Hari ini, Rayyanza benar-benar disibukkan oleh beberapa meeting penting. Ia tidak sempat menemui Luna untuk meminta penjelasan. Seharian bekerja membuatnya merasa sangat lelah dan tidak ada energi untuk berdebat dengan wanita keras kepala itu. Ia memilih beristirahat di rumah saat pekerjaanya telah usai.Dua hari, pria tampan itu tidak berkunjung ke apartemen. Luna sedikit bertanya-tanya, apakah ia marah padanya? Sedikit kekhawatiran ia rasakan. Mengingat, masih membutuhkan pekerjaan setelah dirinya pulih dari kondisi melahirkan nanti. Dingdong ...Sus Runi segera membuka pintu. "Hai, Luna ...." Wanita cantik berpakaian formal menerobos masuk dengan menenteng dua jinjingan di tangannya, kemudian meletakkannya di atas meja. "Apa itu?" "Biasa ... dari Pak Rayyanza!" jawabnya seraya menjatuhkan bokong di atas sofa.Luna meraih, dan melihat isinya. Empat buah kaleng susu berukuran besar untuk Arshaka, beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk Luna. "Apakah dia sibuk?" Dessy menga
Luna sangat terkejut. Ia baru saja membaca hasil tes DNA yang dilakukan Rayyanza secara diam-diam. Wajahnya langsung memucat, matanya membelalak tidak percaya. Kepalanya menggeleng dengan cepat. "Tidak mungkin!" gumamnya. Rayyanza melepas jas yang dikenakannya, lalu melemparnya ke atas sofa dengan kasar. Dilonggarkannya dasi yang melingkar di leher, membuka kancing kemeja bagian atas yang terasa mencekik. Mata tajamnya terus mengawasi Luna yang masih terdiam. "Tidak mungkin!" seru Luna dengan suara gemetar, "Hasil ini salah. Pasti ada kesalahan!" Ia kemudian meremas hasil tes tersebut, melemparnya ke sudut ruangan. Rayyanza tidak bisa menahan amarahnya. "Salah? Bagaimana mungkin? Aku sudah memastikan semuanya. Kamu pikir aku ini bodoh, Luna?!" teriaknya. Suaranya menggema di ruangan, penuh dengan kemarahan yang tak terkendali. Keributan itu membangunkan Arshaka. Tangisnya terdengar sangat kencang membuat Rayyanza tersentak dan tersadar. Dengan cepat, ia bergegas masuk ke dalam
Suasana yang telah mulai tenang, kini kembali memanas. Rayyanza merasa sangat cemburu dan tidak terima dengan perkataan Luna. "Enak saja kamu ingin mengambilnya! Aku ini ibunya. Kamu tidak tau bagaimana susahnya aku mengandung dan melahirkanya, hah?" "Aku juga ayahnya. Jika bukan karena kerja kerasku, Arshaka tidak akan ada!" "Kerja keras apa maksudmu?" tanya Luna melotot. Rayyanza terdiam beberapa saat seraya berpikir. "Bercocok tanam!" cetusnya. Luna merasa kesal, ia mendaratkan telapak tangannya di punggung Rayyanza dengan keras. "Aw ...." Pekik Rayanza. Badannya sedikit terhuyung. "Pokoknya aku tidak rela kamu menikah dengan laki-laki lain!" "Terserah aku. Kamu tidak punya hak untuk melarangku!" Bayi yang baru saja terlelap itu menangis dengan kencang. Luna dan Rayyanza menjadi panik. "Berikan padaku!" kata Rayyanza sembari mengulurkan tangannya. "Tidak! Dia akan lebih nyaman bersamaku!" kata Luna. Suara pintu terbuka. Sus Runi masuk dan segera melang
Luna merasa sangat kesal. Ia bahkan tidak ingin mendengar alasan yang diberikan oleh Rayyanza. Setelah pintu lift terbuka, mereka masuk ke dalamnya, indikator lift menunjukan angka empat. Luna teringat dengan Ryuki, teman yang sebelumnya bertemu di dalam mobil. 'Ding'Suara lift terdengar lembut diiringi dengan pintu yang terbuka di lantai empat. Luna celingak-celinguk memperhatikan lorong, seolah mencari sesuatu atau seseorang. Rupanya, ia lupa menanyakan di unit berapa pria itu tinggal. Ryuki adalah pria yang pernah menyukai Luna ketika duduk di bangku SMA. Pria keturunan Jepang-Indonesia itu termasuk siswa yang berprestasi yang menjadi saingan Luna di sekolah. "Dimana dia tinggal?" gumamnya, tanpa memedulikan Rayyanza yang berdiri di belakangnya dengan penampilan yang lusuh. Beberapa saat kemudian, pintu lift kembali menutup, bergerak dengan halus menuju lantai sepuluh. Setelah pintu lift terbuka, mereka keluar dan melangkah di koridor. Luna sama sekali tidak memedulikan Rayyan
