Vinza ikut menangis. Ia balas pelukan David. Namun, lengannya malah terasa nyeri saat diangkat. “Aduh, sakit,” keluhnya. David melepaskan pelukan. Ia usap air matanya lalu tersenyum. “Masih sakit, ya?” tanya David. Vinza mengangguk. Tangan David mengusap air mata Vinza lalu mencium kening istrinya. “Yang kuat, ya. Pasti akan cepat sembuh. Aku akan jaga kamu di sini.”“Beneran?” tanya Vinza. David mengangguk. “Terakhir kali, kamu juga bilang gitu dan akhirnya pergi.”“Maaf.”“Cuman maaf?”“Terus aku harus apa?” tanya David. “Suapin. Aku lapar. Pak Adam nyuapinnya enggak sampai selesai. Padahal aku masih lapar.”David mengangguk. Ia ambil piring dan sendok dari tas nakas dan mulai menyuapi Vinza. Walau sambil menangis, Vinza tetap mengunyah makanannya. “Kenapa waktu aku ngelahirin, kamu enggak suapin aku kayak gini? Padahal lebih sakit waktu ngelahirin Rufy,” keluh Vinza. David tak menjawab. Ia tetap menyuapi istrinya dan sesekali memberi Vinza minum. ***Masa lalu di mana mereka pe
Vinza tahu menjadi seorang ibu membuatnya menjadi lupa akan namanya keluh kesah. Sambil menggendong Rufy, ia kerja di kebun demi bayaran perhari. Mencabuti rumput, memetik tomat dan cabe setiap musim panen, Vinza geluti demi bisa memberikan anaknya kecukupan gizi. Ia tak pernah lagi mendengar hinaan orang lain. Ia yakin walau dia pernah berbuat salah, Allah Maha Pemaaf. Walau akhirnya dia harus meninggalkan bayinya selama dua tahun lebih, demi membayar hutang keluarga. Perjalanan panjang hingga membawanya kini ke dalam pelukan David. “Aku enggak cantik loh!” ucap Vinza. “Dulu malah lebih parah. Pulang sekolah mana masih bau ketek,” timpal David. “Emang kamu pikir kamu enggak gitu? Zaman itu kita belum mampu beli deodorant,” celetuk Vinza. Keduanya tertawa. “Beli minyak wangi saja, kalau abis ditambahin air,” timpal David. “Kalau enggak beli kisprey sesachet, kasih air dipake sebulan.Keprihatinan yang membawa mereka akan kenangan yang pahit sekaligus indah. Vinza duduk dalam pan
Mereka akhirnya tiba di mobil. Vinza hendak berdiri dari kursi rodanya. Namun, David langsung menggendong dan dimasukan ke dalam mobil. Vinza sempat protes karena menjadi bahan perhatian orang di sana. Sampai di rumah jadilah Vinza cemberut. Lebih-lebih saat Rufy datang setelah dijemput dari rumah Bamantara. “Rufy dengar Ayah. Bunda lagi sakit. Tangan Bunda sakit. Jadi Rufy kalau minta gendong, minta saja sama Ayah atau sama Bibi, ya?” nasihat David. Rufy mengangguk. Ia menatap Vinza dengan tatapan sedih. Vinza menendang kaki David. “Kita sudah sepakat buat enggak kasih tahu dia!” omel Vinza. “Inget, kita pisah karena ketidak jujuran. Jangan biarkan anak kita juga begitu! Jujur, walau itu pahit!” balas David. Walau ada benarnya juga omongan dia, tetap saja rasanya Vinza kesal ingin mengajak dia bertengkar. Sayang ada Rufy di sini. “Bunda, cakit, ya?” tanya Rufy sambil meneteskan air mata. “Rufy juga kadang bisa sakit, ‘kan? Bunda sudah lama enggak sakit. Jadi sekarang sakit dulu
Akhirnya Rufy tertidur juga. Perlahan David turunkan selimutnya. Ia turun dari tempat tidur dan mengendap pergi ke luar kamar. Langkah demi langkah ia lalui hingga berada tepat di depan kamarnya. David buka pintu perlahan dan menutup, tak lupa mengunci. Takutnya Rufy bangun dan tiba-tiba saja menyusul ke kamar. Menikah setelah punya anak memang repot. Makanya nikah dulu ya, Permirzah!Namun, David sepertinya tak bisa berniat lebih dari panggilan jiwanya. Vinza terlihat tidur dengan nyenyak. David naik ke atas tempat tidur dan berbaring di samping istrinya. Vinza sama sekali tak bergerak. “Ini dia kayaknya memang ngantuk,” batin David sambil mengusap helaian rambut Vinza.David sentuh mata wanita itu, hidungnya, bibirnya lalu dia kecup dari mata, pipi, bibir hingga kening. “Gini saja aku sudah seneng,” batinnya lalu tersenyum geli. Ternyata cinta itu masih belum berubah, masih begitu manis dan legit walau mungkin akan berakhir pahit. Iya, cinta pahit karena saling berpisah.Sedang wani
Selesai salat subuh, David sudah siap- siap dengan pakaian kantor. Rufy memang rajin. Jam empat subuh dia sudah bangun dan mengetuk pintu. Sudah jadi kebiasaan dengan Romlah dulu. Jam empat dia sudah mandi dan ke dapur untuk masak. Jadi kebiasaan itu tak hilang sampai sekarang. Vinza berdiri di pintu kamar mandi Rufy. Dia masih mengenakan kaos dan celana pendek untuk tidur. Matanya juga masih belum terbuka benar akibat mengantuk. “Bunda, mandi!” ajak Rufy. “Enggak, dingin,” tolak Vinza.“Coat cubuh, mandi duyu!” omel Rufy.Akhirnya Vinza ke kamar David untuk mandi dan berganti pakaian. Barang-barangnya sudah tertata di kamar David. “Tunggu! Kenapa pakaianku jadi banyak gini?” pikir Vinza melihat kaos dan celana pendek yang bertumpuk seperti gunung. Ia iseng membuka pintu lemari lainnya. Ada berbagai kemeja dan jas David menggantung sangat banyak seperti lemari di drama Korea. Ruang walking closet di rumah itu semua sisinya adalah lemari dan di tengahnya ada rak aksesoris berisi jam
Selesai makan, mereka lekas berjalan ke teras untuk mengantar David kerja. Mr. Hang sudah menjemput. “Ayah, ati-ati, ya? Upi unggu.”“Iya anakku yang ganteng. Nanti Ayah pulang cepet. Soalnya Ayah harus jagain Bunda.”“Upi jaga Bunda uga. Upi ebat!” seru Rufy. Ia dan David melakukan gerakan high five. David masuk ke dalam mobil bersama Mr. Hang. Ia melambaikan tangan. Sedang Vinza dan Rufy membalas dari teras. Tak lama mobil David meninggalkan rumah. “Ayah cali uang?” tanya Rufy. “Iya, buat Rufy sekolah, beli baju, beli makan,” jawab Vinza. “Ayah dak jadi kakawe?” “Enggak, Ayah jadi CEO,” jawab Vinza. “Sio-sio? Apa tuh?”“Itu, orang yang kerjanya duduk di meja sambil ngetik di komputer. Terus tempat kerjanya di kantor gedung tinggi.” Vinza juga tak bisa menjelaskan. “Pokoknya jadi CEO itu pasti kaya. Pake jas terus dijemput mobil mewah.” Begitulah pemahaman hasil membaca novel dan menonton drama bucin. “Ouh, kalau kakawe dak kaya?” Rufy lagi-lagi berusaha memahami. Pemikiran dia
“Cini!” tegas Rufy. Vinza mengangguk. Ia ikuti petunjuk Rufy dengan keterbatasan bahasa anak itu. Namun, tak lama Rufy mencak-mencak. “Napa Bunda dak bisa? Ciniin!” tegas Rufy yang sudah kesal mengajari Bundanya cara mengikat dasi yang benar. Lagi dan lagi Vinza salah langkah. “Gini?” tanya Vinza yang langsung diiyakan oleh Rufy. Wanita itu tersenyum puas karena sudah melakukan langkah dengan benar. “Terus?” tanya Vinza. Rufy menepuk jidat. “Upi ajalin apan kali!” protes Rufy. Sudah delapan kali dia mengulang langkah, tetapi masih saja Vinza lupa. “Sekali lagi, ya?” pinta Vinza sambil menangkupkan kedua telapak tangannya. Rufy menggeleng. “Rufy, kalau Ayah tahu Bunda enggak bisa. Nanti Ayah ledekin Bunda, loh. Hati Bunda lemah.” Vinza menunduk seduh agar bisa Rufy ajari lagi. “Okat!” tawar Rufy. “Silperkuin?” Rufy mengangguk. Ia ambil dasi dan kembali mengulang langkah mengikat benda itu. “Iat! Dangan meyeng!”“Iya, Bunda janji enggak meleng!” Vinza memasang matanya baik-baik un
Akhirnya Vinza diajari Langit untuk mengikat dasi. Mungkin karena Langit sangat sabar mengajari, akhirnya Vinza bisa juga mengikat dasi. Sedang Rufy dan Minara masih sibuk berunding tentang kado. “Adik? Oom David gila!”“Dak ata-atain. Doca loh! Mulutna potong nalaka!” omel Rufy. “Kamu harusnya sadar sedang dibodohi. Waktu orang tua kamu ingin adik, artinya ayah kamu akan ambil Bunda kamu lebih lama dari biasanya.”“Ambin?” Rufy bingung. “Iya, mereka liburan berdua, ngobrol berdua, main berdua dan kamu dilupakan!” Minara seperti biasa, pintar memberikan racun.“Upi mo Bunda. Mo Ayah uga,” ucap Rufy dengan suara lemah. “Karena itu, say no untuk adik!” tegas Minara. “Cay no!”“Yap, kamu harus tolak tawaran itu dan buat negosiasi baru dengan ayah kamu.”“Nenek ego capa?” “Negoisasi, berunding. Di sana kamu dan Ayah kamu bicara. Nanti kamu bilang apa yang kamu mau dan Ayah kamu harus bilang setuju. Kalau negosiasi kamu harus pakek jas dan dasi.” “Ouh.” Rufy sayanganya selalu percay