Darren menatap Alina lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Arion. Dia membetulkan ranselnya dan menyeringai, lalu mengedipkan mata ke arah Alina menuju pintu.
Alina pun mendapati tatapan tajam dari Arion, tertuju padanya. Denyut nadinya melonjak, dan perutnya jungkir balik. Ia yakin Arion sangat marah padanya, tapi ia tidak tahu alasannya apa. "Ayo." Sergio memukul punggung Darren. "Ayo pergi dari sini sebelum Arion menendang bokongmu di depan kelas." Para siswa tertawa.. Clarissa menyaksikan mereka berdua menghilang. Ia menyilangkan tangannya. "Arion, aku tahu kamu tidak ingin ada permusuhan antar pemain. Tapi kamu harus berhati-hati dengan anak itu. Dia tidak suka kamu mengaturnya." Sesaat setelah itu, murid-murid terdengar riuh. Karena guru yang Alina dengar dari beberapa murid bernama Mr. Asher, baru saja datang. Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar kelas tanpa sedikitpun kekhawatiran. Alina yang melihatnya, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Di sekolah elit ini, aturan tak berlaku bagi semua orang, terutama bagi mereka yang punya status dan kekuasaan. --- Keesokan harinya, Alina melakukan tugasnya sebagai relawan di rumah sakit kanker, berjalan menyusuri koridor ketika dia melihat seorang kakek tua duduk dengan tongkat sendirian di ruang tunggu. Wajahnya terlihat lelah, dan ia berjuang untuk memegang beberapa dokumen serta perlengkapan medis. “Permisi, Pak,” kata Alina sambil mendekat. “Apakah Anda butuh bantuan?” Kakek itu menoleh dengan tatapan terkejut. “Oh, terima kasih, Nak. Saya hanya merasa sedikit bingung. Saya harus pergi ke ruang pemeriksaan, tapi semua ini terlalu berat untuk saya.” Tanpa ragu, Alina mengambil beberapa barang dari tangan kakek itu dan menuntunnya. “Saya bisa membantu Anda. Mari, saya akan mengantarkan Anda.” “Kau benar-benar baik, Nak. Namaku Pak Hadi." Kakek itu tersenyum sedikit mencuri pandang pada kartu yang dikalungkan di leher Alina. "Ah.. apa kau selalu di sini sebagai relawan?” “Iya, Pak Hadi. Saya relawan tetap di rumah sakit ini. Senang bisa membantu,” jawab Alina sambil tersenyum berjalan bersamanya. “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya mengerti. Tapi Anda tidak sendirian. Banyak orang peduli, termasuk saya. Anda pasti sangat kuat untuk menghadapi semua ini.” Pak Hadi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Kau masih muda, tapi sudah memiliki hati yang besar. Terima kasih, Nak. Kebaikanmu membuat hariku lebih baik.” “Semoga perawatan bapak berjalan lancar, ya, Pak. Jika ada yang bisa saya bantu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” Alina menjawab dengan senyum yang tulus. Saat mereka sampai di ruang pemeriksaan, Pak Hadi menepuk bahu Alina dengan lembut. “Kau adalah cahaya dalam kegelapan bagi banyak orang di sini. Semoga kebaikanmu kembali kepadamu...” Alina merasa terharu mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Pak Hadi. Itu sangat berarti banyak bagi saya.” Dengan perasaan hangat di hati, Alina melanjutkan tugasnya, sementara kakek itu melangkah ke dalam ruang pemeriksaan. Setelah menyelesaikan tugasnya, Alina duduk di bangku ruang tunggu, melepaskan seragam dan kartu pengenal relawannya. Ia merasa lelah, tetapi senyum puas menghiasi wajahnya. Menjadi relawan di rumah sakit kanker adalah rutinitasnya setiap Minggu, dan setiap kali melakukannya, kenangan tentang ayahnya yang telah meninggal selalu terlintas di benaknya. Alina beranjak menuju toilet untuk berganti pakaian dan bersiap pulang. Di depan petugas yang sudah mengenalnya, ia sedikit