Begitu wanita itu pergi dengan anjingnya, Alina berdiri dan menatap Arion dengan tatapan yang sulit dibaca. Dia tak berkata apa-apa, tapi ada kekesalan yang terpendam di matanya.Arion meraih kopernya dan melangkah lebih dulu, langkahnya panjang dan cepat. Dia berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar. “Ayo cepat. Kita hampir terlambat.”Alina menatap Arion dengan ekspresi nyaris tak percaya, lalu berusaha menelan rasa jengkelnya. "Pembantu? Serius?" desisnya, sambil menahan diri untuk tidak melempar sepatu ke arah cowok ituMentang-mentang sudah terbiasa hidup dalam sorotan publik, selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dia jadi bebas mengatainya.Setelah mereka duduk di ruang tunggu bandara, Alina tak lagi bisa menahan diri. "Kenapa kamu harus bilang aku pembantumu?"Arion menatapnya sebentar, wajahnya datar. “Karena itu yang paling masuk akal dalam situasi tadi.”Tanpa sedikit pun menunjukkan emosi dia berkata lagi. "Ah tidak.. Kupikir kau memang mirip seperti pembantu."“
Upacara pernikahan itu berlangsung sederhana, hanya dihadiri oleh kakek Arion, Pak Hadi, dan beberapa orang terdekat. Walaupun sederhana, atmosfernya terasa tegang—tapi bukan karena sakral, melainkan karena Arion dan Alina yang terus saling melontarkan lirikan penuh gengsi. Saat tiba gilirannya, Arion menggenggam tangan Alina dan mengatakan, "Aku bakal pegang kendali di sini." Tangannya lembut, tapi senyumnya benar-benar bikin Alina ingin menginjak kakinya.Dia berbisik sambil menahan senyum, “Siap-siap jadi nyonya Kwon, yang selalu menurut sama suaminya.”Alina menyahut pelan dengan sinis tapi tetap menggemaskan, “Kau mimpi ya, Arion? Nyonya Kwon nggak bakal ‘tunduk’ semudah itu.”Ketika pemimpin upacara memberi isyarat pada Arion untuk mulai mengucapkan janji, Arion menatap Alina dengan senyum penuh kemenangan dan berkata, "Mulai hari ini, kamu resmi jadi milikku. Siap-siap aja, jangan nangis kalau aku mengatur hidupmu.”Alina tersenyum lebar, baru ingin menjawab namun pemimpin per
Mata kakek yang lelah bersinar bahagia. Arion tetap diam di tempatnya, matanya terus mengamati Alina yang mendorong kursi roda kakeknya menuju meja makan sambil tertawa kecil dengan Pak Hadi. Dengan langkah tenang, Arion akhirnya mendekati mereka. "Alina," panggil Arion dengan nada yang terdengar lebih lembut dari biasanya, menarik perhatian Alina dan kakeknya. Ia tersenyum sekilas, lalu mencondongkan diri sedikit untuk menggenggam pegangan kursi roda. "Biar aku saja yang dorong, kamu pasti lelah," Alina tampak sedikit terkejut melihat sisi perhatian Arion yang tiba-tiba. Ia membiarkan Arion mengambil alih. Arion mulai mendorong kursi roda kakeknya dengan hati-hati, sementara Alina berjalan di samping mereka. Makan malam diadakan dalam suasana yang hangat, dengan percakapan yang mengalir ringan. Salah satu tamu, sahabat karib Pak Hadi, mengenang masa kecil Arion. “Dulu, Arion masih sekecil ini, tidak disangka sekarang sudah menikah." ucapnya dengan semangat. Pak Hadi menimp
Meja bergetar sedikit saat Arion memukulnya, menarik perhatian tamu lainnya. Mereka mulai berbisik-bisik, menatap dengan penasaran.Arion berdiri dengan kasar, memandang tajam ke arah kakaknya. "Kau pikir siapa dirimu, Daniel, sampai bisa bicara seperti itu?" suaranya terdengar dingin. "Alina tidak ada hubungannya dengan urusan keluargamu yang penuh kemunafikan."Daniel tertawa tipis, "Oh, Arion, jangan begitu serius. Kalian masih SMA.." ia lalu menyesap minumannya, sama sekali tak terintimidasi."Dan kau tahu, Ayah selalu lebih menyukaiku... Kau hanya membuat dirimu terlihat putus asa di sini." Dia menatap Alina lagi. "Kuharap kau siap, Alina. Hidup dengan Arion… mungkin akan jauh lebih sulit daripada yang kau bayangkan."Wajah Alina mulai pucat, tetapi Arion, yang sudah tidak bisa menahan emosinya lagi, menatap Daniel tajam dan berkata, "Jangan pernah berpikir untuk menghina istriku lagi."Daniel hanya terkekeh, mengangkat bahu. "Lihat saja nanti. Kita lihat seberapa lama 'pernikaha
"Kau yakin ingin melanjutkan ini di depan semua orang?"Alina terkesiap, lalu melihat ke dalam kaca gedung dan menyadari bahwa mereka sudah menarik perhatian seluruh tamu. Sebelum sempat berkata lagi, Arion tiba-tiba menarik pinggulnya ke dalam pelukannya.“Kenapa pula kakek menyuruhku menikah dengan gadis keras kepala seperti dirimu?” kata Arion berbicara di dekat telinga Alina.“Ck! Arion!” Alina memprotes, tetapi dia merasa hatinya bergetar saat tubuh Arion mendekat.Kata-katanya yang membisik membuat bulu kuduknya merinding. “Kita harus bisa mengatasi ini,”Wajah Alina mulai memerah.“Oke, kita terlihat bagus."Arion memeluknya erat... sangat erat, hingga Alina merasakan napasnya yang berat dan panas. Aroma tubuh Arion yang khas—perpaduan kayu cendana, dan jejak amber serta musk yang sensual, membuat Alina semakin ingin menempel pada laki-laki itu.“Ya, tepat seperti itu.." Arion mengelus rambut cokelat Alina lembut. "Jangan terlalu keras kepala pada suamimu yang baik hati ini.”
Kepanikannya semakin memuncak. Bagaimana bisa ia pulang dari Bandara Soetta ke rumahnya tanpa uang sepeser pun? Apalagi berjalan kaki jelas bukan pilihan. "Bapak, maaf, saya… saya nggak bisa ikut sekarang," katanya, suaranya terdengar pasrah. "Dompet saya tertinggal." Bapak Go-Jek itu langsung memutar bola matanya dengan kesal. "Yah, Neng, udah cape-cape kesini, terus dicancel?" keluhnya, wajahnya semakin masam. Saat itulah sebuah mobil hitam meluncur perlahan ke arahnya. Range Rover yang tak asing—mobil Arion. Kepala laki-laki muncul dari balik kaca. Dengan ekspresi bingung, Arion menatapnya. "Kenapa kamu masih di sini?" tanyanya datar. "Kamu ngapain balik lagi? Bukannya kamu sudah pergi ninggalin aku?" "Meninggalkanmu?!" Arion mengangkat alisnya, suaranya tiba-tiba ketus. Alina terkejut. "Aku mencarimu kemana-mana. Kau berjalan begitu cepat seperti pemain yang sedang berlari menuju gawang.. Padahal aku cuma pergi sebentar untuk mengurus sesuatu. Ternyata kamu sudah dil
Alina menuruni tangga kayu dari kamar lotengnya, menahan pusing yang entah disebabkan oleh jet lag atau setumpuk pikiran tentang pernikahannya dengan Arion kemarin. Semalam Alina sampai jam dua belas malam. Dan sempat berjalan kaki, karena ia memberhentikan Pak Darman hanya sampai di jalan besar, tidak sampai depan rumah. Alina tidak mau mengambil risiko Arion mengetahui lokasi rumahnya. Karena kalau laki-laki itu tahu... Kiamat kecil bisa saja terjadi. Matanya terasa berat, dan dia hanya sempat menyambar seragam seadanya tanpa sempat berias sebelum mendengar langkah kaki Vera di ruang tamu. "Oh, Alina! Kamu baru bangun? Dua harian ini kamu ga tidur di rumah. Kamu dari mana?" Seorang perempuan lebih tua sedikit darinya mengamati ekspresi Alina dengan alis yang sedikit terangkat. Itu Vera, salah satu teman serumah Alina. Ia terlihat siap berangkat kerja dengan tampilan rapi dan tas selempang. Alina buru-buru mengusap wajahnya, berusaha menyembunyikan kantong mata dan bekas g
Bibir merah merona dan alisnya yang melengkung sempurna. Alina menahan napas. 'Itu Clarissa...' Pagi ini sungguh sial.. 'Dari semua mobil kenapa harus mobil Clarissa sih?' “Ah, orang-orang ini..." ujar Vera "Tidak bisa berhati-hati apa?—Eh, Ya Tuhan..." Vera hampir terjatuh dari kursinya saat melihat Clarissa. Matanya membelalak. "Bukannya itu ‘Clar si influencer viral’ itu, ya?!” “Vera, sebaiknya kamu pergi. jangan berlama-lama di sini!" Alina mendesah bukannya cepat pergi Vera malah seru menonton seolah tidak mau melewatkan kejadian langka. Clarissa menatap mereka dengan tatapan jijik. Alina tahu, Clarissa pasti bukan tipe yang bisa terima begitu saja, dan dia pasti nggak dapat SIM dengan cara yang benar. “Aku udah bilang hati-hati,” Vera berbisik sambil mematikan mesin mobilnya. 'Ya Tuhan, tolonglah.. Aku masih ingin hidup sampai hari kelulusan.' Alina meringis dalam hati. Dalam pikirannya, kejadian itu jelas-jelas salah Clarissa. Saat mereka mendekati temp
"Ah, hampir lupa," kata Kakek sambil tersenyum penuh semangat. "Aku sudah minta staf menyiapkan kamar untuk kalian berdua. Malam ini, kalian bisa istirahat disini." "K-Kamar untuk kami berdua, Kek?" tanyanya. "Tentu saja," jawab Kakek tanpa ragu. "Kalian kan sudah menikah. Tidak ada alasan untuk tidur terpisah. Aku ingin kalian merasa nyaman di sini." Sebelum Alina sempat protes, Arion sudah memegang lengannya lembut, menggiringnya keluar dari ruang makan. "Ayo, Alina," katanya dengan suara yang terdengar terlalu riang. "Tidak sopan menolak keputusan Kakek." Alina hanya bisa mengikuti, menjaga jarak dari Arion di sepanjang lorong gedung besar itu. Hujan lebat terus melanda, tidak mungkin juga Alina pulang dengan cuaca seperti ini. Ia memandangi jendela kamar. Suara petir di luar hanya menambah suasana hatinya yang sudah buruk sejak makan malam tadi. 'Bagus.. Ranjangnya hanya satu.' Kenyataan ini membuat Alina nyaris kehilangan kendali. Ini permainan lain dari Arion u
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan senyum cerah. "Saya Adrian, saya akan melayani Anda malam ini." Matanya melirik sekeliling meja, lalu tertuju pada Alina. “Dan Anda pasti pria paling beruntung bisa makan malam dengan wanita cantik ini,” ujarnya. Wajah Alina memerah, tapi dia tidak bisa menahan senyum. Sementara itu, Arion terlihat kesal. Dia menahan pandangannya dari pelayan yang kini tengah pergi setelah menerima pesanan minuman mereka. Setelah beberapa saat, Arion menyesap airnya, lalu mencondongkan tubuh ke meja. “Bagaimana menurutmu tentang pemandangan disini?” “Bagus sekali. Aku senang mereka memberi kita meja yang begitu indah.” Alina tersenyum, matanya menyusuri pemandangan kota. Arion memandangi Alina dengan tatapan serius, seolah ingin memastikan bahwa dia mendengarkan apa yang sedang dia katakan. “Kamu tahu nggak? Gedung setinggi ini dibangun untuk bergoyang tertiup angin. Terkadang, jika kamu memejamkan mata, kamu bisa merasakannya bergerak di bawa
Mereka sampai di helipad pribadi. Angin dari baling-baling helikopter mulai terasa meski belum menyala penuh. Kakek Hadi berdiri di dekat pagar pembatas, mengenakan jas ringan, sementara Alina dan Arion baru tiba. Alina membawa kantung kecil, berlari kecil menghampiri kakek, sementara Arion berjalan dengan santai di belakangnya. "Kakek! Wah, kakek terlihat luar biasa hari ini! Aku bahkan hampir tidak mengenali kakek!" Tanpa ragu, Alina memeluk kakek dengan erat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi kakek yang jauh lebih baik. Kakek tertawa kecil. "Alina, anak baikku. Lihat aku sekarang. Aku tidak butuh tongkat lagi, bahkan siap naik helikopter. Semua ini karena kamu!" Alina melepas pelukan, mata berbinarnya memandang kakek. "Kek, saya senang sekali. Kesehatan kakek benar-benar membaik. Saya sampai tidak percaya melihatnya!" "Sudah kubilang, kan, Alina? Kakek jadi luar biasa setelah pernikahan kita. Tapi aku juga nggak menyangka sampai secepat ini." "Arion, jangan mer
"Ya, kami mencari sesuatu yang pas untuk pertemuan dengan keluarga saya." Dia sedikit menekankan kata keluarga dengan sengaja. Alina berusaha menahan tawa, tapi gagal. "Keluarga? Kita kan cuma... ehm... sah-sah aja." Dia melempar senyum yang lebih ke arah mengejek. Pramuniaga yang mendengar itu hanya tersenyum kaku, sementara Arion menatap Alina dengan ekspresi yang bisa dibilang hampir cemas. "Ayo, jangan bikin kakekku ngerasa kita ini belum siap." Lalu, mereka mulai mencoba berbagai pilihan pakaian. Arion langsung memilihkan setelan jas hitam yang sangat formal. "Coba ini," katanya sambil mengulurkannya pada Alina. Alina mengernyit. "Aku gak mau kelihatan kayak bodyguard mu!" Dia meletakkan jas itu kembali dengan kasar. Arion melangkah lebih jauh ke dalam toko dan mengambil beberapa gaun, kemudian menggantungnya di depan Alina. "Coba ini. Kakek bakal suka," katanya, sedikit memaksakan. Alina melirik gaun-gaun tersebut dan hampir tertawa. "Ya ampun, Arion, apa kamu pik
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion."Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat."Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.”Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mau ketemu sama kamu." Mend
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
"Aku bisa membayangkan rasanya kehilangan orang tua. Pasti berat banget. Aku bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus kamu harus datang ke sini... masuk ke sekolah elit ini, jadi sorotan kamera, terus Clarissa, yah, dia... aku tahu itu pasti bikin segalanya lebih sulit buatmu. Aku nggak seharusnya jadi cowok menyebalkan yang malah godain kamu di tengah semua ini." Alina tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak bikin aku kesal, kok." Ia berpura-pura melihat sekeliling. "Lagipula, aku nggak lihat siapa-siapa datang buat bikin aku tambah kesal." "Semoga aja nggak ada. Kalau iya, suasananya bakal makin aneh dari sekarang." Alina terkekeh. Sebagian beban di pundaknya terasa surut. "Tapi serius," Darren melanjutkan, menurunkan tangan ke sampingnya. "Aku cuma pengin kamu tahu, aku nggak bermaksud jahat. Aku sebenarnya senang ketemu kamu di sini. Menurut aku kamu itu menarik, lucu, dan..." Darren berhenti bicara mendadak, menyadari ucapannya mulai terdengar aneh.
"Aku... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther mengatakan kau terkunci di dalam bersama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian sudah berkenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka cuma nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Kau tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Ia merasa tidak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, tidak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Aku baik-baik saja." Darren mengerutka