"Jaden ... tu-tunggu."Terbata-bata dan hampir tak terdengar. Aku mencoba menahan pergerakan Jaden agar tak lagi meninggalkan. Sebab hati, berteriak dengan nelangsa. Perihal Jaden yang kini sedang berbeda.Dia berhenti. Punggungnya yang tegap dan nyaman dijadikan sandaran kini ada di depan mata. Seperti enggan berbalik dan memilih mematung. Memaksa silabel yang susah payah keluar dari dalam mulutku kembali terujar."Jaden ...."Ia berbalik. Menatapku dengan ekspresi yang kembali lagi sulit aku baca. Dingin, datar, juga seperti tanpa rasa. Aku bisa mendengar helaan napasnya."Pulang dan istirahatlah. Kau sakit. Berada di sini hanya akan membuat keadaanmu semakin memburuk."Aku menggeleng. Berkali-kali. Air mata menyeruak disela-selanya."Aku akan di sini dan menunggu Anna.""Anna baik-baik saja. Sekarang lebih baik kau pulang.""Aku -""Aku mohon Nye ...."Dan kembali menjadi perempuan paling cengeng sedunia, aku menangis. Mendapati Jaden menolak keberadaanku di sisinya tepat ketika ia
"You can't make up for lost time. You can only do better in the future, Micko."Aku diam setelahnya. Menghela napas dan memandang wajah Micko yang tertunduk. Sebuah kalimat milik Ashley Ormon yang aku pinjam, sepertinya cukup untuk menjelaskan apa yang ada dalam perasaanku sekarang.Micko mengangkat kepalanya, menatap langit-langit dan menghela napas. Beberapa saat lalu –sekitar 20 menit lalu- Mark dan Dio memilih pergi saat ia datang. Meski, Mark berhasil mendaratkan sebuah tinju di wajah Micko dengan sukses. Beruntungnya Dio mampu melerai itu."Dan masa depan yang kau maksud adalah tidak denganmu, Nye?"Aku mengangguk; lemah."Aku tahu, kesalahanku tidak akan pernah bisa dimaafkan. Tapi Nye, aku datang kembali hingga mencarimu sampai ke Paris itu sungguh karena aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Mengembalikan senyum milikmu yang redup. Aku ... ingin menebus kesalahanku, Nye."Tanganku mengusap punggung tangannya lembut. Berusaha setenang mungkin
"I don't know why they call it heartbreak. It feels like every other part of my body is broken too, Dio."Aku menemukan Dio dalam pandangan buramku. Di dekatku, dalam jarak kurang dari 50 centi. Ada apron yang melingkar juga sebelah tangannya yang tergenggam secangkir cokelat panas. Menatapku penuh. Kedua matanya."Aku yakin kau sedang tak baik-baik saja, Nye."Dia selalu paham apa yang ada di relung paling dalam. Namun dibandingkan bertanya, Dio hanya menarik kursi cafe dan membiarkanku duduk. Setelahnya, cokelat panas sukses ia letakkan di depanku."Tapi sepertinya baik-baik saja buatmu walau keluar dari rumah sakit lebih cepat."Aku masih belum menanggapi. Sebab sibuk menyesap cokelat panas, mata justru berpredasi di seluruh ruangan Ten Belles cafe."No pleasure, no exspressions. Just an illusion of what should of, but was not.""Nye ....""Jaden Pradipta ternyata ilusi, Dio.""Sebenarnya, apa masalah kalian?""Jaden dan Tuhan yang tahu. Tidak maksudku yah satu alasan yang aku tahu
