Macarons berwarna ungu dan dua gelas affogato di meja sudut, Ten Belles cafe milik Dio. Aku masih diam, cemberut dan mengabaikan tatapan ingin tahu dari dua netra bulat milik sahabatku. Sebab pikiran, sedang terbagi menjadi beberapa bagian. 50% di Indonesia dengan 'dia' si pemeran utama, 25 % di Belle Epouqe dengan dua Squishy yang menyebalkan dan 25 % lagi entah berada di mana. Berjalan-jalan, menghambur tak tahu arah.
Intinya, aku sedang dalam mode bodoh!
"Jadi siapa gadis kembar menggemaskan yang manggil kamu Aunty?"
Aku mendelik ke arah Dio sebagai tanda tak ingin diusik, namun laki-laki pendiam itu masih saja sibuk menelisik.
"Oke ... oke. Aku ketemu dua squishy itu kemarin pagi di bandara."
"Jadi itu cucu nenek Willie," gumam Dio.
Aku mengernyit. "Cucu?"
"Benar, cucu pemilik rumah kita," jawab Dio seraya menyesap affogato miliknya.
"Oh ... si tampan itu anak nenek Willie." Aku balas bergumam.
Kini, Dio yang mengernyit. "Anak nenek Willie itu perempuan."
"Berarti itu menantu nenek Willie," jawabku seraya mencebik.
Dio terkekeh, "Kenapa? Apa kamu mau mengganti 'target' ke menantu nenek Willie?"
Aku memukul lengannya; keras. Dio mengerang kesakitan namun tetap tersenyum. Seandainya bukan sahabatku yang mengatakan itu, mungkin aku sudah menendangnya ke Mandenhall dan membeku di sana.
Tiba-tiba, hatiku tercubit.
Apa aku semurahan itu?
"Aku bercanda," gumam Dio lirih. Ia meraih jemariku dan mengusapnya lembut.
"Aku nggak semurahan itu ya Dio," jawabku lirih. Aku masih memindai gelas affogato yang tersisa separuh. Seperti perasaan, yang masih separuh rela dan separuh lagi tidak. Terkait dia, yang menjerumuskan diriku pada satu kata bernama 'hina' dalam perspektif siapa saja.
Mungkin, dalam perspektif Tuhan sekalipun!
"Lantas, bagaimana keputusan akhirnya?"
Aku menggeleng, sebagai tanda bahwa buntu. Aku tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana.
"Entahlah."
"Dan bagaimana kariermu di sana?"
Kembali, aku menggeleng. Mata menoleh ke arah luar jendela, dengan lalu lalang orang-orang bergandengan tangan. Menikmati sore hari di Paris yang romantis.
Duh ... Anye, apa kabar hatimu?
"Aku sudah kehilangan segalanya, Dio."
Mata masih enggan beranjak dari pemandangan harmonis di luar sana. Dengan tawa ceria anak-anak kecil berlarian dan kedua orang tua mereka tersenyum bahagia di belakang. Aku dan 'dia' juga sudah memiliki rencana itu sejak lama. Jauh; sejak dulu. Sejak awal jalinan kisah yang ditanam dengan segala bumbu manis di dalamnya. Sialnya, Tuhan selalu mempunyai berbagai cara untuk membuat semuanya berbeda dengan alur yang diingini oleh manusia.
Aku kehilangan dia, lalu setelah dengan bodoh termakan ucapannya lagi, aku menemukan diriku rela menjalani sebuah hubungan yang kotor di belakang pemiliknya.
Di belakang istrinya.
"Kamu tahu, ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku," ucap Dio pelan. Aku menoleh ke arahnya. Menatap sepasang netranya yang jernih. Dia adalah salah satu orang terdekatku selama ini. Menjadi sandaran setiap kali aku merasa begitu bingung dengan apa yang terjadi. Meski, nyatanya setiap kali aku buta akan perasaan cinta 'yang salah', aku lagi dan lagi selalu melupakan dia.
