Upacara pernikahan itu sederhana banget, cuma dihadiri sama kakeknya Arion, Pak Hadi, dan beberapa orang terdekat. Walaupun sederhana, suasananya nggak ada sakral-sakralnya—lebih kayak dua orang yang sama-sama gengsi, saling melontarkan lirikan tajam. Waktu gilirannya, Arion langsung menggenggam tangan Alina. “Gue bakal pegang kendali di sini,” katanya sambil senyum kecil yang bikin Alina mau menginjak kakinya. Tangannya sih lembut, tapi sikapnya? Nyebelin banget. Arion menunduk sedikit dan berbisik sambil nahan senyum. “Siap-siap jadi Nyonya Kwon yang selalu nurut sama suaminya.” Alina balas pelan, sengaja dengan nada sinis, “Lo mimpi kali, Arion. Nyonya Kwon nggak bakal ‘tunduk’ segampang itu.” Pemimpin upacara melirik mereka berdua dengan tatapan setengah kesal waktu Arion akhirnya diminta mengucap janji. Dia tatap Alina dengan senyum yang—jujur aja—bikin Alina kepengen melempar bunga dari tangannya. “Mulai hari ini, lo resmi jadi milik gue. Siap-siap, jangan nangis kalau gue
Mata kakek yang lelah bersinar bahagia. Arion tetap diam di tempatnya, matanya nggak lepas dari Alina yang lagi mendorong kursi roda kakeknya ke meja makan sambil ketawa kecil. Dengan langkah santai, Arion akhirnya jalan mendekati mereka. “Alina,” panggil Arion, nada suaranya lebih lembut dari biasanya. Alina dan Pak Hadi langsung menoleh. Arion ngasih senyum kecil, lalu mencondongkan badannya buat ambil pegangan kursi roda. “Biar gue aja yang dorong, lo pasti capek,” katanya. Alina sempat bengong, nggak nyangka Arion bisa perhatian kayak gitu. Dia akhirnya melepaskan pegangan kursi roda dan membiarkan Arion ambil alih. Arion mulai mendorong kursi roda Pak Hadi dengan hati-hati, sementara Alina jalan di samping mereka. Makan malam berlangsung dalam suasana hangat. Salah satu tamu, teman lama Pak Hadi, mulai cerita masa kecil Arion. “Dulu, Arion kecilnya bandel banget. Badannya masih segini. Sekarang nggak nyangka ya udah nikah aja,” ujarnya sambil tertawa. Pak Hadi menimp
Meja bergetar sedikit waktu Arion memukulnya, bikin tamu-tamu di situ langsung menengok. Mereka mulai bisik-bisik, kayak merasa ada tontonan gratis. Arion berdiri dengan gerakan kasar, tatapannya tajam mengarah ke Daniel. “Lo pikir lo siapa, Daniel, bisa ngomong kayak gitu?” Suaranya dingin banget, bikin suasana makin canggung. “Alina nggak ada hubungannya sama drama keluarga lo yang penuh kemunafikan itu.” Daniel malah ketawa kecil, santai banget kayak nggak ada beban. “Santai, bro. Lo tuh masih anak SMA,” katanya sambil menyeruput minumannya. “Dan lo tahu, Ayah selalu lebih suka gue… Jadi nggak usah sok-sokan kayak gini deh.” Matanya pindah ke Alina, senyumnya sinis. “Gue cuma mau kasih heads up aja, Alina. Hidup sama Arion… bakal jauh lebih ribet daripada yang lo bayangin.” Wajah Alina langsung pucat, tapi Arion, yang udah di ujung kesabarannya, membalas tatapan Daniel dengan dingin. “Lo sekali lagi ngomongin istri gue dengan cara kayak gitu, gue nggak bakal tinggal diam.” Dani
"Lo yakin mau lanjutin drama ini di depan semua orang?" Alina terdiam, buru-buru menoleh ke arah kaca gedung dan sadar kalau mereka udah menarik perhatian semua tamu. Sebelum dia sempat ngomong apa-apa, Arion tiba-tiba menarik pinggulnya ke pelukannya. "Kenapa juga Kakek nyuruh gue nikah sama cewek keras kepala kayak lo?" Arion berbisik dekat banget di telinga Alina. "Ck! Arion!" Alina memprotes, tapi suara itu kedengaran lebih seperti desahan. Hatinya bergetar, dan jarak di antara mereka bikin tubuhnya panas dingin. Arion melanjutkan, suaranya rendah dan menggoda. "Kita harus bisa lewatin ini, bareng-bareng." Alina makin grogi. Mukanya jelas memerah. "Oke, kita kelihatan bagus," gumam Arion sambil memeluk Alina lebih erat. Aroma tubuh Arion—campuran kayu cendana, amber, dan musk—langsung menyergap Alina. Dia merasa nggak bisa bergerak, bahkan mendadak nyaman di pelukan Arion. Arion tersenyum kecil sambil mengelus rambut Alina lembut. "Jangan terlalu keras kepala sama s
Kepanikan Alina semakin memuncak. Bagaimana bisa ia pulang dari Bandara Soetta ke rumahnya tanpa uang sepeser pun? Apalagi berjalan kaki jelas bukan pilihan. "Bapak, maaf, saya… saya nggak bisa ikut sekarang," katanya, suaranya terdengar pasrah. "Dompet saya ketinggalan." Bapak Go-Jek itu langsung memutar bola matanya dengan kesal. "Yah, Neng, udah cape-cape kesini, terus dicancel?" keluhnya, wajahnya masam banget. Saat keributan terjadi, sebuah mobil hitam meluncur pelan ke arahnya. Range Rover yang nggak asing—mobil Arion. Kaca mobil itu turun, dan kepala Arion nongol. Dia ngelihatin Alina dengan ekspresi bingung. "Lo ngapain masih di sini?" tanyanya, datar "Lah mestinya gue yang tanya. Lo ngapain balik kesini lagi? Bukannya lo sudah pergi ninggalin gue?" "Ninggalin lo?!" mata Arion melotot, nadanya tiba-tiba berubah ketus. Alina cuma bisa melongo. "Gue nyariin lo kemana-mana, tahu. Lo jalan cepet banget kayak atlet yang lagi kebelet nyetak gol. Padahal gue cuma pergi
Alina menuruni tangga kayu dari kamar lotengnya, menahan pusing yang entah disebabkan oleh jet lag atau setumpuk pikiran tentang pernikahannya dengan Arion kemarin. Semalam Alina sampai jam dua belas malam. Dan sempat berjalan kaki, karena ia memberhentikan Pak Darman hanya sampai di jalan besar, tidak sampai depan rumah. Alina tidak mau mengambil risiko Arion mengetahui lokasi rumahnya. Karena kalau laki-laki itu tahu... Kiamat kecil bisa saja terjadi. Matanya terasa berat, dan dia hanya sempat menyambar seragam seadanya tanpa sempat berias sebelum mendengar langkah kaki Vera di ruang tamu. "Oh, Alina! Kamu baru bangun? Dua harian ini kamu ga tidur di rumah. Kamu dari mana?" Seorang perempuan lebih tua sedikit darinya mengamati ekspresi Alina dengan alis yang sedikit terangkat. Itu Vera, salah satu teman serumah Alina. Ia terlihat siap berangkat kerja dengan tampilan rapi dan tas selempang. Alina buru-buru mengusap wajahnya, berusaha menyembunyikan kantong mata dan bekas g
Bibir merah merona dan alisnya yang melengkung sempurna. Alina menahan napas. 'Itu Clarissa...' Pagi ini sungguh sial.. 'Dari semua mobil kenapa harus mobil Clarissa sih?' “Ah, orang-orang ini..." ujar Vera "Tidak bisa berhati-hati apa?—Eh, Ya Tuhan..." Vera hampir terjatuh dari kursinya saat melihat Clarissa. Matanya membelalak. "Bukannya itu ‘Clar si influencer viral’ itu, ya?!” “Vera, sebaiknya kamu pergi. jangan berlama-lama di sini!" Alina mendesah bukannya cepat pergi Vera malah seru menonton seolah tidak mau melewatkan kejadian langka. Clarissa menatap mereka dengan tatapan jijik. Alina tahu, Clarissa pasti bukan tipe yang bisa terima begitu saja, dan dia pasti nggak dapat SIM dengan cara yang benar. “Aku udah bilang hati-hati,” Vera berbisik sambil mematikan mesin mobilnya. 'Ya Tuhan, tolonglah.. Aku masih ingin hidup sampai hari kelulusan.' Alina meringis dalam hati. Dalam pikirannya, kejadian itu jelas-jelas salah Clarissa. Saat mereka mendekati temp
“Saya baru saja mendapat penjelasan bahwa situasi di tempat parkir tadi... Ah, rupanya, kamu hanya berusaha menghindar. Sempit sekali ruangnya, ya?” Alina menelan ludah dan mengangguk pelan. “I..iya, Pak. Saya cuma berusaha parkir, dan... ya, agak sempit,” katanya, memilih kata-kata hati-hati. Dr. Gustav menatapnya beberapa detik, seolah mempertimbangkan sesuatu. “Baiklah. Hati-hati di lain waktu, ya? Dan kalau lain kali ada masalah seperti ini, lapor saja ke bagian keamanan atau guru piket.” Alina nyaris tak mempercayai telinganya. Dengan sedikit ragu, ia mengangguk. “Baik, Pak. Terima kasih.” Dr. Gustav mengangguk. “Baiklah, kamu boleh kembali ke kelas.” Alina mengangguk sekali lagi, tersenyum kecil, lalu berbalik menuju pintu dengan hati-hati. Ternyata Dr. Gustav tidak sekeras yang dia kira—mungkin. Tapi satu hal yang jelas, ini pertama kalinya ia merasa selamat dari teguran kepala sekolah. Saat Alina sudah hampir mencapai pintu, Dr. Gustav memanggilnya kembali. "Alina,
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu