Tanganku sudah dipenuhi balon di sisi kiri dan sisa cokelat di sisi kanan. Lutut terasa bergetar sebab mengikuti pergerakan dua makhluk ajaib yang dikirim dari planet Saturnus. Dua squishy yang sibuk memantul ke sana kemari. Tanpa lelah; dan aku hampir mati.
Ya Tuhan! Anak kembar berusia lima tahun ini sepertinya tidak pernah kehabisan energi. "Thea, Anna, kemari. Ayo istirahat dulu sebntar. Kita harus makan siang, kan?" pintaku dengan suara setengah memohon. Thea menoleh –mungkin juga Anna sebab aku tidak tahu- dan berlari menghampiriku. Tak lama, satu squishy lainnya datang dengan tawa yang lebar. Mereka berdiri di depanku dengan senyuman yang mentereng. "Kita makan siang apa, aunty?" Aku diam sejenak. "Pizza? Pasta? Spaghetti?" "Spaghetti," jawab mereka serempak. Aku mengusap kepala mereka berdua lembut, untuk kemudian menggamit dua jemari mereka di sisi kanan dan kiri untuk kemudian masuk ke dalam cafe. Sayangnya, ini bukan cafe Dio. Padahal di sana, aku akan meminta makanan gratis untuk kedua squishy ini. Oke, aku tidak akan jatuh miskin hanya karena dua piring spaghetti. Aku membiarkan mereka duduk dan memesan spaghetti serta ice chocolate. Sembari mendengarkan mereka berceloteh, aku mulai menekuri ponsel. "Anna!" Tak lama, hanya sekitar lima menit setelah makanan datang dan dua makhluk hiperaktif itu sibuk dengan spaghetti mereka, tiba-tiba sebuah suara memekakkan telinga muncul. Dari arah jam 9, berkemeja rapi dengan wajah yang masih selalu menampilkan ekspresi datar. Itu Jaden dan ... perempuan! "Anna muntahin makanannya!" teriak Jaden seraya memijit tengkuk Anna. Aku bingung, perempuan yang bersama Jaden bingung, orang-orang bingung, semua bingung. "Heh, nggak ada racun di makan itu kok! Setidaknya, aku nggak sejahat itu sekalipun aku sangat benci dengan ayah mereka," protesku kesal. Jaden tak mempedulikan. Dia sibuk membuat anaknya memuntahkan makanan yang baru satu atau dua sendok dikunyahnya. Tak lama, Anna sudah mengeluarkan semuanya dengan matanya yang memerah, hidung berair dan sedikit isakan. "Kamu hampir saja meracuni anakku!" Aku terkesiap. Laki-laki menyebalkan, menantu nenek Willie, ayah dari si squishy kembar, membentakku! Lagi dan lagi! "Apa maksud kamu sih brengsek? Aku cuma membelikan mereka makan siang. Kamu pikir apa yang aku lakuin dengan dua squishy ini? Mereka sendirian karena nenek Willie ke dokter. Dia bilang kamu sibuk dengan rapat dokter gigi, nggak tahunya lagi sibuk kencan," sindirku. Entah apa tendensiku sampai harus berbicara sesinis itu. "Dan aku nggak meracuni si squishy!" Aku tersengal. Kesal memuncak dan mata nyalang menatap si arogan Jaden. Bagaimana bisa dia bahkan melontarkan tuduhan paling jahat; meracuni Anna? Hey, meskipun aku tidak terlalu menyukai anak kecil, setidaknya aku masih punya nurani. Mereka tidak perlu dibawa-bawa dalam kebencianku pada si arogan Jaden. "Kencan atau bukan, itu bukan urusan kamu," jawabnya datar. "Sialan! Aku juga nggak peduli soal kencan kamu tuh. Aku cuma nggak terima karena kamu bilang kalau aku meracuni putri kamu, brengsek!" Aku makin menjadi. Kekesalan pada seorang Jaden seperti alat terbaik bagi melampiaskan dendam dan kesakitan untuk seseorang yang jauh di sana. Kemarahan yang begitu ingin aku tunjukkan di hadapan Micko Kasetra. Walau sejatinya, Jaden sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dia. "Aunty ... Daddy ... jangan berantem." Kami terdiam. Mata menoleh ke arah Thea dan Anna yang menangis. Satu di antara