Beranda / Fiksi Remaja / Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku / Terjebak Dalam Pernikahan Tak Terduga

Share

Terjebak Dalam Pernikahan Tak Terduga

Darren menatap Alina lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Arion. Dia membetulkan ranselnya dan menyeringai, lalu mengedipkan mata ke arah Alina menuju pintu.

Alina pun mendapati tatapan tajam dari Arion, tertuju padanya. Denyut nadinya melonjak, dan perutnya jungkir balik. Ia yakin Arion sangat marah padanya, tapi ia tidak tahu alasannya apa.

"Ayo." Sergio memukul punggung Darren. "Ayo pergi dari sini sebelum Arion menendang bokongmu di depan kelas."

Para siswa tertawa..

Clarissa menyaksikan mereka berdua menghilang. Ia menyilangkan tangannya.

"Arion, aku tahu kamu tidak ingin ada permusuhan antar pemain. Tapi kamu harus berhati-hati dengan anak itu. Dia tidak suka kamu mengaturnya."

Sesaat setelah itu, murid-murid terdengar riuh. Karena guru yang Alina dengar dari beberapa murid bernama Mr. Asher, baru saja datang.

Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar kelas tanpa sedikitpun kekhawatiran.

Alina yang melihatnya, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Di sekolah elit ini, aturan tak berlaku bagi semua orang, terutama bagi mereka yang punya status dan kekuasaan.

---

Keesokan harinya, Alina melakukan tugasnya sebagai relawan di rumah sakit kanker, berjalan menyusuri koridor ketika dia melihat seorang kakek tua duduk dengan tongkat sendirian di ruang tunggu.

Wajahnya terlihat lelah, dan ia berjuang untuk memegang beberapa dokumen serta perlengkapan medis.

“Permisi, Pak,” kata Alina sambil mendekat. “Apakah Anda butuh bantuan?”

Kakek itu menoleh dengan tatapan terkejut. “Oh, terima kasih, Nak. Saya hanya merasa sedikit bingung. Saya harus pergi ke ruang pemeriksaan, tapi semua ini terlalu berat untuk saya.”

Tanpa ragu, Alina mengambil beberapa barang dari tangan kakek itu dan menuntunnya. “Saya bisa membantu Anda. Mari, saya akan mengantarkan Anda.”

“Kau benar-benar baik, Nak. Namaku Pak Hadi."

Kakek itu tersenyum sedikit mencuri pandang pada kartu yang dikalungkan di leher Alina. "Ah.. apa kau selalu di sini sebagai relawan?”

“Iya, Pak Hadi. Saya relawan tetap di rumah sakit ini. Senang bisa membantu,” jawab Alina sambil tersenyum berjalan bersamanya.

“Bagaimana kabar Anda hari ini?”

“Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.”

Alina menatapnya dengan empati. “Saya mengerti. Tapi Anda tidak sendirian. Banyak orang peduli, termasuk saya. Anda pasti sangat kuat untuk menghadapi semua ini.”

Pak Hadi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Kau masih muda, tapi sudah memiliki hati yang besar. Terima kasih, Nak. Kebaikanmu membuat hariku lebih baik.”

“Semoga perawatan bapak berjalan lancar, ya, Pak. Jika ada yang bisa saya bantu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” Alina menjawab dengan senyum yang tulus.

Saat mereka sampai di ruang pemeriksaan, Pak Hadi menepuk bahu Alina dengan lembut. “Kau adalah cahaya dalam kegelapan bagi banyak orang di sini. Semoga kebaikanmu kembali kepadamu...”

Alina merasa terharu mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Pak Hadi. Itu sangat berarti banyak bagi saya.”

Dengan perasaan hangat di hati, Alina melanjutkan tugasnya, sementara kakek itu melangkah ke dalam ruang pemeriksaan.

Setelah menyelesaikan tugasnya, Alina duduk di bangku ruang tunggu, melepaskan seragam dan kartu pengenal relawannya. Ia merasa lelah, tetapi senyum puas menghiasi wajahnya.

Menjadi relawan di rumah sakit kanker adalah rutinitasnya setiap Minggu, dan setiap kali melakukannya, kenangan tentang ayahnya yang telah meninggal selalu terlintas di benaknya.

Alina beranjak menuju toilet untuk berganti pakaian dan bersiap pulang. Di depan petugas yang sudah mengenalnya, ia sedikit membungkuk dan berkata, “Terima kasih.” Mereka tersenyum hangat, saling memahami perjuangan yang mereka jalani.

“Sampai bertemu Minggu depan,” Alina melanjutkan, sebelum melangkah keluar dari rumah sakit.

Setelah keluar, Alina melihat jam—jam satu pagi. Ia tahu bahwa dia harus berjalan kaki pulang.

Dengan sigap, ia merogoh tasnya dan mengeluarkan semprotan cabai, "Lebih baik aman daripada menyesal." Katanya dalam hati. Lalu, ia mulai berjalan cepat menuju rumah.

Segera setelah berada jauh dari rumah sakit, suara mesin terdengar. Alina menoleh dan melihat lampu depan mobil Ranger Raptor hitam menyala. Tanpa terlalu memikirkannya, ia melanjutkan perjalanan hingga menyadari bahwa kendaraan itu berbelok dan melaju perlahan di belakangnya.

Jantungnya berdebar kencang, dan ia menambah kecepatan, berlari menyeberang jalan menuju gedung parkir yang lampunya masih menyala, berharap bisa menemukan tempat yang lebih aman.

Ranger Raptor itu berbelok masuk ke tempat parkir dan berhenti di sebelah Alina. Tanpa berpikir panjang, Alina mengambil semprotan cabai, dan segera setelah jendela diturunkan, ia berbalik dan menyemprotkannya ke mata pengemudi sebelum ia mengenalinya.

“Tuhan.. Jantungku ingin copot,” dan semprotan cabai itu terjatuh dari tangannya ke trotoar. Dentingan kerasnya hampir tidak terdengar di tengah detak jantungnya yang berdebar kencang.

“APA-APAAN INI, ALINA! DASAR GADIS JALANG!” seru Arion, menginjak rem sambil menggeram, kesakitan.

“A...Arion?” Alina tergagap, terkejut melihat wajah familiar itu.

“Ya, ini aku!!! Kenapa kamu harus melakukan ini?” Arion masih kesal, mengelap matanya yang terbakar semprotan cabai.

Alina menyesali tindakannya. “Aku tidak tahu itu kamu. Aku pikir, kamu adalah penguntit mesum..”

“Gadis bodoh! Apa yang kamu pikirkan?!” Arion berusaha mengendalikan emosinya. “Kamu seharusnya tidak berlari seperti itu! Aku hanya berniat menolongmu..”

Alina mengangkat bahu, tetap tegang. “Menolong? Dengan mengejarku pakai mobil hitam di malam buta?? Tentu saja aku takut!”

Arion mendengus, “Jangan memuji dirimu sendiri. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu berjalan sendirian. Malam-malam begini.. Seharusnya kamu bersyukur.."

Alina merasa sedikit kasihan melihat ekspresi kesal di wajah Arion, meskipun mereka selalu saling benci. “Ya, tapi kamu tahu betapa menakutkannya ketika kumelihat mobil besar mengejarku di malam hari. Aku tidak tahu niatmu!”

Mata Arion mengeluarkan air mata. “Dan aku tidak tahu bahwa kamu akan menyemprotkan cabai ke mataku!"

"Astaga...." Arion mengucek matanya.

"Rasanya lebih sakit daripada keluar dari pertandingan.”

Alina merasakan campuran senang dan kasihan terhadap Arion. Dia tahu meskipun mereka sering bertengkar, dalam situasi ini, Arion benar-benar berniat membantunya.

“Aku... aku minta maaf. Aku hanya panik..”

Arion melihat ke arah Alina, merasakan perubahan dalam nada suaranya. "Sekarang kita harus pergi dari sini sebelum ada yang melihat."

Tiba-tiba, suara handphone berbunyi. Arion mengangkat telepon. “Ya... Apaa?? Baik, saya akan segera ke sana!” Suara Arion terdengar panik saat menutup teleponnya.

“Ada apa?” tanya Alina, khawatir.

“Aku harus ke rumah sakit kanker. Kakekku dalam keadaan gawat,” jawab Arion, matanya tampak berkilau dengan kekhawatiran.

Alina terdiam sejenak, merasa berat. Dia baru saja keluar dari rumah sakit itu, dan sebenarnya malas ikut Arion. Namun, saat melihat mata Arion yang semakin berair, rasa bersalah muncul dalam dirinya.

“Baiklah, aku ikut.”

Sesampainya di rumah sakit, Arion berlari cepat menuju ruang darurat, dan Alina mengikuti di belakangnya, berusaha menjaga jarak. Saat mereka tiba, Alina melihat Pak Hadi terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dan tim medis sedang bersiap untuk melakukan tindakan darurat.

“Kakek!” seru Arion, mendekati kakeknya.

Pak Hadi menatap Arion dengan mata lemah, tetapi masih berusaha tersenyum.

“Cucuku... aku tidak punya banyak waktu. Mereka akan membawaku untuk operasi kanker limfoma."

“Anakku, kau di sini juga. Ternyata kau teman Arion? Mungkin ini adalah saatnya Arion untuk menemukan cintanya.”

Alina terkejut. "Pak Hadi..?"

Pak Hadi tersenyum, meski jelas kondisinya lemah.

"Ya saya kakek Arion. Kau telah membantuku, Nak. Kau adalah gadis yang baik dan tulus... Saya tidak akan pernah lupa."

Alina tersipu. Dia tidak menyangka kakek Arion adalah Pak Hadi. "Saya hanya melakukan yang seharusnya."

Arion tampak terkejut. "Kakek, kau mengenalnya?"

Pak Hadi mengangguk. "Ya, Arion. Alina ini perempuan yang baik. Aku tahu dia bisa diandalkan."

Alina tersipu malu, sementara Arion mencoba tidak peduli.

Tiba-tiba, tubuh Pak Hadi bergetar, dan napasnya terdengar berat. Perawat yang bertugas datang memeriksa kondisinya.

Namun, sebelum itu Pak Hadi menarik napas dalam-dalam dan memandang Alina dan Arion dengan tatapan penuh harap.

"Alina, sebelum aku pergi... ada satu hal yang ingin kuminta. Menikahlah dengan Arion."

Alina membelalak, tak percaya dengan permintaan yang baru saja dia dengar. “M-menikah dengan Arion?” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia menoleh ke Arion yang sama terkejutnya.

“Kau tahu, Alina, Arion adalah anak yang malang. Sejak kecil dia kehilangan banyak hal dalam hidupnya, termasuk cinta. Aku ingin dia punya seseorang yang tulus di sisinya, seperti kau.” Pak Hadi berhenti sejenak, napasnya semakin tersengal-sengal.

“Jika kau bersamanya, aku bisa pergi dengan tenang.”

Alina terdiam. Meskipun dia dan Arion tidak pernah akur, cerita tentang kehidupan Arion mulai menggugah hatinya.

Arion tertegun, hatinya dipenuhi oleh perasaan campur aduk. “Kakek, jangan bicara seperti itu! Aku tidak mau kamu pergi. Kita akan melakukan yang terbaik!”

Pak Hadi menggenggam tangan Arion. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia cucuku... sebelum aku menutup mata untuk selamanya.”

Pak Hadi menatap Alina, yang berdiri di samping Arion, dan tersenyum lemah.

Dalam keheningan yang mendalam, sang kakek berkata lirih..

“Waktuku sudah dekat. Aku ingin melihatmu bahagia. Alina... kau di sini bersamanya. Aku ingin kalian berdua... menikah.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status