Luna diam di dalam kamar, matanya terpaku pada sosok Rayyanza yang tertidur pulas di atas ranjang. Keheningan malam seolah memperkuat gejolak emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Dilema besar tengah menghantuinya. Bagaimana jika ternyata Amanda benar hamil? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, menimbulkan rasa bersalah yang semakin dalam. Ia merasa terjebak dalam situasi yang rumit, sebuah hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Luna berpikir, mulai saat ini ia harus menjauhkan diri dari Rayyanza. Hubungan yang sudah jelas salah ini tidak boleh ia lanjutkan. Namun, baru saja ia berpikir demikian, tekadnya langsung goyah ketika teringat dengan perkataan Bibi Santika yang mengatakan Arshaka pasti membutuhkan sosok ayah. Ia semakin bingung, di satu sisi, ia ingin melakukan hal yang benar dengan menjauh dari Rayyanza. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kebutuhan anaknya yang membutuhkan figur seorang ayah. Luna beranjak dri duduknya. "Sebaiknya, aku tidur di kamar
Rayyanza menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Amanda. "Semalam aku tidur di kamar. Mungkin Mbok Ratna tidak melihat aku pulang," ujarnya, berbohong. Ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, "Bagaimana keadaanmu, Sayang?""Aku mual," jawab Amanda, suaranya terdengar lemah. "Bisakah kamu menyusulku ke sini? Aku ingin bersamamu," pintanya penuh harap."Eum ... hari ini aku sibuk," kilahnya, berusaha menghindari permintaan istrinya."Tapi aku membutuhkanmu, Sayang," desak Amanda, nada suaranya semakin memelas.Rayyanza menjadi bingung, merasa terjebak antara kewajiban sebagai suami dan perasaannya terhadap Luna. Ia terdiam sejenak, mencoba mencari jalan keluar.Akhirnya, dengan berat hati, Rayyanza menyerah. "Baiklah sayang. Aku akan memesan tiket dan terbang ke sana nanti sore," janjinya, meskipun dalam hati ia merasa bersalah karena harus membatalkan rencananya untuk kembali ke apartemen."Benarkah, Sayang?" tanya Amanda dengan senang."Ya, Say
"Sus Runi ...." Luna memanggil pelan. Suster Arshaka itu segera muncul di ambang pintu. "Tolong gendong Arshaka, aku mau mandi," pinta Luna, menyerahkan bayi yang tengah tertidur pulas itu pada Sus Runi.Di bawah siraman shower, Luna bernyanyi pelan, berusaha mengusir kegundahan yang menyelimuti hatinya. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu kamar mandi menginterupsi nyanyiannya. "Bu, ponsel Anda berbunyi," ujar Sus Runi dari luar.Luna membuka pintu sedikit dan mengintip. "Siapa, Sus?""Bapak, Bu," jawab Sus Runi singkat.Luna segera mengeringkan tangannya dengan handuk, kemudian meraih ponsel dari tangan Sus Runi. Panggilan video dari Rayyanza masih muncul di layar. Ia menjawab panggilan tersebut, mendekatkan layar sehingga hanya wajahnya saja yang terlihat."Ada apa?" tanyanya, dengan rambut dan wajah yang tampak basah."Kamu sedang apa?" tanya Rayyanza di seberang sana."Aku sedang mandi," jawab Luna singkat."Wow ... coba sedikit jauhkan kameranya," goda Rayyanza.Luna mendengus, "En
Di sudut sebuah kafe, Luna dan Ryuki masih berbincang. Cangkir ice cappuccino di atas meja kini telah kosong. "Oh ya, kamu tinggal di unit berapa?" tanya Ryuki."Aku tinggal di unit tiga lima dua," jawab Luna dengan senyum tipis."Bolehkah kapan-kapan aku main ke unitmu?""Tentu saja boleh." Luna menjawab dengan ramah.Menyadari hari yang semakin malam, Luna mencoba beranjak dari duduknya, hendak kembali ke dalam unit. "Sudah malam. Kalau begitu, aku permisi," ujarnya sopan."Tunggu, Luna!" seru Ryuki tiba-tiba, membuat langkah Luna terhenti."Ada apa?" tanya Luna, sedikit terkejut.Dengan sedikit gugup, Ryuki memberanikan diri untuk bertanya, "Bolehkah aku meminta nomor teleponmu?"Tanpa keberatan, Luna kemudian memberitahukan nomor ponselnya kepada Ryuki. Setelah itu, ia berpamitan, meninggalkan Ryuki yang masih terpaku di tempat duduknya.Pria bermata sipit itu, terus memandangi Luna yang semakin menjauh. Ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka