"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya.
“Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya mengerti. Tapi Anda tidak sendirian. Banyak orang peduli, termasuk saya. Anda pasti sangat kuat untuk menghadapi semua ini.” Pak Hadi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Kau masih muda, tapi sudah memiliki hati yang besar. Terima kasih, Alina. Kebaikanmu membuat hariku lebih baik.” “Semoga perawatan bapak berjalan lancar, ya. Jika ada yang bisa saya bantu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” Alina menjawab dengan senyum yang tulus. Saat mereka sampai di ruang pemeriksaan, Pak Hadi menepuk bahu Alina dengan lembut. “Kau adalah cahaya dalam kegelapan bagi banyak orang di sini. Semoga kebaikanmu kembali kepadamu.” Alina merasa terharu mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Pak. Itu berarti banyak bagi saya.” Kakek itu melangkah ke dalam ruang pemeriksaan. Sementara Alina duduk di bangku ruang tunggu, ia pun melepaskan seragam dan kartu pengenal. Menjadi relawan di rumah sakit kanker adalah rutinitasnya tiap hari Minggu, dan setiap kali melakukannya, kenangan tentang ayahnya yang telah meninggal selalu terlintas di benaknya. Alina beranjak menuju toilet untuk berganti pakaian dan bersiap pulang. Di depan petugas yang sudah mengenalnya, ia sedikit membungkuk dan berkata, “Sampai bertemu Minggu depan.” Setelah keluar, Alina melihat jam—jam satu pagi. Ia tahu dengan berjalan kaki pulang ia bisa menghemat. Dengan sigap, Alina merogoh tasnya dan mengeluarkan semprotan cabai, "Lebih baik aman daripada nyesel." Lalu, ia mulai berjalan cepat menuju rumah. Segera setelah berada jauh dari rumah sakit, suara mesin terdengar. Alina menoleh dan melihat lampu depan sebuah mobil SUV hitam, Range Rover 3.0 Long Wheelbase menyala. Tanpa terlalu memikirkannya, ia melanjutkan perjalanan hingga menyadari bahwa kendaraan itu berbelok dan melaju perlahan di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang, dan ia menambah kecepatan, berlari menyeberang jalan menuju gedung parkir yang lampunya masih menyala, berharap bisa menemukan tempat yang lebih aman. Mobil SUV itu berbelok masuk ke tempat parkir dan berhenti di sebelah Alina. Tanpa berpikir panjang, Alina mengambil semprotan cabai, dan segera setelah jendela diturunkan, ia berbalik dan menyemprotkannya ke mata pengemudi sebelum ia mengenalinya. KLONTANGGG Semprotan cabai itu terjatuh dari tangannya ke trotoar. Dentingan kerasnya hampir nggak kedengaran di tengah detak jantungnya yang berdebar kencang. "Astaga!" suara cowok terdengar. Dia menginjak rem sambil menggeram, kesakitan. Alina terkejut begitu melihat wajah pengemudi, matanya terbelalak. "A... Arion?!" "Lo... lo apa-apaan sih? Kenapa lo semprot-semprot gue pake itu?!" Arion mengusap matanya yang pedih karena semprotan cabai. "Lo yang apaan?!" balas Alina, sedikit emosi. "Gue kira lo orang mesum yang mau ngikutin gue! Lo ngejar gue pake mobil hitam malam-malam kayak gini, emang siapa yang nggak takut coba?" "Gak usah kepedean deh lo! Gue cuma kebetulan lewat, ngeliat lo jalan sendirian, terus gue khawatir!" Arion kesal, hampir kehilangan kesabarannya. “Ya elah, lo pikir gue nggak takut dikejar mobil malam-malam gini?” jawab Alina. “Lo nggak ngerti gimana rasanya.” Arion mendengus keras, masih memegangi matanya. "Lo gila ya? Gimana gue bisa bantu kalau lo malah nyemprot gue? Gue cuma pengen pastiin lo aman, lo malah..." "Nggak usah sok baik deh!" Alina potong, suaranya masih tinggi. "Lo tuh nyeremin banget. Gue nggak tahu itu lo, makanya gue takut!" "Minta maaf nggak lo?!" Arion menatapnya, matanya memerah entah karena semprotan atau beneran marah. “Gue nggak nyerang lo, gue cuma pengen bantu.” Alina menatapnya tajam, masih merasa sedikit terancam, tapi hatinya sedikit lebih tenang. "Ngapain minta maaf? Gue nggak salah!" "Lo nggak sadar ya? Lo itu salah karena nyemprot orang yang ngelindungin lo!" "Ya udah, jangan sok pahlawan deh!" balas Alina. “Lo pikir gue harusnya gimana? Nungguin lo sampe lo gangguin gue dulu?” Arion menarik napas panjang, sedikit menenangkan diri. “Alina... Gue sama sekali nggak ada niat jelek.” Mendengarnya Alina merasa sedikit kasihan. "Oke. Gue minta maaf." Alina merasa senang sekaligus kasihan terhadap Arion. Tapi dalam situasi ini, Arion benar-benar berniat membantunya. Tiba-tiba, suara handphone berbunyi. Arion mengangkat telepon. “Ya... Apaa?? Oke, saya ke sana!” Suara Arion terdengar panik saat menutup teleponnya. “Kenapa?” “Gue harus ke rumah sakit kanker. Kakek dalam keadaan gawat,” jawab Arion, matanya tampak khawatir. Alina terdiam sejenak, merasa berat. Dia baru saja keluar dari rumah sakit itu. Namun, saat melihat mata Arion yang semakin berair, rasa bersalah Alina muncul. “Yaudah gue ikut.” Setibanya di rumah sakit, Arion berlari cepat menuju ruang darurat, dan Alina mengikuti di belakangnya, menjaga jarak. Saat mereka sampai, Alina melihat Pak Hadi terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dan tim medis sedang bersiap melakukan tindakan darurat. "Kakek!" seru Arion, mendekati kakeknya. Pak Hadi menatap Arion dengan mata lemah, namun masih berusaha tersenyum. "Cucuku... Aku nggak punya banyak waktu. Mereka akan bawa aku untuk operasi kanker limfoma." "Anakku, kamu di sini juga? Ternyata kamu teman Arion, ya? Mungkin ini waktunya Arion nemuin cintanya," ujar Pak Hadi. Alina terkejut. "Pak Hadi..?" Pak Hadi tersenyum lemah meski kondisinya nggak baik. "Iya, saya kakeknya Arion. Kamu udah banyak bantu saya, Nak. Kamu gadis yang baik dan tulus... Saya nggak bakal lupa." Alina tersipu, nggak menyangka kalau kakek Arion adalah Pak Hadi. "Saya cuma bantu yang seharusnya." Arion kaget. "Kakek, kamu kenal dia?" Pak Hadi mengangguk. "Ya, Arion. Alina ini perempuan yang baik. Aku tahu dia bisa diandalkan." Alina tersipu, sementara Arion mencoba nggak peduli. Tiba-tiba, tubuh Pak Hadi bergetar, napasnya terdengar berat. Perawat segera datang memeriksa kondisinya. Namun sebelum itu, Pak Hadi menarik napas dalam-dalam dan memandang Alina dan Arion dengan penuh harap. "Alina, sebelum aku pergi... ada satu hal yang ingin kutanya. Apa kamu suka sama cucuku Arion, Nak?" Alina bingung dengan pertanyaan itu. "Suka Arion?" tanyanya, menoleh ke Arion yang sama-sama terkejut. "Alina, Arion tuh anak yang malang. Sejak kecil dia kehilangan banyak hal, termasuk cinta. Aku ingin dia punya seseorang yang tulus di sisinya, seperti kamu," lanjut Pak Hadi, napasnya semakin sesak. "Kalau kamu bersama dia, aku bisa pergi dengan tenang." Alina terdiam. Walaupun mereka sering bertengkar, cerita tentang Arion mulai menggerakkan hatinya. Arion tertegun, hatinya penuh dengan perasaan campur aduk. "Kakek, jangan ngomong kayak gitu! Aku nggak mau kamu pergi. Kita bakal coba yang terbaik!" Pak Hadi menggenggam tangan Arion. "Aku cuma pengen lihat kamu bahagia, cucuku... sebelum aku tutup mata selamanya." Pak Hadi menatap Alina, yang berdiri di samping Arion, dan tersenyum lemah. Dalam keheningan, sang kakek berkata lirih. "Waktuku udah dekat. Aku pengen lihat kalian bahagia... Alina, kamu di sini bareng Arion. Aku pengen kalian berdua... menikah."Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cep
