FLASHBACK
Indonesia, May 2021. 'Nanti mau ya, menghabiskan malam penuh gairah bersama? Aku punya kado spesial untuk kamu.' Pesan masuk itu mengubah musim panas milik Indonesia yang gerahnya tidak keruan menjadi sejuk seketika. Mungkin juga karena segelas affogato yang aku sesap. Atau boleh jadi karena kepalaku sudah sibuk membayangkan ini dan itu, malam nanti. Suara riuh di luar ruangan sesaat membuatku sadar. Menanggalkan bayang-bayang nakal di dalam otak dan menegaskan ... hey ... ini masih di lokasi syuting. Di ruang tunggu itu, aku dapat melihat pantulan diri di cermin rias. Wajah yang sudah nampak lelah tiba-tiba berubah penuh binar. Hanya karena sebuah pesan masuk dari dia. Micko Kasetra. Masih terpaku pada cermin ketika tepat, sebuah tangan melingkar di leher. Aroma parfum Bvlgari Pour Homme dengan wangi teh yang menenangkan. Wangi dari seseorang yang selama enam tahun ini yang menjadi favorit. Wangi yang begitu senang aku hidu tatkala mata terbuka. Atau saat lelah seharian setelah bekerja. Ah ... wangi yang juga menyenangkan saat semalaman berada dalam pelukannya. "Ngetawain apa sih nona manis?" Dia mengecup puncak kepalaku setelah melontarkan tanya yang berupa basa-basi. Aku menoleh dan mendapati dirinya tengah tersenyum. Kemejanya dengan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka, rambutnya yang baru saja dicat, juga senyum semanis madu yang dipamerkan dengan jemawa. Aku tidak tahu, kenapa ia memilih karier sebagai sutradara dan bukan sebagai aktor? Hey, dia nggak kalah cakep dari Jeff Smith! "Ada manusia yang mengajak aku menikmati malam yang menggelora," jawabku seraya terkekeh dan menunjukkan layar ponselku padanya. "Aku masih pikir-pikir, akan menerima atau menolak." Dia tertawa dengan menutup mulutnya. Pipinya bersemu merah menandakan ia malu. Duh ... dia selalu semenggemaskan itu saat merasa malu. "Apa itu aku?" Aku mengendikkan bahu. "Entah, ya." Dia kembali terkekeh dan mengecup pipiku. Dia kemudian meraih kursi dan duduk di sebelahku. "Sudah makan?" tanyanya penuh perhatian. Aku mengangguk. "Sudah. Kamu sendiri?" Dia mengangguk untuk kemudian matanya berpredasi di seluruh ruangan yang sepi. Hanya ada kami berdua. "Tapi aku masih lapar," jawabnya dengan tatapan nakal. Aku mengernyit. "Makan aja kalau kamu masih lapar," jawabku dengan mencebikkan bibir. Aku tidak bodoh dengan hal-hal tersirat yang diucapkannya. Dengan gestur dan pandangan nakal yang ditunjukkannya. Dia memang akan selalu memulainya dengan kalimat-kalimat penuh rayu, setiap kali, untuk beberapa waktu, kami ditahan oleh rindu dan jarak. "Jangan menyesal, ya." Dia mendekat dan mengikis spasi antara kami. Membiarkan hangat embusan napas dari masing-masing menerpa pipi. Menghadirkan gelenyar mendebarkan, di mana jantung terasa berdetak dengan lomba dalam dua kali lipat hitungan. Tanpa diperintah, mata bekerja refleks dan menutup dengan sendirinya. Dan sebuah kecupan lembut mendarat sempurna. Bertumbukan antara material basah dan menghadirkan suasana syahdu. Ia menuntun tanganku untuk mengalung di lehernya. Mengeratkan peluk meski kami sama-sama dalam keadaan duduk. Walau itu