Si brengsek Jaden Pradipta!Kata itu yang tepat untuk ayah dua squishy. Perjalanan dari sungai Seine menuju Belle Epouqe yang dipenuhi bungkam. Tak ada percakapan, tak ada senyum manis apalagi canda hangat.Beku. Seolah musim gugur yang baru akan dimulai dilibas habis oleh musim dingin; terganti. Sedingin itu, Jaden Pradipta.Ia bahkan berlalu dengan menggendong dua squishy tanpa mengucapkan terima kasih. Serta jangan lupakan tatapan matanya yang tajam dan penuh intimidasi.Jaden Pradipta aneh!"Kenapa memasang wajah busuk seperti itu, Nye?"Aku menoleh dan mendapati dua sahabatku, Sella dan Naeema. Keduanya duduk di tepi tempat tidur dengan setangkup snack di tangan."Wajahku cantik, omong-omong," jawabku penuh kesal."Tentu saja cantik. Kalau wajahmu benar busuk, tidak mungkin bisa membuat suami orang bertahan selama dua tahun dalam pelukan."Brengsek kau Naeema!Aku melemparkan bantal ke wajah Naeema, sialnya dia mengelak dan justru mendarat di wajah Sella."Woyy!!" teriak Sella da
Ten Belles cafe, secangkir hot chocolate dan Dio yang sejak lima menit lalu enggan beranjak dari hadapan. Aku mendelik, nyatanya ia justru tersenyum hangat. Membuat keinginan untuk mengusirnya hilang. Lagi pula, ini cafenya, 'kan?Ia menarik kursi di hadapanku. Tangannya tertata rapi di atas meja seperti anak kecil saat berada di kelas. Matanya yang bulat sibuk mengerjap-ngerjap."Baiklah ... baiklah. Apa yang ingin kamu tahu?" Akhirnya aku menyerah. Membiarkan Dio melontarkan tanya sebab sejak masuk ke dalam cafe, wajahku terlipat dengan raut yang busuk; kesal."Kenapa wajah cantik ini, huh?"Aku mendengus mendengar mulut manisnya, namun sekon berikutnya tak urung tersenyum. "Aku hanya sedang sedikit kesal.""Kamu yakin itu sedikit saja?""Memang sedikit," jawabku sengit."Pembohong. Kamu sangat sangat sangat kesal, Nye."Aku menghela napas panjang, mengalihkan atensi ke arah luar cafe. Beberapa pohon Ek, maple dan lainnya nampak mulai menguning bahkan memerah. Musim gugur dan dingin
Sepuluh menit berlalu, pelukan Jaden yang telah terlepas menyisakan canggung yang menggunung. Juga dua squishy yang mendekat, berbagi senyum jahil. Aku dan Jaden mendehem; serempak. Tanpa sengaja. Membuatku saling menoleh dan kembali menambah intensitas ragu sekaligus malu. "Ayah tadi memeluk auntie. Apa itu artinya auntie akan jadi mama kami?" Ucapan Thea sukses membuatku terkejut. Seketika menoleh pada Jaden, namun ekspresi laki-laki itu benar-benar di luar dugaan. Dia tersenyum hangat seraya membelai kepala Anna dan Thea. "Apa ayah dan auntie kelihatan cocok?" Dasar Jaden Pradipta gila! Dan lebih gilanya lagi, Anna serta Thea mengangguk serempak. Mengacungkan dua jempol tangan mereka masing-masing. "Auntie, apa benar akan jadi mama kami?" "Benarkah auntie?" Aku mendelik ke arah Jaden dan laki-laki itu hanya tertawa mengejek seraya mengendikkan bahu. "Bolehkah auntie pikirkan dulu? Ayah kalian sedikit menyebalkan, omong-omong." Dua squishy nampak berpikir. Anna mendekat. "
