Aéroport Paris-Charles de Gaulle, pukul tujuh pagi dan kepalaku yang pengar. Pergi tanpa rencana, terburu-buru dan yang pasti tanpa perhitungan membuat melelapkan diri barang satu jam saja di pesawat, pun tak bisa. Kepala berputar, sibuk menyusun rencana. Perihal hidup, yang tak lagi sama.
Aku terus menarik koper, keluar bandara sebab keberadaan si brengsek Mark tak terlihat di area penjemputan. Padahal, ia sudah berjanji akan menjemput kakaknya yang cantik jelita ini di bandara. Dua manusia menyebalkan lainnya bahkan sengaja menutup telepon sebelum aku sempat mengatakan apapun.
Ah ... hidupmu sempurna, Nye!
Karena terus bersungut, kesialan datang. Menambah kekesalan, aroma muram dan keinginan untuk mengumpat naik ke permukaan dua kali lipat. Sebab, bayangkan Alexander McQueen tercintaku tiba-tiba patah karena kakiku yang terkilir. Aku terjatuh dengan kedua tangan yang sibuk melilitkan kain sebagai penutup kepala, kacamata hitam dan masker di wajah.
Aku tersuruk ke lantai dengan tidak elegannya!
"Brengsek! Brengsek! Brengsek!"
Aku memukul-mukul stilleto-ku yang telah patah ke lantai. Mata berair membuatku melepaskan paksa kacamata dan masker untuk kemudian membantingnya ke lantai. Terisak seperti orang bodoh dengan tatap mata orang yang berlalu lalang.
Aku tidak peduli.
Sama seperti banyaknya orang yang juga tidak peduli pada alasanku melakukan hal itu. Pada hari-hari yang aku lalui dengan patah hati, dengan sesak yang menyeruak, dan kumpulan luka yang memelukku di sepanjang malam. Mereka tidak pernah bertanya soal betapa kehilangan seseorang yang kita cintai ternyata bisa membuat seputus asa itu.
Tentu saja, siapa yang peduli. Yang mereka tahu hanya satu hal.
Lyla Anyelir Daphne adalah seorang pelakor.
"Mengapa Tuhan bersikap tidak adil sih padaku? Apa salahku? Yang perempuan jalang itu dia, bukan aku! Ah ... sial! Mark juga kemana sih? Brengsek! Semuanya memang brengsek!"
Aku meracau dengan segala macam umpatan yang keluar. Beberapa nampak berjengit heran, berbisik-bisik dan sepertinya menggunjingkan. Aku masih saja duduk dengan stiletto patah di tangan. Memaki adikku berulang-ulang, dan air mata masih berkejaran.
Hah!
Pasti akan sangat lucu kalau fotoku yang sedang riuh air mata ini tersebar di jagat maya. Kebanyakan di antara mereka pasti akan dengan senang hati menertawakan keadaanku yang menyedihkan ini. Lalu sebagian lainnya akan menyebut sebagai azab karena merajut kasih dengan suami orang lain.
Ya Tuhan, kepalaku masih saja mengingat bagaimana ujaran-ujaran kebencian itu terlontar padaku. Walau kepalaku menginstruksikan pada hati untuk tegar dan tidak usah peduli, sayangnya yang aku rasakan sebaliknya.
Hatiku sangat sakit.
"Aunty, jangan nangis. Kalau nangis, nanti cantiknya hilang."
"Benar. Aunty jangan nangis ya, nanti ketemu ayah kami. Dia pasti bisa membuat aunty tersenyum.
Aku mendongak, mendapati dua makhluk kecil, berambut panjang dengan muka serupa; setengah berjongkok dan mengulurkan tisu. Aku masih termangu ketika salah satu di antara mereka mengulurkan tangannya dan menghapus air mataku.
Mereka anak siapa?