mereka memegang lenganku, dan lainnya memegang lengan ayahnya. Jaden nampak kembali membungkuk, mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Anna. Seperti obat, sebab setelahnya Anna meneguk habis air putih. "Jaden ... Kamu bisa jelaskan ini semua?" tanya perempuan yang datang bersama Jaden tadi. Aku mengernyit dan menatap Jaden. Dia menghela napas panjang dan bersiap memberikan penjelasan. Ini seperti drama di mana aku dan kedua anakku menemukan ayahnya sedang kencan dengan perempuan lain? Astaga! "Siapa dia, ayah?" tanya Anna atau Thea. "Jaden, apa? Ayah?" ulang wanita itu dengan nada tak percaya. Oh ... Lyla Anyelir Daphne yang pandai ini sudah bisa membaca situasinya. "Benar nona, ayah, anak-anak dan ibu," jawabku seraya menunjuk ke arah Jaden pada kata 'ayah', pada si squishy kembar saat mengucapkan kata 'anak-anak' dan pada kata 'ibu', menunjuk diriku sendiri. Rasakan kau Jaden! Setidaknya kemampuanku dalam berakting cukup berguna untuk membuat kencan si arogan Jaden jadi batal. "Apa?" Oh ... No! Mampus aku! Wanita itu nampak marah untuk kemudian menampar Jaden bahkan ketika laki-laki itu belum menjelaskan apapun. Tipe-tipe wanita seperti ini adalah peran utama untuk drama-drama Indosiar yang dipenuhi tokoh-tokoh antagonis. "Sekarang silahkan pergi, Maura," usir Jaden dengan ekspresi datarnya. Gila! Aku ingin memberi applause untuk sikap beku seorang Jaden Pradipta. Dia bahkan tidak repot-repot menjelaskan kebohongan yang aku buat dan malah mengusir wanitanya. Sungguh, Jaden jauh, jauh ... jauh dari tipeku! Bah! Kenapa pula aku tiba-tiba memikirkan soal tipe ideal? "Kamu puas?" tanya Jaden dengan ekspresi datar namun penekanan katanya dipenuhi kesal. "Apa?" Aku pura-pura bodoh. Jaden mungkin akan membalas dendam. "Kamu hampir membuat anakku sakit dan kamu mengacaukan janji yang dibuatkan oleh Mama." Aku mengernyit. "Jadi nenek Willie berbohong padaku soal kamu yang rapat dan menyuruhku mengasuh dua squishy? Mengejutkan," kekehku tak percaya. Lanjutku, "Apa Anna alergi sesuatu?" Aku memutar badan Anna beberapa kali hingga nyaris terjerembab. Jaden menepis tanganku dari tubuh putrinya dan mendelik kesal. "Aku nggak sengaja. Hanya ... khawatir," jawabku sungguh-sungguh. "Anna alergi telur." "Tapi dia makan spagh ... Oh My, Carbonara ...." Pertama, aku tidak tahu bahwa Anna alergi telur. Dan kedua, aku juga lupa bahwa spaghetti carbonara memakai telur. "Aku baik-baik saja, aunty ... daddy ...." Aku menoleh ke arah Anna dan refleks mengusap kepalanya. "Maafkan aku, squishy." "Thea juga mau dielus kepalanya aunty," ujar Thea dan dengan menggemaskan memindahkan tanganku ke puncak kepalanya. Aku tak kuasa menahan senyum sebab si squishy menggemaskan. Aku mengusap kepala Anna dan Thea bergantian. "Maaf, aku nggak tahu soal Anna. Dan maaf ... telah membuat kencan butamu berantakan." Aku menatap Jaden dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Dia hanya mengendikkan bahu seraya menatap tak acuh. "Terima kasih," gumamnya lirih. Aku mengernyit. Mencoba memastikan apa yang diucapkan oleh si manusia beku satu ini. "Apa?" "Kamu tuli?" "Sialan, kamu mau ribut lagi?" "Jangan mengumpat di depan anak-anakku." "Tadi kamu bilang apa?" "Nggak ada." "Hey, tadi kamu bilang apa?" "Nggak ada." "Jaden." "Terima kasih, bodoh." Aku tergelak dan dia mengalihkan pandangannya ke sekitar cafe. Aku masih terus tertawa dan berhigh five dengan Anna dan Thea. "Untuk?" "Sebab telah membuat kencan buta yang tidak bisa aku