membungkuk dan berkata, “Terima kasih.” Mereka tersenyum hangat, saling memahami perjuangan yang mereka jalani. “Sampai bertemu Minggu depan,” Alina melanjutkan, sebelum melangkah keluar dari rumah sakit. Setelah keluar, Alina melihat jam—jam satu pagi. Ia tahu bahwa dia harus berjalan kaki pulang. Dengan sigap, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan semprotan cabai, "Lebih baik aman daripada menyesal." Katanya dalam hati. Lalu, ia mulai berjalan cepat menuju rumah. Segera setelah berada jauh dari rumah sakit, suara mesin terdengar. Alina menoleh dan melihat lampu depan mobil Ranger Raptor hitam menyala. Tanpa terlalu memikirkannya, ia melanjutkan perjalanan hingga menyadari bahwa kendaraan itu berbelok dan melaju perlahan di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang, dan ia menambah kecepatan, berlari menyeberang jalan menuju gedung parkir yang lampunya masih menyala, berharap bisa menemukan tempat yang lebih aman. Ranger Raptor itu berbelok masuk ke tempat parkir dan berhenti di sebelah Alina. Tanpa berpikir panjang, Alina mengambil semprotan cabai, dan segera setelah jendela diturunkan, ia berbalik dan menyemprotkannya ke mata pengemudi sebelum ia mengenalinya. “Tuhan.. Jantungku ingin copot,” dan semprotan cabai itu terjatuh dari tangannya ke trotoar. Dentingan kerasnya hampir tidak terdengar di tengah detak jantungnya yang berdebar kencang. “APA-APAAN INI, ALINA! DASAR GADIS JALANG!” seru Arion, menginjak rem sambil menggeram, kesakitan. “A...Arion?” Alina tergagap, terkejut melihat wajah familiar itu. “Ya, ini aku!!! Kenapa kamu harus melakukan ini?” Arion masih kesal, mengelap matanya yang terbakar semprotan cabai. Alina menyesali tindakannya. “Aku tidak tahu itu kamu. Aku pikir, kamu adalah penguntit mesum..” “Gadis bodoh! Apa yang kamu pikirkan?!” Arion berusaha mengendalikan emosinya. “Kamu seharusnya tidak berlari seperti itu! Aku hanya berniat menolongmu..” Alina mengangkat bahu, tetap tegang. “Menolong? Dengan mengejarku pakai mobil hitam di malam buta?? Tentu saja aku takut!” Arion mendengus, “Jangan memuji dirimu sendiri. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu berjalan sendirian. Malam-malam begini.. Seharusnya kamu bersyukur.." Alina merasa sedikit kasihan melihat ekspresi kesal di wajah Arion, meskipun mereka selalu saling benci. “Ya, tapi kamu tahu betapa menakutkannya ketika kumelihat mobil besar mengejarku di malam hari. Aku tidak tahu niatmu!” Mata Arion mengeluarkan air mata. “Dan aku tidak tahu bahwa kamu akan menyemprotkan cabai ke mataku!" "Astaga...." Arion mengucek matanya. "Rasanya lebih sakit daripada keluar dari pertandingan.” Alina merasakan campuran senang dan kasihan terhadap Arion. Dia tahu meskipun mereka sering bertengkar, dalam situasi ini, Arion benar-benar berniat membantunya. “Aku... aku minta maaf. Aku hanya panik..” Arion melihat ke arah Alina, merasakan perubahan dalam nada suaranya. "Sekarang kita harus pergi dari sini sebelum ada yang melihat." Tiba-tiba, suara handphone berbunyi. Arion mengangkat telepon. “Ya... Apaa?? Baik, saya akan segera ke sana!” Suara Arion terdengar panik saat menutup teleponnya. “Ada apa?” tanya Alina, khawatir. “Aku harus ke rumah sakit kanker. Kakekku dalam keadaan gawat,” jawab Arion, matanya tampak berkilau dengan kekhawatiran. Alina terdiam sejenak, merasa berat. Dia baru saja keluar dari rumah sakit itu, dan sebenarnya malas ikut Arion. Namun, saat melihat mata Arion yang semakin berair, rasa bersalah muncul dalam dirinya. “Baiklah, aku ikut.” Sesampainya di rumah sakit, Arion berlari cepat menuju ruang darurat, dan Alina mengikuti di belakangnya, berusaha menjaga jarak. Saat mereka tiba, Alina melihat Pak Hadi terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dan tim medis sedang bersiap untuk melakukan tindakan darurat. “Kakek!” seru Arion, mendekati kakeknya. Pak Hadi menatap Arion dengan mata lemah, tetapi masih berusaha tersenyum. “Cucuku... aku tidak punya banyak waktu. Mereka akan membawaku untuk operasi kanker limfoma." “Anakku, kau di sini juga. Ternyata kau teman Arion? Mungkin ini adalah saatnya Arion untuk menemukan cintanya.” Alina terkejut. "Pak Hadi..?" Pak Hadi tersenyum, meski jelas kondisinya lemah. "Ya saya kakek Arion. Kau telah membantuku, Nak. Kau adalah gadis yang baik dan tulus... Saya tidak akan pernah lupa." Alina tersipu. Dia tidak menyangka kakek Arion adalah Pak Hadi. "Saya hanya melakukan yang seharusnya." Arion tampak terkejut. "Kakek, kau mengenalnya?" Pak Hadi mengangguk. "Ya, Arion. Alina ini perempuan yang baik. Aku tahu dia bisa diandalkan." Alina tersipu malu, sementara Arion mencoba tidak peduli. Tiba-tiba, tubuh Pak Hadi bergetar, dan napasnya terdengar berat. Perawat yang bertugas datang memeriksa kondisinya. Namun, sebelum itu Pak Hadi menarik napas dalam-dalam dan memandang Alina dan Arion dengan tatapan penuh harap. "Alina, sebelum aku pergi... ada satu hal yang ingin kuminta. Menikahlah dengan Arion." Alina membelalak, tak percaya dengan permintaan yang baru saja dia dengar. “M-menikah dengan Arion?” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menoleh ke Arion yang sama terkejutnya. “Kau tahu, Alina, Arion adalah anak yang malang. Sejak kecil dia kehilangan banyak hal dalam hidupnya, termasuk cinta. Aku ingin dia punya seseorang yang tulus di sisinya, seperti kau.” Pak Hadi berhenti sejenak, napasnya semakin tersengal-sengal. “Jika kau bersamanya, aku bisa pergi dengan tenang.” Alina terdiam. Meskipun dia dan Arion tidak pernah akur, cerita tentang kehidupan Arion mulai menggugah hatinya. Arion tertegun, hatinya dipenuhi oleh perasaan campur aduk. “Kakek, jangan bicara seperti itu! Aku tidak mau kamu pergi. Kita akan melakukan yang terbaik!” Pak Hadi menggenggam tangan Arion. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia cucuku... sebelum aku menutup mata untuk selamanya.” Pak Hadi menatap Alina, yang berdiri di samping Arion, dan tersenyum lemah. Dalam keheningan yang mendalam, sang kakek berkata lirih.. “Waktuku sudah dekat. Aku ingin melihatmu bahagia. Alina... kau di sini bersamanya. Aku ingin kalian berdua... menikah.”Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar.. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang pernikahan, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk men
Dalam keadaan wajah yang basah terkena siraman air, Arion berkata, “Jadi, apa kamu benar-benar ingin melihatku tanpa baju?”Beberapa helai rambut Arion menutupi sedikit matanya. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tampan dengan rambut yang acak-acakan seperti itu?Alina cepat-cepat membalas, “Oh, tentu tidak! Ini akibat kau yang terkena semprotan cabai. Jadi bajumu harus dilepas supaya tidak terkontaminasi.”“Ya, kamu benar," balas Arion, sambil terus mengedipkan matanya masih berair."Tapi membasuhnya dengan air nggak membuatnya lebih baik. Sial.. kurasa bola mataku akan lepas!” Arion menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.“Maka dari itu, kau sebaiknya diam, tutup saja mulutmu. Ikuti apa yang kusuruh..” Alina menjawab dengan kesal, tetapi ada nada kekhawatiran dalam suaranya.Arion langsung manut. Alina melihat Arion melepaskan kausnya dengan perlahan. Tanpa menunggu jawaban Arion, Alina segera memalingkan wajahnya, beranjak pergi ke dapur. “Aku mau buat air hangat untuk mengompr
Alina mendengus dan menatap matanya. Arion bertingkah aneh. "Mengapa aku harus?" “Kau tidak ingin direktur mengira kau selingkuh dan tidur dengan orang lain—seperti Darren—kan?" sindir Arion dengan nada dingin. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kepedihan tersembunyi di balik tatapan itu.Alina tahu, sisi brengsek Arion yang lama dia tunggu akhirnya muncul. Ini dia, pikirnya. Sudah waktunya.Sindiran itu menghantam keras. Seolah dada Alina benar-benar ditusuk. Rasanya terlalu menyakitkan."Oh, jadi itu yang selama ini kau pikirkan tentangku? Bahwa aku tidur dengan pria yang sudah menikah dan cukup tua untuk jadi ayahku?" Alina balas menatapnya, hatinya terasa terbakar.Arion mengangkat bahu, tampak seolah tak peduli. "Yah... Itu masuk akal. Kau bisa masuk HIA dengan mudah. Dan aku tidak mempermasalahkan itu," ucapnya, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting. Ia melirik Alina sambil mengibaskan tangan. "Aku berpikiran modern. Kau tahu, soal itu." Mata Arion tertuju pada bawah tubuh
"Dua jam lagi..." gumam Alina sambil memandangi jam dinding. "ASTAGA...! ALINA!" Dia hampir lupa. Dua jam lagi dia harus berada di sekolah. Alina langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Alina terburu-buru berdiri di depan cermin dan merias wajahnya dengan riasan tipis. Ia memilih liptint merah muda dan sedikit maskara, memberikan tampilan yang segar namun tetap natural. Setelah puas dengan penampilannya, Alina berbalik dan mengunci pintu depan di belakangnya. Alina membuka aplikasi peta di ponselnya untuk mengecek rute ke sekolah. Saat melihat jarak tempuh, keningnya berkerut. Dia harus berjalan sejauh satu kilometer, yang biasanya tidak menjadi masalah baginya. Namun, mengingat cuaca yang panas dan terik saat ini, dia sedikit cemas. "Dua puluh menit di bawah sinar terik seperti ini? Ini akan jadi tantangan baru," pikirnya sambil menghela napas dan bersiap untuk berangkat. Alina menyusuri jalan sambil menatap aplikasi maps, menyesuaikan gambar denga
Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung.Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki. Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya.Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya.“Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.”“Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.” Arion tersenyum, tetapi Alina berh
Tak terasa Alina pun ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, ia langsung bersiap-siap dengan cepat, karena dia harus tiba di sekolah lebih awal untuk mengambil seragamnya.Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang ia harus ke perpustakaan, namun ia baru ingat jika tidak tahu lokasinya. Ia hanya ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang membuatnya terjebak konfrontasi dengan Clarissa kemarin.Mengingat itu air mata Alina mengalir lagi, ia tidak bisa membendungnya. Alina lelah sekarang, dan ia berkeringat. Belum lagi saat pulang nanti ia harus berjalan kaki lagi.Alina menarik napas panjang, mengipasi matanya. Kemudian merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang..."Hei... kamu baik-baik saja?"Akhirnya, pandangan Alina menjadi jelas dan melihat pria di depannya, dia tak kalah tampan dari Arion. Dia mengenakan jersey dan membawa ransel HIA berwarna biru tua. "Ya, hanya sedikit lelah," gumam Alin