"Nggak, gue nggak bisa kayak gitu dengan mata gue yang sakit. Lu emang bego banget... nggak bisa mikir panjang." Alina mendelik tajam. "Ya, maaf deh gue nggak sepinter lo! Tapi kalau lo emang nggak bisa mikir jernih, jangan nyalahin gue juga dong! Mata lo sakit, tapi mulut lo lancar banget ya buat ngata-ngatain orang!" Arion menghela napas panjang, suaranya mulai melembut, "Oke, gue salah ngomong. Gue nggak mau ribut. Tapi mata gue beneran nggak bisa lihat jelas sekarang." Dia lalu melirik setir sambil mengusap matanya yang masih perih. "Pokoknya sekarang lo harus tanggung jawab. Gue nggak mau mobil ini malah nyemplung ke got gara-gara kita ribut terus." Nada bicaranya terdengar serius, tapi wajahnya sedikit memerah saat mengatakan itu. "Jangan mikir macem-macem. Gue cuma mau kita selamat sampai rumah." "Hmm yaudah, gue lakuin ini cuma biar lo sampai rumah dengan selamat aja ya, habis mata lo sembuh gue pulang?" Arion menyeringai tipis, menatap Alina dengan tatapan isen
"Ah ya… gue bakal ngompres mata lo, terus nyiapin air hangatnya," gumam Alina pelan, mencoba menahan detak jantung yang makin kencang. Alina keluar dari dapur dengan napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial, pelan-pelan.." Arion mengerang. Alina menggeleng pelan sambil mulai mengusap mata Arion. "Yah, mata lo tertutup. Lo harus buka kalau mau gue bersihin." "Lo ngomong gampang. Coba deh rasain sendiri sakitnya," balas Arion dengan suara tertahan. Dia akhirnya membuka matanya perlahan. Rahangnya mengeras. "Sial. Sakit banget." Alina mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. "Harusnya ini cepat membaik... atau ya, semoga aja." Tatapan Arion tiba-tiba jatuh ke mulut Alina. Dia menjilat bibir bawahnya perlahan. Kepalanya sedikit menunduk, sementara Alina mendekat tanpa sadar. Tangan Alina sempat menyentuh dada Arion. Hangat. Otot dadanya terasa jelas di bawah telapak tangannya. Tapi begitu pandangannya jatuh ke leher Arion yang sedikit basah, dia langsung ter
Arion duduk di samping Alina, matanya membulat, keningnya berkerut dalam. Dia kelihatan beneran kaget. Tanpa bilang apa-apa, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Tangannya yang kuat m membungkus tubuh Alina, sementara satu tangannya lagi lembut mengusap punggung Alina. "Alina... maafin gue. Gue bener-bener nggak tahu," suaranya bergetar. Pelukan Arion memang hangat, tapi kata-katanya malah makin bikin hati Alina remuk. Rasanya seperti Arion nambahin luka di tempat yang sudah perih. "Direktur Eric... dia nggak pernah kasih beasiswa gitu aja ke orang asing, tanpa alasan. Dan lo datang tiba-tiba, semuanya terasa mencurigakan," lanjut dia pelan. "Clarissa yang pertama kali nyebarin fitnah itu." Alina terdiam. Begitu dengar nama itu, Alina langsung mengangkat kepala sambil mengigit bibirnya sendiri, berusaha menahan air mata yang sudah mengalir. “Clarissa?” gumamnya penuh emosi. “Oh, nggak heran sih. Selalu aja dia...” Alina menyesal banget nangis gara-gara hal konyol kay
