"Jadi, ini restaurant tempatnya bekerja?" Raihan melihat sekeliling bangunan restaurant tempat Rania bekerja. Bukan restaurant bintang lima, pasti gajinya juga tidak besar. Terlihat juga dari tempatnya yang kurang luas, namun tidak sepi pelanggan. "Restaurant ini masih terbilang kecil ukurannya," sambungnya lagi sambil mengusap lehernya yang sedikit merinding karena cuaca dingin. Laki-laki itu juga semakin mengeratkan jaket ke tubuh kekarnya.
Hoek! Hoek!Terdengar suara wanita yang sedang muntah dari pintu belakang restaurant, Raihan dapat melihat dari tempat berdirinya. Sosok wanita yang beberapa hari ini memenuhi isi pikirannya."R-rania …," lirih Raihan saat Rania memuntahkan isi perutnya begitu saja. Wanita itu berjongkok sambil menekan perutnya yang sakit. Tampak, gadis yang kelihatan lebih muda dari Rania mengusap leher Rania dan memberikan segelas air putih untuk bunanya Vano itu.Si gadis muda tampak khawatir dan berbicara pada Rania. Terlih"Rania," panggil Raihan yang membuat Rania menolehkan kepalanya ke belakang. Dia hapal betul siapa pemilik suara lembut yang khas seperti itu. Suara itu juga sama persis seperti empat tahun yang lalu. "B-bapak? Ada apa Bapak di tempat seperti ini?" Rania kebingungan dan agak kaget dengan tatapan Raihan yang sangat teduh dan terlihat putus asa. "Memangnya kenapa jika aku berada disini?" tanya Raihan, dirinya tidak melepaskan pandangan matanya pada Rania sedetik pun, rasanya sangat berharga bisa terus memandang Rania seperti ini, tanpa jeda. "I-ini kan bukan unit elit. T-tidak mungkin teman atau investormu tinggal di tempat sempit seperti ini," balas Rania lagi dengan tatapan mata yang bergetar nyaris memerah. "Kau sendiri sedang apa?" "Aku ingin ke unitku sendiri." Rania mengambil bawaannya yang tergeletak di bawah lantai dan menentengnya seperti awal tiba di depan lift. "Kenapa kau mengajak anakmu tinggal di tempat seperti
Perlahan, Raihan melonggarkan pelukannya pada pinggang kecil Rania. Tangan kanannya menyentuh tengkuk leher si manis dan ditarik pelan ke dekat wajahnya. Reflek kaki Rania sedikit berjinjit untuk menyesuaikan posisi.Raihan mendaratkan bibir merahnya pada bibir mungil dan basah milik Rania. Perlahan, kembali Raihan menarik pinggang Rania agar tubuh wanita itu semakin menempel pada tubuh miliknya. Raihan melumati bibir Rania dengan lembut, menumpahkan segala isi hatinya yang sudah ia tahan selama empat tahun ini. Tentu saja, Rania membalasnya karena Rania juga merindukan sosok tersayangnya. Mereka terus terlelap dalam pagutan ciuman romantis musim dingin. Tidak terlalu dingin untuk mereka yang saling menghangatkan. Yang kedinginan hanya penulis cerita dan pembaca, mungkin. Kegiatan mereka cukup intensif atau bahkan tangan Raihan hampir masuk ke dalam baju Rania. Karena perasaan yang saling menggelegarlah mereka hampir nekat melakukan y
"Vano lain kali jalannya harus hati-hati ya, dahimu merah sekali, Nak," ucap Rania yang sedang memangku Vano di atas sofa. Dibawah sana, Raihan yang mengusap tangan Vano dengan khawatir. Raut wajahnya gelisah saat memperhatikan rona kemerahan di dahi Vano yang disertai sedikit benjolan. "Padahal kemarin sudah janji untuk berhati-hati," timpal Raihan menambahi. Kini, laki-laki itu mengolesi salep ke dahi Vano dengan gerakan pelan dan bergetar. Rania yang memperhatikannya, tersenyum getir. Segitu tremornya Raihan menghadapi Vano yang terluka. "Ano mau yobot gudamna, makanya layi, Paman ...," balas Vano sambil membuka kotak robotnya. Dia mengeluarkan robot gundamnya dengan senyuman lebar yang cerah. Sungguh, anak itu bahagia dengan mainan barunya tersebut. "Oh, iya. Buna ingin bilang sesuatu pada Vano. Vano harus mendengarkannya, ya," kilah Rania sambil menurunkan Vano dari pangkuannya. Ikut berjongkok di samping Raihan, membiarkan si putra bungs
