Luna duduk dengan perlahan. Sus Runi segera memegangi Luna, membantunya untuk duduk. Ia meletakkan sebuah bantal sofa di belakang punggung Luna. "Terasa nyaman, Bu?" tanyanya dengan ramah. Luna mengangguk. "Ya. Terima kasih!" Luna dan Nikita mengajak wanita berusia tiga puluh lima tahun itu berbincang. Tiba-tiba, terdengar suara Arshaka menangis dari dalam kamar. Sus Runi segera beranjak dari duduknya. "Maaf, Bu. Bolehkah saya masuk ke dalam kamar dan menggendongnya?" Luna berdiri, melangkah pelan masuk ke dalam kamar. Sedangkan Sus Runi sibuk mencuci tangan, membuka tas kemudian melapisi area dadanya menggunakan kain bersih. Setelah itu, barulah menggendong Arshaka dengan hati-hati."Popoknya sudah basah. Harus segera diganti," katanya. Dengan cekatan, wanita yang sudah berpengalaman selama sepuluh tahun menjadi babysitter itu mengganti popok Arshaka. Kemudian, menggendongnya. Namun, Arshaka masih terus menangis. "Lapar ya, dek. Sus buatkan susunya dulu ya." Ia meletakkan Arsh
Matahari pagi mulai masuk melalui dinding kaca yang luas. Luna menggeliat manja dan mulai membuka matanya setelah semalaman ia tidur dengan nyenyak. Ia segera beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju kamar Arshaka. Dibukanya pintu kamar dengan perlahan. Tampak Sus Runi tengah menggendong Arshaka seraya memegang botol susu. Bayi tampan itu tengah rakus menghisap susunya. "Selamat pagi, Bu." Sus Runi menoleh dan menyapa Luna dengan ramah. Luna mendekat, memegang jari-jemari Arshaka dengan lembut. Jari mungil itu langsung melingkar di telunjuk Luna. "Hallo anak mama," sapanya, yang dilanjut dengan mencium jari mungil itu. Luna mengerutkan dahi, memandangi kuku mungil Arshaka yang sebelumnya panjang dan belum sempat di potong sejak ia lahir. "Sus, kamu sudah memotongnya?" tanya Luna tanpa menaruh curiga."Eum ... i-iya, Bu." Sus Runi menjawab dengan terbata."Baguslah. Aku sempat kebingungan bagaimana cara memotongnya. Aku takut melukai tangan mungilnya," kata Luna. "Oh, ya. Keman
Hari ini, Rayyanza benar-benar disibukkan oleh beberapa meeting penting. Ia tidak sempat menemui Luna untuk meminta penjelasan. Seharian bekerja membuatnya merasa sangat lelah dan tidak ada energi untuk berdebat dengan wanita keras kepala itu. Ia memilih beristirahat di rumah saat pekerjaanya telah usai.Dua hari, pria tampan itu tidak berkunjung ke apartemen. Luna sedikit bertanya-tanya, apakah ia marah padanya? Sedikit kekhawatiran ia rasakan. Mengingat, masih membutuhkan pekerjaan setelah dirinya pulih dari kondisi melahirkan nanti. Dingdong ...Sus Runi segera membuka pintu. "Hai, Luna ...." Wanita cantik berpakaian formal menerobos masuk dengan menenteng dua jinjingan di tangannya, kemudian meletakkannya di atas meja. "Apa itu?" "Biasa ... dari Pak Rayyanza!" jawabnya seraya menjatuhkan bokong di atas sofa.Luna meraih, dan melihat isinya. Empat buah kaleng susu berukuran besar untuk Arshaka, beberapa makanan ringan dan buah-buahan untuk Luna. "Apakah dia sibuk?" Dessy menga
Luna sangat terkejut. Ia baru saja membaca hasil tes DNA yang dilakukan Rayyanza secara diam-diam. Wajahnya langsung memucat, matanya membelalak tidak percaya. Kepalanya menggeleng dengan cepat. "Tidak mungkin!" gumamnya. Rayyanza melepas jas yang dikenakannya, lalu melemparnya ke atas sofa dengan kasar. Dilonggarkannya dasi yang melingkar di leher, membuka kancing kemeja bagian atas yang terasa mencekik. Mata tajamnya terus mengawasi Luna yang masih terdiam. "Tidak mungkin!" seru Luna dengan suara gemetar, "Hasil ini salah. Pasti ada kesalahan!" Ia kemudian meremas hasil tes tersebut, melemparnya ke sudut ruangan. Rayyanza tidak bisa menahan amarahnya. "Salah? Bagaimana mungkin? Aku sudah memastikan semuanya. Kamu pikir aku ini bodoh, Luna?!" teriaknya. Suaranya menggema di ruangan, penuh dengan kemarahan yang tak terkendali. Keributan itu membangunkan Arshaka. Tangisnya terdengar sangat kencang membuat Rayyanza tersentak dan tersadar. Dengan cepat, ia bergegas masuk ke dalam
