Helaian daun maple yang gugur –sebagian berwarna merah dan lainnya kuning- gemerisik terinjak. Tertimpa beban tubuhku dan Jaden, dalam suasana canggung yang menyemarak. Sedangkan dua squishy, sibuk berlarian dan bercanda satu sama lain.Sore yang bisu, namun ramai oleh detak jantungku sendiri. Terlebih, tatkala jari jemari Jadi Pradipta itu menaut sempurna di tanganku. Menjalarkan rasa hangat dan arogan mengusir dingin. Terlebih, senyumnya yang senantiasa terkembang menjadi afiliasi tersendiri dari berbagai kehangatan yang dipunyai dunia.Seberlebihan ini aku dalam mendeskripsi seorang Jaden Pradipta!"Anye ...."Aku menoleh, "Hemm ....""Aku tidak tahu bahwa Paris akan terasa sangat menyenangkan.""Aku juga," lirihku."Aku melarikan diri, Nye."Aku tiba-tiba berhenti. Membalikan tubuhku menghadap Jaden dan menatapnya lekat. "Melarikan diri?""Benar.""Aku rasa ... yang melarikan diri itu adalah aku," gumamku.Jaden tersenyum, namun matanya nampak menerawang. "Mungkin ... kita sama-sa
Dua squishy, cokelat panas dan dan celoteh riang mereka tentang sekolah. Membuatku dan Jaden secara otomatis turut terbawa ceria. Menggeser aroma muram beberapa saat lalu, antara percakapanku dan Jaden. Jaden mengusap kepala Anna, "Jadi, bagaimana dengan perayaan ulang tahun sekolah esok hari?" Anna dan Thea nampak serempak menepuk kening mereka. Menggemaskan saat mereka berdua nampak melupakan hal penting. "Oh My, kami lupa ayah." "Bisakah ayah datang besok?" tanya Thea memohon. "Auntie Nye juga?" tambah Anna. Aku memandang Jaden tak mengerti namun laki-laki itu hanya tersenyum. "Ayah mungkin akan sedikit terlambat sayang. Ada rapat penting di rumah sakit. Tapi sepertinya auntie Nye bisa menemani kalian dari awal acara. Benar, kan, Nye?" Aku sedikit gelagapan. Pandangan mata Anna dan Thea yang penuh harap tentu saja menjadi satu hal yang tidak akan pernah bisa aku tolak. "Tentu, squihsy." "Thank you, auntie." "Kami sayang auntie." Keduanya memburu dalam peluk. Membuatku be
Manusia adalah makhluk serakah. Itu berlaku untukku dan siapa saja. Kesempatan yang telah jauh terlewat, terkadang menimbulkan sesal tanpa bisa disangkal. Ingin merengkuhnya kembali walau mungkin tangan tak pernah bisa meraih lagi. Seperti kutipan sederhana ini;You don't know how much you appreciate something until someone takes it away.Dan biarkan aku menunjukkan kalimat itu untuk perempuan bergaun putih di sana; Mina. Karena kini, aku bisa melihat rona penyesalan dari tindak perilakunya. Perihal dua squishy yang ia 'tukar' dengan popularitasnya. Perihal hatinya yang mungkin telah menyesal sebab 'membuang' keluarga yang telah ia bangun. Mungkin ....Dan ia masih ada di sana. Sedang sibuk membuat dua squishy kebingungan. Maksudku yah semua orang yang ada di sini juga merasa kebingungan. Dia, tiba-tiba berlari ke atas panggung, memeluk dua squishy dan sekarang memberikan pengumuman bahwa dia adalah ibu mereka.Aku ingin melangkah maju, menampar wajah Mina dan membawa dua gadis kecil
Thea kembali terisak. Aku meraih kepala gadis Jaden dalam dekapan. Membiarkannya meluahkan semua perasaan sedih. Aku, lagi dan lagi kembali mendapati diriku. Dalam hitung tahun ke belakang. Ketika mendapati ibuku yang mencoba kembali. Memohon di hadapan ayah dengan berlutut. Dan jujur -demi apapun- perasaanku saat itu tak lebih dari pada sebuah kebencian. Pada ibuku. Pada sifat egoisnya."Thea boleh menangis, tapi ... hanya untuk hari ini. Besok tidak boleh menangis lagi," jawabku lembut. Aku kembali mengusap kepala Thea."Kami malu ke sekolah auntie ...." Itu suara Anna. Ia menunduk. Tangannya sibuk memegang cangkir cokelat hangat."Kenapa?""Karena mungkin teman-teman akan mengejek kami," jawab Anna lirih. Hatiku ... sakit. Bagaimana orang tua sering sekali menjadi sosok yang egois dan mengabaikan keadaan putra-putri mereka."Bagaimana auntie bisa membuat kalian berdua tidak bersedih lagi?" tanyaku hati-hati. Dan itu kesungguhan.Anna dan Thea mendongak, menatapku lekat. "Auntie, ja