"Benar, asal Ano tidak marah lagi pada Handa dan mau menjadi anak Handa." Raihan menyentuh punggul kecil Vano dan diusap pelan sekali. Memberikan ketenangan pada si kecil yang akhir-akhir ini kelihatan sedang tidak sehat. Vano bergerak memeluk leher Raihan dengan erat. "Yumah angkasa utuk Ano kan, Handa? Handa akan membeyikan utuk Ano?" tanyanya sekali lagi untuk meyakinkan ucapan handanya. Raihan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Akan Handa belikan untuk Vano. Sekarang Vano menjadi anak Handa, kan?" Matanya kian memerah menunggu jawaban Vano. Vano kecil tersenyum menampilkan deretan giginya yang lucu pada Raihan. "Baikyah, Ano uga anak Handa belalti." Raihan tersenyum lebar dan memeluk putra kandungnya erat-erat. Gemuruh euphoria dan ikatan batin sangat terasa saat tubuh mungil Vano berdempetan dengan tubuh Raihan. Malam ini, sungguh malam yang paling bahagia bagi Raihan dan akan menjadi kenangan terindah dalam hidupnya.
Rania berjalan ke arah kamar David dan meninggalkan Jihan yang duduk di atas sofa. Wanita itu perlahan masuk tanpa menimbulkan suara pijakan kaki agar tidak mengganggu anaknya yang masih tertidur lelap. Dia tersenyum tipis saat putranya berada di dalam dekapan ayahnya. Pemandangan dan momen yang manis untuk diperhatikan. "Mas ... Mas ... bangunlah," bisik Rania di telinga Raihan. Tangannya menyentuh bahu Raihan dan digerak-gerakkan. Raihan hanya menggeliat sedikit dan enggan untuk membuka matanya. Langkah selanjutnya, Rania menepuk pelan dada Raihan. "Mas ... Mas Raihan, bangunlah," bisiknya lagi hingga Raihan membuka kedua matanya. Laki-laki itu membawa tubuhnya untuk bangun dan duduk di pinggiran ranjang. Tanpa sadar, Raihan telah menarik pinggang Rania untuk didudukkan di pangkuannya. Rania dengan cepat menghindar, sudah cukup kemarin melepas rindu. Sekarang, Rania harus tahu posisinya. Dia hanya seorang Buna Vano, bukan wanita milik Raihan Atmadja.
Cup! Raihan memberikan ciuman lembut di bibir Jihan. Dengan senang hati, Jihan menerima dan membalasnya kembali. Mereka saling bertukar kehangatan dengan euphoria yang menyelimuti hati. Semakin lama semakin dalam, Raihan menuntun Jihan sampai ke atas kasur. Lembut dan sayang, dirinya membaringkan wanitanya dengan telaten dan tidak akan mengasari sedikit pun. Raihan mulai membuka bajunya sendiri dan membantu melepaskan baju Jihan secara perlahan. Bibirnya terus mendarat pada bibir Jihan dengan sangat erotis. Jihan juga tidak tinggal diam, tangannya bermain di dada calon suaminya dan mengelusi perut berotot lelaki itu. Benar, pagi itu hanya ada kehangatan yang membara dalam ranjang berukuran besar tersebut. Bibir Raihan berpindah ke dada Jihan dan membuat tanda kemerahan disana. Dia membuat tanda bahwa Jihan adalah miliknya, wanita yang akan menjadi istrinya kelak dan akan diperlakukan layaknya seorang ratu yang berkuasa di istana mereka nanti.
