"You can't make up for lost time. You can only do better in the future, Micko."Aku diam setelahnya. Menghela napas dan memandang wajah Micko yang tertunduk. Sebuah kalimat milik Ashley Ormon yang aku pinjam, sepertinya cukup untuk menjelaskan apa yang ada dalam perasaanku sekarang.Micko mengangkat kepalanya, menatap langit-langit dan menghela napas. Beberapa saat lalu –sekitar 20 menit lalu- Mark dan Dio memilih pergi saat ia datang. Meski, Mark berhasil mendaratkan sebuah tinju di wajah Micko dengan sukses. Beruntungnya Dio mampu melerai itu."Dan masa depan yang kau maksud adalah tidak denganmu, Nye?"Aku mengangguk; lemah."Aku tahu, kesalahanku tidak akan pernah bisa dimaafkan. Tapi Nye, aku datang kembali hingga mencarimu sampai ke Paris itu sungguh karena aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin mengulang semuanya dari awal. Mengembalikan senyum milikmu yang redup. Aku ... ingin menebus kesalahanku, Nye."Tanganku mengusap punggung tangannya lembut. Berusaha setenang mungkin
"I don't know why they call it heartbreak. It feels like every other part of my body is broken too, Dio."Aku menemukan Dio dalam pandangan buramku. Di dekatku, dalam jarak kurang dari 50 centi. Ada apron yang melingkar juga sebelah tangannya yang tergenggam secangkir cokelat panas. Menatapku penuh. Kedua matanya."Aku yakin kau sedang tak baik-baik saja, Nye."Dia selalu paham apa yang ada di relung paling dalam. Namun dibandingkan bertanya, Dio hanya menarik kursi cafe dan membiarkanku duduk. Setelahnya, cokelat panas sukses ia letakkan di depanku."Tapi sepertinya baik-baik saja buatmu walau keluar dari rumah sakit lebih cepat."Aku masih belum menanggapi. Sebab sibuk menyesap cokelat panas, mata justru berpredasi di seluruh ruangan Ten Belles cafe."No pleasure, no exspressions. Just an illusion of what should of, but was not.""Nye ....""Jaden Pradipta ternyata ilusi, Dio.""Sebenarnya, apa masalah kalian?""Jaden dan Tuhan yang tahu. Tidak maksudku yah satu alasan yang aku tahu
April dan musim semi. Aku terpekur di bawah pohon bunga sakura yang mulai bermekaran. Sesekali mengintip ke beberapa sudut, para pasangan sedang saling memagut. Tak berniat mengganggu, fiksasi netra aku alihkan pada warna pink manis yang tak jauh di sekitar kepala.Bunga yang indah.Meski begitu, Paris dan warna-warni bunga yang mulai menghiasi tiap inch-nya, tidak dengan mudahnya membinasakan perasaan kecewa. Sebuah retak yang diukir Jaden yah maksudku oleh keadaan. Kesalahpahaman yang mengakar kuat, membuat keduanya menjauh dengan sendirinya. Tanpa ada kemauan untuk saling mengejar. Untuk saling mencari pemahaman."Sometimes ... you meet someone who means the only your life realize in the end you have to let go."Itu adalah sebaris kalimat pembuka dalam surat yang Jaden tinggalkan. Selalu terngiang dan membuat keinginan untuk kembali mengulang membacanya kembali mengerat. Dan itu; sudah di tangan. Sebuah surat bersampul biru."Aku tidak tahu bahwa perasaanku padamu bisa terasa seber
Halim Perdanakusuma, musim semi dan masih pukul 10 pagi. Aku bergegas dengan ditemani Dio untuk segera meninggalkan bandara. Beberapa kamera baik wartawan maupun manusia penghuni bumi yang tidak berkepentingan sama sekali mulai menyorot. Beberapa juga bahkan berbisik menyambut kembalinya seorang Lyla Anyelir yang hampir setahun silam mereka antar menuju Paris dengan caci maki.Aku mengeratkan genggaman pada koper. Dio yang tahu gelagat cemas dariku segera membantuku menyelesaikan perjalanan di bandara dan mencari taksi. "Jangan hiraukan mereka," hiburnya.Aku mengangguk. Berjalan lebih cepat dari biasanya dan segera masuk ke dalam taksi. Sejak telepon Thea dan Anna dua hari lalu, fokus utama dalam kepala hanya terus menerus tentang Jaden Pradipta.Bagaimana keadaannya?Sebenarnya ia sakit apa?Apa keputusanku untuk datang padanya adalah tepat?Dan entahlah. Terlalu banyak pikiran yang menyemut di otak, hingga keragu-raguan yang selama ini menyelimuti perihal menyusul Jaden mendadak k
Kami kembali dalam keheningan. Segelas vanilla latte dan macarons tertata apik di meja. Belum tersentuh. Americano Jaden juga. Sebab kami –keduanya- masih sibuk menyelami pikiran masing-masing. Seperti aku yang berusaha mengendalikan diri setelah Jaden mengatakan rindu tadi. Mungkin juga Jaden sedang memikirkan hal yang sama. Atau tidak. Entahlah."Apa kabarmu, Nye?"Aku menatap keluar jendela cafe. Orang-orang berlalu lalang, sibuk dengan rutinitasnya."Aku baik-baik saja. Kau?""Aku tidak begitu baik.""Kenapa?""Apa kau lupa? Aku patah hati."Aku menghela napas kasar. Mengaduk vanilla latte dengan kasar."Oleh?""Kau," tudingnya tanpa aba-aba."Aku sudah membaca suratmu dan aku benar-benar marah.""Kenapa? Bukankah seharusnya aku yang marah?""Kenapa harus kau yang marah?""Jangan berbelit-belit, Nye. Aku yang sedang patah hati di sini."Pembicaraan ini sungguh mengesalkan. Apa keputusanku untuk datang ke Jakarta benar-benar sia-sia?"Aku juga patah hati, omong-omong.""Apa Micko m
Anna dan Thea. Dua gadis milik Jaden yang mampu mengubah pandanganku perihal anak kecil. Dua gadis periang yang hanya mendengar mereka menangis saja –yah karena Jaden juga- membuatku datang jauh-jauh dari Paris tanpa rencana. Anna dan Thea; mereka memelukku sekarang."Kenapa menangis, squishy?"Anna merenggangkan sedikit pelukannya. Ditatapnya aku dengan netra bulat yang berurai air mata menggemaskan. Ia menggelembungkan pipi dan bertingkah merajuk."Auntie jahat. Kenapa baru datang sekarang?"Aku pura-pura berpikir. Mataku teralih pada Thea yang masih tergugu."Sebelum itu, biarkan auntie bertanya. Siapa yang mengajari kalian berdua berbohong?"Mereka berdua diam. Saling berpandangan."Mengakulah."Mereka masih bergeming."Baiklah, karena tidak ada yang mengaku maka auntie putuskan untuk kembali ke Paris."Aku pura-pura beranjak. Namun anehnya, yang terkejut bukan hanya Anna dan Thea melainkan ayah mereka juga. Jaden dengan terburu bangkit dan menahan lenganku.Apa Jaden sungguh tida
"You wanna know who i'm in love with? Read the first word again."You.You.You.Jaden Pradipta gila!Dia benar-benar keterlaluan sebab mengirimkan sebuah buket bunga mawar berwarna pink yang dijalin indah dengan rangkaian lily serta baby breath. Dan lebih menggelikannya lagi –yah walau aku juga suka- dia menuliskan pesan singkat itu.Satu kata yang terus bergaung dengan malu-malu dalam benak. Betapa itu merujuk hanya padaku, Lyla Anyelir seorang. You; katanya?Dasar laki-laki buaya.Aku masih diam dengan mata yang berpendar di sekitar buket bunga dari Jaden. Rasanya ini aneh dan sedikit memalukan. Namun, Jaden memang luar biasa sukses membuat hatiku layaknya gadis remaja yang baru menginjak masa pubertas. Berbunga-bunga dengan seluruh aroma pink manis. Hal ini tentu saja tidak lain sebab lamarannya beberapa malam lalu sukses aku terima. Tanpa berpikir panjang. Tanpa perdebatan seperti sebelum-sebelumnya. Dan tentu saja tanpa mengungkit luka lama.Asik memikirkan manisnya seorang Jad