tolak dari mama, batal." Dan untuk kali pertama –sejak pertemuan di Paris- seorang Jaden Pradipta menampilkan senyuman khas dekik di pipinya. Sebuah senyuman singkat namun nampak tulus dan manis. Senyuman paling singkat yang diumbar oleh manusia es bernama Jaden Pradipta. Boleh aku katakan jujur? Dia lebih manis saat tersenyum. Aku ... berani jamin! ^^^^Ini pukul sepuluh malam, sepi. Sebab Naeema dan Sella berkencan dengan pasangan masing-masing. Juga Mark dan Dio yang entah ke mana. Tapi sejak tadi senyum di bibirku yang menjadi aneh. Sungguh! simpul bibir tertarik paksa membentuk senyuman tanpa aku tahu penyebabnya. Tidak ada jokes-jokes aneh milik adikku, Mark. Tidak juga ada pertikaian antara Naeema dan Sella yang membuatku senang. Aku; sendirian. Sepertinya aku terserang virus mematikan. Senyum tanpa sebab!Atau sebabnya adalah senyum milik ... Jaden?Tidak mungkin!Ponselku bergetar. Menghadirkan pesan dengan nomor baru. Boleh jadi ini pesan iseng atau memang 'seseorang' sengaja mengirimkannya. Isinya singkat, penuh nada memerintah dan menyebalkan. Aku mengernyit. Cukup tahu siapa manusia kurang ajar yang mengirimnya.From : xxx-xxx Datang ke Mamma Primi cafe dengan si kembar. To : xxx-xxxApa ini dibayar? Aku pengangguran sekarang.From : xxx-xxx Dasar matrealistis! To : xxx-xxxAku harus hidup di sini.Mau atau tidak?Fr
Seine dan yacht yang melaju lambat. Menampilkan pesona Paris di sekitarnya. Ada Anna dan Thea yang nampak ceria menikmati sandwich. Juga sore sudah disambut semburat orange di sudut sana. Aku berdiri di bagian depan yacht, di sisi Jaden. Laki-laki itu memandang sungai Seine dengan pandangan yang selalu terasa sulit untuk dibaca. Aku mendehem. Berharap, kebekuan mencair. Dan memang Jaden menoleh. "Aktingmu buruk," komentarnya pedas. Aku hanya mencebikkan bibir. "Aku actress yang berbakat, asal kamu tahu." "Kamu mengajari anakku hal-hal tadi?" tanyanya curiga. "Si squishy hanya aku beri pengarahan sedikit. Catat ya, pengarahan. Bukan mengajari detailnya. Anak-anak kamu akan jadi actress hebat seperti aku," jawabku jumawa seraya tertawa. "Aku nggak mau anakku seperti kamu." Dingin. Singkat dan seperti menusukku dengan pisau. Aku menoleh ke arah Jaden. "Maksud kamu?" "Perlu aku jabarkan?" Aku diam; bergeming. "Akting kamu mungkin sangat bagus, tapi kamu membuat skandal memaluka
Instagram, Tiktok, x, dan berbagai portal gosip lainnya sedang memandangku sinis. Ada banyak kalimat lucu yang ditambahkan. Ada banyak ucapan konyol yang dibubuhkan. Itu bumbu. Media memang selalu dipoles semacam itu; agar menjual. Dan itu – Sialan!Aku sebagai objek. Dikuliti oleh berbagai perspektif yang menyudutkan.'Aktris berinisial L-A tertangkap kamera sedang menikmati kencan dengan seorang sutradara''Aktris berinisial L-A menikmati makan malam romantis dengan sutradara besar Indonesia berinisial M''Sutradara M sudah beristri, benarkah ada skandal kencan dengan artis berinisial L-A?''Lihat foto-foto kencan aktris L-A, nomor lima akan buat kamu geleng-geleng kepala'Aku melempar ponselku ke atas nakas. Mengabaikan berbagai macam komentar yang tak bisa lagi aku hitung, klasifikasikan dan cerna. Terlalu banyak. Dan yang bisa aku lakukan sekarang hanya kembali membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, dengan jemari sibuk memijit dahi."Jangan terlalu dipikirkan. Berita itu aka