hanya berlangsung dalam hitung detik. Sebab ia, menarikku ke dalam pangkuannya tanpa melepaskan pagut. Ini; lembut. Ciumannya, rasa hangat yang diberikannya dan perasaan yang menguar memenuhi seisi ruangan. Ciuman yang selalu sama meski telah enam tahun terlewat. Menghadirkan gugup meski bukan lagi kali pertama. Dia memang sememabukkan itu. Micko Kasetra. Lewat bibirnya, seorang Lyla Anyelir Daphne akhirnya mengenal betapa indahnya ciuman pertama. Lewat bibirnya pula, perempuan sibuk sepertiku, bisa merasakan kecap demi kecap diantara waktu syuting hanya untuk meluruhkan lelah. Tentu saja, lewat bibir Micko Kasetra pula, aku bisa merasakan sebuah ciuman yang panas dan mendebarkan. "Kak Anye, scene selanjut – Oh ... Sorry, aku akan kembali sepuluh menit lagi." Aku dan Micko secara otomatis melepaskan pagutan. Selain karena pasokan udara yang menipis akibat ciuman panjang, juga karena Jennieta –lawan mainku dalam film ini- tanpa sengaja memergoki kami. Tidak. Perempuan itu tidak datang untuk mengintip atau mengganggu. Seperti kebiasaannya, ia pasti datang untuk berlatih adegan berikutnya. Aku dan Micko sama-sama terkekeh. Saling memandang dan jemarinya yang dipenuhi urat-urat tegas membelai kepalaku lembut. Selalu, dia menjadi apa yang paling indah dalam tatanan hidup seorang Lyla Anyelir Daphne. Menjadi yang paling berarti dalam hidup perempuan yang tumbuh tanpa cinta sepetiku. "Kayaknya aku harus pergi deh sebelum Jennieta datang dan mergokin kita lagi," ucapnya lembut setelah mendaratkan sebuah kecupan singkat di kening. "Aku masih rindu, Micko," rengekku manja. Micko kembali tersenyum. Aku curiga, berapa banyak gula yang dikonsumsi calon ibu mertuaku ketika ia mengandung laki-laki itu? Senyum anaknya terlalu manis. Mungkin melebihi manis dari gulali. "Aku anterin kamu pulang nanti ya. Tadi tuh aku cuma melaksanakan tugasku," ujarnya seraya terkekeh. Aku kembali mengernyit tak paham. "Tugas?" "Iya." "Apa?" "Menghapus jejak ciuman Reza dalam scene film kamu tadi. Soalnya ... bibir indah ini cuma milikku. Milik Micko Kasetra." Micko memang perayu ulung. Aku merona, merasakan diri seperti gadis berusia belasan. Berdebar kencang hanya karena bujuk rayu laki-laki. Hey, Nye ... sadarlah! "Berhenti merayu aku," ujarku pura-pura bersungut. "Tapi kamu suka, kan?" "Duh .. iya sih." "Hey, nona manis, kamu ketahuan." "Apa?" "Kalau kamu jatuh cinta sama aku banyak sekali." Aku tergelak, tak dapat menolak ucapannya. Kenyataannya memang demikian. Aku mencintai Micko Kasetra terlalu dalam. "Udah deh Micko, jangan bikin aku nggak mau lepasin pelukan kamu di sini semaleman, oke?" Dia tertawa dan kembali, pipinya bersemu merah. Tidak ada yang begitu menggemaskan, selain tawa dengan pipinya yang merona milik kekasihku. "Oke, aku balik ke crew. Kamu siapkan scene selanjutnya dengan baik, ya." Dia mengusap kepalaku lembut dan mengecup dahi, kedua pipi dan bibirku sekilas. Setelahnya, ia menghilang dari balik pintu. Hatiku, tiba-tiba sudah dibuat rindu lagi! Dasar hiperbola. "Jangan dilamunin terus, Ka Anye. Pak Sut ada di depan sana kok." Suara Jennieta memecah lamunan. Aku tersenyum dan menyapa junior di perusahaan yang sama denganku itu. Dan ini, kali pertamanya membintangi film sebagai second lead. Sebelumnya, ia menapaki karier sebagai penyanyi jebolan ajang pencarian bakat. "Kalian benar-benar serasi," komentarnya lagi. Aku terkekeh, "Benarkah?" "Semua crew bilang kaya gitu," jawab Jennieta seraya tertawa. Aku hanya tersipu. Lanjutnya, "Kenapa kalian nggak go public sih?" Aku diam. Tiba-tiba, mataku rasanya berubah sayu. Apa yang ditanyakan Jennieta, membuat hatiku tercubit. Enam tahun dan aku ingin sekali mengatakan pada dunia bahwa Lyla Anyelir Daphne telah memiliki kekasih dengan senyum yang manis, sosok pekerja keras dan idaman semua orang. Namun kenyataannya, Micko sendiri yang ingin merahasiakannya. Itu jelas karena berkaitan dengan sang ibu juga keluarganya yang lain. Pada sebuah resu yang terlalu sulit untuk aku raih. Restu untuk seorang perempuan tanpa latar belakang yang hebat sepertiku. "Micko masih belum siap, Jen." Jennieta mengangguk, mafhum. "Kak, apa kalian sudah punya rencana untuk menikah?" Aku tergelak. Jennieta menanyakan apa? Menikah? Siapa? Aku? "Aku belum kepikiran sampai ditahap itu, Jen. Karier kami pun sama-sama sedang baik," jawabku seraya sibuk membolak-balik naskah. "Kalau aku ... aku ingin menikah muda, Kak Anye. Dengan seseorang yang aku cintai, tentunya," tutur Jennieta seraya tersipu. Pipinya yang chubby bersemu merah dan aku tertawa gemas. Mencubit pipinya sekilas dan ia terkekeh. "Aku bakalan datang ke pernikahan kamu nanti deh." "Janji ya, Kak." "Oke." Sayangnya, aku tidak pernah tahu bahwa pada akhirnya, pernikahan Jennieta yang harus aku hadiri, meninggalkan luka yang sangat dalam. Tentu saja, karena sosok yang berdiri di sampingnya, adalah kekasihku, Micko Kasetra.Tanganku sudah dipenuhi balon di sisi kiri dan sisa cokelat di sisi kanan. Lutut terasa bergetar sebab mengikuti pergerakan dua makhluk ajaib yang dikirim dari planet Saturnus. Dua squishy yang sibuk memantul ke sana kemari. Tanpa lelah; dan aku hampir mati. Ya Tuhan! Anak kembar berusia lima tahun ini sepertinya tidak pernah kehabisan energi. "Thea, Anna, kemari. Ayo istirahat dulu sebntar. Kita harus makan siang, kan?" pintaku dengan suara setengah memohon. Thea menoleh –mungkin juga Anna sebab aku tidak tahu- dan berlari menghampiriku. Tak lama, satu squishy lainnya datang dengan tawa yang lebar. Mereka berdiri di depanku dengan senyuman yang mentereng. "Kita makan siang apa, aunty?" Aku diam sejenak. "Pizza? Pasta? Spaghetti?" "Spaghetti," jawab mereka serempak. Aku mengusap kepala mereka berdua lembut, untuk kemudian menggamit dua jemari mereka di sisi kanan dan kiri untuk kemudian masuk ke dalam cafe. Sayangnya, ini bukan cafe Dio. Padahal di sana, aku akan memin