"Percaya sama aku aunty, ayah kami itu punya keajaiban yang bisa bikin setiap orang tersenyum walau cuma melihatnya." Satu di antara dua makhluk kecil itu kembali berorasi. Mengatakan betapa hebat ayahnya yang punya keajaiban dan bisa membuatku tersenyum.
"Sana. Aku nggak suka anak kecil," jawabku sinis. Anehnya, mata kedua makhluk pendek di hadapanku ini justru berbinar.
"Kami mau hibur aunty."
"Terserah. Pergi sana. Hatiku sedang buruk, aku nggak mood main dengan kalian," jawabku ketus. Aku buru-buru bangkit dan meraih stilleto-ku, kacamata dan masker. Berniat menarik kembali koper berwarna marun milikku, ketika tanpa sengaja koperku menyenggol salah satu makhluk kecil tadi. Membuat ia meraung, menangis seperti baru saja tersenggol kereta api.
Sial!
Mereka anak siapa sih?
"Aunty, kenapa membuat Thea terjatuh," teriak satu makhluk kecil lainnya yang turut pula menangis.
Oh God! Aku tanpa sengaja menyenggol satu makhluk pendek dan satu lainnya turut menangis. Adakah hari sial yang begitu lengkap seperti hari ini? Setelah dimaki seluruh perempuan Indonesia dan membuatku harus kabur ke Paris, aku masih harus berurusan dengan anak-anak ... aneh ini?
Brengsek!
"Aku tidak sengaja, hey. Ayo bangun."
Aku celingukan sebab orang-orang mulai memandang aneh ke arahku. Sudah dipastikan, aku antagonis di sini. Ya Tuhan ... hidupku.
"Aunty ... jahat!" teriak mereka berdua dengan tangisan yang masih serempak. Di hidupku yang sudah 26 tahun ini belum Tuhan beri kesempatan untuk menjadi istri apalagi ibu, jadi jelas menenangkan anak kecil bukan hobby apalagi keahlianku. Jadilah, aku berjongkok di hadapan mereka berdua. Mencolek-colek pipi mereka yang kenyal dan chubby.
"Hey! Jangan menangis. Aku nggak sengaja. Lagipula, mana orang tua kalian? Kenapa berkeliaran tanpa orang dewasa," ucapku masih dengan nada sedikit ketus.
Perlu aku tegaskan, aku ... Lyla Anyelir Daphne tidak suka anak kecil!
"Aunty ... aku bukan squishy, jadi jangan colek-colek pipiku!"
"Dimana ayah?" tanya makhluk kecil yang tadi tersenggol koperku. Entah bertanya pada siapa, sebab mereka saja tidak tahu dimana ayah mereka lantas bagaimana aku bisa tahu?
"Aunty, dimana ayah kami?"
Aku menunjuk diriku dengan bodoh. Menatap mereka bergiliran dan semakin kesal.
"Hey, mana aku tahu."
"Aunty jahat," teriak mereka serempak untuk kemudian menangis lagi semakin keras.
Aku berusaha menahan kesal. Sejak semalam, Indonesia dan isinya adalah yang sudah begitu buruk untukku. Beruntung, aku tidak memilih bunuh diri. Dan sekarang, pagiku di Paris pun harus diisi dengan kesialan juga?
"Hey! Apa yang kamu lakukan pada anak-anakku?"
Aku menoleh, di arah jam 12. Satu laki-laki dengan kemeja bermotif summer dengan warna biru; berdiri. Ia bergegas berlari, membantu dua makhluk kecil dengan pipi kenyal itu bangkit. Mencium pipi keduanya untuk kemudian mengusap air mata mereka.
Jadi ... ini ayah mereka?
Aku terlalu pandai mendeskripsikan sesuatu secara visual. Dia tampan, tinggi, dengan kulit pucat dan bibir yang berwarna merah alami. Jangan lupakan dekik di pipinya yang begitu menawan. Oh iya, badannya pun tegap, akan sangat hangat bila memeluk.