Cookies, macarons dan tarte tatin dari cafe Dio sibuk bergantian masuk ke dalam mulut. Menemani pagiku yang pengangguran. Sella sejak semalam tidak pulang. Naeema berangkat pagi-pagi buta. Dio apalagi, sepertinya ia berangkat ke cafe saat masih fajar. Tersisa aku yang meringkuk di sofa depan tv dan Mark yang masih terlelap di kamarnya.Aku mengganti beberapa channel secara random. Tak ada yang menarik, hanya berita pagi tentang serangan bom yang dituduhkan pada teroris, atau acara masak-memasak berbagai macam makanan yang membuatku semakin lapar, juga acara olahraga pagi yang membuatku semakin mengantuk.Sial!Hidup sebagai pengangguran ternyata tidak seindah bayangan."Ya Tuhan, perempuan tua ini sungguh nggak punya kerjaan? Kamu kelihatan kaya gelandangan sekarang Kak."Aku menoleh, mendelik ke arah si tersangka bermulut kotor yang menghina dan menyamakanku dengan tunawisma."Woyy!! Aku tendang mulut kamu ya Mark!""Sini kalau kamu bisa. Kamu kan pendek Kak."Aku bangkit dan menenda
Le jules Verne, menara Eiffel lantai dua. Retoran mewah yang menjadi destinasi semua manusia pecinta keindahan. Sebab dari sini, gemerlap Paris nampak jumawa memamerkan diri. Aku, dua squishy dan Jaden. Duduk dalam diam, dengan pikiran saling berkecamuk. Catat tolong. Ini bukan makan malam romantis keluarga bahagia, ya. Bukan! Pandanganku masih sibuk pada hamparan Paris yang menawan. Malam dan kerlap-kerlip lampu yang semarak. Di sampingku, Anna dan Thea sibuk mengunyah steak yang sudah lebih dulu di potong Jaden untuk piring Thea, dan olehku untuk piring Anna. Bukan! Ini masih bukan soal ayah, ibu dan anak-anaknya. Aku hanya kasihan melihat Anna yang ingin segera melahap steak-nya. "Ayah bilang kita pindah ke Paris karena akan bertemu Mama." Anna sibuk mengunyah namun matanya yang berbinar penuh rasa ingin tahu terlihat jelas. Aku menoleh ke arah Jaden. Ingin tahu reaksi dari laki-laki brengsek itu. Jujur, aku ingin tak peduli. Mengabaikan urusan 'rumah tangga' orang lain, s
Aku, Mark dan Naeema termangu; bodoh. Menatap pintu dengan wajah tak percaya. Di sana, berdiri seorang Jaden Pradipta dengan wajahnya yang seperti biasa, dingin. Kemudian dari balik tubuhnya, muncul dua squishy yang tersenyum lebar dan memburu untuk memeluk kakiku. Sontak aku berjongkok, mengalihkan pelukan mereka pada tubuhku. Di tangan keduanya, tergamit boneka pororo dan krong. "Hai Anna, Thea," sapa Naeema. Keduanya tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Naeema tanpa melepas pelukan mereka padaku. "Wah ... Kak, mereka bawa saudara kembar kamu." Aku mendelik ke arah Mark saat ia menunjuk krong sebagai kembaranku. "Aku ... ingin menitipkan mereka padamu. Mama sedang di Colmar. Aku harus pergi ke rumah sakit." Aku menatap Jaden dengan pandangan enggan. Bukan masalah, sebenarnya, saat aku harus menjadi pengasuh Anna dan Thea. Hanya saja aku ingin melihat, sejauh mana harga diri Jaden akan turun demi anak-anaknya. Tiba-tiba Mark dan Naeemaa berdehem untuk selanjutnya meni
Ten Belles cafe, pukul 1 siang. Aku dan dua squishy menghabiskan beberapa cake dengan lahap. Sebab lelah, setelah hampir 3 jam berputar-putar di sekitaran pertokoan Le Marais, mencari hal-hal yang aku butuhkan demi menciptakan 'Anna' dan 'Thea'.Aku merogoh beberapa benda lucu dalam paper bag; hasil dari perburuan kami tadi. Hanya aksesoris rambut dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan dua warna spesifik sesuai kesukaan keduanya. Dan beruntungnya warna yang mereka sukai berbeda. Thea dengan warna putih dan Anna dengan warna biru."Kalau Jad - maksud auntie- ayah kalian tidak bisa memakaikannya, naiklah ke lantai dua. Biar auntie yang pakaikan."Mereka berdua mengangguk dengan sudut bibir yang dipenuhi sisa-sisa cokelat. Aku mengambil tissue dan membersihkan kembali pipi kenyal keduanya. Mereka berdua kembali tersenyum, menghadirkan mata mereka yang menyipit membentuk bulan sabit."Benarkah ini Lyla anyelir Daphne yang aku kenal?"Suara Dio menginterupsi, tak lama berdecit kursi yang