April dan musim semi. Aku terpekur di bawah pohon bunga sakura yang mulai bermekaran. Sesekali mengintip ke beberapa sudut, para pasangan sedang saling memagut. Tak berniat mengganggu, fiksasi netra aku alihkan pada warna pink manis yang tak jauh di sekitar kepala.Bunga yang indah.Meski begitu, Paris dan warna-warni bunga yang mulai menghiasi tiap inch-nya, tidak dengan mudahnya membinasakan perasaan kecewa. Sebuah retak yang diukir Jaden yah maksudku oleh keadaan. Kesalahpahaman yang mengakar kuat, membuat keduanya menjauh dengan sendirinya. Tanpa ada kemauan untuk saling mengejar. Untuk saling mencari pemahaman."Sometimes ... you meet someone who means the only your life realize in the end you have to let go."Itu adalah sebaris kalimat pembuka dalam surat yang Jaden tinggalkan. Selalu terngiang dan membuat keinginan untuk kembali mengulang membacanya kembali mengerat. Dan itu; sudah di tangan. Sebuah surat bersampul biru."Aku tidak tahu bahwa perasaanku padamu bisa terasa seber
Halim Perdanakusuma, musim semi dan masih pukul 10 pagi. Aku bergegas dengan ditemani Dio untuk segera meninggalkan bandara. Beberapa kamera baik wartawan maupun manusia penghuni bumi yang tidak berkepentingan sama sekali mulai menyorot. Beberapa juga bahkan berbisik menyambut kembalinya seorang Lyla Anyelir yang hampir setahun silam mereka antar menuju Paris dengan caci maki.Aku mengeratkan genggaman pada koper. Dio yang tahu gelagat cemas dariku segera membantuku menyelesaikan perjalanan di bandara dan mencari taksi. "Jangan hiraukan mereka," hiburnya.Aku mengangguk. Berjalan lebih cepat dari biasanya dan segera masuk ke dalam taksi. Sejak telepon Thea dan Anna dua hari lalu, fokus utama dalam kepala hanya terus menerus tentang Jaden Pradipta.Bagaimana keadaannya?Sebenarnya ia sakit apa?Apa keputusanku untuk datang padanya adalah tepat?Dan entahlah. Terlalu banyak pikiran yang menyemut di otak, hingga keragu-raguan yang selama ini menyelimuti perihal menyusul Jaden mendadak k
Kami kembali dalam keheningan. Segelas vanilla latte dan macarons tertata apik di meja. Belum tersentuh. Americano Jaden juga. Sebab kami –keduanya- masih sibuk menyelami pikiran masing-masing. Seperti aku yang berusaha mengendalikan diri setelah Jaden mengatakan rindu tadi. Mungkin juga Jaden sedang memikirkan hal yang sama. Atau tidak. Entahlah."Apa kabarmu, Nye?"Aku menatap keluar jendela cafe. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan rutinitasnya."Aku baik-baik saja. Kau?""Aku tidak begitu baik.""Kenapa?""Apa kau lupa? Aku patah hati."Aku menghela napas kasar. Mengaduk vanilla latte dengan kasar."Oleh?""Kau," tudingnya tanpa aba-aba."Aku sudah membaca suratmu dan aku benar-benar marah.""Kenapa? Bukankah seharusnya aku yang marah?""Kenapa harus kau yang marah?""Jangan berbelit-belit, Nye. Aku yang sedang patah hati di sini."Pembicaraan ini sungguh mengesalkan. Apa keputusanku untuk datang ke Jakarta benar-benar sia-sia?"Aku juga patah hati, omong-omong.""Apa Micko m
Anna dan Thea. Dua gadis milik Jaden yang mampu mengubah pandanganku perihal anak kecil. Dua gadis periang yang hanya mendengar mereka menangis saja –yah karena Jaden juga- membuatku datang jauh-jauh dari Paris tanpa rencana. Anna dan Thea; mereka memelukku sekarang."Kenapa menangis, squishy?"Anna merenggangkan sedikit pelukannya. Ditatapnya aku dengan netra bulat yang berurai air mata menggemaskan. Ia menggelembungkan pipi dan bertingkah merajuk."Auntie jahat. Kenapa baru datang sekarang?"Aku pura-pura berpikir. Mataku teralih pada Thea yang masih tergugu."Sebelum itu, biarkan auntie bertanya. Siapa yang mengajari kalian berdua berbohong?"Mereka berdua diam. Saling berpandangan."Mengakulah."Mereka masih bergeming."Baiklah, karena tidak ada yang mengaku maka auntie putuskan untuk kembali ke Paris."Aku pura-pura beranjak. Namun anehnya, yang terkejut bukan hanya Anna dan Thea melainkan ayah mereka juga. Jaden dengan terburu bangkit dan menahan lenganku.Apa Jaden sungguh tida