The Heritage, by Anne Avantie. Pukul 02 siang. Aku dan Jaden masih terus asik berdiskusi perihal wedding dress yang akan kita kenakan di hari penting itu. Ditemani dua orang pegawai boutique, beberapa pilihan telah kami tentukan. Sebenarnya, lebih kepada aku. Jaden sejak tadi hanya terus menurut dan mengatakan akan menyetujui apapun pilihanku. Ini boutique rekomendasi hampir seluruh temanku. Beberapa sahabatku dan teman-teman Jaden memang sudah tahu perihal rencana ini. Namun beruntungnya, belum ada satupun kabar yang bocor ke media. Melegakan; lebih tepatnya. Entah mengapa, saat ini aku benar-benar ingin menikmati hari pentingku hanya bersama orang-orang yang menyayangiku. Aku takut; jujur saja. Bayangan masa lalu dan serapah yang turut menyertainya terasa masih begitu nyata. Walau aku menikahi Jaden yang secara hukum legal berstatus single, tapi tetap saja di belakangnya ada nama Mina. Terbukti, beberapa waktu lalu, kedekatan ini menuai perdebatan dan tentu gunjingan. "Kenapa m
Tidak pernah ada yang bisa memaksakan hati seseorang, bergerak ke arah mana, berlabuh pada siapa, dan menyimpannya dengan jenis perasaan bagaimana.Segalanya misteri. Sulit untuk ditebak.Saat Anyelir kehilangan Micko --yang tiba-tiba menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah sekalipun akan menyangka bahwa di ujung perjalanan itu akan dipenuhi oleh darah dan duka.Saat Anyelir memutuskan masih bermain belakang dengan Micko --padahal ia sudah menikah dengan Jannieta-- ia tidak pernah membayangkan bahwa akan ada yang hampir mati, yang berbulan-bulan antara sadar dan tidak, hingga ada yang benar-benar terkubur di tanah.Anyelir, saat ia memutuskan pergi ke Paris dan jatuh cinta pada Jaden dan kedua anaknya, ia tidak pernah menyangka bahwa ia akan menyeret mereka semua berada dalam lingkaran setan yang berbahaya itu.Tidak ada yang tahu.Siapapun, termasuk Anyelir.Andai ia tahu, ia tidak akan pernah memulai segalanya. Ia akan merelakan Micko berbahagia dengan Jannieta. Ia juga akan berte
"Ruang operasi?" Jaden kompak berseru bersama Anye. Mereka saling pandang dengan raut penuh keheranan dan cemas. Lanjut Jaden. "Di rumah sakit mana? Anakku kenapa?"Si detektif swasta itu menunjukkan sebuah alamat yang kemudian direbut Jaden dengan tergesa. Lalu ketiganya bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud.Hati Jaden dan Anye tentu berdebar tak keruan. Ketakutan, cemas, gelisah, berbagai pikiran buruk yang hilir mudik di kepala. Hingga ketika Dio mengabarkan lewat pesan singkat perihal keadaan Micko yang dinyatakan hilang setahun lalu dengan terduga Jannieta sebagai pelakunya, ketakutan itu bertambah menjadi berkali-kali lipat.Anye menangis di pelukan Jaden. Ternyata, obsesi Jannieta dari 12 tahun silam, mengekori mereka hingga hari ini. Ke Paris. Ke kehidupan mereka yang sebelumnya tenang dan damai.^^^Anna memberontak. Tangan dan kakinya dibebat tali, namun ia masih bisa bergerak-gerak untuk menunjukkan penolakan. Hanya saja, yang ada di sana, di ruangan dengan cahaya-caha
"Dia ibu kamu?"Wajar rasanya bila Anna hampir terpekik saat mendengar Dylan Louise mengatakan perempuan jahat itu adalah ibunya. Bagaimanapun Anna masih mengingat bagaimana rasa takut, gelisah, putus asanya ketika ia mengalami insiden penculikan 12 tahun silam.Dan itu karena perempuan yang diakui Dylan Louise sebagai ibunya."Tentu saja, yang cantik dan berhati hangat itu ... ibuku."Anna melengos, ia meludah kecil mendengar kata' hangat' yang meluncur dari mulut Dylan Louise. Wanita yang menjadi dalang kecelakaan keluarganya, menculik ia dan Thea, juga bahkan menculik ibunya yang koma di rumah sakit. Katakan pada Anna, di mana letak 'baik' dan 'hangat' yang Dylan katakan tadi?"Baik?" Anna mendengus. "Kamu tidak tahu seberapa jahatnya perempuan itu."Dylan mengernyit, menatap tak suka pada Anna. "Jangan membual. Kamu yang tidak tahu apapun soal ibuku."Anna tidak habis pikir. Laki-laki itu, yang kemarin masih bersikap manis padanya, ternyata bisa berubah dengan cepat."Lebih baik k