Ini pukul sepuluh malam, sepi. Sebab Naeema dan Sella berkencan dengan pasangan masing-masing. Juga Mark dan Dio yang entah ke mana. Tapi sejak tadi senyum di bibirku yang menjadi aneh. Sungguh! simpul bibir tertarik paksa membentuk senyuman tanpa aku tahu penyebabnya. Tidak ada jokes-jokes aneh milik adikku, Mark. Tidak juga ada pertikaian antara Naeema dan Sella yang membuatku senang. Aku; sendirian. Sepertinya aku terserang virus mematikan. Senyum tanpa sebab!Atau sebabnya adalah senyum milik ... Jaden?Tidak mungkin!Ponselku bergetar. Menghadirkan pesan dengan nomor baru. Boleh jadi ini pesan iseng atau memang 'seseorang' sengaja mengirimkannya. Isinya singkat, penuh nada memerintah dan menyebalkan. Aku mengernyit. Cukup tahu siapa manusia kurang ajar yang mengirimnya.From : xxx-xxx Datang ke Mamma Primi cafe dengan si kembar. To : xxx-xxxApa ini dibayar? Aku pengangguran sekarang.From : xxx-xxx Dasar matrealistis! To : xxx-xxxAku harus hidup di sini.Mau atau tidak?Fr
Seine dan yacht yang melaju lambat. Menampilkan pesona Paris di sekitarnya. Ada Anna dan Thea yang nampak ceria menikmati sandwich. Juga sore sudah disambut semburat orange di sudut sana. Aku berdiri di bagian depan yacht, di sisi Jaden. Laki-laki itu memandang sungai Seine dengan pandangan yang selalu terasa sulit untuk dibaca. Aku mendehem. Berharap, kebekuan mencair. Dan memang Jaden menoleh. "Aktingmu buruk," komentarnya pedas. Aku hanya mencebikkan bibir. "Aku actress yang berbakat, asal kamu tahu." "Kamu mengajari anakku hal-hal tadi?" tanyanya curiga. "Si squishy hanya aku beri pengarahan sedikit. Catat ya, pengarahan. Bukan mengajari detailnya. Anak-anak kamu akan jadi actress hebat seperti aku," jawabku jumawa seraya tertawa. "Aku nggak mau anakku seperti kamu." Dingin. Singkat dan seperti menusukku dengan pisau. Aku menoleh ke arah Jaden. "Maksud kamu?" "Perlu aku jabarkan?" Aku diam; bergeming. "Akting kamu mungkin sangat bagus, tapi kamu membuat skandal memaluka
Instagram, Tiktok, x, dan berbagai portal gosip lainnya sedang memandangku sinis. Ada banyak kalimat lucu yang ditambahkan. Ada banyak ucapan konyol yang dibubuhkan. Itu bumbu. Media memang selalu dipoles semacam itu; agar menjual. Dan itu – Sialan!Aku sebagai objek. Dikuliti oleh berbagai perspektif yang menyudutkan.'Aktris berinisial L-A tertangkap kamera sedang menikmati kencan dengan seorang sutradara''Aktris berinisial L-A menikmati makan malam romantis dengan sutradara besar Indonesia berinisial M''Sutradara M sudah beristri, benarkah ada skandal kencan dengan artis berinisial L-A?''Lihat foto-foto kencan aktris L-A, nomor lima akan buat kamu geleng-geleng kepala'Aku melempar ponselku ke atas nakas. Mengabaikan berbagai macam komentar yang tak bisa lagi aku hitung, klasifikasikan dan cerna. Terlalu banyak. Dan yang bisa aku lakukan sekarang hanya kembali membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, dengan jemari sibuk memijit dahi."Jangan terlalu dipikirkan. Berita itu aka
Cookies, macarons dan tarte tatin dari cafe Dio sibuk bergantian masuk ke dalam mulut. Menemani pagiku yang pengangguran. Sella sejak semalam tidak pulang. Naeema berangkat pagi-pagi buta. Dio apalagi, sepertinya ia berangkat ke cafe saat masih fajar. Tersisa aku yang meringkuk di sofa depan tv dan Mark yang masih terlelap di kamarnya.Aku mengganti beberapa channel secara random. Tak ada yang menarik, hanya berita pagi tentang serangan bom yang dituduhkan pada teroris, atau acara masak-memasak berbagai macam makanan yang membuatku semakin lapar, juga acara olahraga pagi yang membuatku semakin mengantuk.Sial!Hidup sebagai pengangguran ternyata tidak seindah bayangan."Ya Tuhan, perempuan tua ini sungguh nggak punya kerjaan? Kamu kelihatan kaya gelandangan sekarang Kak."Aku menoleh, mendelik ke arah si tersangka bermulut kotor yang menghina dan menyamakanku dengan tunawisma."Woyy!! Aku tendang mulut kamu ya Mark!""Sini kalau kamu bisa. Kamu kan pendek Kak."Aku bangkit dan menenda
