Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.
Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.
Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.
Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.
Rachel benar-benar pergi.
Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil berisi bunga lavender masih berdiri di sana, satu-satunya jejak yang tersisa dari kehadiran Rachel.
Tangannya terulur, menyentuh kelopak bunga yang mulai layu. Dia ingat betul bagaimana Rachel selalu mengganti bunga itu setiap minggu. Sekarang, tanpa Rachel, bunga-bunga itu mulai kehilangan nyawanya, sama seperti rumah ini.
“Sejak kapan, dia keluar dari rumah ini?” gumam Nathan menatap sendu bunga lavender yang mulai layu.
Nathan kembali mengamati amplop di tangannya, dia mengeluarkan kertas. Jelas tertera di sana, surat gugatan cerai Rachel padanya.
Nathan menatap lembaran kertas di tangannya, dadanya terasa semakin sesak. Tulisan tangan Rachel yang rapi memenuhi halaman pertama, dan di bagian atasnya, jelas tertulis dua kata yang membuat perutnya terasa seperti diaduk, Gugatan Cerai.
Matanya menyusuri tiap kata di surat itu, tapi pikirannya melayang ke kenangan mereka. Malam-malam ketika Rachel tertidur di sofa sambil menunggu kepulangannya. Percakapan-percakapan yang selalu ditunda karena kelelahan. Tatapan kecewa Rachel yang selalu ia abaikan dengan dalih Aku akan menebusnya nanti.
Tapi sekarang, tidak ada nanti.
Nathan menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya ke sofa. “Rachel…” bisiknya, seolah berharap suara itu bisa memanggilnya kembali.
“Haruskah seperti ini?” gumamnya dengan suara lirih.
***
“Kamu gak pulang?” tanya Laela, adik dari ibunya Rachel.
“Tidak, aku nginap lagi di sini, gak apa-apa kan, Tante?” tanya Rachel.
“Ya gak apa-apa, Tante ya seneng aja kamu di sini nemenin Tante. Toh, anak-anak Tante pada sibuk semua,” ujar Laela di sana.
Rachel tersenyum kecil pada Laela. Wanita itu termenung dengan menatap kosong ke arah kucing yang sedang bermain di depannya.
Laela yang memperhatikan Rachel, menghela napasnya sambil bertanya. “Dia sudah kembali, kan?”
“Ya. Aku juga sudah memberikan surat gugatan cerai itu. Sekarang hanya tinggal tunggu jadwal persidangan,” jawab Rachel.
“Tante tanya sekali lagi. Kamu serius mau bercerai dengan Nathan? Bukannya kalian masih saling mencintai?” tanya Laela.
Rachel menundukkan kepala, mengusap jemarinya sendiri seolah mencari ketenangan di sana. Laela menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban yang mungkin masih disembunyikan keponakannya.
"Cinta saja tidak cukup, Tante," jawab Rachel akhirnya, suaranya lirih tapi tegas. "Aku sudah terlalu lama merasa sendirian dalam pernikahan ini. Dia yang fokus dengan hal yang dia sukai, sedangkan aku disini menunggu tanpa kepastian dan kesepian,” jawab Rachel terlihat berkaca-kaca di sana.
Laela menghela napas, duduk di samping Rachel dan menggenggam tangannya. "Tapi, Rachel... apakah Nathan tahu seberapa dalam luka yang kamu rasakan? Atau dia hanya menganggap ini sebagai keputusan mendadak?"
Rachel menggeleng pelan. "Aku sudah memberi Nathan banyak kesempatan, Tante. Aku sudah berbicara, sudah menunggu, sudah berharap. Tapi dia tetap sama, lebih memilih pekerjaan dibanding aku."
Kucing di depan mereka berguling malas, seolah tak peduli dengan percakapan berat yang terjadi di antara dua perempuan itu.
"Tapi kamu masih mencintainya," kata Laela, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.
Rachel tersenyum pahit. "Mungkin, tapi apa gunanya mencintai seseorang yang selalu pergi? Aku butuh dia ada disisiku, aku juga ingin anak, tapi dia hanya fokus dengan pekerjaannya. Dan aku semakin merasa diabaikan dan kesepian,” ucap Rachel.
Laela tak langsung membalas. Hanya angin malam yang masuk melalui jendela, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara.
"Kalau begitu, kamu harus siap menerima apa pun yang terjadi setelah ini," ujar Laela akhirnya. "Jangan sampai ada penyesalan, Rachel."
Rachel mengangguk pelan. "Aku hanya ingin mengakhiri ini sebelum aku membenci Nathan."
Laela tak bisa membantah. Dia hanya bisa meremas tangan Rachel sedikit lebih erat, berharap keponakannya cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
“Apa tidak sebaiknya kalian bicara dulu, Hel? Jangan ambil keputusan sendiri, Tante malah makin khawatir melihat kondisimu juga,” ujar Laela menghela napasnya. “Apa Nathan tau kondisimu sekarang?”
Rachel menggelengkan kepalanya. “Dia gak pernah peduli padaku, Tante. Yang dia pedulikan hanya pekerjaan, dan memberiku uang yang banyak. Hal lain yang aku butuhkan, tidak dia berikan. Aku sadar, aku egois. Tapi, aku hanya ingin merasakan adanya sosok suami di sisiku yang bisa memperhatikan dan mengayomiku setiap saat,” ujar Rachel.
Laela menatap Rachel dengan sorot mata lembut namun penuh pertimbangan. “Hel, ingin diperhatikan oleh pasangan itu bukan egois. Itu wajar,” katanya pelan.
Rachel menunduk, memainkan ujung lengan bajunya dengan gelisah. “Tapi aku juga tidak bisa memaksa Nathan untuk berubah kalau dia sendiri tidak sadar apa yang hilang.”
Laela menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Lalu, kalau kamu benar-benar mengakhiri ini, apa kamu sudah siap dengan semua konsekuensinya?”
Rachel terdiam. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, tetapi pertanyaan itu tetap membuat hatinya bergetar.
“Aku hanya ingin menemukan kembali diriku sendiri, Tante,” jawab Rachel akhirnya. “Aku lelah menjadi istri yang tidak dijadikan rumah, melainkan hanya persinggahan sementara. Aku lelah berbicara dengan dinding yang tak pernah benar-benar mendengarku.”
Laela menggenggam tangan Rachel, memberikan kehangatan yang tak bisa ia dapatkan dari suaminya sendiri.
“Kalau begitu, pastikan kamu kuat, Hel,” ucap Laela. “Dan kalaupun kamu memutuskan pergi, jangan pergi dalam keadaan marah atau benci. Pergilah dengan hati yang damai.”
Rachel mengangguk pelan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya, apakah perpisahan benar-benar satu-satunya jalan?
***
Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me
“Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le
“Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal
Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb
“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya
Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache
“Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya
Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb
“Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal
“Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le
Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me
Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.Rachel benar-benar pergi.Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil
Hujan rintik-rintik menyelimuti landasan bandara ketika Nathan melangkah keluar dari kokpit. Seragam kapten pilotnya masih rapi, tapi matanya menyiratkan kelelahan. Dia baru saja menyelesaikan penerbangan belasan jam. Di tengah lorong kedatangan, Rachel berdiri dengan mantel cokelatnya yang elegan. Tangan kanannya menggenggam amplop putih, dan tatapannya tak lagi lembut seperti dulu."Kita harus bicara." Suaranya datar, tapi cukup menusuk.Nathan mengusap tengkuknya, menatap wanita yang pernah ia panggil rumah. "Kamu memilih waktu yang sempurna seperti biasa."Rachel tersenyum tipis, sinis. "Aku tidak sabar, kalau hanya menunggumu di rumah."Nathan mendekat, menyadari amplop itu—dokumen perceraian. Matanya menyipit. "Jadi, kamu benar-benar ingin mengakhiri semuanya?"Rachel menyerahkan amplop itu dengan tangan yang mantap. "Kamu selalu lebih mencintai terbang dibanding aku, Nathan. Kurasa, aku tidak bisa memakluminya lagi. Nathan menatapnya dalam-dalam, mencari sesuatu di mata Rache