"Gue ngerti, kita nikah ini cuma formalitas buat kakek gue. Tapi gue gak akan tinggal diam kalau lo dalam masalah." Alina mengerutkan kening. "Gue gak minta lo jagain gue. Gue bisa urus diri gue sendiri." "Gue tahu lo bisa," Arion menjawab cepat, nadanya tegas. "Tapi gue gak akan diem aja kalau lo kesusahan. Itu bukan soal minta atau gak minta. Itu tanggung jawab gue." Arion memandang Alina dengan intensitas yang membuatnya sulit berpaling. Mata gelap cowok itu memancarkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—sesuatu yang mendesak, hampir mendominasi. "Lo bisa bilang apa pun sekarang, Lin. Tapi gue gak akan biarin lo jalan sendirian, apalagi setelah kita nikah. Kita ini tim. Suka atau gak suka, lo harus terima itu." "Lo selalu ngomong kayak gitu. Tapi kenyataannya, lo cuma mau ngontrol gue. Gue gak butuh penjaga. Gue gak butuh siapapun buat nyelamatin gue." "Terserah lo mau mikir apa," balas Arion, nadanya dingin namun tegas. "Tapi gue gak akan biarin lo hil
Di depan mereka berdiri sebuah butik pengantin mewah dengan logo mengilap. Hiasan di etalase toko terlihat mahal, seperti sengaja memamerkan gaun-gaun pengantin yang pasti harganya bikin dompet Alina nangis. 'Ini toko baju doang. Tapi kenapa rasanya kayak mau masuk istana? Gue bahkan nggak tahu harus mulai ngomong apa di depan mbak-mbak SPG-nya. 'Halo, gue calon pengantin nggak niat, tolong kasih gue diskon.' Ya nggak mungkin kan?' "Lo serius ngajak gue masuk ke situ?" Alina akhirnya buka suara. Arion cuma tersenyum tipis sambil melempar pandangan ke arah butik. "Ya emang. Kenapa? Lo takut sama manekin?" "Bukan takut. Gue cuma nggak yakin gue cocok di tempat kayak gitu. Lo lihat nggak itu? Tempatnya terlalu... mahal." Arion mengangkat alis, berusaha menahan tawa. "Ya iyalah mahal. Gue nggak mungkin bawa lo ke toko pinggir jalan buat beli gaun pengantin." "Gue cuma mau bilang..." Alina menggantung kalimatnya, gengsinya jelas terlihat. "Gue nggak yakin gue pantes di situ." Arion
Arion masih memperhatikan Alina dari ujung kaki sampai ujung kepala, sambil tersenyum licik. Alina langsung geleng-geleng kepala, sambil melipat bibir. "Susah banget sih lo? Gue cuma coba gaun, nggak ada yang perlu lo olok-olok gitu." Arion ketawa kecil, "Nggak ada yang lebih lucu daripada ngeliat lo pake gaun pengantin, serius deh." Alina cuma bisa menggerutu dalam hati, sambil berbalik masuk ke ruang ganti lagi. "Pantesan aja lo nggak pernah romantis. Lo selalu aja pengen ngejek gue." "Romantis? Gue lebih suka jujur. Dan jujur aja, lo bakal lebih cocok jadi ratu balap daripada pengantin." Alina menghela napas berat, "Sumpah, lo bikin gue kesel." Tapi di balik semuanya, dia masih nggak bisa nahan senyum kegelian. Entah kenapa, olokan Arion yang aneh itu malah bikin suasana jadi lebih ringan, meskipun tetep aja... bikin kesel. Alina merasa gugup ketika pakai gaun terakhir. Gaun itu nggak kayak yang sebelumnya, ini agak sedikit terbuka, dengan potongan V di dada yang sedikit l
Alina langsung mendongak, kaget banget sama jawabannya. Tapi dia buru-buru menutup ekspresinya. Senyum yang dipaksakan muncul, meski dalam hati dia udah pengen ngedumel. Cewek itu malah ketawa. “Oh, gue kira pacar baru lo! Tapi gue ngerti kok. Pokoknya sukses buat lo di tim nasional nanti!” Arion cuma senyum kecil dan angguk sopan. “Makasih atas dukungannya.” Alina diam aja sepanjang mereka jalan menuju boarding. Tapi dalam hati, dia nyumpahin Arion, 'Lo bakal gue labrak abis ini, dasar pangeran palsu!' Setelah masuk ke area boarding dan duduk di ruang tunggu, Alina akhirnya nggak bisa nahan diri lagi. Dia melirik ke arah Arion yang lagi asyik scrolling HP-nya dengan ekspresi santai, seolah nggak ada yang terjadi. “Gue nggak habis pikir, kenapa lo harus bilang gue pembantu?” Alina mulai dengan emosi. Arion berhenti main HP dan melirik Alina sekilas. “Ya emang bener kan?” jawabnya enteng, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Alina langsung ngekerutkan alis. “Maksud lo apa?” Arion
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu