Seine, awal musim gugur dan lalu lalang orang. Aku diam, dengan dua kepala squishy yang terlelap di pangkuan. Rintik masih setia di luar jendela Amour cafe, membuat niat pulang terurungkan. Sesekali, Anna bergumam dalam lelap atau Thea yang membuat bebunyian dari giginya yang beradu.Ponsel masih ada di atas meja, di samping piring cake yang tersisa separuh. Di dekat dua gelas hot chocolate yang telah tandas oleh dua makhluk mungil. Dan isinya masih sama, pesan Jaden yang akan datang 15 menit lagi; katanya.Tapi aku tidak terlalu bodoh untuk sekedar menghitung jam. Sebab tidurnya Anna dan Thea sudah menjadi bukti bahwa Jaden adalah pembual.Gila!Ini sudah 3 jam!Seandainya di luar tidak turun hujan, aku tidak akan seperti orang dungu menunggu Jaden menjemput. Aku dan dua squishy bisa naik Metro atau taxi. Semandiri itu; aku.Hey!Memangnya kau siapanya Jaden Pradipta, Nye?"Maaf, Nye. Aku terlambat."Ada Jaden, di depanku. Dengan bajunya yang sedikit basah, rambutnya berantakan dan n
Si brengsek Jaden Pradipta!Kata itu yang tepat untuk ayah dua squishy. Perjalanan dari sungai Seine menuju Belle Epouqe yang dipenuhi bungkam. Tak ada percakapan, tak ada senyum manis apalagi canda hangat.Beku. Seolah musim gugur yang baru akan dimulai dilibas habis oleh musim dingin; terganti. Sedingin itu, Jaden Pradipta.Ia bahkan berlalu dengan menggendong dua squishy tanpa mengucapkan terima kasih. Serta jangan lupakan tatapan matanya yang tajam dan penuh intimidasi.Jaden Pradipta aneh!"Kenapa memasang wajah busuk seperti itu, Nye?"Aku menoleh dan mendapati dua sahabatku, Sella dan Naeema. Keduanya duduk di tepi tempat tidur dengan setangkup snack di tangan."Wajahku cantik, omong-omong," jawabku penuh kesal."Tentu saja cantik. Kalau wajahmu benar busuk, tidak mungkin bisa membuat suami orang bertahan selama dua tahun dalam pelukan."Brengsek kau Naeema!Aku melemparkan bantal ke wajah Naeema, sialnya dia mengelak dan justru mendarat di wajah Sella."Woyy!!" teriak Sella da
Ten Belles cafe, secangkir hot chocolate dan Dio yang sejak lima menit lalu enggan beranjak dari hadapan. Aku mendelik, nyatanya ia justru tersenyum hangat. Membuat keinginan untuk mengusirnya hilang. Lagi pula, ini cafenya, 'kan?Ia menarik kursi di hadapanku. Tangannya tertata rapi di atas meja seperti anak kecil saat berada di kelas. Matanya yang bulat sibuk mengerjap-ngerjap."Baiklah ... baiklah. Apa yang ingin kamu tahu?" Akhirnya aku menyerah. Membiarkan Dio melontarkan tanya sebab sejak masuk ke dalam cafe, wajahku terlipat dengan raut yang busuk; kesal."Kenapa wajah cantik ini, huh?"Aku mendengus mendengar mulut manisnya, namun sekon berikutnya tak urung tersenyum. "Aku hanya sedang sedikit kesal.""Kamu yakin itu sedikit saja?""Memang sedikit," jawabku sengit."Pembohong. Kamu sangat sangat sangat kesal, Nye."Aku menghela napas panjang, mengalihkan atensi ke arah luar cafe. Beberapa pohon Ek, maple dan lainnya nampak mulai menguning bahkan memerah. Musim gugur dan dingin
Sepuluh menit berlalu, pelukan Jaden yang telah terlepas menyisakan canggung yang menggunung. Juga dua squishy yang mendekat, berbagi senyum jahil. Aku dan Jaden mendehem; serempak. Tanpa sengaja. Membuatku saling menoleh dan kembali menambah intensitas ragu sekaligus malu. "Ayah tadi memeluk auntie. Apa itu artinya auntie akan jadi mama kami?" Ucapan Thea sukses membuatku terkejut. Seketika menoleh pada Jaden, namun ekspresi laki-laki itu benar-benar di luar dugaan. Dia tersenyum hangat seraya membelai kepala Anna dan Thea. "Apa ayah dan auntie kelihatan cocok?" Dasar Jaden Pradipta gila! Dan lebih gilanya lagi, Anna serta Thea mengangguk serempak. Mengacungkan dua jempol tangan mereka masing-masing. "Auntie, apa benar akan jadi mama kami?" "Benarkah auntie?" Aku mendelik ke arah Jaden dan laki-laki itu hanya tertawa mengejek seraya mengendikkan bahu. "Bolehkah auntie pikirkan dulu? Ayah kalian sedikit menyebalkan, omong-omong." Dua squishy nampak berpikir. Anna mendekat. "