"You wanna know who i'm in love with? Read the first word again."You.You.You.Jaden Pradipta gila!Dia benar-benar keterlaluan sebab mengirimkan sebuah buket bunga mawar berwarna pink yang dijalin indah dengan rangkaian lily serta baby breath. Dan lebih menggelikannya lagi –yah walau aku juga suka- dia menuliskan pesan singkat itu.Satu kata yang terus bergaung dengan malu-malu dalam benak. Betapa itu merujuk hanya padaku, Lyla Anyelir seorang. You; katanya?Dasar laki-laki buaya.Aku masih diam dengan mata yang berpendar di sekitar buket bunga dari Jaden. Rasanya ini aneh dan sedikit memalukan. Namun, Jaden memang luar biasa sukses membuat hatiku layaknya gadis remaja yang baru menginjak masa pubertas. Berbunga-bunga dengan seluruh aroma pink manis. Hal ini tentu saja tidak lain sebab lamarannya beberapa malam lalu sukses aku terima. Tanpa berpikir panjang. Tanpa perdebatan seperti sebelum-sebelumnya. Dan tentu saja tanpa mengungkit luka lama.Asik memikirkan manisnya seorang Jad
Hujan turun dengan lembut di luar jendela ketika Thea duduk di ruang tamu rumah orang tuanya, menatap kedua orang yang telah membesarkannya dengan sorot mata serius. Ia sudah mempertimbangkan ini sejak lama, tetapi malam itu, ia tahu bahwa ia tidak bisa menunda lagi."Ayah, Ibu, aku ingin bicara soal Anna," ucapnya, suaranya bergetar sedikit. Ia sebenarnya tidak ingin mengatakan hal ini pada kedua orang tuanya. Salah-salah, ia dan Anna bisa diseret pulang ke rumah dan ttidak akan diizinkan lagi tinggal terpisah di apartemen. Tapi sepertinya, setelah dipikir lagi, ini urgent. Perubahan Anna terlalu menakutkan bagi Thea.Jaden dan Anyelir bertukar pandang. Sudah beberapa hari ini mereka memang merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Thea, tapi mereka tidak menduga bahwa itu berhubungan dengan Anna."Ada apa dengan Anna?" tanya Anyelir, suaranya lembut namun penuh perhatian.Thea menarik napas dalam, mencoba merangkai kata dengan hati-hati. "Sejak dia bertemu dengan Dylan Louise, dia ber
Anna tidak pernah menyangka, hanya dalam hitungan detik, dunia yang selama ini ia kenal bisa runtuh begitu saja. Dua hari sudah ia mendiamkan Thea, dan saudari kembarnya itu pun tampaknya menyerah. Biasanya, Thea akan menggedor pintu kamarnya dan memaksa bicara, atau setidaknya menyelinap ke tempat tidurnya dengan alasan ingin tidur bersama seperti dulu. Tapi kali ini berbeda. Thea hanya membiarkan Anna dengan amarah dan kekecewaannya sendiri. Bahkan di kampus, mereka saling menghindar, seolah-olah tidak pernah mengenal satu sama lain. Pagi itu, ketika bel apartemen berbunyi, Anna yang pertama kali membukanya. Dan di sana berdiri ibunya, Anyelir, dengan senyum lembut dan sekantong besar makanan. "Pagi, anak-anak Ibu. Kok cemberut?" tanya Anyelir sambil melangkah masuk. Thea yang baru keluar dari kamar langsung menyambut ibunya, sementara Anna mencoba bersikap biasa, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Anyelir, dengan insting keibuannya, langsung menangkap sesua
Suasana apartemen terasa sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang menggantung, seperti angin sebelum badai. Jaden duduk di sofa, matanya tajam menelisik kedua putrinya yang berdiri di hadapannya. Seolah ini adalah sebuah persidangan, di mana ia adalah hakim, dan kedua putrinya adalah terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anna, yang biasanya penuh percaya diri, tampak menciut. Punggungnya sedikit membungkuk, kepalanya menunduk, tangannya saling meremas. Sementara itu, Thea duduk di sandaran sofa dengan ekspresi santai. Ia menatap ayahnya dengan mata jernih, tidak gentar sedikit pun. Mungkin karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak seperti kembarannya yang terlihat seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Jaden menghela napas panjang, lalu bersuara. Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada marah yang berusaha ia tahan. “Siapa laki-laki itu?” Anna menelan ludah. “Dia... Dylan Louise. Salah satu mahasiswa di ENS,” j
Angin malam berembus pelan di Paris, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan sore tadi. Dari balik jendela apartemen, lampu-lampu kota menyala seperti kunang-kunang yang menari di antara bangunan tua nan kokoh. Anna duduk bersila di sofa, matanya berbinar, bibirnya tak henti-hentinya berceloteh tentang sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Atau lebih tepatnya, seseorang. "Thea, kamu nggak ngerti! Ini takdir!" seru Anna sambil merentangkan tangannya dramatis. Thea, yang tengah bersandar dengan sebuah buku di pangkuannya, hanya mengangkat sebelah alis. "Takdir? Kamu baru ketemu dia sekali, Anna." Anna mendesah panjang. "Bukan masalah berapa kali ketemu. Tapi gimana rasanya saat pertama kali melihat dia. Dadaku langsung berdebar, kakiku melemah, dan dunia serasa berhenti berputar!" Thea menahan tawa. "Kamu yakin itu bukan karena kamu kelaparan?" Anna melempar bantal ke arah saudara kembarnya. "Aku serius! Ini yang namanya cinta pada pandangan pertama!" Thea menan
Pagi di Paris selalu indah, dengan angin musim gugur yang berhembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe di sepanjang jalan. Anna dan Thea berjalan berdampingan menuju ENS Paris, universitas tempat mereka menimba ilmu. Di tangan masing-masing, ada setumpuk buku dan catatan, seolah menjadi perpanjangan dari diri mereka yang haus akan ilmu.“Aku masih belum terbiasa bangun pagi di sini,” keluh Thea sambil menguap, sesekali menyesap kopi dari gelas kertas yang ia bawa.Anna tertawa kecil. “Makanya, jangan begadang nonton film terus.”Thea hanya mendengus. “Bukan salahku kalau inspirasi datangnya pas malam.”Mereka akhirnya sampai di halaman kampus yang luas dan klasik. Gedung-gedung tua dengan pilar-pilar tinggi berdiri megah, membawa aura akademik yang serius namun menggoda untuk dieksplorasi. Saat mereka melewati gerbang utama, Thea menoleh ke arah Anna.“Oke, sampai sini kita berpisah. Jangan lupa makan siang,” pesan Thea.“Kamu juga,” jawab Anna sambil melambaikan tangan sebelum
Hari itu, apartemen Anna dan Thea terasa lebih ramai dari biasanya. Aroma makanan yang menggugah selera memenuhi udara ketika Anye sibuk mengeluarkan berbagai bekal dari tas belanjaannya. Bhumi, adik bungsu mereka, sudah tak sabar ingin bermain, sementara Jaden—meski masih memasang wajah dingin—duduk di sofa, matanya mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. “Kenapa Mama bawa makanan sebanyak ini?” keluh Thea, melipat tangan di dada sambil melihat tumpukan kotak makanan di meja makan. Anye tersenyum lembut. “Kalian pasti belum terbiasa masak sendiri. Lagipula, Mama kan tahu makanan kampus itu nggak selalu enak.” Anna tertawa kecil sambil membuka salah satu kotak. “Astaga, ini ayam woku favoritku! Thanks, Ma!” Bhumi, yang sejak tadi sudah berseliweran, menarik tangan Anna dengan penuh semangat. “Kak Anna, Kak Thea, kita main game, yuk! Aku bawa console biar seru!” Thea mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Ya ampun, Bhumi. Kamu pikir kita di rumah?” “Tapi ini juga rumah Kak