Beruntungnya aku, dia tetap tak meninggalkanku.
"Kenapa?"
"Sebab aku merasa lega akhirnya hubungan terlarang kamu diketahui banyak orang. Itu berarti ... kamu akan berhenti selamanya," gumamnya seraya menatap mataku lekat.
Aku menghela napas berat. "Kamu ... jahat, Dio."
"Aku selalu pengen kamu dapat yang terbaik, Anye."
"Tapi aku mencintainya," kilahku kasar.
"Suami orang lain?"
"Dia lebih dulu jadi pacarku. Selama 6 tahun kami menjalin kasih. Laki-laki yang menemani masa-masa sulitku menjalani karir, casting di mana-mana. Dia yang selalu mengatakan kalimat-kalimat penenang tentang aku yang akan menjadi aktris hebat. Dia ... dia ... dia kekasih aku, Dio."
Aku menangis. Memejamkan mata dan luahan kekesalan terus luruh. Fakta yang aku sebutkan tetaplah tidak membantu sedikitpun. Fakta yang aku urai tetaplah tidak berarti apa-apa; kini. Sebab sejatinya, fakta itu, tak ada orang yang ingin tahu. Mereka-mereka itu hanya ingin tahu satu hal.
Mengapa aku menjalin cinta dengan laki-laki yang sudah beristri?
"Tapi dia sudah jadi suami seseorang, Anye," ucap Dio pelan. Dia mengusap tanganku lembut. Perlahan, ibu jarinya menghapus air mataku.
"Sialannya kamu benar soal fakta itu." Dan aku kembali tergugu. Mengingat kembali runyamnya perasaan yang telah lama dibangun untuk kemudian mengambil alur yang salah. Hingga, saat sorot kamera dan bisik-bisik orang menghakimi; pembelaan apapun yang aku ucapkan adalah pembenaran yang tak dapat dilakukan!
"Aunty!"
Aku dan Dio kompak menoleh, ke arah jam 12 di dekat pintu masuk. Dua makhluk kecil dengan rambut panjang itu tertawa seraya berjingkat-jingkat riang. Mereka bersama ayahnya, dengan wajah dingin dan ekspresi datar khas dirinya.
"Dua keponakan lucumu datang, Nye," gelak Dio. Dia melambaikan tangan ke arah dua squishy itu hingga mereka memburu dengan tawa yang lebar.
"Ayah, ayo duduk di sini," ujar salah satu di antara mereka berdua. Nama mereka; aku hafal. Thea – Anna. Tapi yang mana Thea dan yang mana Anna, pun aku tidak tahu. Mereka seperti satu orang yang sama. Padahal, setidaknya mereka harus botak salah satu, agar aku bisa dengan mudah membedakan. Layaknya Upin dan Ipin.
Ah ... Nye, bicara apa kamu!
"Hey, squishy, duduk di kursi lain saja," pungkasku ketus.
"Benar sayang, kalian tidak boleh duduk dengan nenek sihir itu."
Aku mendelik mendengar perkataan ayah mereka. Apa dia bilang?
Ne – nenek sihir?
"Hey! Apa maksudmu nenek sihir?"
"Kamu ... seperti itu," jawabnya dingin.
Aku menghela napas kasar. Meniup sebagian poni dan berkacak pinggang.
"Nggak ada nenek sihir secantik aku, omong-omong," jawabku tak mau kalah.
"Kamu nggak cantik, omong-omong," jawabnya semakin menyebalkan.
Aku menoleh ke arah Dio. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu seraya tersenyum. Dua makhluk kecil seperti squishy itu juga terkekeh, menyaksikan perdebatan antara aku dan ayah mereka.
"Hey squishy, bilang dengan jujur dan nanti aku beri kalian izin duduk di sini. Apa aunty cantik atau cantik sekali?"
