Naeema, Dio dan Sella duduk di depanku. Segelas cokelat hangat diberikan Dio. Laki-laki bermata bulat itu mengusap jemariku lembut. Seolah bersiap mendengarkan seluruh keluh kesah dari mulutku."Aku tidak tahu bahwa rumor tentang Mina, Jaden dan kau akan bertahan begitu lama. Orang-orang itu seperti tidak ada bosannya menggunjingkan orang lain," komentar Naeema kesal.Sella hanya mengangguk; membenarkan. "Itu semua karena aku punya catatan buruk di masa lalu," jawabku seraya terkekeh."Apa Mina itu tidak mengatakan yang sebenarnya di Indonesia sana?"Aku menggeleng, "Entahlah. Sepertinya tidak. Aku yakin, dia juga dalam posisi sulit. Kebohongannya tentang belum bersuami pasti menimbulkan banyak keterkejutan bagi publik.""Itu salahnya karena menjadi perempuan yang jahat," pungkas Sella dengan nada penuh kesal."Apa kau baik-baik saja, Nye?" Itu suara Dio. Membuatku menundukkan pandang ke arah gelas cokelat hangat yang sudah dua-tiga kali disesap."Aku rasa; tidak.""Lalu apa yang dil
Never love anybody who treats you like you're ordinary – Oscar Wilde.Sepatah kalimat yang diucapkan oleh penyair asal Irlandia membuatku selalu berpikir untuk berhati-hati dengan harapan. Karena bagaimanapun –seperti yang Oscar bilang- jatuh cinta adalah perkara besar. Di mana di dalamnya, semua hal yang awalnya biasa akan berubah menjadi istimewa. Oleh sebab itu, ketika seseorang yang telah kau jatuhkan pilihan padanya dan ia hanya memperlakukanmu secara yah biasa, maka jangan diteruskan. Berhenti. Atau kau akan sakit hati.Dan Jaden tidak demikian.Dia menjadi dari 0,1 % populasi laki-laki di muka bumi yang men-treats pasangannya dengan hal-hal luar biasa. Sehingga, acapkali hati berbisik tentang betapa bodohnya Mina 'membuang' Jaden; dulu.Biar aku jelaskan bagaimana manisnya seorang Jaden Pradipta.Dua minggu lalu, ia membuatkan sebuah sarapan. Hanya pancake dengan siraman sirup maple di atasnya. Namun yang menjadi istimewa, ia melakukannya tepat ketika aku baru saja membuka mata
Gaun berwarna hitam dengan motif transparan di bagian lengan menjadi pilihan setelah 3 jam berkutat. Sebagian terserak di lantai, seluruh isi lemari berhamburan keluar. Mark bahkan menghujaniku dengan berbagai kalimat mengejek perihal aku yang 'heboh' sendiri hanya untuk melihat Christmas Illumination dan makan malam di malam natal.Aku tidak pergi sendiri. Bersama Jaden dan dua squishy tentu saja. dan yah ada Mark, Sella, Naeema dan Dio juga. Aku tidak mengerti kenapa mereka harus melihat Christmas Illumination di hari yang sama. Apa mereka memang sengaja ingin mengacaukan kencanku dengan Jaden dan kedua squishy?Sebentar.Kencan?Huh! Kenapa aku harus merona dengan kata 'kencan'?"Kau cantik sekali, Nye."Dan itu kalimat pertama yang diucapkan oleh Jaden tepat ketika pertama kali kami bersitatap. Saat ia dengan cekatan membukakan pintu mobil dan pipiku yang terjalari rasa hangat. Di belakangku, Sella dan Naeema terkekeh."Terima kasih. Aku memang lahir dengan kecantikan ini."Dan se
Aku masih di sini. Di tepi sungai Seine dengan dua squishy berlarian. Mereka sibuk berbagi cokelat, meniup gelembung atau membentuk beragam olaf dari gumpalan salju. Sesekali, mereka datang mendekat. Meminta dirapikan syal atau membersihkan rambut dari serpihan salju. Sedang aku; termangu.Jaden dan perasaannya masih menjadi primordial. Aku menjadi satu manusia yang terlalu egois sebab abai dan terlalu mementingkan perasaan sendiri. Padahal, Jaden sudah menjadi manusia paling berusaha. Dengan beragam perlakuan manisnya. Dengan setumpuk keseriusan dalam kata dan perbuatannya.Lalu aku?Batu.Bingung.Buntu.Aku menghela napas. Cup kopi pekat sudah tandas dan pandangan hanya terus berpindah dari Thea, Anna dan sungai Seine. Hingga sebuah suara menginterupsi."Don't let yesterday take up too much of today."Dan aku tahu, itu kalimat milik Will Rogers. Menoleh ke arah pukul 9, Dio dengan coat berwarna cream-nya tersenyum."Mau kopi lagi?"Dan setelah membalas senyumannya, aku menggeleng.
Taman Suropati, pukul 23 malam.Malam ini cerah. Debu halus sedang tidak terlalu egois dan mengganggu banyak orang. Aku duduk di sebuah kursi taman; sendiri. Sesekali menoleh ke kanan dan kiri, memastikan bahwa 'dia' bisa segera datang. Nyatanya, ini sudah satu jam sejak apa yang dijadwalkan diawal.Mengesalkan.Aku meneguk buble tea rasa taro yang tersisa sedikit hingga tandas. Setelahnya, melemparkan botol kosong ke tong sampah dengan kesal, hingga melesat tidak tepat sasaran dan terlempar ke jalanan. Ketika hendak memungutnya, mata menangkap sepasang kaki yang berdiri tak jauh.Aku mendongak dan benar. Itu; dia."Sudah lama menunggu sayang?""Menurutmu?""Aku minta maaf, Nye. Aku ada sedikit urusan," jawabnya dengan wajah memelas.Ia setengah berlari ke arahku, memeluk. Aku bisa mencium wangi parfum favoritnya namun dahi mengernyit."Kau mengganti parfummu?""Hah? Emm ... yah, aku mencoba merk baru. Seseorang memberikannya sebagai hadiah."Aku mengangguk dan tidak terlalu menggubri
Aku ada di sini. Di ruangan serba putih dan aroma obat menyengat. Sebuah tempat di mana bergumul seluruh rasa perih, cemas dan takut. Sebuah tempat yang -siapapun- tidak akan pernah ingin berada di dalamnya.University Hospitals Pitié Salpêtrière- Charles Foix; 21 menit dari Le Marais.Tubuh ini terus gemetar ketika Anna berpindah dari satu ruangan menuju ruangan lainnya. Benturan yang terjadi di kepalanya membuatnya harus segera menjalani operasi. Membuatku bahkan tak diperbolehkan menemani gadis kecil malang itu di dalam ruangan; sendirian.Dan air mataku yang berkejaran bukan hanya satu yang menjadi kawan. Ada Sella, Naeema, Mark, Dio dan nenek Willie. Tentu saja, Jaden juga. Laki-laki itu terus berdiri di depan pintu operasi dengan seluruh wajah yang tak terdeskripsi. Menimbulkan satu keheningan sebab dari mulutnya yang indah, kata demi kata dikunci."Kau seharusnya menjaga cucuku dengan benar!"Aku terhenyak. Suara nenek Willie dengan seluruh tangis yang berderai mengalihkan aten
My memories are inside me; They're not things or place. I can take them anywhere. So ... be careful who you make memories with. Those things can last a lifetime. Begitulah aku; kini. Dalam semburat matahari pagi di akhir Desember dari balik jendela besar, kenangan menyeruak. Tatkala mata masih sibuk berpredasi perihal di mana diri kini, satu persatu masa lalu yang telah lewat berujar. Seperti saling berebut untuk berbicara. Ah ... aku kini ingat. Bahwa Paris dan sejuta kepelikannya tak kalah menyakitkan dari Indonesia. Ada wajah Jaden dengan ekspresi dingin dan datar yang kemudian menampar hati. Dia bergeming, menatap punggungku yang berlalu. Tanpa kalimat lain selain dari kata-kata miliknya yang terindikasi benci. Lalu ... ya Tuhan, Squishy? Bagaimana kabar Anna kini? Meski seluruh sendi terasa ngilu dan kepala yang berat menjadi satu, aku memutuskan mencari ponsel. Sialnya, aku yang bahkan tak tahu ini ada dimana, kembali buntu. Ponsel raib. Coat raib. Tas raib. "Kau s
"Jaden ... tu-tunggu."Terbata-bata dan hampir tak terdengar. Aku mencoba menahan pergerakan Jaden agar tak lagi meninggalkan. Sebab hati, berteriak dengan nelangsa. Perihal Jaden yang kini sedang berbeda.Dia berhenti. Punggungnya yang tegap dan nyaman dijadikan sandaran kini ada di depan mata. Seperti enggan berbalik dan memilih mematung. Memaksa silabel yang susah payah keluar dari dalam mulutku kembali terujar."Jaden ...."Ia berbalik. Menatapku dengan ekspresi yang kembali lagi sulit aku baca. Dingin, datar, juga seperti tanpa rasa. Aku bisa mendengar helaan napasnya."Pulang dan istirahatlah. Kau sakit. Berada di sini hanya akan membuat keadaanmu semakin memburuk."Aku menggeleng. Berkali-kali. Air mata menyeruak disela-selanya."Aku akan di sini dan menunggu Anna.""Anna baik-baik saja. Sekarang lebih baik kau pulang.""Aku -""Aku mohon Nye ...."Dan kembali menjadi perempuan paling cengeng sedunia, aku menangis. Mendapati Jaden menolak keberadaanku di sisinya tepat ketika ia
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.