Share

Chapter Dua

Penulis: Kinan Larasati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-23 21:58:46

Nathan memasukkan kode ke layar sentuh di pintu rumahnya. Dengan bunyi klik halus, kunci otomatis terbuka, dan dia mendorong pintu cukup lebar untuk masuk sambil menarik koper kecilnya.

Begitu melangkah ke dalam, udara dingin langsung menyergapnya. Rumah besar itu terasa hampa, sepi, dan menyesakkan. Tidak ada suara langkah ringan Rachel, tidak ada aroma teh favoritnya yang biasa menyambutnya setiap pulang.

Dia menarik napas dalam, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mulai merayapi dadanya. Langkah kakinya menggema di lantai marmer saat ia berjalan menuju ruang tamu. Sepasang sepatu hak tinggi yang dulu sering berserakan di dekat sofa sudah tidak ada. Bantal favorit Rachel yang biasa ia peluk saat menonton film juga menghilang.

Nathan menghela napas, melemparkan jas pilotnya ke sandaran kursi dan menjatuhkan diri ke sofa. Dia menatap langit-langit untuk beberapa saat, membiarkan pikirannya berkelana.

Rachel benar-benar pergi.

Matanya melirik meja di sudut ruangan. Sebuah pot kecil berisi bunga lavender masih berdiri di sana, satu-satunya jejak yang tersisa dari kehadiran Rachel.

Tangannya terulur, menyentuh kelopak bunga yang mulai layu. Dia ingat betul bagaimana Rachel selalu mengganti bunga itu setiap minggu. Sekarang, tanpa Rachel, bunga-bunga itu mulai kehilangan nyawanya, sama seperti rumah ini.

“Sejak kapan, dia keluar dari rumah ini?” gumam Nathan menatap sendu bunga lavender yang mulai layu. 

Nathan kembali mengamati amplop di tangannya, dia mengeluarkan kertas. Jelas tertera di sana, surat gugatan cerai Rachel padanya. 

Nathan menatap lembaran kertas di tangannya, dadanya terasa semakin sesak. Tulisan tangan Rachel yang rapi memenuhi halaman pertama, dan di bagian atasnya, jelas tertulis dua kata yang membuat perutnya terasa seperti diaduk, Gugatan Cerai.

Matanya menyusuri tiap kata di surat itu, tapi pikirannya melayang ke kenangan mereka. Malam-malam ketika Rachel tertidur di sofa sambil menunggu kepulangannya. Percakapan-percakapan yang selalu ditunda karena kelelahan. Tatapan kecewa Rachel yang selalu ia abaikan dengan dalih Aku akan menebusnya nanti.

Tapi sekarang, tidak ada nanti.

Nathan menghela napas panjang, menyandarkan kepalanya ke sofa. “Rachel…” bisiknya, seolah berharap suara itu bisa memanggilnya kembali.

“Haruskah seperti ini?” gumamnya dengan suara lirih. 

***

“Kamu gak pulang?” tanya Laela, adik dari ibunya Rachel. 

“Tidak, aku nginap lagi di sini, gak apa-apa kan, Tante?” tanya Rachel. 

“Ya gak apa-apa, Tante ya seneng aja kamu di sini nemenin Tante. Toh, anak-anak Tante pada sibuk semua,” ujar Laela di sana. 

Rachel tersenyum kecil pada Laela. Wanita itu termenung dengan menatap kosong ke arah kucing yang sedang bermain di depannya. 

Laela yang memperhatikan Rachel, menghela napasnya sambil bertanya. “Dia sudah kembali, kan?” 

“Ya. Aku juga sudah memberikan surat gugatan cerai itu. Sekarang hanya tinggal tunggu jadwal persidangan,” jawab Rachel. 

“Tante tanya sekali lagi. Kamu serius mau bercerai dengan Nathan? Bukannya kalian masih saling mencintai?” tanya Laela. 

Rachel menundukkan kepala, mengusap jemarinya sendiri seolah mencari ketenangan di sana. Laela menatapnya lekat-lekat, mencari jawaban yang mungkin masih disembunyikan keponakannya.