Dua squishy itu saling pandang untuk kemudian beralih memandang ayahnya. Dari interaksi yang dapat dibaca, aku melihat ayahnya menggeleng sebagai tanda bahwa mereka mungkin menjalin kerjasama untuk melawanku. Tapi kita lihat, apa squishy itu mau berkubu denganku atau ayahnya?
"Aunty cantik sekali," jawab mereka kompak seraya mengacungkan dua jempol di masing-masing tangan pendek mereka.
Aku mencebikkan bibir ke arah ayah mereka. "Kalian pintar. Aku traktir ice cream dan mintalah pada paman ini, oke." Aku menunjuk ke arah Dio yang kembali tergelak. Dua makhluk kecil itu pun terlonjak dan sibuk mengikuti Dio dan memilih menu. Biar saja, Dio yang bayar. Ini cafenya, dua cone ice cream tidak akan membuat Ten Belles cafe bangkrut, kan?
"Cara yang licik untuk mendapatkan pengakuan, Mademoiselle."
Aku tidak tahu, dia tinggal di kutub mana. Sebab nada suaranya sedingin es, juga tatapannya yang selalu nampak datar. Atau mungkin dia pernah terlantar di Mendenhall, Alaska?
"Aku memang cantik hingga tanpa harus melakukan tipu daya, pun orang akan mengakui," jawabku jemawa.
"Tapi sayangnya, cantikmu tidak kau gunakan untuk sesuatu yang baik, kan?"
Aku mengernyit dan dia hanya mengendikkan bahu. Mulai kesal, sebab nada bicara dan apa yang diucapkannya seperti mengindikasikan sesuatu.
"Apa maksud kamu?"
"Kamu nggak perlu marah, Mademoiselle."
"Kamu ngejek aku?"
"Soal?"
"Jangan berputar-putar! Kamu ngejek aku? Kamu lagi ngomongin apa sebenarnya, huh!"
"Kamu murahan, omong-omong. Perempuan-perempuan seperti kamu memang layak disebut nenek sihir, Mademoiselle."
Dan dari sekian banyaknya hujatan serta makian yang dilontarkan orang-orang, kali ini –sungguh kali ini- aku benar-benar merasa seperti dihantam gada. Kepalaku berat dan menyesakkan dada. Sebab, hinaan yang dilontarkannya –yang tidak tahu apa-apa ini- menjadi penghinaan yang menyakitkan.
Hingga, saat pergerakan tangan lepas dan mendarat di pipinya ....
Sial!
Aku memang menamparnya tepat ketika dua squishy itu berteriak.
"Aunty, kenapa menampar ayah?!"
***
Aku bergelung selimut, membiarkan Sella dan Mark tertawa dengan pertandingan game mereka. Atau Naeema yang sibuk dengan vlog-nya. Kecuali Dio, dia tak ada di rumah malam ini. Mengurusi cafe dan mungkin menikmati Seine dengan kekasihnya.Aku sibuk membaca notifikasi yang masuk di media sosial milikku, yang sialnya kesemuanya itu berisikan hujatan, hinaan dan beragam hal-hal menakutkan lainnya. Mereka –yang mengatakan itu- tak pernah benar-benar bisa menyaring apa yang mereka katakan. Segala hina dina yang mereka lontarkan; pun selama mereka bahagia, akan tetap menjadi hal yang menarik. Sedang aku –si korban- hanya bisa menangis.Lantas, hati kecilku kembali bertanya. Mengapa kau menangis, Nye?Aku mengusap buliran air mata yang menyintas pipi. Membenarkan semua ucapan mereka terkait aku perempuan hina yang mencintai suami orang lain. Meski, sebagian cerita sesungguhnya tidak mereka ketahui."Sudah dibilangin jangan membuka media sosial kamu, Nye." Naeema meraih paksa ponselku dan melem