Sebentar?
Apa?
"Kamu apakan anak-anakku?" tanyanya sinis. Membuyarkan lamunanku yang terlalu sensual.
Aku mengernyit. "Permisi, apa maksudnya ya?" tanyaku bingung.
"Anna-Thea, apa orang ini gangguin kalian?
Aku berdecak kesal. Kupandangi laki-laki itu dengan tatapan mata tak terima. Dibandingkan aku yang mengganggu, kedua bocah kecil itu yang jelas sudah menggangguku lebih dahulu. "Hey Squishy, bilang sama ayah kalian. Aku nggak mengganggu kalian tapi justru kalian yang menggangguku," sergahku.
Dua makhluk kecil itu saling pandang dan mengeratkan pelukannya di pundak ayahnya.
"Kami ingin menghibur aunty yang sedang menangis dan sepatunya patah. Tapi ... dia menyenggol Thea sampai jatuh, Dad."
"Hey squishy, aku nggak sengaja ya. Koperku yang menyenggol kalian," jawabku tidak terima.
"Pokoknya aunty jahat, Dad," ujar mereka serempak.
Aku diam dan menatap mereka kesal. Bisa-bisanya dua makhluk kenyal ini menurunkan citraku di depan ayah mereka yang tampan.
Sebentar?
Aku memuji ayahnya?
"Bukankah itu terlalu kasar, Mademoiselle?"
Aku mendelik, dalam hati meralat pujianku sebelumnya sebab tatapan dingin yang diberikan oleh laki-laki berparas tam - ah sial, aku memujinya lagi.
"Aku nggak melakukan apapun. Aku juga betul-betul nggak sengaja membuat koperku nyenggol putrimu," jawabku masih terus membela diri.
"Kenyataannya kamu bikin anak-anakku menangis," keluhnya lagi.
Aku memijit pangkal hidung; kesal. Ini masih pagi dengan kepalaku yang berat. Belum terlelap selama hampir 24 jam dan rasanya sekarang ingin meledak. Aku bangkit, meraih pegangan koper.
"Terserah anda, Monsieur, yang pasti aku nggak sengaja. Dan squishy, aku bukan aunty kalian ya, mengerti," cecarku kesal.
Aku buru-buru melangkah dengan kaki pincang sebab stilleto yang patah sebelah. Baru pada langkah ketiga, sakit menjerat membuatku setengah berteriak dan kembali tersuruk ke lantai. Kakiku sepertinya terkilir!
Saat aku dengan susah payah memijat kaki kiriku, seseorang nampak mendekat. Nyatanya, itu adalah laki-laki dengan dua anak-anak squishy tadi. Ia setengah berjongkok dengan tangannya yang menggamit dua jemari mungil di sisi kiri dan kanan.
Dan Tuhan memberi hari yang lengkap padaku. Sebab, saat aku kira ia mengulurkan tangan untuk membantuku, nyatanya laki-laki brengsek itu justru sedikit merunduk untuk kemudian membenarkan letak kacamata di pangkal hidungku.
Hanya itu!
Setelahnya ia berlalu dengan kekehan kecil dan tawa menyebalkan dua makhluk pendek di sisinya.
"Brengsek kamu!"
***
Aku memukuli Mark dengan stiletto, mengomeli Naeema dan Sella serta mengabaikan Ardio yang sejak tadi hanya terus tersenyum. Mereka berempat adalah manusia-manusia jahat yang membiarkanku mengalami pagi yang sial di bandara Paris. Sebab, karena mereka tidak menjemputku di bandara, aku jadi harus bertemu dengan makhluk kenyal dan ayah mereka yang tampan.Ah ... apa gunanya tampan bila menyebalkan!"Jadi kamu mau tinggal di sini?"Naeema membuka suara. Jelas saja dia tak tahu tentang rencana dadakanku. Dia dengan kurang ajarnya menutup telepon saat aku mengatakan bahwa aku akan terbang ke Paris.Menyebalkan bukan?"Menurutmu?""Menurutku, iya," jawabnya tanpa dosa."Dimana kau akan tinggal?"Kali ini Sella yang angkat suara. Sahabatku itu masih asik dengan game di ponselnya dan mengabaikan keberadaanku di ruang dan waktu yang sama dengannya. Sifatnya yang paling aku benci."Di sini ... sama kalian dong," jawabku acuh tak acuh. Tangan sibuk mengeluarkan pakaian-pakaian dari dalam koper.