Suasana yang telah mulai tenang, kini kembali memanas. Rayyanza merasa sangat cemburu dan tidak terima dengan perkataan Luna. "Enak saja kamu ingin mengambilnya! Aku ini ibunya. Kamu tidak tau bagaimana susahnya aku mengandung dan melahirkanya, hah?" "Aku juga ayahnya. Jika bukan karena kerja kerasku, Arshaka tidak akan ada!" "Kerja keras apa maksudmu?" tanya Luna melotot. Rayyanza terdiam beberapa saat seraya berpikir. "Bercocok tanam!" cetusnya. Luna merasa kesal, ia mendaratkan telapak tangannya di punggung Rayyanza dengan keras. "Aw ...." Pekik Rayanza. Badannya sedikit terhuyung. "Pokoknya aku tidak rela kamu menikah dengan laki-laki lain!" "Terserah aku. Kamu tidak punya hak untuk melarangku!" Bayi yang baru saja terlelap itu menangis dengan kencang. Luna dan Rayyanza menjadi panik. "Berikan padaku!" kata Rayyanza sembari mengulurkan tangannya. "Tidak! Dia akan lebih nyaman bersamaku!" kata Luna. Suara pintu terbuka. Sus Runi masuk dan segera melang
Luna merasa sangat kesal. Ia bahkan tidak ingin mendengar alasan yang diberikan oleh Rayyanza. Setelah pintu lift terbuka, mereka masuk ke dalamnya, indikator lift menunjukan angka empat. Luna teringat dengan Ryuki, teman yang sebelumnya bertemu di dalam mobil. 'Ding'Suara lift terdengar lembut diiringi dengan pintu yang terbuka di lantai empat. Luna celingak-celinguk memperhatikan lorong, seolah mencari sesuatu atau seseorang. Rupanya, ia lupa menanyakan di unit berapa pria itu tinggal. Ryuki adalah pria yang pernah menyukai Luna ketika duduk di bangku SMA. Pria keturunan Jepang-Indonesia itu termasuk siswa yang berprestasi yang menjadi saingan Luna di sekolah. "Dimana dia tinggal?" gumamnya, tanpa memedulikan Rayyanza yang berdiri di belakangnya dengan penampilan yang lusuh. Beberapa saat kemudian, pintu lift kembali menutup, bergerak dengan halus menuju lantai sepuluh. Setelah pintu lift terbuka, mereka keluar dan melangkah di koridor. Luna sama sekali tidak memedulikan Rayyan
Luna diam di dalam kamar, matanya terpaku pada sosok Rayyanza yang tertidur pulas di atas ranjang. Keheningan malam seolah memperkuat gejolak emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Dilema besar tengah menghantuinya. Bagaimana jika ternyata Amanda benar hamil? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, menimbulkan rasa bersalah yang semakin dalam. Ia merasa terjebak dalam situasi yang rumit, sebuah hubungan yang tidak seharusnya terjadi. Luna berpikir, mulai saat ini ia harus menjauhkan diri dari Rayyanza. Hubungan yang sudah jelas salah ini tidak boleh ia lanjutkan. Namun, baru saja ia berpikir demikian, tekadnya langsung goyah ketika teringat dengan perkataan Bibi Santika yang mengatakan Arshaka pasti membutuhkan sosok ayah. Ia semakin bingung, di satu sisi, ia ingin melakukan hal yang benar dengan menjauh dari Rayyanza. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kebutuhan anaknya yang membutuhkan figur seorang ayah. Luna beranjak dri duduknya. "Sebaiknya, aku tidur di kamar
Rayyanza menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaan Amanda. "Semalam aku tidur di kamar. Mungkin Mbok Ratna tidak melihat aku pulang," ujarnya, berbohong. Ia cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, "Bagaimana keadaanmu, Sayang?""Aku mual," jawab Amanda, suaranya terdengar lemah. "Bisakah kamu menyusulku ke sini? Aku ingin bersamamu," pintanya penuh harap."Eum ... hari ini aku sibuk," kilahnya, berusaha menghindari permintaan istrinya."Tapi aku membutuhkanmu, Sayang," desak Amanda, nada suaranya semakin memelas.Rayyanza menjadi bingung, merasa terjebak antara kewajiban sebagai suami dan perasaannya terhadap Luna. Ia terdiam sejenak, mencoba mencari jalan keluar.Akhirnya, dengan berat hati, Rayyanza menyerah. "Baiklah sayang. Aku akan memesan tiket dan terbang ke sana nanti sore," janjinya, meskipun dalam hati ia merasa bersalah karena harus membatalkan rencananya untuk kembali ke apartemen."Benarkah, Sayang?" tanya Amanda dengan senang."Ya, Say