Le jules Verne, menara Eiffel lantai dua. Retoran mewah yang menjadi destinasi semua manusia pecinta keindahan. Sebab dari sini, gemerlap Paris nampak jumawa memamerkan diri. Aku, dua squishy dan Jaden. Duduk dalam diam, dengan pikiran saling berkecamuk. Catat tolong. Ini bukan makan malam romantis keluarga bahagia, ya. Bukan! Pandanganku masih sibuk pada hamparan Paris yang menawan. Malam dan kerlap-kerlip lampu yang semarak. Di sampingku, Anna dan Thea sibuk mengunyah steak yang sudah lebih dulu di potong Jaden untuk piring Thea, dan olehku untuk piring Anna. Bukan! Ini masih bukan soal ayah, ibu dan anak-anaknya. Aku hanya kasihan melihat Anna yang ingin segera melahap steak-nya. "Ayah bilang kita pindah ke Paris karena akan bertemu Mama." Anna sibuk mengunyah namun matanya yang berbinar penuh rasa ingin tahu terlihat jelas. Aku menoleh ke arah Jaden. Ingin tahu reaksi dari laki-laki brengsek itu. Jujur, aku ingin tak peduli. Mengabaikan urusan 'rumah tangga' orang lain, s
Aku, Mark dan Naeema termangu; bodoh. Menatap pintu dengan wajah tak percaya. Di sana, berdiri seorang Jaden Pradipta dengan wajahnya yang seperti biasa, dingin. Kemudian dari balik tubuhnya, muncul dua squishy yang tersenyum lebar dan memburu untuk memeluk kakiku. Sontak aku berjongkok, mengalihkan pelukan mereka pada tubuhku. Di tangan keduanya, tergamit boneka pororo dan krong. "Hai Anna, Thea," sapa Naeema. Keduanya tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Naeema tanpa melepas pelukan mereka padaku. "Wah ... Kak, mereka bawa saudara kembar kamu." Aku mendelik ke arah Mark saat ia menunjuk krong sebagai kembaranku. "Aku ... ingin menitipkan mereka padamu. Mama sedang di Colmar. Aku harus pergi ke rumah sakit." Aku menatap Jaden dengan pandangan enggan. Bukan masalah, sebenarnya, saat aku harus menjadi pengasuh Anna dan Thea. Hanya saja aku ingin melihat, sejauh mana harga diri Jaden akan turun demi anak-anaknya. Tiba-tiba Mark dan Naeemaa berdehem untuk selanjutnya meni
Ten Belles cafe, pukul 1 siang. Aku dan dua squishy menghabiskan beberapa cake dengan lahap. Sebab lelah, setelah hampir 3 jam berputar-putar di sekitaran pertokoan Le Marais, mencari hal-hal yang aku butuhkan demi menciptakan 'Anna' dan 'Thea'.Aku merogoh beberapa benda lucu dalam paper bag; hasil dari perburuan kami tadi. Hanya aksesoris rambut dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan dua warna spesifik sesuai kesukaan keduanya. Dan beruntungnya warna yang mereka sukai berbeda. Thea dengan warna putih dan Anna dengan warna biru."Kalau Jad - maksud auntie- ayah kalian tidak bisa memakaikannya, naiklah ke lantai dua. Biar auntie yang pakaikan."Mereka berdua mengangguk dengan sudut bibir yang dipenuhi sisa-sisa cokelat. Aku mengambil tissue dan membersihkan kembali pipi kenyal keduanya. Mereka berdua kembali tersenyum, menghadirkan mata mereka yang menyipit membentuk bulan sabit."Benarkah ini Lyla anyelir Daphne yang aku kenal?"Suara Dio menginterupsi, tak lama berdecit kursi yang