"Cinta saja tidak cukup, Tante," jawab Rachel akhirnya, suaranya lirih tapi tegas. "Aku sudah terlalu lama merasa sendirian dalam pernikahan ini. Dia yang fokus dengan hal yang dia sukai, sedangkan aku disini menunggu tanpa kepastian dan kesepian,” jawab Rachel terlihat berkaca-kaca di sana. 

Laela menghela napas, duduk di samping Rachel dan menggenggam tangannya. "Tapi, Rachel... apakah Nathan tahu seberapa dalam luka yang kamu rasakan? Atau dia hanya menganggap ini sebagai keputusan mendadak?"

Rachel menggeleng pelan. "Aku sudah memberi Nathan banyak kesempatan, Tante. Aku sudah berbicara, sudah menunggu, sudah berharap. Tapi dia tetap sama, lebih memilih pekerjaan dibanding aku."

Kucing di depan mereka berguling malas, seolah tak peduli dengan percakapan berat yang terjadi di antara dua perempuan itu.

"Tapi kamu masih mencintainya," kata Laela, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Rachel tersenyum pahit. "Mungkin, tapi apa gunanya mencintai seseorang yang selalu pergi? Aku butuh dia ada disisiku, aku juga ingin anak, tapi dia hanya fokus dengan pekerjaannya. Dan aku semakin merasa diabaikan dan kesepian,” ucap Rachel. 

Laela tak langsung membalas. Hanya angin malam yang masuk melalui jendela, membawa aroma hujan yang masih tersisa di udara.

"Kalau begitu, kamu harus siap menerima apa pun yang terjadi setelah ini," ujar Laela akhirnya. "Jangan sampai ada penyesalan, Rachel."

Rachel mengangguk pelan. "Aku hanya ingin mengakhiri ini sebelum aku membenci Nathan."

Laela tak bisa membantah. Dia hanya bisa meremas tangan Rachel sedikit lebih erat, berharap keponakannya cukup kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

“Apa tidak sebaiknya kalian bicara dulu, Hel? Jangan ambil keputusan sendiri, Tante malah makin khawatir melihat kondisimu juga,” ujar Laela menghela napasnya. “Apa Nathan tau kondisimu sekarang?”

Rachel menggelengkan kepalanya. “Dia gak pernah peduli padaku, Tante. Yang dia pedulikan hanya pekerjaan, dan memberiku uang yang banyak. Hal lain yang aku butuhkan, tidak dia berikan. Aku sadar, aku egois. Tapi, aku hanya ingin merasakan adanya sosok suami di sisiku yang bisa memperhatikan dan mengayomiku setiap saat,” ujar Rachel. 

Laela menatap Rachel dengan sorot mata lembut namun penuh pertimbangan. “Hel, ingin diperhatikan oleh pasangan itu bukan egois. Itu wajar,” katanya pelan.

Rachel menunduk, memainkan ujung lengan bajunya dengan gelisah. “Tapi aku juga tidak bisa memaksa Nathan untuk berubah kalau dia sendiri tidak sadar apa yang hilang.”

Laela menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Lalu, kalau kamu benar-benar mengakhiri ini, apa kamu sudah siap dengan semua konsekuensinya?”

Rachel terdiam. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, tetapi pertanyaan itu tetap membuat hatinya bergetar.

“Aku hanya ingin menemukan kembali diriku sendiri, Tante,” jawab Rachel akhirnya. “Aku lelah menjadi istri yang tidak dijadikan rumah, melainkan hanya persinggahan sementara. Aku lelah berbicara dengan dinding yang tak pernah benar-benar mendengarku.”

Laela menggenggam tangan Rachel, memberikan kehangatan yang tak bisa ia dapatkan dari suaminya sendiri.

“Kalau begitu, pastikan kamu kuat, Hel,” ucap Laela. “Dan kalaupun kamu memutuskan pergi, jangan pergi dalam keadaan marah atau benci. Pergilah dengan hati yang damai.”

Rachel mengangguk pelan. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia bertanya-tanya, apakah perpisahan benar-benar satu-satunya jalan?