Pagi itu, Rania bersama Renan membawa Vano ke rumah sakit karena kondisi Vano yang tiba-tiba drop dan wajahnya yang juga pucat. "Nomor antrian lima, sekarang sudah antrian ketiga. Sebentar lagi, giliran Ano," ucap Renan yang sedang memasukkan mainan pesawat milik Vano ke dalam tas slempang Rania. Wanita itu tengah memangku anaknya yang sejak tadi pagi mulai merasa lemas. Mobil tayo di tangan kirinya juga ikut loyo karena tidak dimainkan. Sebenarnya, ingin membawa robot gundam, tapi tidak jadi karena Rania melarangnya. "Kau duduklah, Ren, kau dari tadi terlihat grasak-grusuk," kilah Rania sambil menarik lengan Renan untuk duduk di sebelahnya. "Ah, iya," jawab Renan sambil mengambil posisi duduk di sebelah Rania. Laki-laki itu bahkan menyandangkan tas slempang Rania ke lehernya. Hati Rania bergetar, Renan memang sangat perhatian padanya. "Ren …," panggil Rania dengan nada suara yang bergetar di akhir perkataan. "Iya?" jawab R
Setelah perdebatan berakhir, Raihan membawa Vano untuk menaiki mobil putar yang ada di mall seperti kemauan anaknya, laki-laki ini tentu mengajak Jihan untuk menemani. Setelah selesai puas bermain sebentar, mereka pulang menuju kediaman Atmadja. Hani sangat menyukai ketika Vano mengunjungi dan menginap di rumahnya. Kesempatan, satu kata yang memberuntungkan Renan malam ini. Dia mengajak Rania kencan. Hah? Kencan? Bagi Renan seperti kencan, entah kalau Rania menganggapnya apa. "Aku ingin naik bianglala, tapi aku takut …," ucap Rania sambil memakan kembang gulanya dengan lahap. "Aku juga ingin naik itu, apalagi kalau listriknya mati dan kita berada di puncak paling atas, aku suka," ulas Renan, matanya berbinar menatap puncak bianglala yang terang karena dipenuhi lampu-lampu cantik. "Apanya yang disukai? Bukannya mengerikan berada di puncak paling atas?" "Aku suka. Dengan itu aku bisa mencium Rania di atas sana. Rania kan penakut, mau t
"Eunghh- eohh!" Alvaro tampak akan menangis saat melihat wajah ayahnya. Tangan mungilnya terkepal saat sedang ingin dimandikan oleh nininya. "Renan," tegur Hani karena Renan terus melakukan permainan cilukba pada Varo. "Cilup, baaaaa," goda Renan lagi sambil membuka tutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Eungg- eoh- engg engg." "Renan! Anakmu ini masih berumur 14 hari! Belum bisa diajak bermain peek a boo!" marah Hani karena Renan tidak mengindahkan nasehatnya sejak tadi. "Uhuuuu, nini Varo suka malah-malah, ya sayang …," kilah Renan sambil menciumi perut Varo yang menggemaskan. "Eunghhh eohh," respon Varo dengan suara khas anak bayinya. "Kau menggoda cucuku terus. Bunanya sedang makan di dalam kamar, jika dia menangis kau sendiri yang akan membuat buna Varo terhalang untuk mengisi nutrisi di tubuhnya," ucap Hani sambil menjewer telinga Renan. "Aduh duh ... Varo liat ninimu sangat galak pada Handa ...." "Egh," respon si kecil pecah saat melihat handanya di jewer oleh
"S-sayang ... apa begitu sakit?" tanya Renan dengan suara yang bergemetaran. Wajahnya penuh keringat dingin dengan pancaran kecemasan yang luar biasa. Apalagi saat Rania berusaha memompa perutnya ke bawah dengan susah payah, semakin Renan tidak tahan untuk menumpahkan air mata pilu. "Euhhh ... huhhhh ... hahhhh!" Rania membuang napas sesuai anjuran perawat. Persalinan ini bukan yang pertama untuknya, sehingga Rania tidak terlalu cemas menjalaninya. Tapi .... Lihat, suaminya. Kaki laki-laki itu menjadi gemetaran dan tidak mampu berdiri lebih lama. Pertama kalinya dia melihat kekaguman luar biasa dari seorang wanita yang sedang bertaruh nyawa untuk melahirkan kehidupan baru. "Ibu tarik napas dan hentakkan ke bawah, pelan-pelan saja. Tidak perlu terburu-buru ...." pinta sang perawat di sisi kiri Rania. Perawat itu sejak tadi menggenggam tangan Rania dan diusap lembut sebagai penenang. "Hmmmmhhhh." Rania menarik napas dalam-dalam. "Haaaaaahhhhhh." "Lagi, Ibu ...." "Huhhhhhh ... hahh