Macarons berwarna ungu dan dua gelas affogato di meja sudut, Ten Belles cafe milik Dio. Aku masih diam, cemberut dan mengabaikan tatapan ingin tahu dari dua netra bulat milik sahabatku. Sebab pikiran, sedang terbagi menjadi beberapa bagian. 50% di Indonesia dengan 'dia' si pemeran utama, 25 % di Belle Epouqe dengan dua Squishy yang menyebalkan dan 25 % lagi entah berada di mana. Berjalan-jalan, menghambur tak tahu arah.Intinya, aku sedang dalam mode bodoh!"Jadi siapa gadis kembar menggemaskan yang manggil kamu Aunty?"Aku mendelik ke arah Dio sebagai tanda tak ingin diusik, namun laki-laki pendiam itu masih saja sibuk menelisik."Oke ... oke. Aku ketemu dua squishy itu kemarin pagi di bandara.""Jadi itu cucu nenek Willie," gumam Dio.Aku mengernyit. "Cucu?""Benar, cucu pemilik rumah kita," jawab Dio seraya menyesap affogato miliknya."Oh ... si tampan itu anak nenek Willie." Aku balas bergumam.Kini, Dio yang mengernyit. "Anak nenek Willie itu perempuan.""Berarti itu menantu nene
Aku bergelung selimut, membiarkan Sella dan Mark tertawa dengan pertandingan game mereka. Atau Naeema yang sibuk dengan vlog-nya. Kecuali Dio, dia tak ada di rumah malam ini. Mengurusi cafe dan mungkin menikmati Seine dengan kekasihnya.Aku sibuk membaca notifikasi yang masuk di media sosial milikku, yang sialnya kesemuanya itu berisikan hujatan, hinaan dan beragam hal-hal menakutkan lainnya. Mereka –yang mengatakan itu- tak pernah benar-benar bisa menyaring apa yang mereka katakan. Segala hina dina yang mereka lontarkan; pun selama mereka bahagia, akan tetap menjadi hal yang menarik. Sedang aku –si korban- hanya bisa menangis.Lantas, hati kecilku kembali bertanya. Mengapa kau menangis, Nye?Aku mengusap buliran air mata yang menyintas pipi. Membenarkan semua ucapan mereka terkait aku perempuan hina yang mencintai suami orang lain. Meski, sebagian cerita sesungguhnya tidak mereka ketahui."Sudah dibilangin jangan membuka media sosial kamu, Nye." Naeema meraih paksa ponselku dan melem
Paris adalah rumah kedua. Sebab, Mark tinggal di sini. Ketiga sahabatku juga. Di tengah jadwal sibukku –dulu- aku masih bisa mengosongkan waktu hanya untuk istirahat di sini, satu dua hari. Menikmati affogato di Ten Belles milik Dio, shopping dengan Sella dan Naeema di Le Marais, atau sekedar berjalan-jalan malam dengan Mark di sekitaran Seine.Tapi, sejak mereka tahu aku menjalin kasih dengan 'dia' yang telah berganti status –terutama Mark- mereka mulai mengabaikanku. Menurutku, wajar. Mereka hanya terlalu peduli padaku; menyayangiku. Takut bila hal-hal buruk terjadi dan aku satu-satunya yang akan paling merasakan luka.Dan aku batu!Masih saja menuruti perasaan bodoh yang tak bisa melihat. Perihal laki-laki yang bahkan tidak pantas hanya untuk dipertahankan. Meski, akibat yang ditimbulkannya benar-benar membuat sekarat. Kini.Dan malam ini, sekitaran Seine masih cukup ramai walau invicta berwarna gold yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul 10. Aku berjalan-jalan sendiria
Aku terus mengekor Dio, sejak satu jam lalu. Dia abai dan mengatakan bahwa aku akan membuat pelanggannya kabur bila bekerja sebagai waitress di cafenya. Kejam sekali si mata bulat!Aku harus bekerja sebab tak mungkin menjadi aktris di Indonesia lagi dengan citra yang sudah buruk dan lebur. Citra sebagai seorang pelakor.Aku memang menyelesaikan sarjanaku di UI, seni teater. Tapi, ini Paris. Hanya pekerjaan-pekerjaan kasar yang bisa aku lakukan. Misalnya; menjadi waitress."Kamu ceroboh, Anye. Kamu bisa melukai diri kamu sendiri kalau menjadi pelayan di cafeku," omel Dio. Dia saat ini, masih sibuk menyirami bunga di halaman Belle Epoque.Aku kembali merengek, "Tapi aku butuh pekerjaan. Kamu tahu, skill yang aku punya hanya akting. Aku nggak mungkin menjadi model di butiknya Naeema atau pakaiannya nanti nggak akan laku. Aku juga nggak bisa bekerja di perusahaan game seperti Sella, atau aku akan mengacaukannya. Tapi, aku bisa menjadi waitress di cafemu, Dio.""Tidak, Nye. Kamu lebih baik
FLASHBACKIndonesia, May 2021.'Nanti mau ya, menghabiskan malam penuh gairah bersama? Aku punya kado spesial untuk kamu.'Pesan masuk itu mengubah musim panas milik Indonesia yang gerahnya tidak keruan menjadi sejuk seketika. Mungkin juga karena segelas affogato yang aku sesap. Atau boleh jadi karena kepalaku sudah sibuk membayangkan ini dan itu, malam nanti.Suara riuh di luar ruangan sesaat membuatku sadar. Menanggalkan bayang-bayang nakal di dalam otak dan menegaskan ... hey ... ini masih di lokasi syuting. Di ruang tunggu itu, aku dapat melihat pantulan diri di cermin rias. Wajah yang sudah nampak lelah tiba-tiba berubah penuh binar. Hanya karena sebuah pesan masuk dari dia.Micko Kasetra.Masih terpaku pada cermin ketika tepat, sebuah tangan melingkar di leher. Aroma parfum Bvlgari Pour Homme dengan wangi teh yang menenangkan. Wangi dari seseorang yang selama enam tahun ini yang menjadi favorit. Wangi yang begitu senang aku hidu tatkala mata terbuka. Atau saat lelah seharian s
Tanganku sudah dipenuhi balon di sisi kiri dan sisa cokelat di sisi kanan. Lutut terasa bergetar sebab mengikuti pergerakan dua makhluk ajaib yang dikirim dari planet Saturnus. Dua squishy yang sibuk memantul ke sana kemari. Tanpa lelah; dan aku hampir mati. Ya Tuhan! Anak kembar berusia lima tahun ini sepertinya tidak pernah kehabisan energi. "Thea, Anna, kemari. Ayo istirahat dulu sebntar. Kita harus makan siang, kan?" pintaku dengan suara setengah memohon. Thea menoleh –mungkin juga Anna sebab aku tidak tahu- dan berlari menghampiriku. Tak lama, satu squishy lainnya datang dengan tawa yang lebar. Mereka berdiri di depanku dengan senyuman yang mentereng. "Kita makan siang apa, aunty?" Aku diam sejenak. "Pizza? Pasta? Spaghetti?" "Spaghetti," jawab mereka serempak. Aku mengusap kepala mereka berdua lembut, untuk kemudian menggamit dua jemari mereka di sisi kanan dan kiri untuk kemudian masuk ke dalam cafe. Sayangnya, ini bukan cafe Dio. Padahal di sana, aku akan memin
Ini pukul sepuluh malam, sepi. Sebab Naeema dan Sella berkencan dengan pasangan masing-masing. Juga Mark dan Dio yang entah ke mana. Tapi sejak tadi senyum di bibirku yang menjadi aneh. Sungguh! simpul bibir tertarik paksa membentuk senyuman tanpa aku tahu penyebabnya. Tidak ada jokes-jokes aneh milik adikku, Mark. Tidak juga ada pertikaian antara Naeema dan Sella yang membuatku senang. Aku; sendirian. Sepertinya aku terserang virus mematikan. Senyum tanpa sebab!Atau sebabnya adalah senyum milik ... Jaden?Tidak mungkin!Ponselku bergetar. Menghadirkan pesan dengan nomor baru. Boleh jadi ini pesan iseng atau memang 'seseorang' sengaja mengirimkannya. Isinya singkat, penuh nada memerintah dan menyebalkan. Aku mengernyit. Cukup tahu siapa manusia kurang ajar yang mengirimnya.From : xxx-xxx Datang ke Mamma Primi cafe dengan si kembar. To : xxx-xxxApa ini dibayar? Aku pengangguran sekarang.From : xxx-xxx Dasar matrealistis! To : xxx-xxxAku harus hidup di sini.Mau atau tidak?Fr
Anna tidak pernah menyangka, hanya dalam hitungan detik, dunia yang selama ini ia kenal bisa runtuh begitu saja. Dua hari sudah ia mendiamkan Thea, dan saudari kembarnya itu pun tampaknya menyerah. Biasanya, Thea akan menggedor pintu kamarnya dan memaksa bicara, atau setidaknya menyelinap ke tempat tidurnya dengan alasan ingin tidur bersama seperti dulu. Tapi kali ini berbeda. Thea hanya membiarkan Anna dengan amarah dan kekecewaannya sendiri. Bahkan di kampus, mereka saling menghindar, seolah-olah tidak pernah mengenal satu sama lain. Pagi itu, ketika bel apartemen berbunyi, Anna yang pertama kali membukanya. Dan di sana berdiri ibunya, Anyelir, dengan senyum lembut dan sekantong besar makanan. "Pagi, anak-anak Ibu. Kok cemberut?" tanya Anyelir sambil melangkah masuk. Thea yang baru keluar dari kamar langsung menyambut ibunya, sementara Anna mencoba bersikap biasa, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Anyelir, dengan insting keibuannya, langsung menangkap sesua
Suasana apartemen terasa sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang menggantung, seperti angin sebelum badai. Jaden duduk di sofa, matanya tajam menelisik kedua putrinya yang berdiri di hadapannya. Seolah ini adalah sebuah persidangan, di mana ia adalah hakim, dan kedua putrinya adalah terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anna, yang biasanya penuh percaya diri, tampak menciut. Punggungnya sedikit membungkuk, kepalanya menunduk, tangannya saling meremas. Sementara itu, Thea duduk di sandaran sofa dengan ekspresi santai. Ia menatap ayahnya dengan mata jernih, tidak gentar sedikit pun. Mungkin karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak seperti kembarannya yang terlihat seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Jaden menghela napas panjang, lalu bersuara. Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada marah yang berusaha ia tahan. “Siapa laki-laki itu?” Anna menelan ludah. “Dia... Dylan Louise. Salah satu mahasiswa di ENS,” j
Angin malam berembus pelan di Paris, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan sore tadi. Dari balik jendela apartemen, lampu-lampu kota menyala seperti kunang-kunang yang menari di antara bangunan tua nan kokoh. Anna duduk bersila di sofa, matanya berbinar, bibirnya tak henti-hentinya berceloteh tentang sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Atau lebih tepatnya, seseorang. "Thea, kamu nggak ngerti! Ini takdir!" seru Anna sambil merentangkan tangannya dramatis. Thea, yang tengah bersandar dengan sebuah buku di pangkuannya, hanya mengangkat sebelah alis. "Takdir? Kamu baru ketemu dia sekali, Anna." Anna mendesah panjang. "Bukan masalah berapa kali ketemu. Tapi gimana rasanya saat pertama kali melihat dia. Dadaku langsung berdebar, kakiku melemah, dan dunia serasa berhenti berputar!" Thea menahan tawa. "Kamu yakin itu bukan karena kamu kelaparan?" Anna melempar bantal ke arah saudara kembarnya. "Aku serius! Ini yang namanya cinta pada pandangan pertama!" Thea menan
Pagi di Paris selalu indah, dengan angin musim gugur yang berhembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe di sepanjang jalan. Anna dan Thea berjalan berdampingan menuju ENS Paris, universitas tempat mereka menimba ilmu. Di tangan masing-masing, ada setumpuk buku dan catatan, seolah menjadi perpanjangan dari diri mereka yang haus akan ilmu.“Aku masih belum terbiasa bangun pagi di sini,” keluh Thea sambil menguap, sesekali menyesap kopi dari gelas kertas yang ia bawa.Anna tertawa kecil. “Makanya, jangan begadang nonton film terus.”Thea hanya mendengus. “Bukan salahku kalau inspirasi datangnya pas malam.”Mereka akhirnya sampai di halaman kampus yang luas dan klasik. Gedung-gedung tua dengan pilar-pilar tinggi berdiri megah, membawa aura akademik yang serius namun menggoda untuk dieksplorasi. Saat mereka melewati gerbang utama, Thea menoleh ke arah Anna.“Oke, sampai sini kita berpisah. Jangan lupa makan siang,” pesan Thea.“Kamu juga,” jawab Anna sambil melambaikan tangan sebelum
Hari itu, apartemen Anna dan Thea terasa lebih ramai dari biasanya. Aroma makanan yang menggugah selera memenuhi udara ketika Anye sibuk mengeluarkan berbagai bekal dari tas belanjaannya. Bhumi, adik bungsu mereka, sudah tak sabar ingin bermain, sementara Jaden—meski masih memasang wajah dingin—duduk di sofa, matanya mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. “Kenapa Mama bawa makanan sebanyak ini?” keluh Thea, melipat tangan di dada sambil melihat tumpukan kotak makanan di meja makan. Anye tersenyum lembut. “Kalian pasti belum terbiasa masak sendiri. Lagipula, Mama kan tahu makanan kampus itu nggak selalu enak.” Anna tertawa kecil sambil membuka salah satu kotak. “Astaga, ini ayam woku favoritku! Thanks, Ma!” Bhumi, yang sejak tadi sudah berseliweran, menarik tangan Anna dengan penuh semangat. “Kak Anna, Kak Thea, kita main game, yuk! Aku bawa console biar seru!” Thea mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Ya ampun, Bhumi. Kamu pikir kita di rumah?” “Tapi ini juga rumah Kak
Paris pagi itu menyambut Anna dan Thea dengan matahari yang masih malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui jendela besar apartemen mereka yang baru, menyorot tumpukan kardus yang belum sepenuhnya dibongkar. Aroma roti panggang yang mulai menghangus di toaster membuat Thea mengerutkan hidungnya.“Astaga, Anna, roti bakarmu gosong!” seru Thea, buru-buru mengambil roti dari toaster dan meniupinya seakan itu bisa mengembalikan kelezatannya.Anna, yang sedang sibuk berbicara di telepon, hanya melambai tanpa benar-benar mendengar peringatan adiknya. Ia bersandar di meja dapur dengan ponsel menempel di telinganya, suaranya terdengar lembut dan penuh kerinduan.“Iya, Bhumi, Kakak janji bakal sering pulang. Jangan nangis terus, ya?” katanya, senyum tersungging di wajahnya.Dari seberang, terdengar suara rengekan Bhumi yang merajuk. “Tapi rumah jadi sepi banget, Kak…”Anna terkekeh. “Ya, kan ada Mama dan Papa. Lagian, kamu juga bisa video call Kakak kapan aja.”Thea, yang sejak tadi
