Beranda / Fiksi Remaja / Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku / Kejadian Tengah Malam di Mobil Arion

Share

Kejadian Tengah Malam di Mobil Arion

Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar..

Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang pernikahan, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.”

Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!”

“Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.”

Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya.

“Cukup!”

“Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..”

Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa

“Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.”

“Aku tidak memintamu untuk menjawab sekarang. Tapi pikirkanlah, Alina. Arion, pikirkanlah tentang apa yang ingin kau lakukan demi kakekmu.”

Kedua pemuda itu terdiam. Alina merasa terjebak. Tetapi di sisi lain, ia juga merasa kasihan.

Tiba-tiba, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter berlari masuk. “Pak Hadi, kita harus segera memindahkan Anda ke ruang operasi!”

Sebelum pergi, Pak Hadi menatap Arion dan Alina satu kali lagi, dan berkata: “Ingatlah.. cinta adalah hal terindah di dunia ini.”

Pak Hadi pun dibawa pergi dan menghilang di balik pintu, Alina dan Arion saling menatap.

“Jangan bilang kamu benar-benar berpikir kita bisa melakukannya..” Alina berbicara lebih dulu.

Arion tertawa sambil mengelap air matanya yang terus keluar dan menjawab, “Sepertinya kita tidak punya pilihan, kan?”

Setelah itu mereka berjalan ke parkiran tanpa bercakap. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Alina merasa tidak bisa meninggalkan Arion karena masih kasihan. Kakek Arion sedang sekarat, dan tiba-tiba meminta hal yang tidak mungkin: menikahi cucunya, Arion.

Arion mengemudikan mobil dengan rahang mengatup keras. Alina menoleh, memandangi wajah Arion yang terdiam. Dia mendesah, merasa kesal dengan situasi konyol yang baru saja terjadi.

“Apakah kamu serius?!”

“Kamu benar-benar berpikir aku akan setuju dengan ini? Sudah gila!”

Kata-kata “Menikah” tersangkut di tenggorokan Alina, tapi kemudian ia sadar Arion tidak pantas menikahinya. Panas amarah menjalar ke pembuluh darah Alina.

Alina tertawa pahit. Tawa asing penuh kesengsaraan dan sakit hati. Semua ketakutannya akan kematian ibunya menjemputnya..

Pada saat ini. Di samping Arion.

“Ini semua konyol..,” gumamnya.

“Ini semua pasti ini rencana licikmu, kan? Kau pikir aku bodoh? Kau hanya tertarik pada tubuhku. Dasar pria mesum!” tuduh Alina dengan penuh amarah.

BRAKKKK!

Arion tiba-tiba menghentakkan setirnya dengan keras, dan mobil menabrak tempat sampah di pinggir trotoar.

Tong sampah itu berguling, dan suara keras menggema di jalan sepi. Untungnya sudah larut malam, tidak ada orang di sekitar.

“Apa-apaan kau!” seru Alina, terkejut dan langsung mencengkeram kursinya.

Arion berbalik menatapnya, matanya memerah—entah karena air mata akibat semprotan cabai atau karena kemarahan.

“Mesum? Kau pikir aku melakukan ini karena aku tertarik padamu? Kau salah besar! Aku tidak peduli soal tubuhmu, Alina! Aku hanya... aku hanya...”

Kalimatnya tergantung di udara, sementara napasnya berat dan frustrasi. Sesaat, keheningan menyelimuti mereka berdua, tetapi kali ini terasa berbeda—lebih intens.

Arion menggerutu sambil terus mengusap matanya dengan panik, mencoba menghentikan rasa perih yang membakar.

"Aku janji... Aku akan memberikanmu apa saja. Apa pun yang kau mau.. asal kau turuti permintaan kakekku," katanya dengan suara serak.

"Dan aku tahu kau sepertinya sedang kesulitan... soal keuangan. Jadi, ya, penawaranku menarik. Kau hanya perlu setuju."

Alina menatap Arion dengan penuh kecurigaan. Merasa harga dirinya terinjak-injak. Amarahnya membuncah lagi.

“Jadi, kau pikir aku akan menikahimu hanya karena kau bisa menolongku secara finansial?” Alina berkata dengan nada dingin

“Jangan bermimpi! Aku bersumpah, aku tidak akan pernah menikahimu, Arion. Tidak peduli berapa banyak uang yang kau tawarkan!”

"Aku tahu ini terdengar gila.. Tapi, kakekku adalah satu-satunya keluarga yang peduli padaku. Di rumah...," ia berhenti sejenak, wajahnya terlihat lebih muram, "Aku tidak punya siapa-siapa selain dia. Orangtuaku... mereka tidak pernah peduli."

Alina menatap Arion, kali ini tanpa berkata apa-apa. Ia bisa merasakan betapa dalamnya hubungan Arion dengan kakeknya, dan itu sedikit menggoyahkannya.

"Dia satu-satunya yang peduli padaku sejak kecil. Kalau menikah denganmu bisa membuatnya tenang... aku akan melakukannya."

Tiba-tiba Arion terus menggosok matanya lagi..

"Sialan! Jika aku buta karena ini, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Alina. Aku akan membuatmu menyesal!" dia menggeram, mencoba menahan rasa sakit.

Alina mendesah panjang, baru saja Alina merasa simpati tapi Arion sudah marah-marah lagi.

Tapi Alina mulai sadar dan menelan ludah. Perasaan tanggung jawab mulai menghantuinya ketika Arion mulai terpejam, wajahnya basah dengan air mata.