*** 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Lily
apapun keputusan kamu yg terbaik Rachel kamu yang merasakan selama ini
goodnovel comment avatar
Yanti Wijaya
Kalian masih saling mencintai tp tak saling mengerti.Nathan baru terasakan hampa drmh sendiri.Rachel dh berusaha ngasih kesempatan dan ingin bicara namun waktu mu terlalu sibuk untuk bekerja,nampaknya lebih sayang pekerjaan dari pd jd suami yg baik.
goodnovel comment avatar
Kasma yani
Memang menyakitkan sekali ya hati Rahel walaupun di kasih uang banyak di kasih kemewahan pun tidak berarti karena tidak ada sosok suami di sisi Rahel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga

    Tok tok tokLaela membuka pintu rumah pagi itu, ekspresi terlihat tenang tanpa ada keterkejutan, karena tidak ada lagi tempat untuk Rachel sembunyi selain di tempat ini. “Pagi, Tante. Apa Rachel ada di sini?” tanya Nathan. “Rachel masih tidur, apa perlu Tante bangunkan?” tanya Laela.Nathan menggeleng pelan. “Tidak perlu, Tante. Aku bisa menunggunya.”Laela menatap Nathan sejenak sebelum akhirnya membuka pintu lebih lebar, mempersilakannya masuk. “Silakan duduk. Mau teh atau kopi?”“Kopi saja, Tante. Terima kasih.”Nathan melangkah masuk, matanya menyapu ruangan dengan cepat. Suasana rumah yang lebih tenang, dibanding rumahnya yang dia tempati bersama Rachel, mungkin lebih tepatnya, tempat untuk Rachel tempati sendiri. Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Nathan duduk di sofa, jemarinya saling menggenggam, pikirannya berkecamuk. Saat suara langkah kaki terdengar dari tangga, ia langsung menoleh.Rachel muncul, masih mengenakan pakaian tidur, rambutnya berantakan. Ekspresinya me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-23
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Empat

    “Sial!” keluh Nathan menundukkan kepalanya. Hatinya sakit bukan main. Sudah tidak hari lamanya, dia memberikan waktu pada Rachel, berharap wanita itu berhenti marah dan mau pulang, tetapi kenyataannya dia tetap menolak permintaan Nathan. Pria itu menatap layar ponselnya yang di mana sebuah pesan singkat dari Rachel yang membalas semua pesan panjangnya. “Kita lebih baik bercerai saja, Nathan. Aku merasa, sudah tidak ada harapan lagi bersamamu. Aku lelah, aku benar-benar sangat lelah… “ Itulah pesan yang semakin menyesakkan dadanya. Tidak pernah sekalipun, Nathan merasakan perasaaan sesak seperti ini. Rachel yang begitu egois dan tetap mengutamakan egonya, ataukah Nathan yang terlalu egois dan tidak pernah menghargai keberadaan Rachel selama ini.Nathan meremas ponselnya, jari-jarinya bergetar menahan emosi yang semakin menyesakkan dada. Pesan dari Rachel terasa seperti belati yang menusuk tepat di jantungnya."Aku lelah, aku benar-benar sangat le

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Lima

    “Jadi, kamu akan kembali pada Nathan, Hel?” tanya Laela. Saat ini, mereka sedang bersama di meja makan setelah anak-anak Laela yang seorang janda, pergi sekolah. “Aku meminta waktu untuk memikirkannya. Mungkin perceraian akan tertunda. Dia akan menunggu keputusanku,” ucap Rachel.Laela menatap Rachel dengan sorot mata penuh pertimbangan. Ia menyendok sup ke dalam mangkuknya dengan gerakan perlahan, seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan."Kamu masih mencintainya, kan?" tanya Laela akhirnya.Rachel tidak langsung menjawab. Ia hanya mengaduk-aduk nasinya dengan sendok, tatapannya kosong."Cinta bukan satu-satunya alasan untuk bertahan, Tante," ujarnya pelan. "Aku lelah, aku sakit hati. Dan Nathan... dia terlalu sering menganggap keberadaanku tidak sepenting pekerjaannya."Laela menghela napas, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Tapi dia sedang berusaha, Rachel. Dia bahkan mau ikut program kehamilan, sesuatu yang selama ini selalu kamu inginkan, dan dia selal