Mata panda, tawa Sella dengan ponsel di telinga, juga Dio yang menatap lembut. Aku terduduk di depan meja makan, pukul 8 pagi waktu Paris. Mengudara rasa kesal sebab si sialan Mark yang hampir meruntuhkan pintu -menggedor tanpa rasa manusiawi- untuk kemudian menyeretku duduk.Aku menghela napas malas, "Jadi ada apa?"Slla yang semula asik bercakap-cakap dengan kekasihnya disambungan telepon mendadak mendekat, mengabaikan ponselnya. Mata memicing penuh curiga."Apa yang kalian lakukan semalam di rumah ini?"Sungguh otakku bergerak layaknya komputer pentium; lambat. Aku menggaruk pelipisku dan kembali bersuara, "Apa maksud kamu?"Sella nampak kesal, Mark sibuk menelisik melalui matanya yang separuh tertutup cangkir sebab menyesap susu hangat, atau Dio dengan tangannya yang sibuk mengoleskan selai cokelat pada roti untuk kemudian meletakkannya di depanku."Terima kasih, penguinku," ujarku seraya meraih roti buatan Dio, menelannya malas."Kamu sungguh akan begini?" Sella masih menanyakan
"Kalian semua mengenal perempuan ini, kan? Dia seorang aktris dan menurut berita yang selama ini beredar, ia memiliki hubungan dengan salah satu korban yakni nyonya Lyla Anyelir, Benar?" Pak Polisi tanpa seragam itu mengawali sesi pertanyaannya. Dio dan Mark sesaat terdiam. Kaget, terkejut dan tak menyangka ke arah mana pembicaraan ini akan berujung dengan nama perempuan itu dibawa-bawa. "Jennieta," gumam Jaden Pradipta. "Benar. Dia Jennieta. Dia adalah penyewa truk yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi. Ia juga yang membayar supir truk hitam dengan nomor xxx yang sengaja keluar jalur berlawanan dan menabrakan kendaraannya pada mobil yang kalian kendarai." Mata Jaden memerah, nyalang sekali. Tangannya mengepal kuat, membuat buku-buku jarinya memutih. Ia lantas berbalik, memukul dinding rumah sakit dengan kuat. Sekali, dua kali, enggan berhenti. Para polisi yang terkejut, menoleh pada Dio dan Mark kebingungan. Sementara keduanya langsung memburu, mencoba menghentikan perbuatan Ja
(Point of View 3) Malam itu hujan turun deras, membasahi jalan raya yang mereka lalui dalam perjalanan pulang dari liburan keluarga. Anye, Jaden, Dio, Sella, Mark, Naeema, dan si kembar, Anna dan Thea, berada dalam mobil SUV besar milik Jaden. Mereka tergesa pulang saat Anye memberikan mereka tanda terkait kontraksi; tanda kelahiran si bayi. Anye, yang sedang hamil sembilan bulan, duduk di kursi tengah bersama sang suami. Perutnya yang besar membuatnya harus duduk dengan posisi miring, terus menerus diusap oleh Jaden. Dio yang mengemudi sesekali menoleh; turut panik juga. "Kamu masih baik-baik saja, Sayang?" tanya Jaden dengan nada khawatir. Anye tersenyum lemah sambil mengangguk. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit ... duh! sakit banget Jaden!" seru Anye sambil menjambak rambut Jaden. "Aw! sakit sayang," erang Jaden, tapi tetap pasrah, tidak mengenyahkan jari sang istri dari kepalanya. "Dio, bawa mobilnya lebih cepat. Anye benar-benar bisa bikin aku botak." Di kursi depan, di
