Di area ruang tunggu rumah sakit, di depan pintu kamar operasi, ketegangan terasa begitu kental. Ditambah dengan aroma anti septik yang menyengat memenuhi udara, seolah menegaskan betapa klinis dan sterilnya tempat tersebut. Hanya suara langkah kaki para perawat dan bunyi monoton dari mesin-mesin medis yang memecah keheningan, membuat keadaan semakin terasa mencekam. Nikita duduk di salah satu kursi. Ia tampak sangat gelisah dan tak mampu membendung air matanya. Sesekali ia menyeka wajah dengan tangan yang gemetar. Pandangannya kosong, terpaku pada lantai yang dingin.Di sebelahnya, Rayyanza duduk dengan gelisah. Tangannya tak henti-hentinya meremas ujung kursi, matanya terus menatap pintu ruang operasi. Sesekali ia menghela napas dalam, menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Rayyanza menoleh pada Nikita yang sedari tadi menangis terisak. Kaki dan tangannya tampak sedikit gemetar. "Tenang saja, Kak Luna pasti kuat dan selam
Santika melangkah masuk, menoleh ke arah Luna yang terbaring di atas ranjang. Matanya menyala penuh kemarahan. "Sakit apa kamu, Luna?"Rayyanza beringsut mundur, menjauh dari Luna. Suasana di ruangan itu mendadak berubah penuh ketegangan. "Mengapa kamu dirawat di rumah sakit khusus ibu dan anak? Ada apa ini sebenarnya, coba jelaskan?!" Tak ada satupun yang berani mentap wanita paruh baya itu. Semua menunduk dan terdiam. "Mengapa kalian hanya diam? Jawab!!" Merasa bukan bagian dari keluarganya, Rayyanza berniat untuk meninggalkan ruangan agar mereka dapat berbicara dengan leluasa. "Saya permisi keluar sebentar," ucapnya. Tak ada satupun yang menjawab. Pria itu langsung pergi meninggalkan ruangan. Sebenarnya, ia ingin sekali membela Luna dengan mengatakan bahwa Luna baru saja melahirkan anaknya. Namun, ia tidak ingin memperumit keadaan, dan pastinya wanita itu akan berkelit dengan mengatakan bahwa Rayyanza bukanlah ayahnya. Santika melangkahkan kaki mendekati Luna. Ia menyingkap sel
Luna menggenggam tangan Santika dengan erat, seraya menahan nyeri. "Aku sangat memohon pada Bibi untuk tidak mengatakan yang sebenarnya pada Rayyanza. Untuk sekedar membayangkannya saja, aku merasa tidak sanggup. Persahabatanku dengan Amanda lebih dari apapun di dunia ini. Jadi aku sangat memohon, jangan pernah mengatakan yang sebenarnya. Dan, berpura-puralah untuk tidak mengetahui apapun," katanya dengan terisak.Wanita paruh baya itu mendengus kasar. "Apa kamu yakin? Suatu hari nanti, anakmu pasti akan bertanya siapa ayahnya. Dan, ia juga pasti sangat membutuhkan sosok ayah di hidupnya. Seharusnya kamu tidak boleh bersikap egois seperti ini. Kamu malah mengutamakan persahabatanmu ketimbang anakmu." Perkataan Santika menimbulkan dilema yang sangat berat bagi Luna. Walau bagaimanapun, Amanda sudah seperti saudaranya sendiri. Ia tak sampai hati menyakitinya, apalagi sampai merebut suaminya.Santika terus mengatur napas, berusaha untuk menenagkan diri. Ia kemudian menggeser kursi dan d
Rayyanza terus menatap dengan intens. Sosok bayi mungil bergerak dengan lembut di dalam bungkusan kain yang membalut tubuh kecilnya. Nikita tersenyum penuh kebahagiaan. "Aku sudah tidak sabar ingin menggendongnya. Ia terlihat tampan dan juga menggemaskan." Hening beberapa saat, Rayyanza tak menjawab ucapannya. Nikita segera menoleh pada Rayyanza, terlihat raut wajahnya yang serius memandang sang bayi dengan seksama. "Apakah dia menyadari kalau wajah bayi Kak Luna mirip denganya? Waduh, gawat ini! Tapi mengapa perasaanku menjadi tidak enak ya," Nikita bergumam dalam hati seraya terus memperhatikan pria di sebelahnya. Nikita segera merogoh saku celananya, mengambil ponsel untuk mengambil foto dan video. Ia segera merekam bayi mungil itu dan mengambil tangkapan dengan cara zoom agar wajahnya terlihat jelas. Setelah selesai, ia buru-buru mengajak Rayyanza pergi dari tempat tersebut, tak ingin pria itu semakin menyadari kemiripan wajahnya dengan wajah bayi Luna. "Ayo, Kak. Kita kembal
Luna merasa tersentak mendengar pertanyaan Rayyanza. Namun, ia harus tetap tenang dan bersikap seperti sebelumnya, menyangkal dengan alasan kalau itu adalah anak kekasihnya yang saat ini tinggal di jepang. Mendengar jawaban yang tidak masuk akal, Rayyanza merasa murka. Pasalnya, sudah jelas wajah bayi itu sangat mirip dengannya. Ia mendengus kasar, memperlihatkan gelombang emosi yang di rasakannya. "Kamu sudah melihat wajahnya, dan sekarang kamu masih bisa menyangkalnya?! Kamu benar-benar pembohong yang ulung, Luna. Tapi sayangnya, kali ini kamu tidak cukup pintar untuk membohongiku. Bahkan wajah anakmu itu turut membuktikan siapa dia yang sebenarnya. Dia anakku! Anakku, Luna!" sentak Rayyanza. "Terserah jika kamu tidak percaya. Masalah kemiripan, bisa saja itu karena aku terlalu membencimu, sehingga bayiku menjadi mirip dengamu. Pasti kamu pernah mendengar mitos seperti itu, kan?"Pria berparas tampan itu sudah benar-benar merasa muak dengan semua omong kosong Luna. Ia menatap nya
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Amanda, tubuh Luna tiba-tiba membeku. Ia tercekat. Setiap napas terasa berat seolah ada beban berat di dadanya. "Sayang ..., lihatlah kemari. Menurutmu dia mirip dengan siapa?" tanya Amanda pada Rayyanza. Pria tampan itu melangkah, mendekat, dengan jantung yang berdegup tak beraturan. Ia berdiri di sebelah Amanda menatap bayi mungil tersebut. Benar! Ia sangat yakin wajah mungil itu mirip dengan dirinya. Ia merasa senang, namun di sisi lain ia juga khawatir Amanda akan mencurigainya. "Wajahnya sangat tampan. Mirip dengan ...," Luna dan Rayyanza langsung terlihat pucat. "Hem ... artis korea," cetus Amanda seraya tertawa. Luna tersenyum hambar dan mengangguk. Ia lantas mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, ya. Bagaimana dengan bisnis Papamu di Singapura, apakah lancar?""Ya, cukup lancar. Mungkin akan selesai dalam waktu enam bulan ke depan.""Hah? Lama sekali?!" "Ya, karena kerjasama ini memakan modal yang cukup besar. Jadi harus di pantau p
"Ssh ...," Luna mendesis saat perawat membantu memompa ASI. "Sakit, Sus." Bukannya Luna tidak ingin menyusui anaknya. Perawat juga sudah berupaya semaksimal mungkin, namun ASI tak kunjung keluar. Luna malah terlihat kesakitan saat perawat berusaha membantu mengeluarkan ASI-nya . Belum lagi, nyeri dari luka sayatan bekas operasi yang masih basah. Tak hanya dengan cara pompa, Dokter juga sudah meresepkan beberapa obat pelancar ASI, namun ASI tak juga keluar. "Sore ini, Ibu dan bayi sudah boleh pulang," kata dokter yang baru saja selesai memeriksa Luna. Luna mengangguk. Namun, ia kebingungan memikirkan biaya rumah sakit yang pastinya tidak murah. Di atas kursi roda, Luna duduk. Nikita mendorongnya dengan pelan menuju ruang informasi untuk mengetahui besaran biaya yang harus ia lunasi. "Totalnya menjadi lima puluh satu juta tujuh ratus ribu rupiah," kata petugas wanita, sembari menyerahkan kertas berisi rincian biaya. Luna terkesiap. Kemudian, diam termangu, memandangi selembar kert
"Anakmu tampan seperti ... Pak Rayyanza," bisiknya dengan pelan. Luna tercekat. Matanya melotot ke arah Dessy. "Ssssst ... hati-hati kamu kalau bicara!""Loh, mengapa kamu seperti marah? Jika tidak merasa, seharusnya kamu santai saja." Luna terdiam seketika."Tapi, kalaupun itu benar. Aku tidak akan berani bilang pada siapapun," cetusnya lagi."Tentu saja itu tidak benar! Ayah bayiku sedang berada di jepang." Dessy mengangguk dengan senyum yang mengejek. Ia seolah-olah mengetahui yang sebenarnya. Luna merasa sedikit waspada terhadap Dessy. Ia tidak ingin kejadian serupa terulang lagi, memiliki teman yang menusuknya dari belakang. Di depan pintu apartemen, Langkahnya terhenti. Luna segera menempelkan kartu akses lalu membuka pintu. Arshaka tampak nyenyak dalam gendongan Dessy. "Pasti kamu merasa pegal?" tanya Luna. Dessy menggeleng. "Tidak. Aku senang menggendongnya karena dia lucu dan menggemaskan." "Lebih baik simpan saja dia di dalam boxnya," kata Luna seraya mendesis, menaha
Dua minggu berlalu dengan cepat. Malam itu, Amanda menginap di apartemen Luna, berniat menemani sahabatnya sebelum melepas masa lajang. "Kapan kamu dan Ryuki akan menyusul kami?" tanya Luna pada Amanda, penuh keingintahuan.Amanda tersenyum lembut, tangannya dengan lembut menyisir rambut panjang Luna. "Doakan saja, semoga kami cepat menyusul kalian."Luna melirik jam yang menggantung di dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. "Apa kamu tidak mengantuk?" tanyanya pada Amanda."Aku belum mengantuk," balas Amanda. "Besok kamu akan menikah, sebaiknya kamu tidur agar wajahmu fresh."Luna menggeleng pelan. "Aku juga tidak bisa tidur."Amanda tersenyum maklum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita paksakan untuk tidur?" usulnya, lalu mematikan lampu kamar. Ia memeluk tubuh Luna dengan lembut. "Sini biar aku peluk.""Lepas, Manda, geli!" Luna meronta, tawanya terdengar dalam kegelapan.Amanda tertawa kecil. "Apa kamu ingat, dulu ketika kuliah, kita sering tidur bersama seperti ini."Lu
Malam berganti pagi. Sinar mentari yang hangat mulai merayap masuk melalui celah-celah tirai, membangunkan Luna dari tidur lelapnya. Ia mengerjapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan. Seketika, ia terkesiap mendapati dirinya berada dalam pelukan Rayyanza. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya nyaman, tetapi juga membuat jantungnya berdegup kencang.Pergerakan Luna rupanya cukup untuk membangunkan Rayyanza. Pria itu menggeliat pelan, tangannya masih melingkar di pinggang Luna. Di samping Rayyanza, terdengar ocehan riang Arshaka yang sudah terjaga."Ah, anak mama sudah bangun?" kata Luna, menoleh pada putranya dengan senyum lembut.Rayyanza, masih setengah tertidur, dengan gerakan manja menyembunyikan wajahnya di perut Luna. "Aku masih ngantuk, Sayang," rengeknya."Lagi pula, siapa yang membangunkanmu? Aku mengajak bicara Arshaka," ujarnya. "Jika masih ngantuk, tidur lagi saja."Mata Luna melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07.00 pagi. Perlahan, ia beranjak dari tempat tidur,
Malam itu, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di basement apartemen. Luna turun dari mobil dengan hati-hati, kakinya yang masih terpincang membuatnya sedikit kesulitan. Ia berdiri sejenak, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan yang remang-remang itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya melayang ke malam yang kelam, malam di mana persahabatannya dengan Amanda hancur berkeping-keping. Namun, kini segalanya telah berubah. Luna merasa sangat bersyukur, menyadari bahwa pada akhirnya, semuanya baik-baik saja.Mereka melangkah bersama-sama menuju lift. Ruangan berdinding besi itu membawa mereka naik ke lantai sepuluh dalam keheningan yang nyaman. Setibanya di depan pintu apartemen, Amanda tiba-tiba berpamitan, suaranya terdengar sedikit gugup."Maaf, aku tidak bisa lama. Aku sudah ada janji dengan seseorang," ujarnya.Semua mata tertuju pada Amanda, dan Luna pun tak bisa menahan rasa penasarannya. "Mau ke mana malam-malam begini?" tanyanya, dengan alis yang terangk
Siang menjelang sore, suasana di rumah mendiang nenek Luna terasa hangat. Bu Dona masih terus mengajak main Arshaka yang mulai mengoceh. Bayi itu juga sering melebarkan senyum, membuat ingatan Bu Dona kembali ke masa Rayyanza masih bayi."Mengapa kamu mirip sekali dengan papamu, Nak?" cetusnya, memandangi wajah polos Arshaka.Luna baru saja keluar dari kamar mandi, dengan balutan handuk, ia melangkah terpincang-pincang hendak masuk ke kamar. Rayyanza yang saat itu tengah berdiri di antara ruang tamu dan ruang tengah menoleh ke arah Luna, kemudian melangkah mendekatinya. "Sudah selesai mandinya, Sayang?" tanyanya seraya memegangi tangan Luna agar tidak jatuh.Wanita yang hanya berbalut handuk itu merasa malu dan risih. "Sudah, sana! Aku bisa sendiri.""Aku hanya ingin membantumu berjalan," Rayyanza bersikeras."Tapi aku malu!" protes Luna."Malu?" Rayyanza tertawa. "Mengapa malu? Bahkan aku pernah melihatmu tanpa sehelai kain.""Sudah hentikan, Rayyan! Itu tidak lucu sama sekali!" Lun
Rayyan langsung melepaskan pelukannya saat menoleh ke arah pintu masuk. Luna dengan ramah mengajak Irwan untuk masuk, "Ayo, masuk, Mas."Irwan, pria desa yang telah menaruh hati pada Luna itu berdiri canggung di ambang pintu. "Maaf, sepertinya sedang ada pertemuan penting. Sebaiknya saya kembali lagi nanti," ucapnya, hendak melangkah pergi."Tunggu!" panggil Luna tiba-tiba. Irwan berhenti dan kembali menghadap Luna."Masuklah, Mas. Kenalkan, ini Ayah anak saya," kata Luna tanpa menyadari betapa menyakitkan kalimat itu bagi Irwan. Seketika, harapan yang baru saja muncul di mata Irwan langsung sirna, digantikan oleh kekecewaan yang ia coba sembunyikan.Irwan memaksakan senyum dan mengangguk, melangkah masuk mendekati Luna. Tangannya terulur, mengajak bersalaman pada Rayyanza. "Saya Irwan," ucapnya dengan suara yang ia usahakan agar tetap tenang.Rayyanza menatap Irwan dari atas hingga bawah. Kali ini, ia tidak merasa cemburu seperti pada Ryuki karena Irwan tidak semenarik Ryuki. Ayah A
Sekujur tubuh Rayyanza menegang ketika melihat sosok wanita yang sangat dikenalnya. "Sayang ...," gumamnya. Pria tampan itu segera melangkah menerobos kerumunan hiruk-pikuk pasar, diikuti oleh Bu Dona, Amanda, dan Nikita yang berjalan di belakangnya. Mereka tampak tergesa-gesa, seolah-olah tengah mengejar seseorang.Sementara itu, Luna sama sekali tidak menyadari kehadiran Rayyanza. Ia masih fokus melayani pembeli, tangannya menyodorkan kantong plastik hitam berisi ikan yang baru saja ditimbangnya, sembari menerima uang pembayaran. "Terima kasih," ucapnya ramah seraya tersenyum.Baru saja ia akan memasukkan uang hasil penjualannya ke dalam dompet, tiba-tiba terdengar suara yang sangat tidak asing lagi di telinganya. "Sayang ...?!"Luna menoleh dan terhenyak kaget, matanya melebar saat melihat Rayyanza berdiri di hadapannya. Namun, begitu melihat Bu Dona berada di belakang Rayyanza, Luna segera berbalik badan dan berlari kecil menjauhi mereka, ketakutan jika Bu Dona akan kembali menga
Suasana di dalam ruangan rawat dipenuhi oleh haru. Air mata kebahagiaan mengalir di pipi Bu Dona dan Amanda, sementara Nikita berusaha menahan isakan yang tertahan di tenggorokannya. "Benarkah?" tanya Rayyanza dengan mata yang berbinar, seolah mendapatkan kembali cahaya kehidupan yang telah lama redup.Nikita mengangguk, air mata menetes di pipinya. "Iya, Kak Rayyan. Pokoknya, Kak Rayyan harus sehat.""Jadi, di mana mereka tinggal?""Mereka tinggal di sebuah desa terpencil di Sukabumi," terang Nikita."Desa terpencil? Pantas sulit sekali menemukannya," cetus Amanda."Mari kita pergi ke sana!" Rayyanza tiba-tiba terlihat sangat bersemangat, berusaha bangkit dari tempat tidurnya."Kak Rayyan sedang sakit, sebaiknya aku saja yang pergi," Nikita mencoba menahan."Tidak! Aku ingin ikut," Rayyanza bersikeras.Bu Dona ikut menimpali dengan nada khawatir, "Tapi Rayyan ... sebaiknya kamu pulihkan dulu kesehatanmu.""Aku akan sehat, Ma. Aku pasti kuat. Mulai sekarang aku akan makan dengan laha
Dengan hati yang dipenuhi rasa sakit, Nikita memutuskan untuk pergi meninggalkan mereka. Rasa bencinya terhadap keluarga Rayyanza telah membutakan nuraninya, membuatnya tak peduli dengan keadaan Rayyanza.Melihat situasi yang tidak menguntungkan, akhirnya Amanda mengajak Bu Dona untuk mundur. "Ayo, Ma, sebaiknya kita kembali ke rumah sakit."Bu Dona hanya bisa mengangguk pasrah, kesedihan terpancar jelas di wajahnya karena gagal membujuk Nikita. Keduanya melangkah keluar dari kafe dengan langkah berat, masuk ke dalam mobil yang terparkir di luar.Selama perjalanan kembali ke rumah sakit, Amanda melajukan mobil dengan hati-hati. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara lain untuk menemukan Luna.Setibanya di rumah sakit, sebuah ide muncul di benak Amanda. Ia melangkah cepat menuju ruang informasi, berniat untuk melihat rekaman CCTV saat Bu Dona keluar meninggalkan ruangan rawat Rayyanza sebelumnya.Dengan alasan keamanan, pihak rumah sakit mengizinkan Amanda dan Bu Dona untuk ma
Suasana di ruangan VVIP rumah sakit terasa begitu memilukan. Rayyanza, terbaring lemah di ranjangnya, menatap nanar ke arah Bu Dona. Matanya menyiratkan harapan yang begitu rapuh ketika ia bertanya dengan suara lirih, "Benar, Ma? Mama akan mengizinkan aku untuk bertemu dengan Luna dan juga anakku?"Bu Dona hanya bisa mengangguk, tak sanggup berkata-kata. Air mata yang sedari tadi ditahan akhirnya menetes. Ia kemudian berbalik badan dan melangkah keluar ruangan, diikuti oleh Amanda.Di luar kamar, Bu Dona langsung menghadap Amanda. "Di mana wanita itu tinggal?" tanyanya.Amanda menggeleng pelan. "Aku tidak tahu, Ma. Kemarin aku sudah berusaha mencari Luna, tetapi tidak diketahui keberadaannya," jelasnya dengan wajah sedih."Lalu kita harus mencarinya ke mana?" tanya Bu Dona lagi.Saat itulah, Bu Dona yang selama ini dikenal keras kepala akhirnya menyadari sesuatu. Satu-satunya hal yang bisa mengembalikan semangat hidup Rayyanza adalah Luna dan anaknya. Rasa takut kehilangan putranya ka