Arion terdiam sejenak, lalu menatapnya lebih serius, meskipun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Yah, kalau itu yang kamu inginkan, kita anggap saja begitu,” jawab Arion, sedikit bercanda tapi matanya masih menunjukkan kedewasaan. Alina mendengus sambil meninju pelan bahunya, merasa kesal sekaligus geli. “Aku serius, Arion…” "Baiklah, baiklah. Tapi, kalau suatu hari nanti aku melihat kamu benar-benar butuh aku, jangan harap aku akan diam saja." Arion menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Alina menghela napas panjang, bersiap untuk menjawab, tetapi Arion tiba-tiba mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka semakin tipis... PLAKKKK.. Tanpa ragu, Alina mengangkat tangan dan menampar pipi Arion. Tamparannya cukup keras hingga Arion meringis kesakitan. “Duh, apa-apaan sih?” Arion menatap Alina dengan pandangan mencemooh. “Besok juga kita bakal menikah. Masa nggak bisa kasih semacam ‘deposit’ dulu, gitu?” ujarnya sambil tersenyum nakal, seolah
Alina hanya mengangkat bahu kecil tanpa menjawab. Ia tahu apa yang dikatakan Arion ada benarnya, tapi hatinya terlalu keras untuk mengakui itu. Akhirnya, Arion menghela napas, jelas merasa bingung dan prihatin. Namun, ia tidak ingin memperpanjang pertengkaran ini di tempat umum. "Oke, kita keluar dulu." "Anggap saja ini hanya latihan." Dia menoleh dan mengedipkan mata. Suaranya kembali tenang. Arion membuka pintu. "Mereka sudah menunggu di dalam. Kamu siap atau tidak?" Tanpa menunggu jawaban, Arion keluar dari mobil dan berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Alina. Alina keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Di belakangnya, Arion berjalan dengan santai, seolah tempat ini adalah rumah keduanya. "Jangan gugup," kata Arion sambil membuka pintu untuknya dengan santai. "Kau cuma fitting baju pengantin. Bukan casting bintang film." Alina menatapnya tajam. "Siapa yang gugup?" ujarnya defensif, meski jelas-jelas dari tadi dia gelisah. Saat mereka masu
Arion melingkarkan lengannya di pinggang Alina. Mereka berdua terdiam sejenak, wajah mereka berdekatan. Sementara dibelakang, para pelayan saling berbisik dan tersenyum, terlihat gemas dengan momen manis itu. "Ini bukan cara yang baik untuk tampil di pernikahan." Mata Arion begitu tajam. Alina berhenti bernapas. “Tapi setidaknya, kamu tetap cantik.” Wajah Alina memerah. “Yah, sepertinya aku masih butuh latihan berjalan dengan gaun ini,” katanya. Telapak tangan Arion yang hangat membuat tubuhnya gemetar. Arion mengangkat alisnya, memberikan tatapan serius. “Jadi, apakah kamu benar-benar ingin memakai gaun ini?” tanyanya, suaranya terdengar tulus. “Karena jika iya, aku akan berusaha keras untuk memastikan kamu tidak jatuh lagi." Mendengar kata-katanya, Alina merasa hatinya berdegup. “Iya, aku suka gaun ini,” jawabnya pelan. “Dan terima kasih sudah menangkapku. Sekarang turunkan aku!” Arion membalas dengan berusaha membantu Alina berdiri lagi. Tapi ia masih memegang ta
Begitu wanita itu pergi dengan anjingnya, Alina berdiri dan menatap Arion dengan tatapan yang sulit dibaca. Dia tak berkata apa-apa, tapi ada kekesalan yang terpendam di matanya.Arion meraih kopernya dan melangkah lebih dulu, langkahnya panjang dan cepat. Dia berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar. “Ayo cepat. Kita hampir terlambat.”Alina menatap Arion dengan ekspresi nyaris tak percaya, lalu berusaha menelan rasa jengkelnya. "Pembantu? Serius?" desisnya, sambil menahan diri untuk tidak melempar sepatu ke arah cowok ituMentang-mentang sudah terbiasa hidup dalam sorotan publik, selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dia jadi bebas mengatainya.Setelah mereka duduk di ruang tunggu bandara, Alina tak lagi bisa menahan diri. "Kenapa kamu harus bilang aku pembantumu?"Arion menatapnya sebentar, wajahnya datar. “Karena itu yang paling masuk akal dalam situasi tadi.”Tanpa sedikit pun menunjukkan emosi dia berkata lagi. "Ah tidak.. Kupikir kau memang mirip seperti pembantu."“
Upacara pernikahan itu berlangsung sederhana, hanya dihadiri oleh kakek Arion, Pak Hadi, dan beberapa orang terdekat. Walaupun sederhana, atmosfernya terasa tegang—tapi bukan karena sakral, melainkan karena Arion dan Alina yang terus saling melontarkan lirikan penuh gengsi. Saat tiba gilirannya, Arion menggenggam tangan Alina dan mengatakan, "Aku bakal pegang kendali di sini." Tangannya lembut, tapi senyumnya benar-benar bikin Alina ingin menginjak kakinya.Dia berbisik sambil menahan senyum, “Siap-siap jadi nyonya Kwon, yang selalu menurut sama suaminya.”Alina menyahut pelan dengan sinis tapi tetap menggemaskan, “Kau mimpi ya, Arion? Nyonya Kwon nggak bakal ‘tunduk’ semudah itu.”Ketika pemimpin upacara memberi isyarat pada Arion untuk mulai mengucapkan janji, Arion menatap Alina dengan senyum penuh kemenangan dan berkata, "Mulai hari ini, kamu resmi jadi milikku. Siap-siap aja, jangan nangis kalau aku mengatur hidupmu.”Alina tersenyum lebar, baru ingin menjawab namun pemimpin per
Mata kakek yang lelah bersinar bahagia. Arion tetap diam di tempatnya, matanya terus mengamati Alina yang mendorong kursi roda kakeknya menuju meja makan sambil tertawa kecil dengan Pak Hadi. Dengan langkah tenang, Arion akhirnya mendekati mereka. "Alina," panggil Arion dengan nada yang terdengar lebih lembut dari biasanya, menarik perhatian Alina dan kakeknya. Ia tersenyum sekilas, lalu mencondongkan diri sedikit untuk menggenggam pegangan kursi roda. "Biar aku saja yang dorong, kamu pasti lelah," Alina tampak sedikit terkejut melihat sisi perhatian Arion yang tiba-tiba. Ia membiarkan Arion mengambil alih. Arion mulai mendorong kursi roda kakeknya dengan hati-hati, sementara Alina berjalan di samping mereka. Makan malam diadakan dalam suasana yang hangat, dengan percakapan yang mengalir ringan. Salah satu tamu, sahabat karib Pak Hadi, mengenang masa kecil Arion. “Dulu, Arion masih sekecil ini, tidak disangka sekarang sudah menikah." ucapnya dengan semangat. Pak Hadi menimp
Meja bergetar sedikit saat Arion memukulnya, menarik perhatian tamu lainnya. Mereka mulai berbisik-bisik, menatap dengan penasaran.Arion berdiri dengan kasar, memandang tajam ke arah kakaknya. "Kau pikir siapa dirimu, Daniel, sampai bisa bicara seperti itu?" suaranya terdengar dingin. "Alina tidak ada hubungannya dengan urusan keluargamu yang penuh kemunafikan."Daniel tertawa tipis, "Oh, Arion, jangan begitu serius. Kalian masih SMA.." ia lalu menyesap minumannya, sama sekali tak terintimidasi."Dan kau tahu, Ayah selalu lebih menyukaiku... Kau hanya membuat dirimu terlihat putus asa di sini." Dia menatap Alina lagi. "Kuharap kau siap, Alina. Hidup dengan Arion… mungkin akan jauh lebih sulit daripada yang kau bayangkan."Wajah Alina mulai pucat, tetapi Arion, yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi, menatap Daniel tajam dan berkata, "Jangan pernah berpikir untuk menghina istriku lagi."Daniel hanya terkekeh, mengangkat bahu. "Lihat saja nanti. Kita lihat seberapa lama 'pernikaha
"Kau yakin ingin melanjutkan ini di depan semua orang?"Alina terkesiap, lalu melihat ke dalam kaca gedung dan menyadari bahwa mereka sudah menarik perhatian seluruh tamu. Sebelum sempat berkata lagi, Arion tiba-tiba menarik pinggulnya ke dalam pelukannya.“Kenapa pula kakek menyuruhku menikah dengan gadis keras kepala seperti dirimu?” kata Arion berbicara di dekat telinga Alina.“Ck! Arion!” Alina memprotes, tetapi dia merasa hatinya bergetar saat tubuh Arion mendekat.Kata-katanya yang membisik membuat bulu kuduknya merinding. “Kita harus bisa mengatasi ini,”Wajah Alina mulai memerah.“Oke, kita terlihat bagus."Arion memeluknya erat... sangat erat, hingga Alina merasakan napasnya yang berat dan panas. Aroma tubuh Arion yang khas—perpaduan kayu cendana, dan jejak amber serta musk yang sensual, membuat Alina semakin ingin menempel pada laki-laki itu.“Ya, tepat seperti itu.." Arion mengelus rambut cokelat Alina lembut. "Jangan terlalu keras kepala pada suamimu yang baik hati ini.”
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion."Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat."Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.”Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mau ketemu sama kamu." Mend
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
"Aku bisa membayangkan rasanya kehilangan orang tua. Pasti berat banget. Aku bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus kamu harus datang ke sini... masuk ke sekolah elit ini, jadi sorotan kamera, terus Clarissa, yah, dia... aku tahu itu pasti bikin segalanya lebih sulit buatmu. Aku nggak seharusnya jadi cowok menyebalkan yang malah godain kamu di tengah semua ini." Alina tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak bikin aku kesal, kok." Ia berpura-pura melihat sekeliling. "Lagipula, aku nggak lihat siapa-siapa datang buat bikin aku tambah kesal." "Semoga aja nggak ada. Kalau iya, suasananya bakal makin aneh dari sekarang." Alina terkekeh. Sebagian beban di pundaknya terasa surut. "Tapi serius," Darren melanjutkan, menurunkan tangan ke sampingnya. "Aku cuma pengin kamu tahu, aku nggak bermaksud jahat. Aku sebenarnya senang ketemu kamu di sini. Menurut aku kamu itu menarik, lucu, dan..." Darren berhenti bicara mendadak, menyadari ucapannya mulai terdengar aneh.
