar-benar akan tetap di sini?" tanyanya, suaranya nyaris tak terdengar.
Nathan mengangguk mantap. "Ya. Aku tidak akan pergi ke mana-mana."
Rachel menatapnya lama, seolah mencari kebohongan dalam sorot matanya. Tapi Nathan tetap teguh.
Akhirnya, Rachel menghela napas panjang. Ia tahu dirinya terlalu lelah untuk bertengkar, terlalu lelah untuk terus merasa marah. Jadi untuk saat ini, ia memilih menyerah pada kelelahan itu.
"Baiklah," ujarnya pelan, lalu berbaring kembali, memejamkan mata. "Aku ingin tidur."
Nathan tersenyum tipis, meski hatinya masih diliputi kecemasan. "Tidurlah, aku akan tetap di sini."
Rachel tidak menjawab, hanya membiarkan dirinya tenggelam dalam ketenangan yang mulai merayap pelan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa cukup aman untuk tidur tanpa rasa takut.
Baru beberapa saat Rachel menutup matanya, wanita itu kembali membuka mata.
“Ada apa? Kamu tidak bisa terus? Atau merasa gelisah?” tanya Nathan.
“Aku-” Rachel terdiam cukup lama.
Tiba-tiba Nathan memegang tangan wanita itu membuatnya menoleh ke arah Nathan dengan kernyitan di dahi.
“Kalau kamu merasa gelisah. Genggam tanganku dan tidurlah, aku harap itu bisa meringankan kegelisahanmu dan bisa tidur nyenyak,” ucap Nathan tersenyum pada istrinya.
Rachel menatap tangan Nathan yang menggenggamnya erat, seolah pria itu takut jika ia melepaskan, Rachel akan menghilang. Ada sesuatu dalam tatapan Nathan malam ini—sesuatu yang tulus, sesuatu yang selama ini ia rindukan.
Tapi bisakah ia mempercayainya?
Ia menggigit bibirnya ragu, lalu akhirnya menghela napas pelan. Tangannya sedikit bergerak, jemarinya meremas tangan Nathan dengan lemah.
Nathan tersenyum kecil. "Aku di sini, Hel. Aku tidak akan pergi."
Rachel tidak menjawab. Ia hanya menutup matanya lagi, dan untuk pertama kalinya, genggaman tangan Nathan terasa cukup untuk menenangkannya.
Hanya butuh beberapa menit sebelum napasnya mulai melambat, dadanya naik turun dengan ritme yang lebih tenang.
Nathan mengamati wajah istrinya yang kini tertidur, lalu mengecup punggung tangannya dengan lembut.
Tiba-tiba matanya berkaca-kaca melihat Rachel.
“Seberat apa trauma kamu, Hel?” batinnya.
Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache
Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil
Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me
“Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le
“Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal
Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb
“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya
Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb
“Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal
“Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le
Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me
Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil
Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache