"Mengapa tidak dijawab? Siapa yang memanggilmu?" Luna beringsut mendekat, menatap layar ponsel di genggaman tangan Rayyanza. "Manda?!" Keduanya saling pandang dan mendadak kebingungan. Bagaimana tidak, Amanda menghubunginya dengan melakukan panggilan video. Jika Rayyanza menerimanya dan terlihat pemandangan apartemen, tentu saja Amanda akan menaruh curiga padanya. "Pergilah Rayyan. Jawab panggilan dari Manda. Setelah itu, kamu boleh kembali ke sini." Rayyanza mengangguk. "Baiklah, aku pergi sebentar. Setelah itu aku akan kembali."Dering di ponselnya sudah berhenti. Namun, Luna tetap menyuruhnya untuk pergi dan segera menghubungi kembali Amanda. Ia tidak ingin sahabatnya itu merasa khawatir dan curiga kepada suaminya. Pria tampan itu beranjak dari duduknya, berjalan keluar dari apartemen, mencari tempat untuk melakukan panggilan video. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam mobil dan berpura-pura sedang dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya. Luna menghela napas. Serumit ini kah
Di area ruang tunggu rumah sakit, di depan pintu kamar operasi, ketegangan terasa begitu kental. Ditambah dengan aroma anti septik yang menyengat memenuhi udara, seolah menegaskan betapa klinis dan sterilnya tempat tersebut. Hanya suara langkah kaki para perawat dan bunyi monoton dari mesin-mesin medis yang memecah keheningan, membuat keadaan semakin terasa mencekam. Nikita duduk di salah satu kursi. Ia tampak sangat gelisah dan tak mampu membendung air matanya. Sesekali ia menyeka wajah dengan tangan yang gemetar. Pandangannya kosong, terpaku pada lantai yang dingin.Di sebelahnya, Rayyanza duduk dengan gelisah. Tangannya tak henti-hentinya meremas ujung kursi, matanya terus menatap pintu ruang operasi. Sesekali ia menghela napas dalam, menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa takut akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Rayyanza menoleh pada Nikita yang sedari tadi menangis terisak. Kaki dan tangannya tampak sedikit gemetar. "Tenang saja, Kak Luna pasti kuat dan selam
Santika melangkah masuk, menoleh ke arah Luna yang terbaring di atas ranjang. Matanya menyala penuh kemarahan. "Sakit apa kamu, Luna?"Rayyanza beringsut mundur, menjauh dari Luna. Suasana di ruangan itu mendadak berubah penuh ketegangan. "Mengapa kamu dirawat di rumah sakit khusus ibu dan anak? Ada apa ini sebenarnya, coba jelaskan?!" Tak ada satupun yang berani mentap wanita paruh baya itu. Semua menunduk dan terdiam. "Mengapa kalian hanya diam? Jawab!!" Merasa bukan bagian dari keluarganya, Rayyanza berniat untuk meninggalkan ruangan agar mereka dapat berbicara dengan leluasa. "Saya permisi keluar sebentar," ucapnya. Tak ada satupun yang menjawab. Pria itu langsung pergi meninggalkan ruangan. Sebenarnya, ia ingin sekali membela Luna dengan mengatakan bahwa Luna baru saja melahirkan anaknya. Namun, ia tidak ingin memperumit keadaan, dan pastinya wanita itu akan berkelit dengan mengatakan bahwa Rayyanza bukanlah ayahnya. Santika melangkahkan kaki mendekati Luna. Ia menyingkap sel
Luna menggenggam tangan Santika dengan erat, seraya menahan nyeri. "Aku sangat memohon pada Bibi untuk tidak mengatakan yang sebenarnya pada Rayyanza. Untuk sekedar membayangkannya saja, aku merasa tidak sanggup. Persahabatanku dengan Amanda lebih dari apapun di dunia ini. Jadi aku sangat memohon, jangan pernah mengatakan yang sebenarnya. Dan, berpura-puralah untuk tidak mengetahui apapun," katanya dengan terisak.Wanita paruh baya itu mendengus kasar. "Apa kamu yakin? Suatu hari nanti, anakmu pasti akan bertanya siapa ayahnya. Dan, ia juga pasti sangat membutuhkan sosok ayah di hidupnya. Seharusnya kamu tidak boleh bersikap egois seperti ini. Kamu malah mengutamakan persahabatanmu ketimbang anakmu." Perkataan Santika menimbulkan dilema yang sangat berat bagi Luna. Walau bagaimanapun, Amanda sudah seperti saudaranya sendiri. Ia tak sampai hati menyakitinya, apalagi sampai merebut suaminya.Santika terus mengatur napas, berusaha untuk menenagkan diri. Ia kemudian menggeser kursi dan d
