Ten Belles cafe, pukul 1 siang. Aku dan dua squishy menghabiskan beberapa cake dengan lahap. Sebab lelah, setelah hampir 3 jam berputar-putar di sekitaran pertokoan Le Marais, mencari hal-hal yang aku butuhkan demi menciptakan 'Anna' dan 'Thea'.Aku merogoh beberapa benda lucu dalam paper bag; hasil dari perburuan kami tadi. Hanya aksesoris rambut dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan dua warna spesifik sesuai kesukaan keduanya. Dan beruntungnya warna yang mereka sukai berbeda. Thea dengan warna putih dan Anna dengan warna biru."Kalau Jad - maksud auntie- ayah kalian tidak bisa memakaikannya, naiklah ke lantai dua. Biar auntie yang pakaikan."Mereka berdua mengangguk dengan sudut bibir yang dipenuhi sisa-sisa cokelat. Aku mengambil tissue dan membersihkan kembali pipi kenyal keduanya. Mereka berdua kembali tersenyum, menghadirkan mata mereka yang menyipit membentuk bulan sabit."Benarkah ini Lyla anyelir Daphne yang aku kenal?"Suara Dio menginterupsi, tak lama berdecit kursi yang
Mata panda, tawa Sella dengan ponsel di telinga, juga Dio yang menatap lembut. Aku terduduk di depan meja makan, pukul 8 pagi waktu Paris. Mengudara rasa kesal sebab si sialan Mark yang hampir meruntuhkan pintu -menggedor tanpa rasa manusiawi- untuk kemudian menyeretku duduk.Aku menghela napas malas, "Jadi ada apa?"Slla yang semula asik bercakap-cakap dengan kekasihnya disambungan telepon mendadak mendekat, mengabaikan ponselnya. Mata memicing penuh curiga."Apa yang kalian lakukan semalam di rumah ini?"Sungguh otakku bergerak layaknya komputer pentium; lambat. Aku menggaruk pelipisku dan kembali bersuara, "Apa maksud kamu?"Sella nampak kesal, Mark sibuk menelisik melalui matanya yang separuh tertutup cangkir sebab menyesap susu hangat, atau Dio dengan tangannya yang sibuk mengoleskan selai cokelat pada roti untuk kemudian meletakkannya di depanku."Terima kasih, penguinku," ujarku seraya meraih roti buatan Dio, menelannya malas."Kamu sungguh akan begini?" Sella masih menanyakan
Jaden mengalihkan pandangannya ke arah lain dan kembali berdehem, "Soal semalam mungkin?"Duh ... apa Jaden bodoh?Kenapa harus membahas hal yang terjadi semalam? Apa ia ingin mengejekku yang terus menatapnya tanpa bisa menampar wajahnya? Atau dia ingin mengejekku yang dengan bodohnya membiarkan tangan bergerak seperti tanpa tuan, mengusap keningnya, pipinya, hidungnya yang tinggi hingga bibirnya yang merah?Sial!Sial!Sial!Aku masih ingat sekali bagaimana aku dan Jaden yang terkejut saat mendengar suara si squishy; menginterupsi. Menghentikan adu tatap tanpa jeda antara aku dan Jaden yang entah kenapa bisa terjadi. Dan setelahnya, Jaden melenggang pergi dengan menggendong dua squishy tanpa sepatah katapun."Tidak ada yang terjadi semalam, lalu untuk apa aku marah?" jawabku tak acuh. Masih membiarkan fokusku hanya pada rambut Thea. Tidak pada wajah Jaden yang seperti biasa ... tampan!Sial!"Oke."Lihat, kan?Hanya aku yang tidak bisa tidur dan memikirkan kejadian itu hingga memilik
"Lalu, apa kamu masih mencintai suami Jennieta?"Aku terhenyak. "Apa urusan kamu?""Aku juga penasaran."Lalu setelahnya kami sama-sama terdiam. Sibuk menyelami apa yang berkutat dipikiran masing-masing. Saling terdiam tanpa bisa saling menghadirkan jawaban. Terlalu sulit atau bahkan terlalu sakit."Bagaimana bila Mina kembali?"Jaden menghela napas lalu menatap langit. "Aku tidak tahu."Dan Jaden menoleh, "Bagaimana bila Micko rela meninggalkan istrinya demi kamu?"Aku diam, menunduk. Ada hawa panas yang menyerang bagian wajah terkhusus mata. Aku ingin menangis bila mengingat perandai-andaian itu. Bila saja Micko memilihku. Bila saja Micko berani meninggalkan Jennieta. Bila saja Micko tidak membuangku. Bila saja Micko tidak pernah menyanggupi keinginan orang tua mereka untuk menikah dengan Jennieta.Atau ....Bila saja aku memiliki keinginan menikah -tanpa peduli akan karierku lebih cepat- di bandingkan Jennieta.Bila semua hal buruk ini mampu aku cegah, mungkin aku adalah satu-satun
"Kamu perempuan murahan!""Kenapa kamu berpikir begitu, Kak Anye? Kamu yang sejak awal nggak bersungguh-sungguh.""Brengsek! Apa maksud kamu?""Kak Anye seharusnya sadar diri. Coba perhatikan diri Kak Anye, sekali saja. Agar Kak Anye tahu, dunia tidak hanya berputar di sekitar kamu.""Sialan kamu Jen! Kamu benar-benar murahan!""Jennieta, kamu pelacur!""Jennieta sialan!""Cukup Nye! Berhenti mengatakan hal-hal buruk tentang calon istriku!"Sialan!Aku terkejut dan bangun dengan kepala pening. Mimpi buruk terkait Jennieta dan Micko masih senantiasa berputar tanpa tahu waktu. Ini Paris, pukul lima pagi. Membawa mood buruk dan membuat awal hari menjadi hancur. Setelah memejamkan mata beberapa kali, hasilnya tetap nihil. Mata justru sibuk berkutat dengan berbagai abstraksi benda di sekitar. Mengabsen lemari, kaca, bantal, guling, bahkan hingga bathrobe yang tersampir di balik pintu.Ah ... sial!Aku bangkit. Menendang selimut hingga tak beraturan; terserak. Memilih duduk di depan sofa da
Jaden, Anna, Thea dan aku. Duduk dengan hamparan bintang di rooftop sebuah restoran. Menghabiskan steak, sphagetti tanpa unsur telur, beberapa potong eclair dan macarons. Dengan sesekali, Anna dan Thea sibuk bercerita."Ayah, aku ingin menjadi dokter seperti ayah."Itu Thea. Nampak dari ikat rambutnya. Bercerita dengan mulut dipenuhi macarons dan tertawa setelahnya. Jaden hanya tersenyum, mengusap sudut bibir Thea yang kotor."Kalau begitu, kamu harus rajin belajar."Anna dan Thea bersorak; girang."Aku nggak mau menjadi dokter seperti Thea ayah. Boleh, kan?"Jaden mengangguk dan tersenyum. Ia mengusap kepala Anna lembut. "Lalu Anna ingin jadi apa?"Anna mengerling, "Ingin jadi aktris seperti auntie Anye. Juga, ingin cantik seperti auntie."Aku diam dan mengalihkan pandangan pada Jaden. Sebab beberapa waktu lalu, Jaden begitu marah saat aku mengatakan bahwa anak mereka berbakat dibidang akting sepertiku. Nyatanya, Jaden hanya mengangguk dan tersenyum. "Lakukan apapun yang Anna sukai,
Gila!Gila!Gila!Aku seperti idiot, yang memilih menggamit dua squishy dan berlalu dari restoran. Meninggalkan Jaden dan kegiatannya dalam bernostalgia. Meninggalkan Jaden yang masih diam saja dan bertampang bodoh dalam dekapan Mina. Meninggalkan Jaden dan membawa lari anak mereka.Bukankah Lyla Anyelir adalah orang yang tidak waras?Dua squishy sudah terlelap di kamarku. Sedang aku hanya terduduk di balik jendela –yang menghadap ke jalanan Belle Epouqe– dengan gelisah. Entah menanti siapa atau berharap apa. Teramat pasti bukan anak perempuan nenek Willie; Mina."Kak, kamu kenapa? Kaya orang bingung deh," komentar Mark di depan tv."Bukankah kalian makan malam bersama tadi, lantas kenapa Anna dan Thea malah hanya pulang dengan kamu?" Naeema turut rusuh dari balik meja makan.Aku menghela napas panjang. Menoleh ke arah Naeema dan Mark sekilas, untuk kemudian kembali menekuri jalanan di luar jendela."Perempuan itu kembali," gumamku tak jelas."Apa?""Mina," tambahku."Siapa?""Olivia
Bila ada yang mengatakan bahwa Lyla Anyelir bodoh, maka dengan sangat menyesal aku katakan; iya. Buktinya, selama dua tahun aku terus mempertahankan hubungan terlarang dengan suami orang dengan dalih cinta. Dan sekarang, lihat! Aku dengan bodohnya menurut saat Jaden memintaku menjemput Anna dan Thea. Padahal tadi pagi, sudah jelas bahwa ia mengatakan ibu mereka yang akan ke sana. Maksudku yah Jaden mengatakannya secara tersirat.Dua squishy berlari ke arahku, merenggangkan peluk. Mereka berdua berlomba memamerkan hasil karya mereka. Anna yang menggambar seorang putri, sedangkan Thea yang menggambar pemandangan. Aku mengusap kepala mereka, menggumamkan beberapa kalimat pujian untuk kemudian mengusap kepala mereka lembut. Sialnya, kegiatan menyenangkan ini terganggu. Suara seseorang –perempuan- memecah kehangatan.Di sana; di arah jam 9. Berdiri dengan anggun dalam balutan dress berwarna putih. Dia; Olivia Mina Winata."Kau ... Lyla Anyelir?"Dia mengenalku; eksistensiku. Dan tanpa men
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.