Jaden.Jaden.Jaden.Nama itu terus bergaung. Mata bahkan sudah terlalu mengantuk dan ingin mengarungi mimpi. Namun sialnya, kembali wajah Jaden Pradipta dan ekspresinya saat dengan lembut meminta Mina meninggalkannya kini yang tergambar jelas. Mata sayu itu.Raut terluka itu.Dan ketegarannya itu.Menjadi satu hal lagi yang mengisi point 'hebat' milik Jaden dalam ruang hati Lyla Anyelir. Membuatku merasa begitu kagum dan ingin memujinya berkali-kali. Namun sayangnya, sejak kemarin -perjalanan pulang dari sekolah squishy- aku belum melihatnya lagi. Pesanku juga terabai. Meski aku yakin, ia butuh waktu untuk menenangkan diri."Heh, Kenapa Kakak ada di portal gosip lagi?"Mark menerobos masuk ke dalam kamarku tanpa mengetuk pintu. Ia kini telah berdiri dengan raut wajah keheranan, sibuk menggulir isi ponselnya dan duduk di tepi tempat tidurku."Apa kau tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu?""Kak, itu tidak penting. Lihat ini.""Apa?" tanyaku malas.Mark menyodorkan ponselnya. Di dalamn
Naeema, Dio dan Sella duduk di depanku. Segelas cokelat hangat diberikan Dio. Laki-laki bermata bulat itu mengusap jemariku lembut. Seolah bersiap mendengarkan seluruh keluh kesah dari mulutku."Aku tidak tahu bahwa rumor tentang Mina, Jaden dan kau akan bertahan begitu lama. Orang-orang itu seperti tidak ada bosannya menggunjingkan orang lain," komentar Naeema kesal.Sella hanya mengangguk; membenarkan. "Itu semua karena aku punya catatan buruk di masa lalu," jawabku seraya terkekeh."Apa Mina itu tidak mengatakan yang sebenarnya di Indonesia sana?"Aku menggeleng, "Entahlah. Sepertinya tidak. Aku yakin, dia juga dalam posisi sulit. Kebohongannya tentang belum bersuami pasti menimbulkan banyak keterkejutan bagi publik.""Itu salahnya karena menjadi perempuan yang jahat," pungkas Sella dengan nada penuh kesal."Apa kau baik-baik saja, Nye?" Itu suara Dio. Membuatku menundukkan pandang ke arah gelas cokelat hangat yang sudah dua-tiga kali disesap."Aku rasa; tidak.""Lalu apa yang dil
Never love anybody who treats you like you're ordinary – Oscar Wilde.Sepatah kalimat yang diucapkan oleh penyair asal Irlandia membuatku selalu berpikir untuk berhati-hati dengan harapan. Karena bagaimanapun –seperti yang Oscar bilang- jatuh cinta adalah perkara besar. Di mana di dalamnya, semua hal yang awalnya biasa akan berubah menjadi istimewa. Oleh sebab itu, ketika seseorang yang telah kau jatuhkan pilihan padanya dan ia hanya memperlakukanmu secara yah biasa, maka jangan diteruskan. Berhenti. Atau kau akan sakit hati.Dan Jaden tidak demikian.Dia menjadi dari 0,1 % populasi laki-laki di muka bumi yang men-treats pasangannya dengan hal-hal luar biasa. Sehingga, acapkali hati berbisik tentang betapa bodohnya Mina 'membuang' Jaden; dulu.Biar aku jelaskan bagaimana manisnya seorang Jaden Pradipta.Dua minggu lalu, ia membuatkan sebuah sarapan. Hanya pancake dengan siraman sirup maple di atasnya. Namun yang menjadi istimewa, ia melakukannya tepat ketika aku baru saja membuka mata
Gaun berwarna hitam dengan motif transparan di bagian lengan menjadi pilihan setelah 3 jam berkutat. Sebagian terserak di lantai, seluruh isi lemari berhamburan keluar. Mark bahkan menghujaniku dengan berbagai kalimat mengejek perihal aku yang 'heboh' sendiri hanya untuk melihat Christmas Illumination dan makan malam di malam natal.Aku tidak pergi sendiri. Bersama Jaden dan dua squishy tentu saja. dan yah ada Mark, Sella, Naeema dan Dio juga. Aku tidak mengerti kenapa mereka harus melihat Christmas Illumination di hari yang sama. Apa mereka memang sengaja ingin mengacaukan kencanku dengan Jaden dan kedua squishy?Sebentar.Kencan?Huh! Kenapa aku harus merona dengan kata 'kencan'?"Kau cantik sekali, Nye."Dan itu kalimat pertama yang diucapkan oleh Jaden tepat ketika pertama kali kami bersitatap. Saat ia dengan cekatan membukakan pintu mobil dan pipiku yang terjalari rasa hangat. Di belakangku, Sella dan Naeema terkekeh."Terima kasih. Aku memang lahir dengan kecantikan ini."Dan se
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.