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Enam

    Nathan merasakan aliran darahnya mendingin. Matanya terpaku pada kata-kata itu. Spesialis kejiwaan?Rachel… pergi ke psikiater?Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Rachel tidak pernah membicarakan ini padanya?Dadanya terasa sesak, napasnya tersendat.Apa yang selama ini dia tidak tahu? Karena merasa sangat penasaran, Nathan membuka cctv rumahnya yang jarang dia buka, selain untuk melihat Rachel sedang apa. Tapi karena penasara, Nathan memutar setiap waktu di tanggal-tanggal saat dia sedang tidak ada di rumah dan melihat aktivitas Rachel. Dan tanpa sadar, air mata Nathan luruh membasahi pipinya. Saat dia melihat rekaman di setiap malamnya. Rachel terlihat tidak tidur, wanita itu terlihat gelisah dan terus mengintip keluar jendela, sampai Nathan melihat cctv di bagian depan rumah, tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Kemudian, wanita itu menangis histeris dengan memeluk lututnya sendiri dan sesekali menjambak ramb

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-26
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tujuh

    “Kata dokter, selain anemia, asam lambungmu juga naik, Hel. Apa selama ini kamu tidak makan dengan baik?” tanya Nathan dengan tatapan sendu. Saat ini, mereka berada di ruang rawat Rachel. Wanita itu masih memilih bungkam dan menatap keluar jendela ruangan yang menunjukkan pemandangan gedung-gedung pencakar langit dan langit yang gelap. “Sampai kapan kamu akan mendiamkanku seperti ini, Hel?” tanya Nathan dengan serius menatap Rachel yang terus menghindari tatapannya. Nathan belum menanyakan apa pun tentang rekaman cctv yang dia lihat tentang kondisi Rachel. Dia menunggu waktu yang tepat sampai Rachel sehat dan keluar dari rumah sakit.Rachel masih menatap ke luar jendela, tidak segera menjawab pertanyaan Nathan. Dalam hatinya, ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi bibirnya terasa terlalu berat untuk mengucapkannya.“Aku hanya lelah, Nathan,” gumamnya akhirnya, masih tanpa menoleh.Nathan menghela napas, lalu duduk di tepi ranjang, memastikan jaraknya

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-12
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Delapan

    Rachel membuka matanya saat sinar matahari masuk ke celah jendela. Dia menolehkan kepalanya dan cukup terkejut kalau dia bisa tidur nyenyak tanpa mimpi buruk dan rasa cemas yang biasa dia rasakan. Sudah beberapa minggu sejak Nathan pergi bertugas dan Rachel tinggal di rumah Tantenya, dia tidak tidur dengan nyenyak dan bahkan semalaman tidak bisa tidur. Tetapi, sekarang dia bisa tidur dengan lelap tanpa perasaan gelisah lagi. Wanita itu menyadari sesuatu yang sedang dia genggam dengan cukup kuat. Wanita itu menundukkan pandangannya dan langsung melihat genggaman tangan Nathan. Pria itu dengan setia menggenggam tangannya semalaman, bahkan dia tidur dengan posisi duduk di kursi yang ada di samping brankar dan menyandarkan kepalanya ke brankar. Tidak bisa dipungkiri, kalau Rachel terharu dengan apa yang dilakukan Nathan. Tetapi, rasa kecewa dan sakitnya terlalu dalam, sampai dia terus menepis perasaan itu. Rachel tidak mau berharap lagi pada Nathan karena sudah berkali

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-13
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Sembilan

    “Gimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Nathan pada Dokter yang melakukan pemeriksaan Rachel.“Untuk mualnya sudah tidak ada, hanya saja anemianya masih belum stabil. Pasien harus banyak-banyak istirahat dan makan yang banyak. Semoga rasa mual dan gerdnya tidak kambuh lagi. Saya sudah meresepkan beberapa obat dan antibiotiknya,” jelas Dokter di sana.Nathan mengangguk paham, matanya sesekali melirik ke arah Rachel yang tengah duduk di ranjang, mendengarkan percakapan mereka dengan ekspresi datar."Jadi, kapan Rachel bisa pulang, Dok?" tanya Nathan lagi.Dokter melihat catatan medis Rachel sebelum menjawab, "Jika kondisi anemianya membaik dalam satu atau dua hari ke depan, dia bisa pulang. Tapi tetap harus menjaga pola makan dan istirahat, jangan sampai kelelahan."Nathan menghela napas lega, lalu menatap Rachel penuh perhatian. "Dengar itu, Hel? Kamu harus makan lebih banyak dan jangan membantah kalau aku merawatmu nanti."Rachel hanya mendesah pelan, tidak ingin berdebat.Dokter ters

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-14
  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Sepuluh

    “Kamu sudah siap?” tanya Nathan menatap Rachel yang sudah bersiap dan terlihat lebih segar dibanding sebelumnya. “Ya, aku sudah siap,” jawab Rachel. “Hel, kita pulang ke rumah kita, ya?” ajak Nathan dan Rachel masih diam di sana. “Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian,” tambah Nathan seakan ingin meyakinkan Rachel. “Kumohon, pulang bersamaku ke rumah kita.” Rachel merasa tidak punya pilihan lain, dia pun lelah berdebat dengan Nathan akhir-akhir ini. Pria itu terus saja memaksanya, sampai Rachel tidak bisa mengatakan apapun. “Ya, baiklah,” jawab Rachel akhirnya. Saat itu pun, seulas senyuman terbit di bibir Nathan. “Kalian sudah siap?” tanya Laela yang kembali masuk ke dalam ruangan Rachel. “Sudah, Tante.” Nathan yang menjawab di sana. “Baiklah, Tante bawa tasnya,” ucap Laela pergi lebih dulu. Nathan mengulurkan tangannya ke arah Rachel. “Mau aku gendong?” tawarnya menggoda istrinya. “

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-15

Bab terbaru

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Dua

    Setelah mandi dan mengenakan gaun elegan itu, Rachel berdiri di depan cermin. Ia mematut dirinya. Gaun itu pas sekali di tubuhnya, membingkai siluet rampingnya dengan begitu anggun.Rachel berdiri di depan cermin dengan jantung yang berdebar pelan. Gaun elegan pemberian Nathan kini membalut tubuhnya dengan anggun. Warnanya yang lembut berpadu sempurna dengan rona hangat kulitnya. Potongan gaun itu mempertegas siluet tubuhnya, sementara kilau halus pada permukaannya memantulkan cahaya dengan cara yang nyaris magis.Rambut Rachel ditata lembut, sebagian digerai, sebagian disanggul sederhana, memberi kesan manis sekaligus dewasa. Ia menyematkan anting mutiara kecil di telinganya, lalu meraih kalung yang dulu juga diberikan Nathan, mutiara putih yang menggantung anggun di leher jenjangnya.Rachel menarik napas panjang dan mematut dirinya sekali lagi. Ada kilau baru di matanya, seperti semangat yang baru menyala. Malam ini bukan malam biasa. Ini adalah momen yang sudah lama tidak mereka mi

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh Satu

    Matahari belum terlalu tinggi saat Rachel dan Nathan bersiap di dermaga kecil, mengenakan perlengkapan menyelam yang telah dipersiapkan oleh pemandu wisata. Rachel terlihat gugup, tetapi antusiasme di matanya tidak bisa disembunyikan. Nathan memeriksa kembali maskernya dan memastikan tangan Rachel tetap dalam genggamannya.“Kamu siap?” tanya Nathan sambil tersenyum lembut.Rachel mengangguk. “Ya. Walau gugup, tapi aku nggak mau melewatkan kesempatan ini. Kalau ada kamu, aku berani.”“Good.”Mereka pun perlahan menuruni tangga kecil yang mengarah langsung ke laut. Air terasa sejuk saat menyentuh kulit mereka, dan dalam hitungan menit, mereka sudah benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut dengan pemandu yang mengikuti dari belakang untuk berjaga.Begitu memasuki dunia bawah laut, semua keheningan daratan seakan lenyap. Suara hanya berupa gelembung-gelembung udara dan detak jantung yang terdengar di dalam kepala mereka. Rachel membuka matanya lebar-lebar saat melihat sekumpulan ikan