"Kalian semua mengenal perempuan ini, kan? Dia seorang aktris dan menurut berita yang selama ini beredar, ia memiliki hubungan dengan salah satu korban yakni nyonya Lyla Anyelir, Benar?" Pak Polisi tanpa seragam itu mengawali sesi pertanyaannya. Dio dan Mark sesaat terdiam. Kaget, terkejut dan tak menyangka ke arah mana pembicaraan ini akan berujung dengan nama perempuan itu dibawa-bawa. "Jennieta," gumam Jaden Pradipta. "Benar. Dia Jennieta. Dia adalah penyewa truk yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi. Ia juga yang membayar supir truk hitam dengan nomor xxx yang sengaja keluar jalur berlawanan dan menabrakan kendaraannya pada mobil yang kalian kendarai." Mata Jaden memerah, nyalang sekali. Tangannya mengepal kuat, membuat buku-buku jarinya memutih. Ia lantas berbalik, memukul dinding rumah sakit dengan kuat. Sekali, dua kali, enggan berhenti. Para polisi yang terkejut, menoleh pada Dio dan Mark kebingungan. Sementara keduanya langsung memburu, mencoba menghentikan perbuatan Ja
(Point of View 3) Malam itu hujan turun deras, membasahi jalan raya yang mereka lalui dalam perjalanan pulang dari liburan keluarga. Anye, Jaden, Dio, Sella, Mark, Naeema, dan si kembar, Anna dan Thea, berada dalam mobil SUV besar milik Jaden. Mereka tergesa pulang saat Anye memberikan mereka tanda terkait kontraksi; tanda kelahiran si bayi. Anye, yang sedang hamil sembilan bulan, duduk di kursi tengah bersama sang suami. Perutnya yang besar membuatnya harus duduk dengan posisi miring, terus menerus diusap oleh Jaden. Dio yang mengemudi sesekali menoleh; turut panik juga. "Kamu masih baik-baik saja, Sayang?" tanya Jaden dengan nada khawatir. Anye tersenyum lemah sambil mengangguk. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit ... duh! sakit banget Jaden!" seru Anye sambil menjambak rambut Jaden. "Aw! sakit sayang," erang Jaden, tapi tetap pasrah, tidak mengenyahkan jari sang istri dari kepalanya. "Dio, bawa mobilnya lebih cepat. Anye benar-benar bisa bikin aku botak." Di kursi depan, di
"Aku tidak ingin peduli," jawabku tak acuh."Dia merebut Micko dari Anye. Dia benar-benar menyukai si bajingan itu sangat banyak sampai menggunakan berbagai cara untuk merebut kekasih orang lain. Dan sekarang hasilnya, dia benar-benar dicampakkan oleh si brengsek itu. Aku tahu bahwa depresinya berdasar."Aku menyesap hot chocolate-ku dan kembali mengalihkan pandangan ke arah luar. Banyaknya orang dengan tawa-tawa mereka yang bersuka ria. Ternyata, tidak semuanya merasakan hal yang sama. Di beberapa sudut bumi, pastilah banyak orang yang bahkan menganggap hidup terlalu sulit bahkan untuk sekedar menyunggingkan senyum. Jennieta misalnya. Aku waktu dulu, contohnya. Kita sama-sama terperangkap pada rasa putus asa. Tidak lebih hanya karena sebuah kebodohan dalam mencintai seseorang. Benar-benar bodoh, sebab laki-laki yang ingin dipertahankan pun, menengok saja tidak.Ah ... sial!Tiba-tiba aku ingin merengkuh Jennieta dan mengatakan padanya bahwa Micko terlalu bajingan untuk ditangisi sepe