"Aku tidak ingin peduli," jawabku tak acuh."Dia merebut Micko dari Anye. Dia benar-benar menyukai si bajingan itu sangat banyak sampai menggunakan berbagai cara untuk merebut kekasih orang lain. Dan sekarang hasilnya, dia benar-benar dicampakkan oleh si brengsek itu. Aku tahu bahwa depresinya berdasar."Aku menyesap hot chocolate-ku dan kembali mengalihkan pandangan ke arah luar. Banyaknya orang dengan tawa-tawa mereka yang bersuka ria. Ternyata, tidak semuanya merasakan hal yang sama. Di beberapa sudut bumi, pastilah banyak orang yang bahkan menganggap hidup terlalu sulit bahkan untuk sekedar menyunggingkan senyum. Jennieta misalnya. Aku waktu dulu, contohnya. Kita sama-sama terperangkap pada rasa putus asa. Tidak lebih hanya karena sebuah kebodohan dalam mencintai seseorang. Benar-benar bodoh, sebab laki-laki yang ingin dipertahankan pun, menengok saja tidak.Ah ... sial!Tiba-tiba aku ingin merengkuh Jennieta dan mengatakan padanya bahwa Micko terlalu bajingan untuk ditangisi sepe
RS. Tjipto, pukul 10 pagi. Aku dan Jaden sedang asik di ruangan dr. Anita, memandangi layar besar di mana bayi kami sedang asik berkomunikasi. Sesekali, dr. Anita memperdengarkan suara detak jantungnya yang seketika membuatku dan Jaden dipenuhi haru. Dokter spesialis kandunganku ini adalah perempuan berusia 45 tahun. Dengan wajah teduh, ia selalu memberikan berbagai tips dan pengetahuan seputar kehamilan dengan mudah diserap dan menyenangkan.Seperti hari ini. Sejak pagi, aku dan Jaden cukup panik. Bayi kecil kami yang biasanya aktif dan bergerak-gerak tak tahu waktu, lebih memilih banyak diam hari ini. Juga bagian ulu hati yang sedikit nyeri, membuatku dan Jaden memutuskan untuk menemui dr. Anita segera. Walau ternyata setelah melalui pemeriksaan, tak ada hal yang mengkhawatirkan. Baik aku maupun bayiku, semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja."Usia kandunganmu sekarang 37 week, Nye. Semuanya sehat dan ia tumbuh menjadi bayi yang pintar. Dalam beberapa minggu lagi, kau sudah
"Siapa ya?" Aku menuju interkom. Sesaat termangu, aku bimbang antara membuka pintu atau tidak. "Micko?"Aku kemudian memilih membuka pintu. Sudah lama aku tidak melihatnya. Laki-laki itu juga bahkan memilih tidak datang di pesta pernikahanku."Ada perlu apa?"Aku tidak mempersilahkan Micko masuk. Memilih menyuruhnya duduk di kursi luar, ia meletakkan sebuah buket bunga mawar berwarna pink."Untuk apa?""Ucapan selamat, Nye." Ia duduk dan menyunggingkan senyum."Selamat untuk?""Pernikahanmu dan juga kehamilanmu.""Baiklah." Aku mengeluarkan ponselku dan melakukan panggilan video pada Jaden. Micko nampak terkejut namun sepertinya ia bersikap setenang mungkin. Harus menunggu hingga dering ke lima, barulah Jaden memunculkan batang hidungnya."Ada seseorang berkunjung dan ingin memberikan selamat pada kita, sayangnya kau sedang di rumah sakit. Kau ingin menyapa?""Siapa?" Jaden meletakkan berkas yang dipegangnya untuk kemudian fokus padaku."Ini." Aku membalik mode kamera hingga menampakk
Dua garis berwarna merah. Aku sudah membuka bungkus yang ke sepuluh dan hasilnya tetap sama. Berkali-kali pula aku mengucek mata, dan hasilnya juga tidak berubah. Meyakinkan hati pun sudah aku lakukan sejak tadi. Namun tetap saja, lagi dan lagi itu terasa seperti mimpi. Seperti bunga tidur yang indah namun terasa was-was kalau sampai bangun dan itu ternyata tidak terjadi. Sedikit banyak, kejadian di Bali membuatku khawatir. Jaden dan harapannya jangan sampai kembali dibuat kecewa."Jadi bagaimana, Nye?"Itu suara Jaden. Ia pasti sedang mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Namun anehnya, ia tidak sendiri. Sella dan yang lainnya juga berada di sana. Juga merasakan cemas yang sama. Entah kami memang sedemikian kompaknya atau level ingin tahu mereka yang terlalu tinggi."Ini."Aku menyerahkan semua hasil test pack yang menyimpulkan hal yang sama. Jaden nampak mematung sesaat namun kemudian meraihku dalam pelukannya. Mengucapkan terima kasih berulang-ulang kali. Mengecup dahiku tanpa
Lihat dua mempelai di altar itu!"Dio!" Aku kembali menjadi Lyla Anyelir yang tidak tahu tempat. Tamu-tamu yang datang bahkan mengalihkan sepenuh atensi mereka padaku. Jangan lupakan Mark, Naeema dan Sella yang tertawa penuh ejekan."Anna benar, kan, ibu? Auntie Sella dan uncle Dio yang menikah. Kenapa ibu tidak percaya padaku?" Anna dan Thea berjumawa. Keduanya berlari ke arah Naeema dan memeluknya seketika. Aku dan Jaden akhirnya mendekat juga."Kau terkejut?" tanya Naeema. Aku memukul lengan gadis itu dan ia kembali tertawa. Lanjutnya, " bukan hanya kau yang terkejut. Kita semua sama terkejutnya."Aku, Naeema, Jaden dan pasang mata tamu lainnya akhirnya benar-benar terfokus ke depan sana. Di mana, Dio dan Sella sedang berjalan bersama menuju pendeta. Keduanya sedang berjalan menuju janji sumpah setia.Aku menyikut Naeema dan setengah berbisik, "Kenapa mereka menikah?""Kau pikir hanya kau yang ingin menikah," bisik Naeema sarkas."Maksudku ... sejak kapan mereka menjalin hubungan?"
Manusia itu hidup dengan terus melihat ke depan. Sebanyak apapun kebahagiaan di masa lalu, waktu tetap berputar seperti biasanya. Pun kesedihan. Sesakit apapun masa lalu memberikan luka, waktu terus berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sudah takdirnya seperti itu. Dan akan tetap begitu.Oke.Begitu juga dengan hidup seorang Lyla Anyelir. Kematian ibuku yang menyesakkan dada itu telah berlalu. Meraung seperti orang gila sekalipun, tetap tidak akan membawa kembali sosoknya padaku. Menjerit sampai suara di tenggorokan terputus sekalipun, tetap tak akan membuatnya bisa menghampiriku lagi. Sampai kapanpun.Itulah sebabnya, hari ini, tepat satu bulan kepergiannya, aku mulai memilih merelakan. Hari-hari sebelumnya yang terasa begitu mendung, sedang aku coba buat cerah kembali. Tawaku yang sirna, lelucon-lelucon bodoh yang entah pergi ke mana, atau semangatku yang tiba-tiba sekarat, kini sedang aku usahakan agar utuh kembali. Sebab ada dua squishy, teman-teman dan adikku, juga suamiku tercin
Aku menghentikan langkah. Jaden juga. Kita berdua saling menatap dalam temaram. Mata Jaden yang pekat menunjukkan keraguan. Di sana bersemayam, seluruh tanya yang menjadi satu. Perihal Dio, atau mungkin bahkan Micko. Terlebih, kejadian beberapa saat lalu, saat aku justru tertawa heboh ketika dokter justru mengatakan bahwa aku belum hamil. Jaden nampak kecewa."Apa karena aku tertawa?""Karena kau nampak tak kecewa," gumamnya.Aku menghela napas. Melangkahkan kaki dalam hitung jari ke depan, melepaskan pelukanku pada lengannya. "Kau boleh meragukanku sebanyak apapun, Jaden. Tapi kau tidak bisa meragukanku hanya karena aku lebih realistis.""Realistis?""Yah ... kau mungkin terlalu terbawa perasaanmu dan bahagia bukan kepalang hingga tidak bisa berpikir realistis, Jaden. Tapi aku tahu diriku sendiri. Kita menikah pun baru hitungan hari. Aku sudah memikirkan itu matang-matang. Jadi bila aku tak kecewa, itu bukan karena aku tidak menginginkan anak darimu. Bukan karena aku tidak bersungguh