Macarons berwarna ungu dan dua gelas affogato di meja sudut, Ten Belles cafe milik Dio. Aku masih diam, cemberut dan mengabaikan tatapan ingin tahu dari dua netra bulat milik sahabatku. Sebab pikiran, sedang terbagi menjadi beberapa bagian. 50% di Indonesia dengan 'dia' si pemeran utama, 25 % di Belle Epouqe dengan dua Squishy yang menyebalkan dan 25 % lagi entah berada di mana. Berjalan-jalan, menghambur tak tahu arah.
Intinya, aku sedang dalam mode bodoh!
"Jadi siapa gadis kembar menggemaskan yang manggil kamu Aunty?"
Aku mendelik ke arah Dio sebagai tanda tak ingin diusik, namun laki-laki pendiam itu masih saja sibuk menelisik.
"Oke ... oke. Aku ketemu dua squishy itu kemarin pagi di bandara."
"Jadi itu cucu nenek Willie," gumam Dio.
Aku mengernyit. "Cucu?"
"Benar, cucu pemilik rumah kita," jawab Dio seraya menyesap affogato miliknya.
"Oh ... si tampan itu anak nenek Willie." Aku balas bergumam.
Kini, Dio yang mengernyit. "Anak nenek Willie itu perempuan."
"Berarti itu menantu nenek Willie," jawabku seraya mencebik.
Dio terkekeh, "Kenapa? Apa kamu mau mengganti 'target' ke menantu nenek Willie?"
Aku memukul lengannya; keras. Dio mengerang kesakitan namun tetap tersenyum. Seandainya bukan sahabatku yang mengatakan itu, mungkin aku sudah menendangnya ke Mandenhall dan membeku di sana.
Tiba-tiba, hatiku tercubit.
Apa aku semurahan itu?
"Aku bercanda," gumam Dio lirih. Ia meraih jemariku dan mengusapnya lembut.
"Aku nggak semurahan itu ya Dio," jawabku lirih. Aku masih memindai gelas affogato yang tersisa separuh. Seperti perasaan, yang masih separuh rela dan separuh lagi tidak. Terkait dia, yang menjerumuskan diriku pada satu kata bernama 'hina' dalam perspektif siapa saja.
Mungkin, dalam perspektif Tuhan sekalipun!
"Lantas, bagaimana keputusan akhirnya?"
Aku menggeleng, sebagai tanda bahwa buntu. Aku tidak tahu harus berbuat apa atau bagaimana.
"Entahlah."
"Dan bagaimana kariermu di sana?"
Kembali, aku menggeleng. Mata menoleh ke arah luar jendela, dengan lalu lalang orang-orang bergandengan tangan. Menikmati sore hari di Paris yang romantis.
Duh ... Anye, apa kabar hatimu?
"Aku sudah kehilangan segalanya, Dio."
Mata masih enggan beranjak dari pemandangan harmonis di luar sana. Dengan tawa ceria anak-anak kecil berlarian dan kedua orang tua mereka tersenyum bahagia di belakang. Aku dan 'dia' juga sudah memiliki rencana itu sejak lama. Jauh; sejak dulu. Sejak awal jalinan kisah yang ditanam dengan segala bumbu manis di dalamnya. Sialnya, Tuhan selalu mempunyai berbagai cara untuk membuat semuanya berbeda dengan alur yang diingini oleh manusia.
Aku kehilangan dia, lalu setelah dengan bodoh termakan ucapannya lagi, aku menemukan diriku rela menjalani sebuah hubungan yang kotor di belakang pemiliknya.
Di belakang istrinya.
"Kamu tahu, ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku," ucap Dio pelan. Aku menoleh ke arahnya. Menatap sepasang netranya yang jernih. Dia adalah salah satu orang terdekatku selama ini. Menjadi sandaran setiap kali aku merasa begitu bingung dengan apa yang terjadi. Meski, nyatanya setiap kali aku buta akan perasaan cinta 'yang salah', aku lagi dan lagi selalu melupakan dia.
Beruntungnya aku, dia tetap tak meninggalkanku.
"Kenapa?"
"Sebab aku merasa lega akhirnya hubungan terlarang kamu diketahui banyak orang. Itu berarti ... kamu akan berhenti selamanya," gumamnya seraya menatap mataku lekat.
Aku menghela napas berat. "Kamu ... jahat, Dio."
"Aku selalu pengen kamu dapat yang terbaik, Anye."
"Tapi aku mencintainya," kilahku kasar.
"Suami orang lain?"
"Dia lebih dulu jadi pacarku. Selama 6 tahun kami menjalin kasih. Laki-laki yang menemani masa-masa sulitku menjalani karir, casting di mana-mana. Dia yang selalu mengatakan kalimat-kalimat penenang tentang aku yang akan menjadi aktris hebat. Dia ... dia ... dia kekasih aku, Dio."
Aku menangis. Memejamkan mata dan luahan kekesalan terus luruh. Fakta yang aku sebutkan tetaplah tidak membantu sedikitpun. Fakta yang aku urai tetaplah tidak berarti apa-apa; kini. Sebab sejatinya, fakta itu, tak ada orang yang ingin tahu. Mereka-mereka itu hanya ingin tahu satu hal.
Mengapa aku menjalin cinta dengan laki-laki yang sudah beristri?
"Tapi dia sudah jadi suami seseorang, Anye," ucap Dio pelan. Dia mengusap tanganku lembut. Perlahan, ibu jarinya menghapus air mataku.
"Sialannya kamu benar soal fakta itu." Dan aku kembali tergugu. Mengingat kembali runyamnya perasaan yang telah lama dibangun untuk kemudian mengambil alur yang salah. Hingga, saat sorot kamera dan bisik-bisik orang menghakimi; pembelaan apapun yang aku ucapkan adalah pembenaran yang tak dapat dilakukan!
"Aunty!"
Aku dan Dio kompak menoleh, ke arah jam 12 di dekat pintu masuk. Dua makhluk kecil dengan rambut panjang itu tertawa seraya berjingkat-jingkat riang. Mereka bersama ayahnya, dengan wajah dingin dan ekspresi datar khas dirinya.
"Dua keponakan lucumu datang, Nye," gelak Dio. Dia melambaikan tangan ke arah dua squishy itu hingga mereka memburu dengan tawa yang lebar.
"Ayah, ayo duduk di sini," ujar salah satu di antara mereka berdua. Nama mereka; aku hafal. Thea – Anna. Tapi yang mana Thea dan yang mana Anna, pun aku tidak tahu. Mereka seperti satu orang yang sama. Padahal, setidaknya mereka harus botak salah satu, agar aku bisa dengan mudah membedakan. Layaknya Upin dan Ipin.
Ah ... Nye, bicara apa kamu!
"Hey, squishy, duduk di kursi lain saja," pungkasku ketus.
"Benar sayang, kalian tidak boleh duduk dengan nenek sihir itu."
Aku mendelik mendengar perkataan ayah mereka. Apa dia bilang?
Ne – nenek sihir?
"Hey! Apa maksudmu nenek sihir?"
"Kamu ... seperti itu," jawabnya dingin.
Aku menghela napas kasar. Meniup sebagian poni dan berkacak pinggang.
"Nggak ada nenek sihir secantik aku, omong-omong," jawabku tak mau kalah.
"Kamu nggak cantik, omong-omong," jawabnya semakin menyebalkan.
Aku menoleh ke arah Dio. Laki-laki itu hanya mengendikkan bahu seraya tersenyum. Dua makhluk kecil seperti squishy itu juga terkekeh, menyaksikan perdebatan antara aku dan ayah mereka.
"Hey squishy, bilang dengan jujur dan nanti aku beri kalian izin duduk di sini. Apa aunty cantik atau cantik sekali?"
Dua squishy itu saling pandang untuk kemudian beralih memandang ayahnya. Dari interaksi yang dapat dibaca, aku melihat ayahnya menggeleng sebagai tanda bahwa mereka mungkin menjalin kerjasama untuk melawanku. Tapi kita lihat, apa squishy itu mau berkubu denganku atau ayahnya?
"Aunty cantik sekali," jawab mereka kompak seraya mengacungkan dua jempol di masing-masing tangan pendek mereka.
Aku mencebikkan bibir ke arah ayah mereka. "Kalian pintar. Aku traktir ice cream dan mintalah pada paman ini, oke." Aku menunjuk ke arah Dio yang kembali tergelak. Dua makhluk kecil itu pun terlonjak dan sibuk mengikuti Dio dan memilih menu. Biar saja, Dio yang bayar. Ini cafenya, dua cone ice cream tidak akan membuat Ten Belles cafe bangkrut, kan?
"Cara yang licik untuk mendapatkan pengakuan, Mademoiselle."
Aku tidak tahu, dia tinggal di kutub mana. Sebab nada suaranya sedingin es, juga tatapannya yang selalu nampak datar. Atau mungkin dia pernah terlantar di Mendenhall, Alaska?
"Aku memang cantik hingga tanpa harus melakukan tipu daya, pun orang akan mengakui," jawabku jemawa.
"Tapi sayangnya, cantikmu tidak kau gunakan untuk sesuatu yang baik, kan?"
Aku mengernyit dan dia hanya mengendikkan bahu. Mulai kesal, sebab nada bicara dan apa yang diucapkannya seperti mengindikasikan sesuatu.
"Apa maksud kamu?"
"Kamu nggak perlu marah, Mademoiselle."
"Kamu ngejek aku?"
"Soal?"
"Jangan berputar-putar! Kamu ngejek aku? Kamu lagi ngomongin apa sebenarnya, huh!"
"Kamu murahan, omong-omong. Perempuan-perempuan seperti kamu memang layak disebut nenek sihir, Mademoiselle."
Dan dari sekian banyaknya hujatan serta makian yang dilontarkan orang-orang, kali ini –sungguh kali ini- aku benar-benar merasa seperti dihantam gada. Kepalaku berat dan menyesakkan dada. Sebab, hinaan yang dilontarkannya –yang tidak tahu apa-apa ini- menjadi penghinaan yang menyakitkan.
Hingga, saat pergerakan tangan lepas dan mendarat di pipinya ....
Sial!
Aku memang menamparnya tepat ketika dua squishy itu berteriak.
"Aunty, kenapa menampar ayah?!"
***
Aku bergelung selimut, membiarkan Sella dan Mark tertawa dengan pertandingan game mereka. Atau Naeema yang sibuk dengan vlog-nya. Kecuali Dio, dia tak ada di rumah malam ini. Mengurusi cafe dan mungkin menikmati Seine dengan kekasihnya.Aku sibuk membaca notifikasi yang masuk di media sosial milikku, yang sialnya kesemuanya itu berisikan hujatan, hinaan dan beragam hal-hal menakutkan lainnya. Mereka –yang mengatakan itu- tak pernah benar-benar bisa menyaring apa yang mereka katakan. Segala hina dina yang mereka lontarkan; pun selama mereka bahagia, akan tetap menjadi hal yang menarik. Sedang aku –si korban- hanya bisa menangis.Lantas, hati kecilku kembali bertanya. Mengapa kau menangis, Nye?Aku mengusap buliran air mata yang menyintas pipi. Membenarkan semua ucapan mereka terkait aku perempuan hina yang mencintai suami orang lain. Meski, sebagian cerita sesungguhnya tidak mereka ketahui."Sudah dibilangin jangan membuka media sosial kamu, Nye." Naeema meraih paksa ponselku dan melem
Paris adalah rumah kedua. Sebab, Mark tinggal di sini. Ketiga sahabatku juga. Di tengah jadwal sibukku –dulu- aku masih bisa mengosongkan waktu hanya untuk istirahat di sini, satu dua hari. Menikmati affogato di Ten Belles milik Dio, shopping dengan Sella dan Naeema di Le Marais, atau sekedar berjalan-jalan malam dengan Mark di sekitaran Seine.Tapi, sejak mereka tahu aku menjalin kasih dengan 'dia' yang telah berganti status –terutama Mark- mereka mulai mengabaikanku. Menurutku, wajar. Mereka hanya terlalu peduli padaku; menyayangiku. Takut bila hal-hal buruk terjadi dan aku satu-satunya yang akan paling merasakan luka.Dan aku batu!Masih saja menuruti perasaan bodoh yang tak bisa melihat. Perihal laki-laki yang bahkan tidak pantas hanya untuk dipertahankan. Meski, akibat yang ditimbulkannya benar-benar membuat sekarat. Kini.Dan malam ini, sekitaran Seine masih cukup ramai walau invicta berwarna gold yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul 10. Aku berjalan-jalan sendiria
Aku terus mengekor Dio, sejak satu jam lalu. Dia abai dan mengatakan bahwa aku akan membuat pelanggannya kabur bila bekerja sebagai waitress di cafenya. Kejam sekali si mata bulat!Aku harus bekerja sebab tak mungkin menjadi aktris di Indonesia lagi dengan citra yang sudah buruk dan lebur. Citra sebagai seorang pelakor.Aku memang menyelesaikan sarjanaku di UI, seni teater. Tapi, ini Paris. Hanya pekerjaan-pekerjaan kasar yang bisa aku lakukan. Misalnya; menjadi waitress."Kamu ceroboh, Anye. Kamu bisa melukai diri kamu sendiri kalau menjadi pelayan di cafeku," omel Dio. Dia saat ini, masih sibuk menyirami bunga di halaman Belle Epoque.Aku kembali merengek, "Tapi aku butuh pekerjaan. Kamu tahu, skill yang aku punya hanya akting. Aku nggak mungkin menjadi model di butiknya Naeema atau pakaiannya nanti nggak akan laku. Aku juga nggak bisa bekerja di perusahaan game seperti Sella, atau aku akan mengacaukannya. Tapi, aku bisa menjadi waitress di cafemu, Dio.""Tidak, Nye. Kamu lebih baik
FLASHBACKIndonesia, May 2021.'Nanti mau ya, menghabiskan malam penuh gairah bersama? Aku punya kado spesial untuk kamu.'Pesan masuk itu mengubah musim panas milik Indonesia yang gerahnya tidak keruan menjadi sejuk seketika. Mungkin juga karena segelas affogato yang aku sesap. Atau boleh jadi karena kepalaku sudah sibuk membayangkan ini dan itu, malam nanti.Suara riuh di luar ruangan sesaat membuatku sadar. Menanggalkan bayang-bayang nakal di dalam otak dan menegaskan ... hey ... ini masih di lokasi syuting. Di ruang tunggu itu, aku dapat melihat pantulan diri di cermin rias. Wajah yang sudah nampak lelah tiba-tiba berubah penuh binar. Hanya karena sebuah pesan masuk dari dia.Micko Kasetra.Masih terpaku pada cermin ketika tepat, sebuah tangan melingkar di leher. Aroma parfum Bvlgari Pour Homme dengan wangi teh yang menenangkan. Wangi dari seseorang yang selama enam tahun ini yang menjadi favorit. Wangi yang begitu senang aku hidu tatkala mata terbuka. Atau saat lelah seharian s
Tanganku sudah dipenuhi balon di sisi kiri dan sisa cokelat di sisi kanan. Lutut terasa bergetar sebab mengikuti pergerakan dua makhluk ajaib yang dikirim dari planet Saturnus. Dua squishy yang sibuk memantul ke sana kemari. Tanpa lelah; dan aku hampir mati. Ya Tuhan! Anak kembar berusia lima tahun ini sepertinya tidak pernah kehabisan energi. "Thea, Anna, kemari. Ayo istirahat dulu sebntar. Kita harus makan siang, kan?" pintaku dengan suara setengah memohon. Thea menoleh –mungkin juga Anna sebab aku tidak tahu- dan berlari menghampiriku. Tak lama, satu squishy lainnya datang dengan tawa yang lebar. Mereka berdiri di depanku dengan senyuman yang mentereng. "Kita makan siang apa, aunty?" Aku diam sejenak. "Pizza? Pasta? Spaghetti?" "Spaghetti," jawab mereka serempak. Aku mengusap kepala mereka berdua lembut, untuk kemudian menggamit dua jemari mereka di sisi kanan dan kiri untuk kemudian masuk ke dalam cafe. Sayangnya, ini bukan cafe Dio. Padahal di sana, aku akan memin
Ini pukul sepuluh malam, sepi. Sebab Naeema dan Sella berkencan dengan pasangan masing-masing. Juga Mark dan Dio yang entah ke mana. Tapi sejak tadi senyum di bibirku yang menjadi aneh. Sungguh! simpul bibir tertarik paksa membentuk senyuman tanpa aku tahu penyebabnya. Tidak ada jokes-jokes aneh milik adikku, Mark. Tidak juga ada pertikaian antara Naeema dan Sella yang membuatku senang. Aku; sendirian. Sepertinya aku terserang virus mematikan. Senyum tanpa sebab!Atau sebabnya adalah senyum milik ... Jaden?Tidak mungkin!Ponselku bergetar. Menghadirkan pesan dengan nomor baru. Boleh jadi ini pesan iseng atau memang 'seseorang' sengaja mengirimkannya. Isinya singkat, penuh nada memerintah dan menyebalkan. Aku mengernyit. Cukup tahu siapa manusia kurang ajar yang mengirimnya.From : xxx-xxx Datang ke Mamma Primi cafe dengan si kembar. To : xxx-xxxApa ini dibayar? Aku pengangguran sekarang.From : xxx-xxx Dasar matrealistis! To : xxx-xxxAku harus hidup di sini.Mau atau tidak?Fr
Seine dan yacht yang melaju lambat. Menampilkan pesona Paris di sekitarnya. Ada Anna dan Thea yang nampak ceria menikmati sandwich. Juga sore sudah disambut semburat orange di sudut sana. Aku berdiri di bagian depan yacht, di sisi Jaden. Laki-laki itu memandang sungai Seine dengan pandangan yang selalu terasa sulit untuk dibaca. Aku mendehem. Berharap, kebekuan mencair. Dan memang Jaden menoleh. "Aktingmu buruk," komentarnya pedas. Aku hanya mencebikkan bibir. "Aku actress yang berbakat, asal kamu tahu." "Kamu mengajari anakku hal-hal tadi?" tanyanya curiga. "Si squishy hanya aku beri pengarahan sedikit. Catat ya, pengarahan. Bukan mengajari detailnya. Anak-anak kamu akan jadi actress hebat seperti aku," jawabku jumawa seraya tertawa. "Aku nggak mau anakku seperti kamu." Dingin. Singkat dan seperti menusukku dengan pisau. Aku menoleh ke arah Jaden. "Maksud kamu?" "Perlu aku jabarkan?" Aku diam; bergeming. "Akting kamu mungkin sangat bagus, tapi kamu membuat skandal memaluka
Instagram, Tiktok, x, dan berbagai portal gosip lainnya sedang memandangku sinis. Ada banyak kalimat lucu yang ditambahkan. Ada banyak ucapan konyol yang dibubuhkan. Itu bumbu. Media memang selalu dipoles semacam itu; agar menjual. Dan itu – Sialan!Aku sebagai objek. Dikuliti oleh berbagai perspektif yang menyudutkan.'Aktris berinisial L-A tertangkap kamera sedang menikmati kencan dengan seorang sutradara''Aktris berinisial L-A menikmati makan malam romantis dengan sutradara besar Indonesia berinisial M''Sutradara M sudah beristri, benarkah ada skandal kencan dengan artis berinisial L-A?''Lihat foto-foto kencan aktris L-A, nomor lima akan buat kamu geleng-geleng kepala'Aku melempar ponselku ke atas nakas. Mengabaikan berbagai macam komentar yang tak bisa lagi aku hitung, klasifikasikan dan cerna. Terlalu banyak. Dan yang bisa aku lakukan sekarang hanya kembali membaringkan tubuhku di atas tempat tidur, dengan jemari sibuk memijit dahi."Jangan terlalu dipikirkan. Berita itu aka
Anna tidak pernah menyangka, hanya dalam hitungan detik, dunia yang selama ini ia kenal bisa runtuh begitu saja. Dua hari sudah ia mendiamkan Thea, dan saudari kembarnya itu pun tampaknya menyerah. Biasanya, Thea akan menggedor pintu kamarnya dan memaksa bicara, atau setidaknya menyelinap ke tempat tidurnya dengan alasan ingin tidur bersama seperti dulu. Tapi kali ini berbeda. Thea hanya membiarkan Anna dengan amarah dan kekecewaannya sendiri. Bahkan di kampus, mereka saling menghindar, seolah-olah tidak pernah mengenal satu sama lain. Pagi itu, ketika bel apartemen berbunyi, Anna yang pertama kali membukanya. Dan di sana berdiri ibunya, Anyelir, dengan senyum lembut dan sekantong besar makanan. "Pagi, anak-anak Ibu. Kok cemberut?" tanya Anyelir sambil melangkah masuk. Thea yang baru keluar dari kamar langsung menyambut ibunya, sementara Anna mencoba bersikap biasa, meskipun ada kecanggungan yang tak bisa ia sembunyikan. Anyelir, dengan insting keibuannya, langsung menangkap sesua
Suasana apartemen terasa sunyi. Bukan sunyi yang menenangkan, melainkan sunyi yang menggantung, seperti angin sebelum badai. Jaden duduk di sofa, matanya tajam menelisik kedua putrinya yang berdiri di hadapannya. Seolah ini adalah sebuah persidangan, di mana ia adalah hakim, dan kedua putrinya adalah terdakwa yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anna, yang biasanya penuh percaya diri, tampak menciut. Punggungnya sedikit membungkuk, kepalanya menunduk, tangannya saling meremas. Sementara itu, Thea duduk di sandaran sofa dengan ekspresi santai. Ia menatap ayahnya dengan mata jernih, tidak gentar sedikit pun. Mungkin karena ia merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tidak seperti kembarannya yang terlihat seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang dilarang. Jaden menghela napas panjang, lalu bersuara. Suaranya dalam, berwibawa, namun ada nada marah yang berusaha ia tahan. “Siapa laki-laki itu?” Anna menelan ludah. “Dia... Dylan Louise. Salah satu mahasiswa di ENS,” j
Angin malam berembus pelan di Paris, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah hujan sore tadi. Dari balik jendela apartemen, lampu-lampu kota menyala seperti kunang-kunang yang menari di antara bangunan tua nan kokoh. Anna duduk bersila di sofa, matanya berbinar, bibirnya tak henti-hentinya berceloteh tentang sesuatu yang membuatnya begitu bersemangat. Atau lebih tepatnya, seseorang. "Thea, kamu nggak ngerti! Ini takdir!" seru Anna sambil merentangkan tangannya dramatis. Thea, yang tengah bersandar dengan sebuah buku di pangkuannya, hanya mengangkat sebelah alis. "Takdir? Kamu baru ketemu dia sekali, Anna." Anna mendesah panjang. "Bukan masalah berapa kali ketemu. Tapi gimana rasanya saat pertama kali melihat dia. Dadaku langsung berdebar, kakiku melemah, dan dunia serasa berhenti berputar!" Thea menahan tawa. "Kamu yakin itu bukan karena kamu kelaparan?" Anna melempar bantal ke arah saudara kembarnya. "Aku serius! Ini yang namanya cinta pada pandangan pertama!" Thea menan
Pagi di Paris selalu indah, dengan angin musim gugur yang berhembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe di sepanjang jalan. Anna dan Thea berjalan berdampingan menuju ENS Paris, universitas tempat mereka menimba ilmu. Di tangan masing-masing, ada setumpuk buku dan catatan, seolah menjadi perpanjangan dari diri mereka yang haus akan ilmu.“Aku masih belum terbiasa bangun pagi di sini,” keluh Thea sambil menguap, sesekali menyesap kopi dari gelas kertas yang ia bawa.Anna tertawa kecil. “Makanya, jangan begadang nonton film terus.”Thea hanya mendengus. “Bukan salahku kalau inspirasi datangnya pas malam.”Mereka akhirnya sampai di halaman kampus yang luas dan klasik. Gedung-gedung tua dengan pilar-pilar tinggi berdiri megah, membawa aura akademik yang serius namun menggoda untuk dieksplorasi. Saat mereka melewati gerbang utama, Thea menoleh ke arah Anna.“Oke, sampai sini kita berpisah. Jangan lupa makan siang,” pesan Thea.“Kamu juga,” jawab Anna sambil melambaikan tangan sebelum
Hari itu, apartemen Anna dan Thea terasa lebih ramai dari biasanya. Aroma makanan yang menggugah selera memenuhi udara ketika Anye sibuk mengeluarkan berbagai bekal dari tas belanjaannya. Bhumi, adik bungsu mereka, sudah tak sabar ingin bermain, sementara Jaden—meski masih memasang wajah dingin—duduk di sofa, matanya mengamati setiap sudut ruangan dengan seksama. “Kenapa Mama bawa makanan sebanyak ini?” keluh Thea, melipat tangan di dada sambil melihat tumpukan kotak makanan di meja makan. Anye tersenyum lembut. “Kalian pasti belum terbiasa masak sendiri. Lagipula, Mama kan tahu makanan kampus itu nggak selalu enak.” Anna tertawa kecil sambil membuka salah satu kotak. “Astaga, ini ayam woku favoritku! Thanks, Ma!” Bhumi, yang sejak tadi sudah berseliweran, menarik tangan Anna dengan penuh semangat. “Kak Anna, Kak Thea, kita main game, yuk! Aku bawa console biar seru!” Thea mengacak rambut adiknya dengan gemas. “Ya ampun, Bhumi. Kamu pikir kita di rumah?” “Tapi ini juga rumah Kak
Paris pagi itu menyambut Anna dan Thea dengan matahari yang masih malu-malu. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui jendela besar apartemen mereka yang baru, menyorot tumpukan kardus yang belum sepenuhnya dibongkar. Aroma roti panggang yang mulai menghangus di toaster membuat Thea mengerutkan hidungnya.“Astaga, Anna, roti bakarmu gosong!” seru Thea, buru-buru mengambil roti dari toaster dan meniupinya seakan itu bisa mengembalikan kelezatannya.Anna, yang sedang sibuk berbicara di telepon, hanya melambai tanpa benar-benar mendengar peringatan adiknya. Ia bersandar di meja dapur dengan ponsel menempel di telinganya, suaranya terdengar lembut dan penuh kerinduan.“Iya, Bhumi, Kakak janji bakal sering pulang. Jangan nangis terus, ya?” katanya, senyum tersungging di wajahnya.Dari seberang, terdengar suara rengekan Bhumi yang merajuk. “Tapi rumah jadi sepi banget, Kak…”Anna terkekeh. “Ya, kan ada Mama dan Papa. Lagian, kamu juga bisa video call Kakak kapan aja.”Thea, yang sejak tadi
Suara resleting koper menggema di kamar yang selama hampir dua dekade menjadi tempat paling aman bagi Anna dan Thea. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela, membentuk siluet dua gadis yang tengah sibuk mengemasi barang-barang mereka. Rak buku yang penuh dengan novel klasik, meja rias yang selama ini menjadi saksi bisu kebersamaan mereka, semua tampak sama—hanya saja, malam ini, kamar itu terasa lebih sepi.Anna melipat sweater birunya dengan hati-hati, sementara Thea menyusun buku-bukunya ke dalam tas ransel hitam. Tak ada kata-kata yang terucap di antara mereka, hanya hembusan napas panjang dan detak jantung yang bergemuruh.Pintu kamar berderit pelan. Anyelir berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh dengan harapan yang terselubung oleh kecemasan. Ia memandang putri-putrinya, dua gadis yang dulu digendongnya saat bayi, kini berdiri di hadapannya dengan tekad yang tak bisa digoyahkan."Anna, Thea... Mama mohon, pikirkan lagi keputusan kalian," suara Anyelir terdengar lembut, sep
Langit Paris pagi itu mendung, tetapi jalanan tetap hidup dengan suara langkah kaki dan deru mobil yang melintas. Di apartemen bergaya klasik di arrondissement ke-7, keluarga Jaden baru saja memulai rutinitas harian mereka. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi dapur, menyatu dengan wangi croissant dari oven Anye."Anna, Thea, ayo cepat! Papa nggak mau terlambat ngantar kalian," suara Jaden menggema dari ruang tamu. Ia berdiri di depan pintu dengan mantel panjang hitamnya. Seperti biasa, ia memegang kendali penuh atas jadwal kedua putrinya, memastikan mereka selalu tiba tepat waktu di kampus."Kami tahu, Papa," jawab Anna malas sambil menuruni tangga. "Tapi kalian harus percaya, kami bisa naik metro sendiri."Jaden menggelengkan kepala. "Tidak ada diskusi. Papa nggak mau sesuatu terjadi di luar sana. Kalian masih muda, dunia tidak seaman yang kalian pikir."Thea hanya melirik ke arah Anna dengan tatapan jengkel, tetapi keduanya tak berkata apa-apa lagi.Papanya selalu saja begitu. Men
Di ruang interogasi yang pengap, Mina duduk dengan tangan terborgol di depan meja besi. Wajahnya yang dulu angkuh kini tampak penuh guratan penyesalan dan lelah. Namun, tatapan matanya tetap menunjukkan ketidaksukaan saat Jaden dan Anyelir masuk ke dalam ruangan.Jaden, yang mengenakan setelan sederhana, terlihat dingin dan penuh dendam. Di sampingnya, Anyelir mencoba tetap tenang meski hatinya terasa berat melihat perempuan yang telah menghancurkan keluarganya.“Mina,” Jaden membuka percakapan dengan nada rendah namun tegas. “Aku tidak akan membuang waktumu—dan waktuku. Aku hanya ingin kamu tahu, gugatanmu soal hak asuh Anna dan Thea sudah dibatalkan. Pengadilan akhirnya melihat kebenaran setelah semua yang kamu lakukan.”Mina tersenyum tipis, penuh kepahitan. “Jadi kamu di sini untuk menyombongkan kemenanganmu, Jaden? Setelah semua yang kita lalui, kamu tetap saja ingin menjatuhkanku lebih dalam.”Jaden mengepal tangannya. Rasa marah bercampur jijik membuatnya sulit berkata-kata. "K