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Tiga Puluh

    Langit biru cerah membentang luas di atas kepala saat Nathan membuka pintu mobil sport berwarna hitam metalik yang mengilap. Angin laut semilir langsung menyapa kulit begitu Rachel melangkah keluar dari villa, gaun putih selututnya berkibar ringan mengikuti gerak langkahnya. Matanya membulat saat melihat kendaraan yang terparkir di depan halaman.“Wow... Kamu dapat mobil ini dari mana?” tanyanya, setengah tak percaya.Nathan tersenyum bangga, menyandarkan tangan di bodi mobil. “Disewa khusus buat hari ini. Kita mau ke Tanah Lot, kan? Aku pikir, kenapa nggak sekalian gaya dikit?”Rachel terkekeh, matanya berbinar penuh semangat. “Waw... kamu memang bisa menciptakan suasana yang romantis dan menyenangkan, ya?”“Tentu saja. Apa sih yang nggak buat istriku yang cantik,” balas Nathan dengan senyuman lebarnya.“Ck... gombal banget. Ah, kamu jadi sangat romantis karena kegiatan tadi malam, kan?” tuduh Rachel membuat Nathan terkekeh.“Ya, sebenarnya aku hanya ingin membuat istriku bahagia. Ta

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua Puluh Sembilan

    Pagi itu, mentari belum sepenuhnya naik saat Nathan dan Rachel melangkah keluar dari mobil mereka, menginjak pasir yang masih basah oleh ombak semalam. Aroma laut langsung menyapa, bercampur dengan semilir angin dan suara camar yang beterbangan di atas perahu-perahu nelayan yang bersandar.Rachel menatap ke arah deretan perahu yang mulai menurunkan hasil tangkapan mereka. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat dunia bawah laut dalam bentuk nyata. “Lihat, Nath! Ikan itu masih loncat-loncat!” serunya, menunjuk ember besar berisi ikan kerapu segar.Nathan tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Kamu kayak anak kecil yang baru nemu mainan baru.”Rachel mencubit lengannya pelan. “Ini pertama kalinya aku langsung ke tempat nelayan, lho. Selama ini cuma lihat di pasar atau supermarket. Rasanya beda.”Mereka mulai berkeliling, menyapa para nelayan yang ramah dan menjajakan hasil tangkapannya. Udang, cumi-cumi, kakap merah, bahkan kerang laut tertata di atas meja ka

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua Puluh Delapan

    “Rachel...” Nathan mengelus lembut rahang Rachel di sana. “Bangun Sayang.” Mendengar itu, Rachel perlahan membuka matanya dan menatap Nathan di depannya. Senyuman manis terukir indah di bibir wanita itu. “Pagi, Nathan... “ sapa Rachel. “Bangun, yuk. Kita sarapan, aku sudah siapkan sarapan untuk kita,” ajak Nathan di sana. Rachel menganggukkan kepalanya, masih dengan senyumannya. Sejak dia mengatakan semuanya pada Nathan, semua beban hidupnya dan Nathan memilih untuk mempercayainya. Itu sudah sangat cukup untuk membantunya bangkit dan merasa lega.Nathan tersenyum hangat melihat ekspresi tenang di wajah Rachel, berbeda jauh dari malam-malam sebelumnya yang selalu diwarnai tangis dan mimpi buruk. Ia membungkuk sedikit, mengecup kening Rachel dengan penuh kasih.“Pagi ini kamu cantik banget, tahu nggak?” goda Nathan sambil membelai rambut Rachel yang sedikit kusut.Rachel tertawa kecil, suaranya pelan namun tulus. “Itu karena aku tidur ny

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua Puluh Tujuh

    Mata Nathan langsung membelalak. Rahangnya mengeras seketika.. “Apa?” suaranya rendah, hampir seperti bisikan marah yang tertahan.Rachel mengangguk lemah, air matanya kembali jatuh. “Dia bebas, Nath… Karena kejahatannya tidak besar. Saat aku mendengar nama itu dari Tante Laela, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku kalau dia tidak akan melakukan hal seperti itu dulu. Aku tidak mungkin bertemu lagi dengannya, jadi aku masih aman. Tapi aku tetap ketakutan. Setiap malam aku mimpi buruk, aku merasa seperti dia ada di sekitarku, mengawasiku… Dan kamu, kamu selalu tidak ada di sampingku. Sampai aku merasa frustrasi sendiri,” gumam Rachel. “Aku paham, aku mengerti, kamu sedang bekerja. Kamu punya tanggung jawab di maskapai sebagai seorang pilot. Aku sadar, kamu tidak sepenuhnya milikku, tapi aku tetap ketakutan dan terlalu mengharapkanmu. Maafkan aku… “Nathan mengepalkan tangannya, mencoba menahan gejolak kemarahan yang semakin membara di dadanya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua Puluh Enam