RS. Tjipto, pukul 10 pagi. Aku dan Jaden sedang asik di ruangan dr. Anita, memandangi layar besar di mana bayi kami sedang asik berkomunikasi. Sesekali, dr. Anita memperdengarkan suara detak jantungnya yang seketika membuatku dan Jaden dipenuhi haru. Dokter spesialis kandunganku ini adalah perempuan berusia 45 tahun. Dengan wajah teduh, ia selalu memberikan berbagai tips dan pengetahuan seputar kehamilan dengan mudah diserap dan menyenangkan.Seperti hari ini. Sejak pagi, aku dan Jaden cukup panik. Bayi kecil kami yang biasanya aktif dan bergerak-gerak tak tahu waktu, lebih memilih banyak diam hari ini. Juga bagian ulu hati yang sedikit nyeri, membuatku dan Jaden memutuskan untuk menemui dr. Anita segera. Walau ternyata setelah melalui pemeriksaan, tak ada hal yang mengkhawatirkan. Baik aku maupun bayiku, semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja."Usia kandunganmu sekarang 37 week, Nye. Semuanya sehat dan ia tumbuh menjadi bayi yang pintar. Dalam beberapa minggu lagi, kau sudah
"Siapa ya?" Aku menuju interkom. Sesaat termangu, aku bimbang antara membuka pintu atau tidak. "Micko?"Aku kemudian memilih membuka pintu. Sudah lama aku tidak melihatnya. Laki-laki itu juga bahkan memilih tidak datang di pesta pernikahanku."Ada perlu apa?"Aku tidak mempersilahkan Micko masuk. Memilih menyuruhnya duduk di kursi luar, ia meletakkan sebuah buket bunga mawar berwarna pink."Untuk apa?""Ucapan selamat, Nye." Ia duduk dan menyunggingkan senyum."Selamat untuk?""Pernikahanmu dan juga kehamilanmu.""Baiklah." Aku mengeluarkan ponselku dan melakukan panggilan video pada Jaden. Micko nampak terkejut namun sepertinya ia bersikap setenang mungkin. Harus menunggu hingga dering ke lima, barulah Jaden memunculkan batang hidungnya."Ada seseorang berkunjung dan ingin memberikan selamat pada kita, sayangnya kau sedang di rumah sakit. Kau ingin menyapa?""Siapa?" Jaden meletakkan berkas yang dipegangnya untuk kemudian fokus padaku."Ini." Aku membalik mode kamera hingga menampakk
Dua garis berwarna merah. Aku sudah membuka bungkus yang ke sepuluh dan hasilnya tetap sama. Berkali-kali pula aku mengucek mata, dan hasilnya juga tidak berubah. Meyakinkan hati pun sudah aku lakukan sejak tadi. Namun tetap saja, lagi dan lagi itu terasa seperti mimpi. Seperti bunga tidur yang indah namun terasa was-was kalau sampai bangun dan itu ternyata tidak terjadi. Sedikit banyak, kejadian di Bali membuatku khawatir. Jaden dan harapannya jangan sampai kembali dibuat kecewa."Jadi bagaimana, Nye?"Itu suara Jaden. Ia pasti sedang mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Namun anehnya, ia tidak sendiri. Sella dan yang lainnya juga berada di sana. Juga merasakan cemas yang sama. Entah kami memang sedemikian kompaknya atau level ingin tahu mereka yang terlalu tinggi."Ini."Aku menyerahkan semua hasil test pack yang menyimpulkan hal yang sama. Jaden nampak mematung sesaat namun kemudian meraihku dalam pelukannya. Mengucapkan terima kasih berulang-ulang kali. Mengecup dahiku tanpa