Paris adalah rumah kedua. Sebab, Mark tinggal di sini. Ketiga sahabatku juga. Di tengah jadwal sibukku –dulu- aku masih bisa mengosongkan waktu hanya untuk istirahat di sini, satu dua hari. Menikmati affogato di Ten Belles milik Dio, shopping dengan Sella dan Naeema di Le Marais, atau sekedar berjalan-jalan malam dengan Mark di sekitaran Seine.Tapi, sejak mereka tahu aku menjalin kasih dengan 'dia' yang telah berganti status –terutama Mark- mereka mulai mengabaikanku. Menurutku, wajar. Mereka hanya terlalu peduli padaku; menyayangiku. Takut bila hal-hal buruk terjadi dan aku satu-satunya yang akan paling merasakan luka.Dan aku batu!Masih saja menuruti perasaan bodoh yang tak bisa melihat. Perihal laki-laki yang bahkan tidak pantas hanya untuk dipertahankan. Meski, akibat yang ditimbulkannya benar-benar membuat sekarat. Kini.Dan malam ini, sekitaran Seine masih cukup ramai walau invicta berwarna gold yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul 10. Aku berjalan-jalan sendiria
Aku terus mengekor Dio, sejak satu jam lalu. Dia abai dan mengatakan bahwa aku akan membuat pelanggannya kabur bila bekerja sebagai waitress di cafenya. Kejam sekali si mata bulat!Aku harus bekerja sebab tak mungkin menjadi aktris di Indonesia lagi dengan citra yang sudah buruk dan lebur. Citra sebagai seorang pelakor.Aku memang menyelesaikan sarjanaku di UI, seni teater. Tapi, ini Paris. Hanya pekerjaan-pekerjaan kasar yang bisa aku lakukan. Misalnya; menjadi waitress."Kamu ceroboh, Anye. Kamu bisa melukai diri kamu sendiri kalau menjadi pelayan di cafeku," omel Dio. Dia saat ini, masih sibuk menyirami bunga di halaman Belle Epoque.Aku kembali merengek, "Tapi aku butuh pekerjaan. Kamu tahu, skill yang aku punya hanya akting. Aku nggak mungkin menjadi model di butiknya Naeema atau pakaiannya nanti nggak akan laku. Aku juga nggak bisa bekerja di perusahaan game seperti Sella, atau aku akan mengacaukannya. Tapi, aku bisa menjadi waitress di cafemu, Dio.""Tidak, Nye. Kamu lebih baik
FLASHBACKIndonesia, May 2021.'Nanti mau ya, menghabiskan malam penuh gairah bersama? Aku punya kado spesial untuk kamu.'Pesan masuk itu mengubah musim panas milik Indonesia yang gerahnya tidak keruan menjadi sejuk seketika. Mungkin juga karena segelas affogato yang aku sesap. Atau boleh jadi karena kepalaku sudah sibuk membayangkan ini dan itu, malam nanti.Suara riuh di luar ruangan sesaat membuatku sadar. Menanggalkan bayang-bayang nakal di dalam otak dan menegaskan ... hey ... ini masih di lokasi syuting. Di ruang tunggu itu, aku dapat melihat pantulan diri di cermin rias. Wajah yang sudah nampak lelah tiba-tiba berubah penuh binar. Hanya karena sebuah pesan masuk dari dia.Micko Kasetra.Masih terpaku pada cermin ketika tepat, sebuah tangan melingkar di leher. Aroma parfum Bvlgari Pour Homme dengan wangi teh yang menenangkan. Wangi dari seseorang yang selama enam tahun ini yang menjadi favorit. Wangi yang begitu senang aku hidu tatkala mata terbuka. Atau saat lelah seharian s
Tanganku sudah dipenuhi balon di sisi kiri dan sisa cokelat di sisi kanan. Lutut terasa bergetar sebab mengikuti pergerakan dua makhluk ajaib yang dikirim dari planet Saturnus. Dua squishy yang sibuk memantul ke sana kemari. Tanpa lelah; dan aku hampir mati. Ya Tuhan! Anak kembar berusia lima tahun ini sepertinya tidak pernah kehabisan energi. "Thea, Anna, kemari. Ayo istirahat dulu sebntar. Kita harus makan siang, kan?" pintaku dengan suara setengah memohon. Thea menoleh –mungkin juga Anna sebab aku tidak tahu- dan berlari menghampiriku. Tak lama, satu squishy lainnya datang dengan tawa yang lebar. Mereka berdiri di depanku dengan senyuman yang mentereng. "Kita makan siang apa, aunty?" Aku diam sejenak. "Pizza? Pasta? Spaghetti?" "Spaghetti," jawab mereka serempak. Aku mengusap kepala mereka berdua lembut, untuk kemudian menggamit dua jemari mereka di sisi kanan dan kiri untuk kemudian masuk ke dalam cafe. Sayangnya, ini bukan cafe Dio. Padahal di sana, aku akan memin
Ini pukul sepuluh malam, sepi. Sebab Naeema dan Sella berkencan dengan pasangan masing-masing. Juga Mark dan Dio yang entah ke mana. Tapi sejak tadi senyum di bibirku yang menjadi aneh. Sungguh! simpul bibir tertarik paksa membentuk senyuman tanpa aku tahu penyebabnya. Tidak ada jokes-jokes aneh milik adikku, Mark. Tidak juga ada pertikaian antara Naeema dan Sella yang membuatku senang. Aku; sendirian. Sepertinya aku terserang virus mematikan. Senyum tanpa sebab!Atau sebabnya adalah senyum milik ... Jaden?Tidak mungkin!Ponselku bergetar. Menghadirkan pesan dengan nomor baru. Boleh jadi ini pesan iseng atau memang 'seseorang' sengaja mengirimkannya. Isinya singkat, penuh nada memerintah dan menyebalkan. Aku mengernyit. Cukup tahu siapa manusia kurang ajar yang mengirimnya.From : xxx-xxx Datang ke Mamma Primi cafe dengan si kembar. To : xxx-xxxApa ini dibayar? Aku pengangguran sekarang.From : xxx-xxx Dasar matrealistis! To : xxx-xxxAku harus hidup di sini.Mau atau tidak?Fr
Seine dan yacht yang melaju lambat. Menampilkan pesona Paris di sekitarnya. Ada Anna dan Thea yang nampak ceria menikmati sandwich. Juga sore sudah disambut semburat orange di sudut sana. Aku berdiri di bagian depan yacht, di sisi Jaden. Laki-laki itu memandang sungai Seine dengan pandangan yang selalu terasa sulit untuk dibaca. Aku mendehem. Berharap, kebekuan mencair. Dan memang Jaden menoleh. "Aktingmu buruk," komentarnya pedas. Aku hanya mencebikkan bibir. "Aku actress yang berbakat, asal kamu tahu." "Kamu mengajari anakku hal-hal tadi?" tanyanya curiga. "Si squishy hanya aku beri pengarahan sedikit. Catat ya, pengarahan. Bukan mengajari detailnya. Anak-anak kamu akan jadi actress hebat seperti aku," jawabku jumawa seraya tertawa. "Aku nggak mau anakku seperti kamu." Dingin. Singkat dan seperti menusukku dengan pisau. Aku menoleh ke arah Jaden. "Maksud kamu?" "Perlu aku jabarkan?" Aku diam; bergeming. "Akting kamu mungkin sangat bagus, tapi kamu membuat skandal memaluka
Instagram, Tiktok, x, dan berbagai portal gosip lainnya sedang memandangku sinis. Ada banyak kalimat lucu yang ditambahkan. Ada banyak ucapan konyol yang dibubuhkan. Itu bumbu. Media memang selalu dipoles semacam itu; agar menjual. Dan itu – Sialan!Aku sebagai objek. Dikuliti oleh berbagai perspektif yang menyudutkan.'Aktris berinisial L-A tertangkap kamera sedang menikmati kencan dengan seorang sutradara''Aktris berinisial L-A menikmati makan malam romantis dengan sutradara besar Indonesia berinisial M''Sutradara M sudah beristri, benarkah ada skandal kencan dengan artis berinisial L-A?''Lihat foto-foto kencan aktris L-A, nomor lima akan buat kamu geleng-geleng kepala'Aku melempar ponselku ke atas nakas. Mengabaikan berbagai macam komentar yang tak bisa lagi aku hitung, klasifikasikan dan cerna. Terlalu banyak. Dan yang bisa aku lakukan sekarang hanya kembali membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, dengan jemari sibuk memijit dahi."Jangan terlalu dipikirkan. Berita itu aka
"Kalian semua mengenal perempuan ini, kan? Dia seorang aktris dan menurut berita yang selama ini beredar, ia memiliki hubungan dengan salah satu korban yakni nyonya Lyla Anyelir, Benar?" Pak Polisi tanpa seragam itu mengawali sesi pertanyaannya. Dio dan Mark sesaat terdiam. Kaget, terkejut dan tak menyangka ke arah mana pembicaraan ini akan berujung dengan nama perempuan itu dibawa-bawa. "Jennieta," gumam Jaden Pradipta. "Benar. Dia Jennieta. Dia adalah penyewa truk yang menyebabkan kecelakaan ini terjadi. Ia juga yang membayar supir truk hitam dengan nomor xxx yang sengaja keluar jalur berlawanan dan menabrakan kendaraannya pada mobil yang kalian kendarai." Mata Jaden memerah, nyalang sekali. Tangannya mengepal kuat, membuat buku-buku jarinya memutih. Ia lantas berbalik, memukul dinding rumah sakit dengan kuat. Sekali, dua kali, enggan berhenti. Para polisi yang terkejut, menoleh pada Dio dan Mark kebingungan. Sementara keduanya langsung memburu, mencoba menghentikan perbuatan Ja
(Point of View 3) Malam itu hujan turun deras, membasahi jalan raya yang mereka lalui dalam perjalanan pulang dari liburan keluarga. Anye, Jaden, Dio, Sella, Mark, Naeema, dan si kembar, Anna dan Thea, berada dalam mobil SUV besar milik Jaden. Mereka tergesa pulang saat Anye memberikan mereka tanda terkait kontraksi; tanda kelahiran si bayi. Anye, yang sedang hamil sembilan bulan, duduk di kursi tengah bersama sang suami. Perutnya yang besar membuatnya harus duduk dengan posisi miring, terus menerus diusap oleh Jaden. Dio yang mengemudi sesekali menoleh; turut panik juga. "Kamu masih baik-baik saja, Sayang?" tanya Jaden dengan nada khawatir. Anye tersenyum lemah sambil mengangguk. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit ... duh! sakit banget Jaden!" seru Anye sambil menjambak rambut Jaden. "Aw! sakit sayang," erang Jaden, tapi tetap pasrah, tidak mengenyahkan jari sang istri dari kepalanya. "Dio, bawa mobilnya lebih cepat. Anye benar-benar bisa bikin aku botak." Di kursi depan, di
"Aku tidak ingin peduli," jawabku tak acuh."Dia merebut Micko dari Anye. Dia benar-benar menyukai si bajingan itu sangat banyak sampai menggunakan berbagai cara untuk merebut kekasih orang lain. Dan sekarang hasilnya, dia benar-benar dicampakkan oleh si brengsek itu. Aku tahu bahwa depresinya berdasar."Aku menyesap hot chocolate-ku dan kembali mengalihkan pandangan ke arah luar. Banyaknya orang dengan tawa-tawa mereka yang bersuka ria. Ternyata, tidak semuanya merasakan hal yang sama. Di beberapa sudut bumi, pastilah banyak orang yang bahkan menganggap hidup terlalu sulit bahkan untuk sekedar menyunggingkan senyum. Jennieta misalnya. Aku waktu dulu, contohnya. Kita sama-sama terperangkap pada rasa putus asa. Tidak lebih hanya karena sebuah kebodohan dalam mencintai seseorang. Benar-benar bodoh, sebab laki-laki yang ingin dipertahankan pun, menengok saja tidak.Ah ... sial!Tiba-tiba aku ingin merengkuh Jennieta dan mengatakan padanya bahwa Micko terlalu bajingan untuk ditangisi sepe