    “Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Nathan. Saat ini, mereka berdua sudah duduk di kursi ruang tengah dekat televisi. “Aku sebenarnya takut untuk mengatakannya padamu. Aku takut kamu tidak akan mempercayaiku,” ujar Rachel menggigit bibir bawahnya. “Aku pasti akan mempercayaimu, Hel. Aku sangat percaya 100% padamu,” ujar Nathan dengan serius. Rachel pun menggigit bibirnya sambil menghela napas. “10 tahun yang lalu, saat aku duduk di bangku SMA. Orang tuaku bercerai, mereka memilih menikah lagi dan menitipkanku pada Tante Yeni, adik dari Mama. Aku dicampakkan oleh orang tuaku sendiri karena mereka lebih mementingkan keluarga baru mereka. Sedangkan hidup di rumah tante Yeni, aku menjadi pembantu di sana. Selain membersihkan rumah, memasak untuk mereka semua, aku juga harus melayani keluarga Tante Yang jumlahnya tidak sedikit. Selain dua anaknya, di sana ada adik dari suami tante Yeni yang tinggal di sana,” tutur Rachel dan saat itu Nathan melihat wajah Rachel pucat dan kedua t

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua Puluh Lima

    Tok! Tok! Tok! “Apa kamu akan terus mengurung diri sendiri seperti itu, Hel?” Nathan masih berusaha sabar dengan sikap Rachel yang terus menghindar. Semua keanehan yang terjadi pada istrinya itu, diluar kebiasaan. Dan itu memicu rasa penasaran nya semakin besar. “Rachel, bisa bicara? Jangan terus menghindar dan membuatku bingung karena tidak tau apa pun.” Nathan masih terus berusaha memanggil Rachel sambil mengetuk pintu kamar. Dibalik pintu, Rachel duduk bersandar ke daun pintu, dia sedang menangis tanpa suara. “Maaf, Nathan.” Rachel hanya bisa membatin dengan penuh rasa bersalah. Dia ingin bicara dan menceritakan semuanya pada Nathan. Tapi, dia masih takut dan tidak memiliki cukup keberanian untuk mengatakannya. Nathan menghela napas panjang, lalu menyandarkan keningnya ke pintu. Suaranya lebih lembut kali ini.“Hel… Aku nggak akan marah, jadi bisakah kamu berhenti menghindari seperti ini. Kita datang ke sini untuk berlibur dan menikmati momen bahagia bersama. Kalau kamu sepert

  • Ayo Bercerai, Kapten!   Chapter Dua Puluh Empat

    “Wah, indah banget pemandangannya,” gumam Rachel yang berdiri di bagian depan kapal feri dengan pemandangan laut yang indah. Angin berhembus menerpa tubuhnya. Dress putih dan rambutnya melambai-melambai karena hembusan angin. Nathan sedang fokus menyetir kapal feri itu sambil memperhatikan Rachel di sana.“Kamu suka?” tanya Nathan dengan senyum kecil di wajahnya, tangannya masih kokoh menggenggam kemudi kapal.Rachel menoleh dan mengangguk penuh antusias. “Suka banget! Lautnya jernih, anginnya sejuk... rasanya menenangkan.”Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti suka. Makanya aku bawa kamu ke sini.”Rachel kembali menatap laut yang membentang luas di hadapannya, matanya berbinar. “Kamu tahu, rasanya seperti... aku bisa melupakan semuanya untuk sesaat. Hanya ada angin, ombak, dan langit yang luas.”Nathan diam sejenak, lalu berjalan mendekati Rachel, membiarkan kapal melaju dengan tenang. “Kalau begitu, jadikan ini sebagai tempat untuk memulai sesuatu yang baru. Kita bisa

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status