Dan ia semakin parah, sepertinya Arion tidak bisa melanjutkan perjalanannya.

“Di mana ponselmu? Aku akan menelepon salah satu temanmu untuk menjemputmu,” kata Alina, suaranya tenang namun keras kepala.

“Sialan, tidak!” Arion memukul setir. “Aku tidak ingin mereka tahu tentang ini."

Arion membayangkan temannya tahu dia disemprot cabai oleh Alina. Dia pasti jadi bahan tertawaan.

Alina menghela napas panjang, lalu berbisik, “Sangat menyusahkan...”

Arion mendengarnya dan menoleh, “Apa yang kau katakan?”

“Ah, tidak... Tidak ada,” jawab Alina cepat, menghindari konfrontasi lebih lanjut.

Arion meringis kesakitan. "Kita bisa kembali ke rumah sakit untuk membasuh matamu dengan air. Jika kamu menggosoknya, itu akan semakin parah.."

"Tidak.. disana ada pelayan kakek."

Alina menepuk jidatnya. Benar. Ia juga tidak mau kembali kesana. Satu-satunya yang Alina harapkan sekarang adalah ia lebih suka meninggalkan Arion sendirian disini.

"Apa kau bisa menyetir?"

"Tidak. Eh, maksudku.. aku pernah mengemudi beberapa kali saat kelas satu, menggunakan mobil temanku. Tapi itu tidak berjalan dengan baik."

"Bagus." kata Arion mendorong kursinya kebelakang hingga menciptakan jarak antara kemudi dan dirinya. "Kita bisa bekerja sama,"

“Aku bisa menginjak gas sementara kamu memutar kemudi, dan melihat jalan. Kita akan ke rumahku.”

Alina ternganga. Matanya mengawasi Arion. Apakah dia sudah gila, menyuruhnya duduk diatas pangkuannya sambil mengemudi ke rumahnya?

"Apakah kamu yakin tidak ingin aku menelpon salah satu anggota tim sepakbolamu, temanmu, atau bahkan…”

Tenggorokan Alina tercekat, tapi ia memaksakan nama berikutnya keluar dari bibirnya. “Clarissa?”

“Aku yakin kamu ingin sekali menelepon Darren,” Arion tersenyum mengejek, tampak mengintimidasi.

"Tapi, tidak, Alina. Kamu melakukan ini terhadapku. Kamu sendiri yang harus membereskan kekacauan ini...”

Alina menarik napas dan berpindah duduk diatas Arion. "Oke. Tapi jangan coba-coba bertindak macam-macam padaku."

"Tidak dengan kondisi mataku yang seperti ini. Kau gadis bodoh.. tidak bisa berpikir panjang."

Kulit Alina menjadi sangat sensitif saat mereka berdua bersentuhan, tapi Alina menyuruh hatinya untuk tenang. Perasaan seperti ini harus dihentikan. Karena itu hanya akan menjadi masalah yang rumit.

“Kamu tidak tinggal di asrama?”

“Tidak.” Arion mengerutkan kening. “Tahun pertama sudah cukup buruk.”

Alina baru ingat jika Arion adalah kapten yang hobi memerintah, jadi Alina tidak perlu heran.

Tubuhnya tenggelam ke tubuh hangat Arion. Perutnya berputar aneh lagi. Alina segera menepis perasaan itu sambil mengamati interior kendaraan. Dengan segala fasilitasnya, mobil ini tidak bisa dibilang murah.

Alina langsung terpikir, bagaimana jika ia menabrakkannya? Ia sudah terlilit hutang. Tidak perlu menambahkan mobil ini ke daftarnya yang terus bertambah.

Alina mengarahkan jari ke layar GPS, di bawah nama HIA ada tulisan 'Rumah'. Segera Alina mengkliknya.

Mereka berdua bekerja sama. Arion menahan sakit sambil sesekali melirik jalan. Sementara Alina mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang, memutar kemudi seperti yang diarahkan Arion.

Saat Arion memberi instruksi untuk berbelok ke kanan, Arion merasakan genggaman tangan Alina di setir sedikit gemetar. Tetapi ia meyakinkan Alina.

"Pelan-pelan saja, fokus ke jalan."

Rumah-rumah menjadi lebih bagus dan mewah saat mereka berkendara, dan itu tidak mengejutkan Alina. Karena dia tidak mengharapkan apapun dari Arion.

Mobil terhenti di sebuah rumah dalam kompleks baru yang besar. "Berhenti saja disini. Sisanya aku yang akan mengurusnya."

Alina mengangguk dan berpindah ke kursi penumpang. Begitu tubuhnya lepas dari kontak fisik dengan Arion, napasnya terasa lebih ringan.

Mereka turun dari mobil, dan Alina membantu Arion menuju pintu rumah.

"Kuncinya ada di saku," Alina segera meraih kunci dan membuka pintu rumah Arion.

Begitu pintu terbuka, Alina disambut oleh ruang tamu yang terbentang di depan mereka terasa lapang, dengan perabot minimalis namun elegan.

"Aku akan mengantarmu ke kamar mandi," kata Alina cepat. Begitu sampai, ia segera membuka keran wastafel dan menuntun Arion untuk membasuh matanya.

Arion mencipratkan air ke wajahnya berulang kali.

Tiba-tiba Alina terpikir sesuatu dan berkata, "Sekarang kamu harus buka bajumu," ucapnya dengan nada tegas, sedikit mengejutkan Arion yang masih sibuk dengan matanya.

Arion menghentikan gerakannya, dan menatap Alina yang sedang bersandar di dekat wastafel.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status