RS. Tjipto, pukul 10 pagi. Aku dan Jaden sedang asik di ruangan dr. Anita, memandangi layar besar di mana bayi kami sedang asik berkomunikasi. Sesekali, dr. Anita memperdengarkan suara detak jantungnya yang seketika membuatku dan Jaden dipenuhi haru. Dokter spesialis kandunganku ini adalah perempuan berusia 45 tahun. Dengan wajah teduh, ia selalu memberikan berbagai tips dan pengetahuan seputar kehamilan dengan mudah diserap dan menyenangkan.Seperti hari ini. Sejak pagi, aku dan Jaden cukup panik. Bayi kecil kami yang biasanya aktif dan bergerak-gerak tak tahu waktu, lebih memilih banyak diam hari ini. Juga bagian ulu hati yang sedikit nyeri, membuatku dan Jaden memutuskan untuk menemui dr. Anita segera. Walau ternyata setelah melalui pemeriksaan, tak ada hal yang mengkhawatirkan. Baik aku maupun bayiku, semuanya dalam keadaan sehat dan baik-baik saja."Usia kandunganmu sekarang 37 week, Nye. Semuanya sehat dan ia tumbuh menjadi bayi yang pintar. Dalam beberapa minggu lagi, kau sudah
"Siapa ya?" Aku menuju interkom. Sesaat termangu, aku bimbang antara membuka pintu atau tidak. "Micko?"Aku kemudian memilih membuka pintu. Sudah lama aku tidak melihatnya. Laki-laki itu juga bahkan memilih tidak datang di pesta pernikahanku."Ada perlu apa?"Aku tidak mempersilahkan Micko masuk. Memilih menyuruhnya duduk di kursi luar, ia meletakkan sebuah buket bunga mawar berwarna pink."Untuk apa?""Ucapan selamat, Nye." Ia duduk dan menyunggingkan senyum."Selamat untuk?""Pernikahanmu dan juga kehamilanmu.""Baiklah." Aku mengeluarkan ponselku dan melakukan panggilan video pada Jaden. Micko nampak terkejut namun sepertinya ia bersikap setenang mungkin. Harus menunggu hingga dering ke lima, barulah Jaden memunculkan batang hidungnya."Ada seseorang berkunjung dan ingin memberikan selamat pada kita, sayangnya kau sedang di rumah sakit. Kau ingin menyapa?""Siapa?" Jaden meletakkan berkas yang dipegangnya untuk kemudian fokus padaku."Ini." Aku membalik mode kamera hingga menampakk
Dua garis berwarna merah. Aku sudah membuka bungkus yang ke sepuluh dan hasilnya tetap sama. Berkali-kali pula aku mengucek mata, dan hasilnya juga tidak berubah. Meyakinkan hati pun sudah aku lakukan sejak tadi. Namun tetap saja, lagi dan lagi itu terasa seperti mimpi. Seperti bunga tidur yang indah namun terasa was-was kalau sampai bangun dan itu ternyata tidak terjadi. Sedikit banyak, kejadian di Bali membuatku khawatir. Jaden dan harapannya jangan sampai kembali dibuat kecewa."Jadi bagaimana, Nye?"Itu suara Jaden. Ia pasti sedang mondar-mandir di depan pintu kamar mandi. Namun anehnya, ia tidak sendiri. Sella dan yang lainnya juga berada di sana. Juga merasakan cemas yang sama. Entah kami memang sedemikian kompaknya atau level ingin tahu mereka yang terlalu tinggi."Ini."Aku menyerahkan semua hasil test pack yang menyimpulkan hal yang sama. Jaden nampak mematung sesaat namun kemudian meraihku dalam pelukannya. Mengucapkan terima kasih berulang-ulang kali. Mengecup dahiku tanpa
Lihat dua mempelai di altar itu!"Dio!" Aku kembali menjadi Lyla Anyelir yang tidak tahu tempat. Tamu-tamu yang datang bahkan mengalihkan sepenuh atensi mereka padaku. Jangan lupakan Mark, Naeema dan Sella yang tertawa penuh ejekan."Anna benar, kan, ibu? Auntie Sella dan uncle Dio yang menikah. Kenapa ibu tidak percaya padaku?" Anna dan Thea berjumawa. Keduanya berlari ke arah Naeema dan memeluknya seketika. Aku dan Jaden akhirnya mendekat juga."Kau terkejut?" tanya Naeema. Aku memukul lengan gadis itu dan ia kembali tertawa. Lanjutnya, " bukan hanya kau yang terkejut. Kita semua sama terkejutnya."Aku, Naeema, Jaden dan pasang mata tamu lainnya akhirnya benar-benar terfokus ke depan sana. Di mana, Dio dan Sella sedang berjalan bersama menuju pendeta. Keduanya sedang berjalan menuju janji sumpah setia.Aku menyikut Naeema dan setengah berbisik, "Kenapa mereka menikah?""Kau pikir hanya kau yang ingin menikah," bisik Naeema sarkas."Maksudku ... sejak kapan mereka menjalin hubungan?"
Manusia itu hidup dengan terus melihat ke depan. Sebanyak apapun kebahagiaan di masa lalu, waktu tetap berputar seperti biasanya. Pun kesedihan. Sesakit apapun masa lalu memberikan luka, waktu terus berjalan dengan sebagaimana mestinya. Sudah takdirnya seperti itu. Dan akan tetap begitu.Oke.Begitu juga dengan hidup seorang Lyla Anyelir. Kematian ibuku yang menyesakkan dada itu telah berlalu. Meraung seperti orang gila sekalipun, tetap tidak akan membawa kembali sosoknya padaku. Menjerit sampai suara di tenggorokan terputus sekalipun, tetap tak akan membuatnya bisa menghampiriku lagi. Sampai kapanpun.Itulah sebabnya, hari ini, tepat satu bulan kepergiannya, aku mulai memilih merelakan. Hari-hari sebelumnya yang terasa begitu mendung, sedang aku coba buat cerah kembali. Tawaku yang sirna, lelucon-lelucon bodoh yang entah pergi ke mana, atau semangatku yang tiba-tiba sekarat, kini sedang aku usahakan agar utuh kembali. Sebab ada dua squishy, teman-teman dan adikku, juga suamiku tercin
Aku menghentikan langkah. Jaden juga. Kita berdua saling menatap dalam temaram. Mata Jaden yang pekat menunjukkan keraguan. Di sana bersemayam, seluruh tanya yang menjadi satu. Perihal Dio, atau mungkin bahkan Micko. Terlebih, kejadian beberapa saat lalu, saat aku justru tertawa heboh ketika dokter justru mengatakan bahwa aku belum hamil. Jaden nampak kecewa."Apa karena aku tertawa?""Karena kau nampak tak kecewa," gumamnya.Aku menghela napas. Melangkahkan kaki dalam hitung jari ke depan, melepaskan pelukanku pada lengannya. "Kau boleh meragukanku sebanyak apapun, Jaden. Tapi kau tidak bisa meragukanku hanya karena aku lebih realistis.""Realistis?""Yah ... kau mungkin terlalu terbawa perasaanmu dan bahagia bukan kepalang hingga tidak bisa berpikir realistis, Jaden. Tapi aku tahu diriku sendiri. Kita menikah pun baru hitungan hari. Aku sudah memikirkan itu matang-matang. Jadi bila aku tak kecewa, itu bukan karena aku tidak menginginkan anak darimu. Bukan karena aku tidak bersungguh