Suara resleting koper menggema di kamar yang selama hampir dua dekade menjadi tempat paling aman bagi Anna dan Thea. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela, membentuk siluet dua gadis yang tengah sibuk mengemasi barang-barang mereka. Rak buku yang penuh dengan novel klasik, meja rias yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka, semua tampak sama—hanya saja, malam ini, kamar itu terasa lebih sepi.Anna melipat sweater birunya dengan hati-hati, sementara Thea menyusun buku-bukunya ke dalam tas ransel hitam. Tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, hanya hembusan napas panjang dan detak jantung yang bergemuruh.Pintu kamar berderit pelan. Anyelir berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh dengan harapan yang terselubung oleh kecemasan. Ia memandang putri-putrinya, dua gadis yang dulu digendongnya saat bayi, kini berdiri di hadapannya dengan tekad yang tak bisa digoyahkan."Anna, Thea... Mama mohon, pikirkan lagi keputusan kalian," suara Anyelir terdengar lembut, sep
Langit Paris pagi itu mendung, tetapi jalanan tetap hidup dengan suara langkah kaki dan deru mobil yang melintas. Di apartemen bergaya klasik di arrondissement ke-7, keluarga Jaden baru saja memulai rutinitas harian mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi dapur, menyatu dengan wangi croissant dari oven Anye."Anna, Thea, ayo cepat! Papa nggak mau terlambat ngantar kalian," suara Jaden menggema dari ruang tamu. Ia berdiri di depan pintu dengan mantel panjang hitamnya. Seperti biasa, ia memegang kendali penuh atas jadwal kedua putrinya, memastikan mereka selalu tiba tepat waktu di kampus."Kami tahu, Papa," jawab Anna malas sambil menuruni tangga. "Tapi kalian harus percaya, kami bisa naik metro sendiri."Jaden menggelengkan kepala. "Tidak ada diskusi. Papa nggak mau sesuatu terjadi di luar sana. Kalian masih muda, dunia tidak seaman yang kalian pikir."Thea hanya melirik ke arah Anna dengan tatapan jengkel, tetapi keduanya tak berkata apa-apa lagi.Papanya selalu saja begitu. Men
Di ruang interogasi yang pengap, Mina duduk dengan tangan terborgol di depan meja besi. Wajahnya yang dulu angkuh kini tampak penuh guratan penyesalan dan lelah. Namun, tatapan matanya tetap menunjukkan ketidaksukaan saat Jaden dan Anyelir masuk ke dalam ruangan.Jaden, yang mengenakan setelan sederhana, terlihat dingin dan penuh dendam. Di sampingnya, Anyelir mencoba tetap tenang meski hatinya terasa berat melihat perempuan yang telah menghancurkan keluarganya.“Mina,” Jaden membuka percakapan dengan nada rendah namun tegas. “Aku tidak akan membuang waktumu—dan waktuku. Aku hanya ingin kamu tahu, gugatanmu soal hak asuh Anna dan Thea sudah dibatalkan. Pengadilan akhirnya melihat kebenaran setelah semua yang kamu lakukan.”Mina tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Jadi kamu di sini untuk menyombongkan kemenanganmu, Jaden? Setelah semua yang kita lalui, kamu tetap saja ingin menjatuhkanku lebih dalam.”Jaden mengepal tangannya. Rasa marah bercampur jijik membuatnya sulit berkata-kata. "K