Rania masih setia berada di dekapan sang suami pagi itu. Pikirannya masih bercabang akibat kejadian yang menimpanya barusan, tangannya masih terasa lemas dan sedikit bergetar. Sadar akan hal itu, Renan menggenggam telapak tangan istrinya dengan lembut. "Ibu sedang dalam perjalanan kesini, nanti aku antarkan pulang sebelum ke kantor," ucap Renan memulai percakapan lebih dulu. Rania menggeleng. "J-jangan ke kantor, izin saja. Ku mohon ...." Renan menghela napas. "Iya, aku hanya absen sebentar." Laki-laki itu merapikan rambut istrinya yang sedikit berantakan. "Bagaimana perasaanmu, sudah mendingan?" "Masih sedikit nyeri di bagian pantat ...," rengeknya dengan manja, mengadu pada sang suami bahwa tulang pantatnya sedikit sakit. "Nanti, aku oleskan salap pereda nyeri yang diberi dokter tadi." Rania mengangguk dan matanya menjadi lelah seperti ingin tertidur. "Mengantuk ... Buna mengantuk, Handa." "Ayo berbaring, Handa akan membantu Buna berbaring." Renan sudah bersiap untuk melepask
"Raihan punya pilihan sendiri, walupun tidak yakin untuk, tapi Raihan akan mencoba ...." Raihan memandang ayah dan bergantian. "S-siapa?" Hani ragu-ragu. "I-itu, sekretaris pribadi Raihan yang baru." Hani merasakan merasakan lega di hati. "Raisya? Yang kemarin siang dokumen ke rumah?" Raihan menggaruk belakang kepalanya, dia menjadi salah tingkah dan malu untuk merespon pertanyaan ibunya. "Tidak apa-apa. Anaknya sopan dan baik seperti Rania. Ayah setuju saja," ucap Haru yang mengerti kegugupan anaknya. "A-ah itu ... Raihan masih tidak yakin apa dia mau menerima Raihan ...." Hani menyentuh punggung tangan Raihan dan diusap lembut. "Berjuanglah, jalanmu lebih mudah sekarang, Nak ...." ungkap Hani menyemangati anaknya. Benar, jalan Raihan sekarang lebih mudah karena tidak ada halangan, tidak seperti dulu banyak penghalangnya antara dia dan Rania. "Terima kasih Ayah, Ibu ... Raihan akan mencoba membuka hati dan berjuang untuk gadis itu." *** Grup Atmadja. "Raisya, apa?" tanya
Suatu hari di kediaman Renan dengan pemandangan senja yang menyenangkan dari jendela unitnya. "Enan sayang ....." Renan tidak melepaskan penglihatannya dari karikatur superman yang kepala dan tubuhnya secara terpisah. "Buna pasti ada maunya kalau sudah panggil sayang-sayang. Ada apa? Tas gucci lagi? Atau jaket gucci?" "Issss, memangnya Handa merasa diporotin ya kalau Buna minta barang-barang bermerek seperti itu?" Rania berjalan mendekati Renan yang sedang fokus pada karikatur superman tersebut. "Handa bekerja untuk Buna, kenapa Handa harus merasa diporotin? Memangnya kemana lagi uang Handa kalau bukan buat Buna?" Rania berusaha jongkok dan memeluk punggung laki-laki itu. "Buna, si kecil terjepit, apa tidak sesak seperti itu?" "Lembang village. Buna ingin ke lembang village ...." "Mau lihat apa disana? Mending ke kebun binatang, lebih jelas banyak binatang yang bisa dilihat." Rania terus memeluk punggung Renan. "Mau naik kuda, Buna ingin naik kuda di Lembang village." "Loh?"