Paris pagi itu menyambut Anna dan Thea dengan matahari yang masih malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui jendela besar apartemen mereka yang baru, menyorot tumpukan kardus yang belum sepenuhnya dibongkar. Aroma roti panggang yang mulai menghangus di toaster membuat Thea mengerutkan hidungnya.“Astaga, Anna, roti bakarmu gosong!” seru Thea, buru-buru mengambil roti dari toaster dan meniupinya seakan itu bisa mengembalikan kelezatannya.Anna, yang sedang sibuk berbicara di telepon, hanya melambai tanpa benar-benar mendengar peringatan adiknya. Ia bersandar di meja dapur dengan ponsel menempel di telinganya, suaranya terdengar lembut dan penuh kerinduan.“Iya, Bhumi, Kakak janji bakal sering pulang. Jangan nangis terus, ya?” katanya, senyum tersungging di wajahnya.Dari seberang, terdengar suara rengekan Bhumi yang merajuk. “Tapi rumah jadi sepi banget, Kak…”Anna terkekeh. “Ya, kan ada Mama dan Papa. Lagian, kamu juga bisa video call Kakak kapan aja.”Thea, yang sejak tadi
Suara resleting koper menggema di kamar yang selama hampir dua dekade menjadi tempat paling aman bagi Anna dan Thea. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela, membentuk siluet dua gadis yang tengah sibuk mengemasi barang-barang mereka. Rak buku yang penuh dengan novel klasik, meja rias yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka, semua tampak sama—hanya saja, malam ini, kamar itu terasa lebih sepi.Anna melipat sweater birunya dengan hati-hati, sementara Thea menyusun buku-bukunya ke dalam tas ransel hitam. Tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, hanya hembusan napas panjang dan detak jantung yang bergemuruh.Pintu kamar berderit pelan. Anyelir berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh dengan harapan yang terselubung oleh kecemasan. Ia memandang putri-putrinya, dua gadis yang dulu digendongnya saat bayi, kini berdiri di hadapannya dengan tekad yang tak bisa digoyahkan."Anna, Thea... Mama mohon, pikirkan lagi keputusan kalian," suara Anyelir terdengar lembut, sep
Langit Paris pagi itu mendung, tetapi jalanan tetap hidup dengan suara langkah kaki dan deru mobil yang melintas. Di apartemen bergaya klasik di arrondissement ke-7, keluarga Jaden baru saja memulai rutinitas harian mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi dapur, menyatu dengan wangi croissant dari oven Anye."Anna, Thea, ayo cepat! Papa nggak mau terlambat ngantar kalian," suara Jaden menggema dari ruang tamu. Ia berdiri di depan pintu dengan mantel panjang hitamnya. Seperti biasa, ia memegang kendali penuh atas jadwal kedua putrinya, memastikan mereka selalu tiba tepat waktu di kampus."Kami tahu, Papa," jawab Anna malas sambil menuruni tangga. "Tapi kalian harus percaya, kami bisa naik metro sendiri."Jaden menggelengkan kepala. "Tidak ada diskusi. Papa nggak mau sesuatu terjadi di luar sana. Kalian masih muda, dunia tidak seaman yang kalian pikir."Thea hanya melirik ke arah Anna dengan tatapan jengkel, tetapi keduanya tak berkata apa-apa lagi.Papanya selalu saja begitu. Men