Mereka akhirnya tiba di mobil. Vinza hendak berdiri dari kursi rodanya. Namun, David langsung menggendong dan dimasukan ke dalam mobil. Vinza sempat protes karena menjadi bahan perhatian orang di sana. Sampai di rumah jadilah Vinza cemberut. Lebih-lebih saat Rufy datang setelah dijemput dari rumah Bamantara. “Rufy dengar Ayah. Bunda lagi sakit. Tangan Bunda sakit. Jadi Rufy kalau minta gendong, minta saja sama Ayah atau sama Bibi, ya?” nasihat David. Rufy mengangguk. Ia menatap Vinza dengan tatapan sedih. Vinza menendang kaki David. “Kita sudah sepakat buat enggak kasih tahu dia!” omel Vinza. “Inget, kita pisah karena ketidak jujuran. Jangan biarkan anak kita juga begitu! Jujur, walau itu pahit!” balas David. Walau ada benarnya juga omongan dia, tetap saja rasanya Vinza kesal ingin mengajak dia bertengkar. Sayang ada Rufy di sini. “Bunda, cakit, ya?” tanya Rufy sambil meneteskan air mata. “Rufy juga kadang bisa sakit, ‘kan? Bunda sudah lama enggak sakit. Jadi sekarang sakit dulu
Akhirnya Rufy tertidur juga. Perlahan David turunkan selimutnya. Ia turun dari tempat tidur dan mengendap pergi ke luar kamar. Langkah demi langkah ia lalui hingga berada tepat di depan kamarnya. David buka pintu perlahan dan menutup, tak lupa mengunci. Takutnya Rufy bangun dan tiba-tiba saja menyusul ke kamar. Menikah setelah punya anak memang repot. Makanya nikah dulu ya, Permirzah!Namun, David sepertinya tak bisa berniat lebih dari panggilan jiwanya. Vinza terlihat tidur dengan nyenyak. David naik ke atas tempat tidur dan berbaring di samping istrinya. Vinza sama sekali tak bergerak. “Ini dia kayaknya memang ngantuk,” batin David sambil mengusap helaian rambut Vinza.David sentuh mata wanita itu, hidungnya, bibirnya lalu dia kecup dari mata, pipi, bibir hingga kening. “Gini saja aku sudah seneng,” batinnya lalu tersenyum geli. Ternyata cinta itu masih belum berubah, masih begitu manis dan legit walau mungkin akan berakhir pahit. Iya, cinta pahit karena saling berpisah.Sedang wani
Selesai salat subuh, David sudah siap- siap dengan pakaian kantor. Rufy memang rajin. Jam empat subuh dia sudah bangun dan mengetuk pintu. Sudah jadi kebiasaan dengan Romlah dulu. Jam empat dia sudah mandi dan ke dapur untuk masak. Jadi kebiasaan itu tak hilang sampai sekarang. Vinza berdiri di pintu kamar mandi Rufy. Dia masih mengenakan kaos dan celana pendek untuk tidur. Matanya juga masih belum terbuka benar akibat mengantuk. “Bunda, mandi!” ajak Rufy. “Enggak, dingin,” tolak Vinza.“Coat cubuh, mandi duyu!” omel Rufy.Akhirnya Vinza ke kamar David untuk mandi dan berganti pakaian. Barang-barangnya sudah tertata di kamar David. “Tunggu! Kenapa pakaianku jadi banyak gini?” pikir Vinza melihat kaos dan celana pendek yang bertumpuk seperti gunung. Ia iseng membuka pintu lemari lainnya. Ada berbagai kemeja dan jas David menggantung sangat banyak seperti lemari di drama Korea. Ruang walking closet di rumah itu semua sisinya adalah lemari dan di tengahnya ada rak aksesoris berisi jam
Selesai makan, mereka lekas berjalan ke teras untuk mengantar David kerja. Mr. Hang sudah menjemput. “Ayah, ati-ati, ya? Upi unggu.”“Iya anakku yang ganteng. Nanti Ayah pulang cepet. Soalnya Ayah harus jagain Bunda.”“Upi jaga Bunda uga. Upi ebat!” seru Rufy. Ia dan David melakukan gerakan high five. David masuk ke dalam mobil bersama Mr. Hang. Ia melambaikan tangan. Sedang Vinza dan Rufy membalas dari teras. Tak lama mobil David meninggalkan rumah. “Ayah cali uang?” tanya Rufy. “Iya, buat Rufy sekolah, beli baju, beli makan,” jawab Vinza. “Ayah dak jadi kakawe?” “Enggak, Ayah jadi CEO,” jawab Vinza. “Sio-sio? Apa tuh?”“Itu, orang yang kerjanya duduk di meja sambil ngetik di komputer. Terus tempat kerjanya di kantor gedung tinggi.” Vinza juga tak bisa menjelaskan. “Pokoknya jadi CEO itu pasti kaya. Pake jas terus dijemput mobil mewah.” Begitulah pemahaman hasil membaca novel dan menonton drama bucin. “Ouh, kalau kakawe dak kaya?” Rufy lagi-lagi berusaha memahami. Pemikiran dia
“Cini!” tegas Rufy. Vinza mengangguk. Ia ikuti petunjuk Rufy dengan keterbatasan bahasa anak itu. Namun, tak lama Rufy mencak-mencak. “Napa Bunda dak bisa? Ciniin!” tegas Rufy yang sudah kesal mengajari Bundanya cara mengikat dasi yang benar. Lagi dan lagi Vinza salah langkah. “Gini?” tanya Vinza yang langsung diiyakan oleh Rufy. Wanita itu tersenyum puas karena sudah melakukan langkah dengan benar. “Terus?” tanya Vinza. Rufy menepuk jidat. “Upi ajalin apan kali!” protes Rufy. Sudah delapan kali dia mengulang langkah, tetapi masih saja Vinza lupa. “Sekali lagi, ya?” pinta Vinza sambil menangkupkan kedua telapak tangannya. Rufy menggeleng. “Rufy, kalau Ayah tahu Bunda enggak bisa. Nanti Ayah ledekin Bunda, loh. Hati Bunda lemah.” Vinza menunduk seduh agar bisa Rufy ajari lagi. “Okat!” tawar Rufy. “Silperkuin?” Rufy mengangguk. Ia ambil dasi dan kembali mengulang langkah mengikat benda itu. “Iat! Dangan meyeng!”“Iya, Bunda janji enggak meleng!” Vinza memasang matanya baik-baik un
Akhirnya Vinza diajari Langit untuk mengikat dasi. Mungkin karena Langit sangat sabar mengajari, akhirnya Vinza bisa juga mengikat dasi. Sedang Rufy dan Minara masih sibuk berunding tentang kado. “Adik? Oom David gila!”“Dak ata-atain. Doca loh! Mulutna potong nalaka!” omel Rufy. “Kamu harusnya sadar sedang dibodohi. Waktu orang tua kamu ingin adik, artinya ayah kamu akan ambil Bunda kamu lebih lama dari biasanya.”“Ambin?” Rufy bingung. “Iya, mereka liburan berdua, ngobrol berdua, main berdua dan kamu dilupakan!” Minara seperti biasa, pintar memberikan racun.“Upi mo Bunda. Mo Ayah uga,” ucap Rufy dengan suara lemah. “Karena itu, say no untuk adik!” tegas Minara. “Cay no!”“Yap, kamu harus tolak tawaran itu dan buat negosiasi baru dengan ayah kamu.”“Nenek ego capa?” “Negoisasi, berunding. Di sana kamu dan Ayah kamu bicara. Nanti kamu bilang apa yang kamu mau dan Ayah kamu harus bilang setuju. Kalau negosiasi kamu harus pakek jas dan dasi.” “Ouh.” Rufy sayanganya selalu percay
Sepulang dari rumah Langit, rasanya Vinza mendapat pencerahan. Ia sampai menulis ulang materi pada kertas note dan menempelnya di depan meja kerja David. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Vinza lekas mengambil ponsel dan mengangkat telpon dari nomor tak dikenal.“Halo?” tanya Vinza. “Halo. I’m Ethan, Damier’s father.” Ethan kebingungan bagaimana menyusun Bahasa Inggris yang mudah Vinza mengerti karena dia tahu latar belakang pendidikan Vinza. “Ouh, I’m sorry, Pa. Cong wen khe yi ma ( bisa pakai mandarin saja)?”“Kamu lebih mengerti bahasa mandari?” Ethan terkekeh. “Iya, walau belum bisa bicara yang panjang. Tapi aku ngerti Papa bilang apa,” jelas Vinza. “Oke. Aku menelpon ingin menanyakan keadaan kamu,” ungkap Ethan. “Aku baik-baik saja, Pa. Masih dalam pemulihan. Dan Papa bagaimana? David oh Damier sangat khawatir dengan kesehatan Papa. Apalagi karena masalah perusahaan.”“Aku baik-baik saja. Syukur kalau lebih baik. Aku khawatir. Maaf, aku baru tahu tentang keadaanmu. Damier tidak
David dan Vinza hari itu sama-sama berpikir. Apa bahaya jika anak menolak sosok seorang adik? Mereka berdua juga belum berencana sejauh itu, hanya saja penolakan Rufy terlihat begitu keras. Dia sampai berteriak dan menghentakan kaki ke lantai. “Aku ke kantor dulu. Nanti kita bicarakan sore, sepulang aku kerja. Aku akan minta Mr. Hang mencarikan seorang psikolog handal, ya?” pamit David. “Dak adek,” tegas Rufy. “Iya.” David mengusap kepala Rufy dengan lembut lalu pergi meninggalkan rumah menuju kantor. Sedang Vinza dan Rufy melihat ia pergi dari teras. Rufy tak lama menatap Vinza. “Dak adek!” tegasnya. “Iya, siapa yang mau bikin adek? Kamu saja masih ngompol, loh. Masa mau punya adek?” timpal Vinza. Dalam mobil, David kembali pada pekerjaannya. Ia masih melihat pergolakan pasar saham di Tiongkok. “Mr. Lau menyarankan agar kita membeli saham perbankan di Tiongkok karena kemungkinan dampak dari tiga perusahaan properti besar tidak akan terlalu signifikan terhadap beberapa bank besar