Aku seperti perempuan gila sejak satu jam lalu. Atau lebih tepatnya, sejak semalam. Jaden adalah yang patut dipersalahkan. Jaden mampu menyihirku menjadi gadis bodoh yang menarik simpul senyum tanpa jeda, sibuk mematut diri di depan cermin dan baju terserak lainnya di lantai. Dan ini, hanya untuk mengantarkan bekal makan siang yang sengaja aku buat untuk seorang Jaden Pradipta.Baju berwarna cerah seperti merah, kuning, hijau hingga perpaduan ketiganya. Atau juga pakaianku dengan warna gelap dan sendu seperti abu-abu, putih hingga pakaian berwarna hitam yang membuatku nampak siap menghadiri pemakaman, pun tak luput dari berbagai uji coba. Gilanya, ini hanya demi sebuah perjumpaan dengan Jaden Pradipta!"Aku tidak tahu kalau kakak sangat sibuk hanya untuk bertemu si dokter gigi," celoteh Mark dari balik pantry.Aku mendengus. Meraih kotak makanan yang telah aku siapkan sebelumnya. "Jangan ikut campur urusan orang dewasa, bocah nakal.""Kamu sudah menerima pernyataan cinta Mas Jaden?"A
Helaian daun maple yang gugur –sebagian berwarna merah dan lainnya kuning- gemerisik terinjak. Tertimpa beban tubuhku dan Jaden, dalam suasana canggung yang menyemarak. Sedangkan dua squishy, sibuk berlarian dan bercanda satu sama lain.Sore yang bisu, namun ramai oleh detak jantungku sendiri. Terlebih, tatkala jari jemari Jadi Pradipta itu menaut sempurna di tanganku. Menjalarkan rasa hangat dan arogan mengusir dingin. Terlebih, senyumnya yang senantiasa terkembang menjadi afiliasi tersendiri dari berbagai kehangatan yang dipunyai dunia.Seberlebihan ini aku dalam mendeskripsi seorang Jaden Pradipta!"Anye ...."Aku menoleh, "Hemm ....""Aku tidak tahu bahwa Paris akan terasa sangat menyenangkan.""Aku juga," lirihku."Aku melarikan diri, Nye."Aku tiba-tiba berhenti. Membalikan tubuhku menghadap Jaden dan menatapnya lekat. "Melarikan diri?""Benar.""Aku rasa ... yang melarikan diri itu adalah aku," gumamku.Jaden tersenyum, namun matanya nampak menerawang. "Mungkin ... kita sama-sa
Dua squishy, cokelat panas dan dan celoteh riang mereka tentang sekolah. Membuatku dan Jaden secara otomatis turut terbawa ceria. Menggeser aroma muram beberapa saat lalu, antara percakapanku dan Jaden. Jaden mengusap kepala Anna, "Jadi, bagaimana dengan perayaan ulang tahun sekolah esok hari?" Anna dan Thea nampak serempak menepuk kening mereka. Menggemaskan saat mereka berdua nampak melupakan hal penting. "Oh My, kami lupa ayah." "Bisakah ayah datang besok?" tanya Thea memohon. "Auntie Nye juga?" tambah Anna. Aku memandang Jaden tak mengerti namun laki-laki itu hanya tersenyum. "Ayah mungkin akan sedikit terlambat sayang. Ada rapat penting di rumah sakit. Tapi sepertinya auntie Nye bisa menemani kalian dari awal acara. Benar, kan, Nye?" Aku sedikit gelagapan. Pandangan mata Anna dan Thea yang penuh harap tentu saja menjadi satu hal yang tidak akan pernah bisa aku tolak. "Tentu, squihsy." "Thank you, auntie." "Kami sayang auntie." Keduanya memburu dalam peluk. Membuatku be
Manusia adalah makhluk serakah. Itu berlaku untukku dan siapa saja. Kesempatan yang telah jauh terlewat, terkadang menimbulkan sesal tanpa bisa disangkal. Ingin merengkuhnya kembali walau mungkin tangan tak pernah bisa meraih lagi. Seperti kutipan sederhana ini;You don't know how much you appreciate something until someone takes it away.Dan biarkan aku menunjukkan kalimat itu untuk perempuan bergaun putih di sana; Mina. Karena kini, aku bisa melihat rona penyesalan dari tindak perilakunya. Perihal dua squishy yang ia 'tukar' dengan popularitasnya. Perihal hatinya yang mungkin telah menyesal sebab 'membuang' keluarga yang telah ia bangun. Mungkin ....Dan ia masih ada di sana. Sedang sibuk membuat dua squishy kebingungan. Maksudku yah semua orang yang ada di sini juga merasa kebingungan. Dia, tiba-tiba berlari ke atas panggung, memeluk dua squishy dan sekarang memberikan pengumuman bahwa dia adalah ibu mereka.Aku ingin melangkah maju, menampar wajah Mina dan membawa dua gadis kecil
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.