Rayyanza terus menatap dengan intens. Sosok bayi mungil bergerak dengan lembut di dalam bungkusan kain yang membalut tubuh kecilnya. Nikita tersenyum penuh kebahagiaan. "Aku sudah tidak sabar ingin menggendongnya. Ia terlihat tampan dan juga menggemaskan." Hening beberapa saat, Rayyanza tak menjawab ucapannya. Nikita segera menoleh pada Rayyanza, terlihat raut wajahnya yang serius memandang sang bayi dengan seksama. "Apakah dia menyadari kalau wajah bayi Kak Luna mirip denganya? Waduh, gawat ini! Tapi mengapa perasaanku menjadi tidak enak ya," Nikita bergumam dalam hati seraya terus memperhatikan pria di sebelahnya. Nikita segera merogoh saku celananya, mengambil ponsel untuk mengambil foto dan video. Ia segera merekam bayi mungil itu dan mengambil tangkapan dengan cara zoom agar wajahnya terlihat jelas. Setelah selesai, ia buru-buru mengajak Rayyanza pergi dari tempat tersebut, tak ingin pria itu semakin menyadari kemiripan wajahnya dengan wajah bayi Luna. "Ayo, Kak. Kita kembal
Luna merasa tersentak mendengar pertanyaan Rayyanza. Namun, ia harus tetap tenang dan bersikap seperti sebelumnya, menyangkal dengan alasan kalau itu adalah anak kekasihnya yang saat ini tinggal di jepang. Mendengar jawaban yang tidak masuk akal, Rayyanza merasa murka. Pasalnya, sudah jelas wajah bayi itu sangat mirip dengannya. Ia mendengus kasar, memperlihatkan gelombang emosi yang di rasakannya. "Kamu sudah melihat wajahnya, dan sekarang kamu masih bisa menyangkalnya?! Kamu benar-benar pembohong yang ulung, Luna. Tapi sayangnya, kali ini kamu tidak cukup pintar untuk membohongiku. Bahkan wajah anakmu itu turut membuktikan siapa dia yang sebenarnya. Dia anakku! Anakku, Luna!" sentak Rayyanza. "Terserah jika kamu tidak percaya. Masalah kemiripan, bisa saja itu karena aku terlalu membencimu, sehingga bayiku menjadi mirip dengamu. Pasti kamu pernah mendengar mitos seperti itu, kan?"Pria berparas tampan itu sudah benar-benar merasa muak dengan semua omong kosong Luna. Ia menatap nya
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Amanda, tubuh Luna tiba-tiba membeku. Ia tercekat. Setiap napas terasa berat seolah ada beban berat di dadanya. "Sayang ..., lihatlah kemari. Menurutmu dia mirip dengan siapa?" tanya Amanda pada Rayyanza. Pria tampan itu melangkah, mendekat, dengan jantung yang berdegup tak beraturan. Ia berdiri di sebelah Amanda menatap bayi mungil tersebut. Benar! Ia sangat yakin wajah mungil itu mirip dengan dirinya. Ia merasa senang, namun di sisi lain ia juga khawatir Amanda akan mencurigainya. "Wajahnya sangat tampan. Mirip dengan ...," Luna dan Rayyanza langsung terlihat pucat. "Hem ... artis korea," cetus Amanda seraya tertawa. Luna tersenyum hambar dan mengangguk. Ia lantas mengalihkan topik pembicaraan. "Oh, ya. Bagaimana dengan bisnis Papamu di Singapura, apakah lancar?""Ya, cukup lancar. Mungkin akan selesai dalam waktu enam bulan ke depan.""Hah? Lama sekali?!" "Ya, karena kerjasama ini memakan modal yang cukup besar. Jadi harus di pantau p
"Ssh ...," Luna mendesis saat perawat membantu memompa ASI. "Sakit, Sus." Bukannya Luna tidak ingin menyusui anaknya. Perawat juga sudah berupaya semaksimal mungkin, namun ASI tak kunjung keluar. Luna malah terlihat kesakitan saat perawat berusaha membantu mengeluarkan ASI-nya . Belum lagi, nyeri dari luka sayatan bekas operasi yang masih basah. Tak hanya dengan cara pompa, Dokter juga sudah meresepkan beberapa obat pelancar ASI, namun ASI tak juga keluar. "Sore ini, Ibu dan bayi sudah boleh pulang," kata dokter yang baru saja selesai memeriksa Luna. Luna mengangguk. Namun, ia kebingungan memikirkan biaya rumah sakit yang pastinya tidak murah. Di atas kursi roda, Luna duduk. Nikita mendorongnya dengan pelan menuju ruang informasi untuk mengetahui besaran biaya yang harus ia lunasi. "Totalnya menjadi lima puluh satu juta tujuh ratus ribu rupiah," kata petugas wanita, sembari menyerahkan kertas berisi rincian biaya. Luna terkesiap. Kemudian, diam termangu, memandangi selembar kert