"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya.
“Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya mengerti. Tapi Anda tidak sendirian. Banyak orang peduli, termasuk saya. Anda pasti sangat kuat untuk menghadapi semua ini.” Pak Hadi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Kau masih muda, tapi sudah memiliki hati yang besar. Terima kasih, Alina. Kebaikanmu membuat hariku lebih baik.” “Semoga perawatan bapak berjalan lancar, ya. Jika ada yang bisa saya bantu lagi, jangan ragu untuk memanggil saya,” Alina menjawab dengan senyum yang tulus. Saat mereka sampai di ruang pemeriksaan, Pak Hadi menepuk bahu Alina dengan lembut. “Kau adalah cahaya dalam kegelapan bagi banyak orang di sini. Semoga kebaikanmu kembali kepadamu...” Alina merasa terharu mendengar kata-kata itu. “Terima kasih, Pak Hadi. Itu sangat berarti banyak bagi saya.” Dengan perasaan hangat di hati, Alina melanjutkan tugasnya, sementara kakek itu melangkah ke dalam ruang pemeriksaan. Alina kelelahan di bangku ruang tunggu, ia pun melepaskan seragam dan kartu pengenal. Senyum puas menghiasi wajahnya. Menjadi relawan di rumah sakit kanker adalah rutinitasnya, dan setiap kali melakukannya, kenangan tentang ayahnya yang telah meninggal selalu terlintas di benaknya. Alina beranjak menuju toilet untuk berganti pakaian dan bersiap pulang. Di depan petugas yang sudah mengenalnya, ia sedikit membungkuk dan berkata, “Terima kasih.” Mereka tersenyum hangat. “Sampai bertemu Minggu depan,” Alina melanjutkan, sebelum melangkah keluar dari rumah sakit. Setelah keluar, Alina melihat jam—jam satu pagi. Ia tahu dengan berjalan kaki pulang ia bisa menghemat. Dengan sigap, Alina merogoh tasnya dan mengeluarkan semprotan cabai, "Lebih baik aman daripada menyesal." Katanya dalam hati. Lalu, ia mulai berjalan cepat menuju rumah. Segera setelah berada jauh dari rumah sakit, suara mesin terdengar. Alina menoleh dan melihat lampu depan sebuah mobil SUV hitam, Range Rover 3.0 Long Wheelbase menyala. Tanpa terlalu memikirkannya, ia melanjutkan perjalanan hingga menyadari bahwa kendaraan itu berbelok dan melaju perlahan di belakangnya. Jantungnya berdebar kencang, dan ia menambah kecepatan, berlari menyeberang jalan menuju gedung parkir yang lampunya masih menyala, berharap bisa menemukan tempat yang lebih aman. Mobil SUV itu berbelok masuk ke tempat parkir dan berhenti di sebelah Alina. Tanpa berpikir panjang, Alina mengambil semprotan cabai, dan segera setelah jendela diturunkan, ia berbalik dan menyemprotkannya ke mata pengemudi sebelum ia mengenalinya. “Tuhan.. Jantungku ingin copot,” dan semprotan cabai itu terjatuh dari tangannya ke trotoar. Dentingan kerasnya hampir tidak terdengar di tengah detak jantungnya yang berdebar kencang. “APA-APAAN INI, ALINA! DASAR GADIS JALANG!” seru Arion, menginjak rem sambil menggeram, kesakitan. “A...Arion?” Alina tergagap, terkejut melihat wajah familiar itu. “Ya, ini aku!!! Kenapa kamu harus melakukan ini?” Arion masih kesal, mengelap matanya yang terbakar semprotan cabai. Alina menyesali tindakannya. “Aku tidak tahu itu kamu. Aku pikir, kamu adalah penguntit mesum..” “Gadis bodoh! Apa yang kamu pikirkan?!” Arion berusaha mengendalikan emosinya. “Kamu seharusnya tidak berlari seperti itu! Aku hanya berniat menolongmu..” Alina mengangkat bahu, tetap tegang. “Menolong? Dengan mengejarku pakai mobil hitam di malam buta?? Tentu saja aku takut!” Arion mendengus, “Jangan memuji dirimu sendiri. Aku hanya kebetulan lewat dan melihatmu berjalan sendirian. Malam-malam begini.. Seharusnya kamu bersyukur.." Alina merasa sedikit kasihan melihat ekspresi kesal di wajah Arion, meskipun mereka selalu saling benci. “Ya, tapi kamu tahu betapa menakutkannya ketika kumelihat mobil besar mengejarku di malam hari. Aku tidak tahu niatmu!” Mata Arion mengeluarkan air mata. “Dan aku tidak tahu bahwa kamu akan menyemprotkan cabai ke mataku!" "Astaga...." Arion mengucek matanya. "Rasanya lebih sakit daripada keluar dari pertandingan.” Alina merasakan campuran senang dan kasihan terhadap Arion. Dia tahu meskipun mereka sering bertengkar, dalam situasi ini, Arion benar-benar berniat membantunya. “Aku... aku minta maaf. Aku hanya panik..” Arion melihat ke arah Alina, merasakan perubahan dalam nada suaranya. "Sekarang kita harus pergi dari sini sebelum ada yang melihat." Tiba-tiba, suara handphone berbunyi. Arion mengangkat telepon. “Ya... Apaa?? Baik, saya akan segera ke sana!” Suara Arion terdengar panik saat menutup teleponnya. “Ada apa?” tanya Alina, khawatir. “Aku harus ke rumah sakit kanker. Kakekku dalam keadaan gawat,” jawab Arion, matanya tampak berkilau dengan kekhawatiran. Alina terdiam sejenak, merasa berat. Dia baru saja keluar dari rumah sakit itu, dan sebenarnya malas ikut Arion. Namun, saat melihat mata Arion yang semakin berair, rasa bersalah muncul dalam dirinya. “Baiklah, aku ikut.” Sesampainya di rumah sakit, Arion berlari cepat menuju ruang darurat, dan Alina mengikuti di belakangnya, berusaha menjaga jarak. Saat mereka tiba, Alina melihat Pak Hadi terbaring di ranjang, wajahnya pucat, dan tim medis sedang bersiap untuk melakukan tindakan darurat. “Kakek!” seru Arion, mendekati kakeknya. Pak Hadi menatap Arion dengan mata lemah, tetapi masih berusaha tersenyum. “Cucuku... aku tidak punya banyak waktu. Mereka akan membawaku untuk operasi kanker limfoma." “Anakku, kau di sini juga. Ternyata kau teman Arion? Mungkin ini adalah saatnya Arion untuk menemukan cintanya.” Alina terkejut. "Pak Hadi..?" Pak Hadi tersenyum, meski jelas kondisinya lemah. "Ya saya kakek Arion. Kau telah membantuku, Nak. Kau adalah gadis yang baik dan tulus... Saya tidak akan pernah lupa." Alina tersipu. Dia tidak menyangka kakek Arion adalah Pak Hadi. "Saya hanya melakukan yang seharusnya." Arion tampak terkejut. "Kakek, kau mengenalnya?" Pak Hadi mengangguk. "Ya, Arion. Alina ini perempuan yang baik. Aku tahu dia bisa diandalkan." Alina tersipu malu, sementara Arion mencoba tidak peduli. Tiba-tiba, tubuh Pak Hadi bergetar, dan napasnya terdengar berat. Perawat yang bertugas datang memeriksa kondisinya. Namun, sebelum itu Pak Hadi menarik napas dalam-dalam dan memandang Alina dan Arion dengan tatapan penuh harap. "Alina, sebelum aku pergi... ada satu hal yang ingin kutanya. Apa kamu menyukai cucuku Arion, Nak?" Alina kebingungan dengan pertanyaan yang baru saja dia dengar. “M-menyukai Arion?” tanyanya. Ia menoleh ke Arion yang sama terherannya. “Kau tahu, Alina, Arion adalah anak yang malang. Sejak kecil dia kehilangan banyak hal dalam hidupnya, termasuk cinta. Aku ingin dia punya seseorang yang tulus di sisinya, seperti kau.” Pak Hadi berhenti sejenak, napasnya semakin tersengal-sengal. “Jika kau bersamanya, aku bisa pergi dengan tenang.” Alina terdiam. Meskipun dia dan Arion tidak pernah akur, cerita tentang kehidupan Arion mulai menggugah hatinya. Arion tertegun, hatinya dipenuhi oleh perasaan campur aduk. “Kakek, jangan bicara seperti itu! Aku tidak mau kamu pergi. Kita akan melakukan yang terbaik!” Pak Hadi menggenggam tangan Arion. “Aku hanya ingin melihatmu bahagia cucuku... sebelum aku menutup mata untuk selamanya.” Pak Hadi menatap Alina, yang berdiri di samping Arion, dan tersenyum lemah. Dalam keheningan yang mendalam, sang kakek berkata lirih.. “Waktuku sudah dekat. Aku ingin melihatmu bahagia. Alina... kau di sini bersamanya. Aku ingin kalian berdua... menikah.”Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang menikah, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk
"Tidak dengan kondisi mataku yang seperti ini. Kau gadis bodoh.. tidak bisa berpikir panjang." Kulit Alina menjadi sangat sensitif saat mereka berdua bersentuhan, tapi Alina menyuruh hatinya untuk tenang. Perasaan seperti ini harus dihentikan. Karena itu hanya akan menjadi masalah yang rumit. “Kamu tidak tinggal di asrama?” “Tidak.” Arion mengerutkan kening. “Tahun pertama sudah cukup buruk.” Alina baru ingat jika Arion adalah kapten yang hobi memerintah, jadi Alina tidak perlu heran. Tubuhnya tenggelam ke tubuh hangat Arion. Perutnya berputar aneh lagi. Alina segera menepis perasaan itu sambil mengamati interior kendaraan. Dengan segala fasilitasnya, mobil ini tidak bisa dibilang murah. Alina langsung terpikir, bagaimana jika ia menabrakkannya? Ia sudah terlilit hutang. Tidak perlu menambahkan mobil ini ke daftarnya yang terus bertambah. Alina mengarahkan jari ke layar GPS, di bawah nama HIA ada tulisan 'Rumah'. Segera Alina mengkliknya. Mereka berdua bekerja sama. A
"Ah ya… aku akan mengompres matamu dan menyiapkan air hangatnya," gumamnya, menahan detakan jantung yang semakin cepat. Alina datang dari dapur membawa napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial. Pelan-pelan.." Alina menggelengkan kepala sambil mengusap mata Arion, mencoba fokus pada apa yang Arion butuhkan. “Yah, matamu tertutup. Kau harus membukanya.” “Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan ketika kau bukan orang yang berada dalam situasi itu,” gumamnya. Rahang Arion terkatup saat dia membuka matanya. “Sial. Sakit sekali.” Alina lalu mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. “Seharusnya segera membaik. Atau, setidaknya, kuharap begitu." Tatapan Arion tertuju pada mulut Alina, dan dia menjilati bibir bawahnya perlahan. Kepalanya menunduk, dan kaki Alina bergerak mendekat padanya. Alina meletakkan tangan di dada Arion, merasakan lekuk otot dan kehangatan dadanya yang telanjang. Namun, ketika ia melihat leher Arion yang basah, Alina terdiam. Ia tersadar dengan
Arion duduk di sampingnya, matanya membulat dan keningnya berkerut dalam kebingungan. Dia benar-benar terkejut. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Lengan kuatnya membungkus tubuh Alina, sementara tangannya yang lain lembut mengusap punggungnya. "Alina... maafkan aku. Aku sungguh... aku benar-benar tidak tahu," ucapnya, suaranya bergetar. Pelukan Arion terasa hangat, namun kata-katanya hanya menambah luka di hati Alina, menghancurkan pertahanannya lebih dalam. "Direktur Eric... dia tidak pernah memberikan beasiswa kepada orang asing begitu saja, tanpa alasan... Dan kau datang, semuanya terasa tiba-tiba dan mencurigakan," lanjut Arion dengan nada pelan. "Clarissa-lah yang pertama kali menyebarkan fitnah itu." Alina terdiam. Saat mendengar nama itu, dia mendongak, menggertakkan gigi sambil mengusap air matanya. “Clarissa?” gumamnya penuh kemarahan. “Tidak heran. Selalu dia…” Dia merasa menyesal telah menangis karena hal yang
Arion terdiam sejenak, lalu menatapnya lebih serius, meskipun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Yah, kalau itu yang kamu inginkan, kita anggap saja begitu,” jawab Arion, sedikit bercanda tapi matanya masih menunjukkan kedewasaan. Alina mendengus sambil meninju pelan bahunya, merasa kesal sekaligus geli. “Aku serius, Arion…” "Baiklah, baiklah. Tapi, kalau suatu hari nanti aku melihat kamu benar-benar butuh aku, jangan harap aku akan diam saja." Arion menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Alina menghela napas panjang, bersiap untuk menjawab, tetapi Arion tiba-tiba mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka semakin tipis... PLAKKKK.. Tanpa ragu, Alina mengangkat tangan dan menampar pipi Arion. Tamparannya cukup keras hingga Arion meringis kesakitan. “Duh, apa-apaan sih?” Arion menatap Alina dengan pandangan mencemooh. “Besok juga kita bakal menikah. Masa nggak bisa kasih semacam ‘deposit’ dulu, gitu?” ujarnya sambil tersenyum nakal, seolah
Alina hanya mengangkat bahu kecil tanpa menjawab. Ia tahu apa yang dikatakan Arion ada benarnya, tapi hatinya terlalu keras untuk mengakui itu. Akhirnya, Arion menghela napas, jelas merasa bingung dan prihatin. Namun, ia tidak ingin memperpanjang pertengkaran ini di tempat umum. "Oke, kita keluar dulu." "Anggap saja ini hanya latihan." Dia menoleh dan mengedipkan mata. Suaranya kembali tenang. Arion membuka pintu. "Mereka sudah menunggu di dalam. Kamu siap atau tidak?" Tanpa menunggu jawaban, Arion keluar dari mobil dan berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Alina. Alina keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Di belakangnya, Arion berjalan dengan santai, seolah tempat ini adalah rumah keduanya. "Jangan gugup," kata Arion sambil membuka pintu untuknya dengan santai. "Kau cuma fitting baju pengantin. Bukan casting bintang film." Alina menatapnya tajam. "Siapa yang gugup?" ujarnya defensif, meski jelas-jelas dari tadi dia gelisah. Saat mereka masu
Arion melingkarkan lengannya di pinggang Alina. Mereka berdua terdiam sejenak, wajah mereka berdekatan. Sementara dibelakang, para pelayan saling berbisik dan tersenyum, terlihat gemas dengan momen manis itu. "Ini bukan cara yang baik untuk tampil di pernikahan." Mata Arion begitu tajam. Alina berhenti bernapas. “Tapi setidaknya, kamu tetap cantik.” Wajah Alina memerah. “Yah, sepertinya aku masih butuh latihan berjalan dengan gaun ini,” katanya. Telapak tangan Arion yang hangat membuat tubuhnya gemetar. Arion mengangkat alisnya, memberikan tatapan serius. “Jadi, apakah kamu benar-benar ingin memakai gaun ini?” tanyanya, suaranya terdengar tulus. “Karena jika iya, aku akan berusaha keras untuk memastikan kamu tidak jatuh lagi." Mendengar kata-katanya, Alina merasa hatinya berdegup. “Iya, aku suka gaun ini,” jawabnya pelan. “Dan terima kasih sudah menangkapku. Sekarang turunkan aku!” Arion membalas dengan berusaha membantu Alina berdiri lagi. Tapi ia masih memegang ta
Begitu wanita itu pergi dengan anjingnya, Alina berdiri dan menatap Arion dengan tatapan yang sulit dibaca. Dia tak berkata apa-apa, tapi ada kekesalan yang terpendam di matanya.Arion meraih kopernya dan melangkah lebih dulu, langkahnya panjang dan cepat. Dia berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar. “Ayo cepat. Kita hampir terlambat.”Alina menatap Arion dengan ekspresi nyaris tak percaya, lalu berusaha menelan rasa jengkelnya. "Pembantu? Serius?" desisnya, sambil menahan diri untuk tidak melempar sepatu ke arah cowok ituMentang-mentang sudah terbiasa hidup dalam sorotan publik, selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dia jadi bebas mengatainya.Setelah mereka duduk di ruang tunggu bandara, Alina tak lagi bisa menahan diri. "Kenapa kamu harus bilang aku pembantumu?"Arion menatapnya sebentar, wajahnya datar. “Karena itu yang paling masuk akal dalam situasi tadi.”Tanpa sedikit pun menunjukkan emosi dia berkata lagi. "Ah tidak.. Kupikir kau memang mirip seperti pembantu."“
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion."Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat."Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.”Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mau ketemu sama kamu." Mend
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
"Aku bisa membayangkan rasanya kehilangan orang tua. Pasti berat banget. Aku bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus kamu harus datang ke sini... masuk ke sekolah elit ini, jadi sorotan kamera, terus Clarissa, yah, dia... aku tahu itu pasti bikin segalanya lebih sulit buatmu. Aku nggak seharusnya jadi cowok menyebalkan yang malah godain kamu di tengah semua ini." Alina tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak bikin aku kesal, kok." Ia berpura-pura melihat sekeliling. "Lagipula, aku nggak lihat siapa-siapa datang buat bikin aku tambah kesal." "Semoga aja nggak ada. Kalau iya, suasananya bakal makin aneh dari sekarang." Alina terkekeh. Sebagian beban di pundaknya terasa surut. "Tapi serius," Darren melanjutkan, menurunkan tangan ke sampingnya. "Aku cuma pengin kamu tahu, aku nggak bermaksud jahat. Aku sebenarnya senang ketemu kamu di sini. Menurut aku kamu itu menarik, lucu, dan..." Darren berhenti bicara mendadak, menyadari ucapannya mulai terdengar aneh.
"Aku... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther mengatakan kau terkunci di dalam bersama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian sudah berkenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka cuma nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Kau tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Ia merasa tidak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, tidak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Aku baik-baik saja." Darren mengerutka
"Alina..."Alina terhenyak dari lamunannya ketika suara Direktur Eric memanggil namanya. Ia mendongak, mendapati pria itu berdiri tak jauh darinya, ditemani oleh Arion dan Clarissa. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih berat. Direktur Eric baru saja menyelesaikan pembayaran uang sekolah Alina, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. “Baiklah, mari kita selesaikan ini,” ujar Direktur dengan nada ramah, sambil memberikan senyum tipis. Dia merangkul bahu Alina dan mengarahkannya ke bagian administrasi. “Besok kau masih harus sekolah, jadi pulanglah dan istirahat.”Istirahat. Kata itu menggoda, namun kenyataannya akan jauh dari itu. Malam-malamnya di rumah bersama teman-temannya jarang tenang. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan senyum, ingin secepat mungkin keluar dari situasi ini. Dengan pernikahan rahasia yang tak diinginkannya bersama Arion, ditambah kebencian yang jelas dari Clarissa, Alina berharap tak perlu banyak berinteraksi dengan mereka di sekolah esok hari.Namun, s
Aneh sekali berjumpa dengan orang yang dikira 'tidur' dengannya, bersama putrinya yang juga duduk disampingnya.. Alina kemudian melirik Clarissa menahan kesal. 'Mungkin saja ia mengira aku adalah ibunya?' “Selamat siang, Pak,” ucap Alina sambil sedikit membungkuk sopan. Direktur Eric menoleh dan menyambut Alina dengan wajah berbinar-binar. “Alina... akhirnya kita bertemu lagi. Dan… siapa ini?” Darren segera mengulurkan tangannya dengan ramah. “Darren, Pak. Terima kasih atas beasiswa sepakbola yang diberikan kepada saya dan beberapa teman lainnya untuk masuk ke sekolah HIA ini.” Direktur Eric menjabat tangan Darren sambil tersenyum lebar. “Ah, bagus sekali. Tapi, Darren, bisa tunggu sebentar di sebelah sana? Media nasional HorizoNews akan mengadakan wawancara sebentar lagi bersama Clarissa, Arion, dan Alina.” Benar. Hari ini adalah jadwal untuk wawancara lanjutan. Bagaimana bisa Alina melupakannya? Darren tersenyum dan mengangguk sopan, berjalan menjauh, sementara Alin
Clarissa memulai, suaranya yang manis namun penuh dengan sindiran menyebar di ruang kelas yang sunyi. "Alina Sari Mentari," katanya dengan nada yang terlalu dramatis. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, dan Alina bisa merasakan mata mereka yang penuh rasa ingin tahu, menunggu cerita yang akan dibagikan. Dalam keadaan lain, Alina mungkin merasa terhina, tapi tidak sekarang. Dengan masa lalu yang penuh cobaan, dan statusnya yang sering dianggap rendah, dia sudah terbiasa dengan cemoohan. Namun, saat Clarissa mulai berbicara, sesuatu di dalam dirinya memuncak. "Alina, benar-benar gadis yang sangat... malang, bukan? Kalian tahu, dia sering tidur dengan banyak pria dewasa." Clarissa tertawa sinis, disusul dengan gelak tawa dari teman-temannya yang sedang mengelilinginya. "Oh, dan apakah kalian tahu siapa yang mengancam ayahku agar bisa sekolah di sini? Tentu saja, Alina." Clarissa menatapnya dengan ekspresi mengejek. "Siapa yang mau memelihara gadis jelek dan miskin sep
Alina, yang berusaha terlihat tidak peduli, hanya mendengarkan sambil menunduk ke buku catatannya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. 'Tentu saja dia tidak datang latihan. Dua hari lalu, dia menikahiku secara diam-diam.' Alina ingin menampar dirinya sendiri karena pikiran itu. Tidak ada yang bisa tahu, terutama orang tua Arion, apalagi dua anak laki-laki ini. Hanya kakek Arion dan kerabat dekatnya yang tahu. Juga Daniel... lebih tepatnya. Luther menatap Valerian dengan alis terangkat. "Menurutmu dia ke mana?" Valerian mengangkat bahu, "Mungkin dia punya pacar rahasia. Maksudku, itu menjelaskan kenapa dia nggak pernah cerita soal kehidupan pribadinya." Alina tersentak sedikit, tapi buru-buru menutupi reaksinya dengan membalik halaman buku catatannya. Luther memperhatikan gerak-geriknya, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa. "Atau mungkin dia sakit. Tapi, yah, itu memang aneh. Apalagi buat Arion." Valerian menoleh ke Alina ia baru menyadari keberadaannya lagi. "