Aku seperti perempuan gila sejak satu jam lalu. Atau lebih tepatnya, sejak semalam. Jaden adalah yang patut dipersalahkan. Jaden mampu menyihirku menjadi gadis bodoh yang menarik simpul senyum tanpa jeda, sibuk mematut diri di depan cermin dan baju terserak lainnya di lantai. Dan ini, hanya untuk mengantarkan bekal makan siang yang sengaja aku buat untuk seorang Jaden Pradipta.Baju berwarna cerah seperti merah, kuning, hijau hingga perpaduan ketiganya. Atau juga pakaianku dengan warna gelap dan sendu seperti abu-abu, putih hingga pakaian berwarna hitam yang membuatku nampak siap menghadiri pemakaman, pun tak luput dari berbagai uji coba. Gilanya, ini hanya demi sebuah perjumpaan dengan Jaden Pradipta!"Aku tidak tahu kalau kakak sangat sibuk hanya untuk bertemu si dokter gigi," celoteh Mark dari balik pantry.Aku mendengus. Meraih kotak makanan yang telah aku siapkan sebelumnya. "Jangan ikut campur urusan orang dewasa, bocah nakal.""Kamu sudah menerima pernyataan cinta Mas Jaden?"A
Helaian daun maple yang gugur –sebagian berwarna merah dan lainnya kuning- gemerisik terinjak. Tertimpa beban tubuhku dan Jaden, dalam suasana canggung yang menyemarak. Sedangkan dua squishy, sibuk berlarian dan bercanda satu sama lain.Sore yang bisu, namun ramai oleh detak jantungku sendiri. Terlebih, tatkala jari jemari Jadi Pradipta itu menaut sempurna di tanganku. Menjalarkan rasa hangat dan arogan mengusir dingin. Terlebih, senyumnya yang senantiasa terkembang menjadi afiliasi tersendiri dari berbagai kehangatan yang dipunyai dunia.Seberlebihan ini aku dalam mendeskripsi seorang Jaden Pradipta!"Anye ...."Aku menoleh, "Hemm ....""Aku tidak tahu bahwa Paris akan terasa sangat menyenangkan.""Aku juga," lirihku."Aku melarikan diri, Nye."Aku tiba-tiba berhenti. Membalikan tubuhku menghadap Jaden dan menatapnya lekat. "Melarikan diri?""Benar.""Aku rasa ... yang melarikan diri itu adalah aku," gumamku.Jaden tersenyum, namun matanya nampak menerawang. "Mungkin ... kita sama-sa
Dua squishy, cokelat panas dan dan celoteh riang mereka tentang sekolah. Membuatku dan Jaden secara otomatis turut terbawa ceria. Menggeser aroma muram beberapa saat lalu, antara percakapanku dan Jaden. Jaden mengusap kepala Anna, "Jadi, bagaimana dengan perayaan ulang tahun sekolah esok hari?" Anna dan Thea nampak serempak menepuk kening mereka. Menggemaskan saat mereka berdua nampak melupakan hal penting. "Oh My, kami lupa ayah." "Bisakah ayah datang besok?" tanya Thea memohon. "Auntie Nye juga?" tambah Anna. Aku memandang Jaden tak mengerti namun laki-laki itu hanya tersenyum. "Ayah mungkin akan sedikit terlambat sayang. Ada rapat penting di rumah sakit. Tapi sepertinya auntie Nye bisa menemani kalian dari awal acara. Benar, kan, Nye?" Aku sedikit gelagapan. Pandangan mata Anna dan Thea yang penuh harap tentu saja menjadi satu hal yang tidak akan pernah bisa aku tolak. "Tentu, squihsy." "Thank you, auntie." "Kami sayang auntie." Keduanya memburu dalam peluk. Membuatku be
Manusia adalah makhluk serakah. Itu berlaku untukku dan siapa saja. Kesempatan yang telah jauh terlewat, terkadang menimbulkan sesal tanpa bisa disangkal. Ingin merengkuhnya kembali walau mungkin tangan tak pernah bisa meraih lagi. Seperti kutipan sederhana ini;You don't know how much you appreciate something until someone takes it away.Dan biarkan aku menunjukkan kalimat itu untuk perempuan bergaun putih di sana; Mina. Karena kini, aku bisa melihat rona penyesalan dari tindak perilakunya. Perihal dua squishy yang ia 'tukar' dengan popularitasnya. Perihal hatinya yang mungkin telah menyesal sebab 'membuang' keluarga yang telah ia bangun. Mungkin ....Dan ia masih ada di sana. Sedang sibuk membuat dua squishy kebingungan. Maksudku yah semua orang yang ada di sini juga merasa kebingungan. Dia, tiba-tiba berlari ke atas panggung, memeluk dua squishy dan sekarang memberikan pengumuman bahwa dia adalah ibu mereka.Aku ingin melangkah maju, menampar wajah Mina dan membawa dua gadis kecil