Renan menjadi diam seribu bahasa. Perkataan Rania sungguh ada benarnya. Setelah menikah, bahkan Rania tidak melakukan apa-apa pun Renan tetap bernafsu. Renan kembali memandang Rania dengan keberanian dan tatapan yang teduh. "A-aku bisa jamin itu, aku tidak akan melakukan sesuatu yang membuatmu khawatir." "Ini sudah sore, kau akan meninggalkan istrimu yang juga sedang hamil demi temanmu itu?" "Buna, tidak. Handa hanya sebentar melihat keadaannya. Hanya sebentar ...." "Ren, tidak bisakah kau mengerti perasaanku sedikit saja?" "Aku tahu aku salah." Rania menarik napasnya dengan dalam, lagi-lagi dia mengalah. "Pergilah, aku tidak melarang. Dari pada bayiku terguncang pertumbuhannya karena aku yang terus-terusan emosi, lebih baik aku diam." Rania menarik gagang pintu kamarnya dan masuk tanpa melihat Renan lagi. "B-buna ...." Stak. Pintu kamar tertutup rapat, bahkan bunyi pintu itu tidak keras. Biasanya orang yang suka emosi akan menutup pintu secara kasar. Yah, Rania membuat seoran
Slit! Cekrek! Bunyi jepretan tercipta dari kamera seorang fotografer yang sedang mengambil foto seorang Rania Arsita. Di usia kandungannya yang sudah menginjak tiga bulan, Renan masih memperbolehkan Rania mengambil job menjadi seorang model dengan catatan job yang diambil harus di seleksi oleh Renan sendiri. "Tolong, ya, istri saya jangan dipegang-pegang seperti itu," kesal Renan karena seorang model laki-laki tidak sengaja menyentuh bahu istrinya. "Bapam, model kami tidak melakukan pelecehan, kenapa kau sangat sensitif sekali?" "Itu istriku, Nyonya. Di perjanjian kontrak tidak ada aku menyetujui berfoto bersama model laki-laki." Nanda menghela nafas pasrah, sudah dijelaskan berulang kali pada Renan, tapi tetap laki-laki itu bersikukuh tidak mau tahu. "Bapak, sudah saya katakan, foto ini untuk bagian depan sampul majalah brand kami. Tentu istri Bapak akan mendapat gaji lebih karena sudah menerima tawaran untuk menjadi cover majalah kami." Renan tampak kesal dan menautkan kedua
"Iya, ini sebentar lagi selesai .... sabar dulu, ya," bujuk Rania saat tali baju tidurnya ditarik-tarik oleh Renan. "Tadi sebentar, sekarang sebentar, kapan selesainya, Bun …," rengek laki-laki itu yang berjongkok di bawah untuk memeluki kaki Rania. "Iya, ini Buna belum siap mengetiknya. Handa jangan seperti bayi, ah. Sini duduk disamping Buna." Rania masih terus fokus pada laptopnya, dia mengambil job sebagai model untuk iklan skincare. "Buna lama sekali, kapan akan memulai nananinanya?" "Tidak ada nananina malam ini Handa, Buna sangat lelah." "Seperti orang hamil saja cepat lelah," sindir Renan karena sampai saat ini Rania belum memberitahu tentang testpack itu. Tap! Jari-jari Rania berhenti mengetik saat mendengar ucapan Renan. Lalu, melanjutkan lagi dan pura-pura tidak mendengar apa yang diucapkan Renan barusan. "Ck!" decih Renan, dia berdiri dan menutup laptop Rania paksa. "Selalu tidak ingin memberitahuku duluan, apa kau akan memberitahu pada Jeffrey dulu?" "Apa maksudm
"Kau itu tidak cocok naik bus, cocoknya naik mobil mewah saja," sindir Rania saat melihat wajah Renan sedikit pucat. Laki-laki itu mengatur nafasnya karena merasa mual saat berada di dalam bus tadi. Mereka duduk di bawah pohon di dekat area hamparan tanaman jeruk yang sangat luas. Belum sampai di pemberhentian bus pertama, Renan secara asal memberhentikan sopir karena merasa tidak nyaman berlama-lama di dalam sana. Alhasil, mereka belum sampai menemui David karena daerah agensi Jeffrey cukup jauh dari kepadatan kota Jakarta. Renan menggeser duduknya merapat ke samping istrinya yang sedang mengeluarkan kotak makan. "A-aku bukan tidak bisa naik bus, aku lapar dan menjadi mual mencium aroma bus," adu Renan sambil menyenderkan kepalanya di bahu Rania. Rania membuka kotak nasinya dan memberikan pada Renan. "Ini makan dulu, biar enakan," titahnya agar Renan menuruti. "Suapi, Bunnnnnn …," pintanya karena Rania terlihat asik sendiri dengan kotak makan yang lain. "Uh, manja sekali kau ini