Jaden mungkin pernah gagal membina rumah tangganya dengan Mina, tapi ia tentu saja, tidak akan pernah membenci buah hati yang ia dapatkan dari pernikahan itu. Ia sangat mencintai si kembar, Anna dan Thea. Apalagi setelah keduanya mengalami banyak nasib buruk 12 tahun silam, Jaden jadi semakin protektif demi menjaga keduanya. 'Kami merasa sesak ayah.' Kemarin Thea bercerita sambil menangis saat ia mengatakan permasalahan Anna. 'Kami merasa sesak karena sikap posesi ayah. Tapi aku juga nggak menyangka bahwa Anna akan senekat ini hanya karena seorang laki-laki.' Jaden mengusap wajahnya kasar. Perjalanan dari Colmar ke Paris terasa lama sekali, padahal ia sudah dikejar waktu. Tidak mungkin sekali, Jannieta yang selama ini tenang, diam-diam mengirimi istrinya sebuah foto dengan Dylan Louise. Perempuan itu pasti sudah mengetahui bahwa Jaden menemukan asal usul Dylan. Si nak adopsinya. "Ini semua salahku." Suara Anye, di sisinya, tiba-tiba terdengar parau. Perempuan itu, menangis di leng
Jaden tidak bisa mentoleransi lagi. Ini Jannieta. Perempuan gila yang hampir membunuhnya, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Perempuan gila yang dulu menculik anak-anak dan istrinya. Jaden bergerak cepat. Ia mencari keberadaan Dylan Louise dan mengajak Mark untuk mendatangi tempat tersebut. Sebuah apartemen kecil di sudut kota Paris. Apartemen yang bahkan tak layak untuk ditempati putri kesayangannya. Duh ... Jaden merasa perih. Bisa-bisanya Anna lebih memilih laki-laki itu, dengan keadaan yang tidak lebih baik, dibandingkan keluarganya sendri. Jaden menoleh sesaat pada Mark. Ia meminta persetujuan untuk memulai. Dan sang adik ipar mengangguk sebagai tanda setuju. Jaden mengetuk. Satu kali, dua, hingga lima. Jaden mengetuk namun tak ada jawaban dari dalam sana. Hening saja. Jaden merasa heran. Ia lantas mengencangkan ketukan jemarinya di pintu. Atau lebih tepatnya jika disebut dengan menggedor. Jaden tidak punya waktu untuk bersopan santun setelah si laki-laki brengsek itu
Thea tidak punya banyak pilihan selain akhirnya beringsut menuju rumah sang ayah. Meski awalnya ia memang ingin merahasiakan kepergian Anna, dan berusaha sendiri untuk membujuk sang kembaran pulang. Tapi kini, melihat hasil nihil tersebut, Thea jadi berpikir ulang. Ayahnya yang harus turun tangan. Ia yang bisa menyeret Anna kembali kepada keluarga mereka. Meski tentu saja, sebagai akibat perbuatan Anna ini, kebebasannya pun akan dipertaruhkan. Oh ayolah, sang ayah akan menjadi lebih superrrr strict. Ia dan Anna mungkin tidak akan pernah mendapatkan izin untuk tinggal terpisah kembali. Langkah Thea berhenti di depan pintu rumah orang tuanya. Mematung sesaat, ragu melingkupinya. Ia kembali menimbang soal apakah akan mengadukan sang saudara kembar atau membiarkannya saja. Saat Thea masih membeku, tiba-tiba pintu terbuka. Suara bersorak yang muncul dari adik laki-lakinya; Bhumi, menyadarkan Thea. "Kak, kapan kakak datang? Ayo main game denganku." Thea mengusap puncak kepala Bhumi.