Lihat dua mempelai di altar itu!"Dio!" Aku kembali menjadi Lyla Anyelir yang tidak tahu tempat. Tamu-tamu yang datang bahkan mengalihkan sepenuh atensi mereka padaku. Jangan lupakan Mark, Naeema dan Sella yang tertawa penuh ejekan."Anna benar, kan, ibu? Auntie Sella dan uncle Dio yang menikah. Kenapa ibu tidak percaya padaku?" Anna dan Thea berjumawa. Keduanya berlari ke arah Naeema dan memeluknya seketika. Aku dan Jaden akhirnya mendekat juga."Kau terkejut?" tanya Naeema. Aku memukul lengan gadis itu dan ia kembali tertawa. Lanjutnya, " bukan hanya kau yang terkejut. Kita semua sama terkejutnya."Aku, Naeema, Jaden dan pasang mata tamu lainnya akhirnya benar-benar terfokus ke depan sana. Di mana, Dio dan Sella sedang berjalan bersama menuju pendeta. Keduanya sedang berjalan menuju janji sumpah setia.Aku menyikut Naeema dan setengah berbisik, "Kenapa mereka menikah?""Kau pikir hanya kau yang ingin menikah," bisik Naeema sarkas."Maksudku ... sejak kapan mereka menjalin hubungan?"
Manusia itu hidup dengan terus melihat ke depan. Sebanyak apapun kebahagiaan di masa lalu, waktu tetap berputar seperti biasanya. Pun kesedihan. Sesakit apapun masa lalu memberikan luka, waktu terus berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sudah takdirnya seperti itu. Dan akan tetap begitu.Oke.Begitu juga dengan hidup seorang Lyla Anyelir. Kematian ibuku yang menyesakkan dada itu telah berlalu. Meraung seperti orang gila sekalipun, tetap tidak akan membawa kembali sosoknya padaku. Menjerit sampai suara di tenggorokan terputus sekalipun, tetap tak akan membuatnya bisa menghampiriku lagi. Sampai kapanpun.Itulah sebabnya, hari ini, tepat satu bulan kepergiannya, aku mulai memilih merelakan. Hari-hari sebelumnya yang terasa begitu mendung, sedang aku coba buat cerah kembali. Tawaku yang sirna, lelucon-lelucon bodoh yang entah pergi ke mana, atau semangatku yang tiba-tiba sekarat, kini sedang aku usahakan agar utuh kembali. Sebab ada dua squishy, teman-teman dan adikku, juga suamiku tercin
Aku menghentikan langkah. Jaden juga. Kita berdua saling menatap dalam temaram. Mata Jaden yang pekat menunjukkan keraguan. Di sana bersemayam, seluruh tanya yang menjadi satu. Perihal Dio, atau mungkin bahkan Micko. Terlebih, kejadian beberapa saat lalu, saat aku justru tertawa heboh ketika dokter justru mengatakan bahwa aku belum hamil. Jaden nampak kecewa."Apa karena aku tertawa?""Karena kau nampak tak kecewa," gumamnya.Aku menghela napas. Melangkahkan kaki dalam hitung jari ke depan, melepaskan pelukanku pada lengannya. "Kau boleh meragukanku sebanyak apapun, Jaden. Tapi kau tidak bisa meragukanku hanya karena aku lebih realistis.""Realistis?""Yah ... kau mungkin terlalu terbawa perasaanmu dan bahagia bukan kepalang hingga tidak bisa berpikir realistis, Jaden. Tapi aku tahu diriku sendiri. Kita menikah pun baru hitungan hari. Aku sudah memikirkan itu matang-matang. Jadi bila aku tak kecewa, itu bukan karena aku tidak menginginkan anak darimu. Bukan karena aku tidak bersungguh