"Aku... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther mengatakan kau terkunci di dalam bersama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian sudah berkenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka cuma nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Kau tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Ia merasa tidak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, tidak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Aku baik-baik saja." Darren mengerutka
"Alina..."Alina terhenyak dari lamunannya ketika suara Direktur Eric memanggil namanya. Ia mendongak, mendapati pria itu berdiri tak jauh darinya, ditemani oleh Arion dan Clarissa. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih berat. Direktur Eric baru saja menyelesaikan pembayaran uang sekolah Alina, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. “Baiklah, mari kita selesaikan ini,” ujar Direktur dengan nada ramah, sambil memberikan senyum tipis. Dia merangkul bahu Alina dan mengarahkannya ke bagian administrasi. “Besok kau masih harus sekolah, jadi pulanglah dan istirahat.”Istirahat. Kata itu menggoda, namun kenyataannya akan jauh dari itu. Malam-malamnya di rumah bersama teman-temannya jarang tenang. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan senyum, ingin secepat mungkin keluar dari situasi ini. Dengan pernikahan rahasia yang tak diinginkannya bersama Arion, ditambah kebencian yang jelas dari Clarissa, Alina berharap tak perlu banyak berinteraksi dengan mereka di sekolah esok hari.Namun, s
Aneh sekali berjumpa dengan orang yang dikira 'tidur' dengannya, bersama putrinya yang juga duduk disampingnya.. Alina kemudian melirik Clarissa menahan kesal. 'Mungkin saja ia mengira aku adalah ibunya?' “Selamat siang, Pak,” ucap Alina sambil sedikit membungkuk sopan. Direktur Eric menoleh dan menyambut Alina dengan wajah berbinar-binar. “Alina... akhirnya kita bertemu lagi. Dan… siapa ini?” Darren segera mengulurkan tangannya dengan ramah. “Darren, Pak. Terima kasih atas beasiswa sepakbola yang diberikan kepada saya dan beberapa teman lainnya untuk masuk ke sekolah HIA ini.” Direktur Eric menjabat tangan Darren sambil tersenyum lebar. “Ah, bagus sekali. Tapi, Darren, bisa tunggu sebentar di sebelah sana? Media nasional HorizoNews akan mengadakan wawancara sebentar lagi bersama Clarissa, Arion, dan Alina.” Benar. Hari ini adalah jadwal untuk wawancara lanjutan. Bagaimana bisa Alina melupakannya? Darren tersenyum dan mengangguk sopan, berjalan menjauh, sementara Alin
Clarissa memulai, suaranya yang manis namun penuh dengan sindiran menyebar di ruang kelas yang sunyi. "Alina Sari Mentari," katanya dengan nada yang terlalu dramatis. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, dan Alina bisa merasakan mata mereka yang penuh rasa ingin tahu, menunggu cerita yang akan dibagikan. Dalam keadaan lain, Alina mungkin merasa terhina, tapi tidak sekarang. Dengan masa lalu yang penuh cobaan, dan statusnya yang sering dianggap rendah, dia sudah terbiasa dengan cemoohan. Namun, saat Clarissa mulai berbicara, sesuatu di dalam dirinya memuncak. "Alina, benar-benar gadis yang sangat... malang, bukan? Kalian tahu, dia sering tidur dengan banyak pria dewasa." Clarissa tertawa sinis, disusul dengan gelak tawa dari teman-temannya yang sedang mengelilinginya. "Oh, dan apakah kalian tahu siapa yang mengancam ayahku agar bisa sekolah di sini? Tentu saja, Alina." Clarissa menatapnya dengan ekspresi mengejek. "Siapa yang mau memelihara gadis jelek dan miskin sep
Alina, yang berusaha terlihat tidak peduli, hanya mendengarkan sambil menunduk ke buku catatannya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. 'Tentu saja dia tidak datang latihan. Dua hari lalu, dia menikahiku secara diam-diam.' Alina ingin menampar dirinya sendiri karena pikiran itu. Tidak ada yang bisa tahu, terutama orang tua Arion, apalagi dua anak laki-laki ini. Hanya kakek Arion dan kerabat dekatnya yang tahu. Juga Daniel... lebih tepatnya. Luther menatap Valerian dengan alis terangkat. "Menurutmu dia ke mana?" Valerian mengangkat bahu, "Mungkin dia punya pacar rahasia. Maksudku, itu menjelaskan kenapa dia nggak pernah cerita soal kehidupan pribadinya." Alina tersentak sedikit, tapi buru-buru menutupi reaksinya dengan membalik halaman buku catatannya. Luther memperhatikan gerak-geriknya, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa. "Atau mungkin dia sakit. Tapi, yah, itu memang aneh. Apalagi buat Arion." Valerian menoleh ke Alina ia baru menyadari keberadaannya lagi. "