Hujan turun perlahan di luar jendela. Butiran airnya membasahi kaca, menciptakan pola-pola abstrak yang tak beraturan. Thea duduk di ujung tempat tidur, ponselnya tergenggam erat di telapak tangan. Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi Anna, dan untuk kesekian kalinya hanya nada tunggu yang menjawab. Namun kali ini, saat ia hampir menyerah, suara di ujung sana akhirnya terdengar. "Halo?" suara Anna pelan, nyaris berbisik. Thea menghela napas panjang, menekan rasa kesal yang mengendap dalam dirinya. "Anna, kamu di mana? Pulanglah. Sebelum Ayah tahu, sebelum semuanya bertambah buruk." Ada jeda sejenak sebelum Anna menjawab. "Aku tidak akan pulang, Thea. Keputusanku sudah bulat. Aku ingin hidup bersama Dylan." Dada Thea terasa sesak. Ia berusaha menahan diri agar tidak meledak di telepon. "Kamu gegabah, Anna. Kamu baru mengenal Dylan sebentar. Kamu tidak bisa memutuskan sesuatu yang sekritis ini begitu saja." "Aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang aku inginkan, Thea. Aku me
Hembusan angin musim semi menggoyangkan rambutnya yang sedikit berantakan, tapi sorot matanya tajam. Langkahnya ringan, seolah seluruh dunia sedang berjalan mengikuti iramanya.Semua seperti sedang memberi hormat padanya. Karena satu langkah pencapaian yang ia dapat dengan mudah.Ia trtawa. Riang. Matanya jelas menunjukkan sisi gelap dan misterius, tapi tawa kekanak-kanakan itu justru lebih menakutkan.Saat ia mendengar apa yang terjadi pada sang ibunda, ia kira, mengemban tugas ini akan sangat menyulitkan. Ia mungkin butuh banyak tahun. Dengan segala pengorbanan di dalamnya. Ternyata, hey, hanya butuh satu dua bulanIa sudah hampir menang. Saat ia berhenti di depan sebuah apartemen di sudut kota Paris, jauh dari hingar-bingar mahasiswa ENS lainnya, tawanya yang penuh itu mendadak menghilang. Ia memasang wajah yang jauh lebih manis, melunak, penuh kehangatan. Setelah beberapa ketukan, pintu terbuka, dan di baliknya berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, wajahnya sediki
Malam itu, angin Paris bertiup lirih, menyusup ke celah-celah jendela apartemen yang lengang. Thea menghempaskan tubuhnya ke sofa, melepas sepatu dengan gerakan malas, lalu memejamkan mata sejenak. Ia baru saja pulang dari kediaman orang tuanya, setelah semalaman mendengarkan debat panjang antara Jaden dan Anye soal bagaimana mereka harus menangani sikap Anna yang semakin sulit dikendalikan. Namun, ada sesuatu yang janggal. Ia merasa sesuatu terasa aneh. Seperti perasaan yang tidak biasa. Benar. Apartemennya terlalu tenang. Apartemen terasa terlalu sepi. Sunyi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, setidaknya suara lagu dari ponsel Anna akan bergema di salah satu sudut ruangan atau aroma teh melati yang biasa diminum Anna akan menyelinap hingga ke ruang tengah. Atau awal mereka pindah, Anna akan berceloteh soal anak-anak tampan di kelasnya, juga soal si brengsek Dylan, hingga beberapa terakhir ... perdebatan juga meramaikan tempat mereka berdua tinggal. Tapi kali ini ... kosong.