Thea kembali terisak. Aku meraih kepala gadis Jaden dalam dekapan. Membiarkannya meluahkan semua perasaan sedih. Aku, lagi dan lagi kembali mendapati diriku. Dalam hitung tahun ke belakang. Ketika mendapati ibuku yang mencoba kembali. Memohon di hadapan ayah dengan berlutut. Dan jujur -demi apapun- perasaanku saat itu tak lebih dari pada sebuah kebencian. Pada ibuku. Pada sifat egoisnya."Thea boleh menangis, tapi ... hanya untuk hari ini. Besok tidak boleh menangis lagi," jawabku lembut. Aku kembali mengusap kepala Thea."Kami malu ke sekolah auntie ...." Itu suara Anna. Ia menunduk. Tangannya sibuk memegang cangkir cokelat hangat."Kenapa?""Karena mungkin teman-teman akan mengejek kami," jawab Anna lirih. Hatiku ... sakit. Bagaimana orang tua sering sekali menjadi sosok yang egois dan mengabaikan keadaan putra-putri mereka."Bagaimana auntie bisa membuat kalian berdua tidak bersedih lagi?" tanyaku hati-hati. Dan itu kesungguhan.Anna dan Thea mendongak, menatapku lekat. "Auntie, ja
Anna tidak pernah menyangka, hanya dalam hitungan detik, dunia yang selama ini ia kenal bisa runtuh begitu saja. Dua hari sudah ia mendiamkan Thea, dan saudari kembarnya itu pun tampaknya menyerah. Biasanya, Thea akan menggedor pintu kamarnya dan memaksa bicara, atau setidaknya menyelinap ke tempat tidurnya dengan alasan ingin tidur bersama seperti dulu. Tapi kali ini berbeda. Thea hanya membiarkan Anna dengan amarah dan kekecewaannya sendiri. Bahkan di kampus, mereka saling menghindar, seolah-olah tidak pernah mengenal satu sama lain. Pagi itu, ketika bel apartemen berbunyi, Anna yang pertama kali membukanya. Dan di sana berdiri ibunya, Anyelir, dengan senyum lembut dan sekantong besar makanan. "Pagi, anak-anak Ibu. Kok cemberut?" tanya Anyelir sambil melangkah masuk. Thea yang baru keluar dari kamar langsung menyambut ibunya, sementara Anna mencoba bersikap biasa, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Anyelir, dengan insting keibuannya, langsung menangkap sesua
Suasana apartemen terasa sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang menggantung, seperti angin sebelum badai. Jaden duduk di sofa, matanya tajam menelisik kedua putrinya yang berdiri di hadapannya. Seolah ini adalah sebuah persidangan, di mana ia adalah hakim, dan kedua putrinya adalah terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anna, yang biasanya penuh percaya diri, tampak menciut. Punggungnya sedikit membungkuk, kepalanya menunduk, tangannya saling meremas. Sementara itu, Thea duduk di sandaran sofa dengan ekspresi santai. Ia menatap ayahnya dengan mata jernih, tidak gentar sedikit pun. Mungkin karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak seperti kembarannya yang terlihat seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Jaden menghela napas panjang, lalu bersuara. Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada marah yang berusaha ia tahan. “Siapa laki-laki itu?” Anna menelan ludah. “Dia... Dylan Louise. Salah satu mahasiswa di ENS,” j
Angin malam berembus pelan di Paris, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan sore tadi. Dari balik jendela apartemen, lampu-lampu kota menyala seperti kunang-kunang yang menari di antara bangunan tua nan kokoh. Anna duduk bersila di sofa, matanya berbinar, bibirnya tak henti-hentinya berceloteh tentang sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Atau lebih tepatnya, seseorang. "Thea, kamu nggak ngerti! Ini takdir!" seru Anna sambil merentangkan tangannya dramatis. Thea, yang tengah bersandar dengan sebuah buku di pangkuannya, hanya mengangkat sebelah alis. "Takdir? Kamu baru ketemu dia sekali, Anna." Anna mendesah panjang. "Bukan masalah berapa kali ketemu. Tapi gimana rasanya saat pertama kali melihat dia. Dadaku langsung berdebar, kakiku melemah, dan dunia serasa berhenti berputar!" Thea menahan tawa. "Kamu yakin itu bukan karena kamu kelaparan?" Anna melempar bantal ke arah saudara kembarnya. "Aku serius! Ini yang namanya cinta pada pandangan pertama!" Thea menan
Pagi di Paris selalu indah, dengan angin musim gugur yang berhembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe di sepanjang jalan. Anna dan Thea berjalan berdampingan menuju ENS Paris, universitas tempat mereka menimba ilmu. Di tangan masing-masing, ada setumpuk buku dan catatan, seolah menjadi perpanjangan dari diri mereka yang haus akan ilmu.“Aku masih belum terbiasa bangun pagi di sini,” keluh Thea sambil menguap, sesekali menyesap kopi dari gelas kertas yang ia bawa.Anna tertawa kecil. “Makanya, jangan begadang nonton film terus.”Thea hanya mendengus. “Bukan salahku kalau inspirasi datangnya pas malam.”Mereka akhirnya sampai di halaman kampus yang luas dan klasik. Gedung-gedung tua dengan pilar-pilar tinggi berdiri megah, membawa aura akademik yang serius namun menggoda untuk dieksplorasi. Saat mereka melewati gerbang utama, Thea menoleh ke arah Anna.“Oke, sampai sini kita berpisah. Jangan lupa makan siang,” pesan Thea.“Kamu juga,” jawab Anna sambil melambaikan tangan sebelum
Hari itu, apartemen Anna dan Thea terasa lebih ramai dari biasanya. Aroma makanan yang menggugah selera memenuhi udara ketika Anye sibuk mengeluarkan berbagai bekal dari tas belanjaannya. Bhumi, adik bungsu mereka, sudah tak sabar ingin bermain, sementara Jaden—meski masih memasang wajah dingin—duduk di sofa, matanya mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. “Kenapa Mama bawa makanan sebanyak ini?” keluh Thea, melipat tangan di dada sambil melihat tumpukan kotak makanan di meja makan. Anye tersenyum lembut. “Kalian pasti belum terbiasa masak sendiri. Lagipula, Mama kan tahu makanan kampus itu nggak selalu enak.” Anna tertawa kecil sambil membuka salah satu kotak. “Astaga, ini ayam woku favoritku! Thanks, Ma!” Bhumi, yang sejak tadi sudah berseliweran, menarik tangan Anna dengan penuh semangat. “Kak Anna, Kak Thea, kita main game, yuk! Aku bawa console biar seru!” Thea mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Ya ampun, Bhumi. Kamu pikir kita di rumah?” “Tapi ini juga rumah Kak
Paris pagi itu menyambut Anna dan Thea dengan matahari yang masih malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui jendela besar apartemen mereka yang baru, menyorot tumpukan kardus yang belum sepenuhnya dibongkar. Aroma roti panggang yang mulai menghangus di toaster membuat Thea mengerutkan hidungnya.“Astaga, Anna, roti bakarmu gosong!” seru Thea, buru-buru mengambil roti dari toaster dan meniupinya seakan itu bisa mengembalikan kelezatannya.Anna, yang sedang sibuk berbicara di telepon, hanya melambai tanpa benar-benar mendengar peringatan adiknya. Ia bersandar di meja dapur dengan ponsel menempel di telinganya, suaranya terdengar lembut dan penuh kerinduan.“Iya, Bhumi, Kakak janji bakal sering pulang. Jangan nangis terus, ya?” katanya, senyum tersungging di wajahnya.Dari seberang, terdengar suara rengekan Bhumi yang merajuk. “Tapi rumah jadi sepi banget, Kak…”Anna terkekeh. “Ya, kan ada Mama dan Papa. Lagian, kamu juga bisa video call Kakak kapan aja.”Thea, yang sejak tadi
Suara resleting koper menggema di kamar yang selama hampir dua dekade menjadi tempat paling aman bagi Anna dan Thea. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela, membentuk siluet dua gadis yang tengah sibuk mengemasi barang-barang mereka. Rak buku yang penuh dengan novel klasik, meja rias yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka, semua tampak sama—hanya saja, malam ini, kamar itu terasa lebih sepi.Anna melipat sweater birunya dengan hati-hati, sementara Thea menyusun buku-bukunya ke dalam tas ransel hitam. Tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, hanya hembusan napas panjang dan detak jantung yang bergemuruh.Pintu kamar berderit pelan. Anyelir berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh dengan harapan yang terselubung oleh kecemasan. Ia memandang putri-putrinya, dua gadis yang dulu digendongnya saat bayi, kini berdiri di hadapannya dengan tekad yang tak bisa digoyahkan."Anna, Thea... Mama mohon, pikirkan lagi keputusan kalian," suara Anyelir terdengar lembut, sep
Langit Paris pagi itu mendung, tetapi jalanan tetap hidup dengan suara langkah kaki dan deru mobil yang melintas. Di apartemen bergaya klasik di arrondissement ke-7, keluarga Jaden baru saja memulai rutinitas harian mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi dapur, menyatu dengan wangi croissant dari oven Anye."Anna, Thea, ayo cepat! Papa nggak mau terlambat ngantar kalian," suara Jaden menggema dari ruang tamu. Ia berdiri di depan pintu dengan mantel panjang hitamnya. Seperti biasa, ia memegang kendali penuh atas jadwal kedua putrinya, memastikan mereka selalu tiba tepat waktu di kampus."Kami tahu, Papa," jawab Anna malas sambil menuruni tangga. "Tapi kalian harus percaya, kami bisa naik metro sendiri."Jaden menggelengkan kepala. "Tidak ada diskusi. Papa nggak mau sesuatu terjadi di luar sana. Kalian masih muda, dunia tidak seaman yang kalian pikir."Thea hanya melirik ke arah Anna dengan tatapan jengkel, tetapi keduanya tak berkata apa-apa lagi.Papanya selalu saja begitu. Men
Di ruang interogasi yang pengap, Mina duduk dengan tangan terborgol di depan meja besi. Wajahnya yang dulu angkuh kini tampak penuh guratan penyesalan dan lelah. Namun, tatapan matanya tetap menunjukkan ketidaksukaan saat Jaden dan Anyelir masuk ke dalam ruangan.Jaden, yang mengenakan setelan sederhana, terlihat dingin dan penuh dendam. Di sampingnya, Anyelir mencoba tetap tenang meski hatinya terasa berat melihat perempuan yang telah menghancurkan keluarganya.“Mina,” Jaden membuka percakapan dengan nada rendah namun tegas. “Aku tidak akan membuang waktumu—dan waktuku. Aku hanya ingin kamu tahu, gugatanmu soal hak asuh Anna dan Thea sudah dibatalkan. Pengadilan akhirnya melihat kebenaran setelah semua yang kamu lakukan.”Mina tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Jadi kamu di sini untuk menyombongkan kemenanganmu, Jaden? Setelah semua yang kita lalui, kamu tetap saja ingin menjatuhkanku lebih dalam.”Jaden mengepal tangannya. Rasa marah bercampur jijik membuatnya sulit berkata-kata. "K