Dalam keadaan wajah yang basah terkena siraman air, Arion berkata, “Jadi, apa kamu benar-benar ingin melihatku tanpa baju?”
Beberapa helai rambut Arion menutupi sedikit matanya. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tampan dengan rambut yang acak-acakan seperti itu? Alina cepat-cepat membalas, “Oh, tentu tidak! Ini akibat kau yang terkena semprotan cabai. Jadi bajumu harus dilepas supaya tidak terkontaminasi.” “Ya, kamu benar," balas Arion, sambil terus mengedipkan matanya masih berair. "Tapi membasuhnya dengan air nggak membuatnya lebih baik. Sial.. kurasa bola mataku akan lepas!” Arion menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. “Maka dari itu, kau sebaiknya diam, tutup saja mulutmu. Ikuti apa yang kusuruh..” Alina menjawab dengan kesal, tetapi ada nada kekhawatiran dalam suaranya. Arion langsung manut. Alina melihat Arion melepaskan kausnya dengan perlahan. Tanpa menunggu jawaban Arion, Alina segera memalingkan wajahnya, beranjak pergi ke dapur. “Aku mau buat air hangat untuk mengompres,” katanya sambil melangkah pergi, berusaha mengalihkan fokusnya yang terus tertuju ke tubuh atletis Arion. Saat menuju dapur Alina tak bisa tidak memperhatikan seisi rumah Arion. Sofa kulit berwarna cokelat tua terlihat terawat, berhadapan dengan meja kopi minimalis. Tak ada tumpukan barang yang tak perlu. Hanya beberapa buku tersusun rapi di rak. Serta televisi diujung ruangan. Di dapur, Alina menyiapkan air panas dengan hati-hati. Setelah mencolok stop kontak dan menekan tombol on, ia mencari wadah besar. Lingkungan rumah ini—tidak seperti kebanyakan anak laki-laki seusianya. Mencerminkan kepribadian Arion yang rapi, teratur, dan bersih. Kompor dan microwave terlihat bersih, begitu juga kulkas, isinya terorganisir dengan baik. "Arion, apa kau memiliki wadah untuk air hangat disini?" teriak Alina, tetapi tidak ada jawaban. Dia mengedarkan pandangannya, mencoba mencari alat itu, ketika tiba-tiba ia melihat sebuah pintu tertutup di ujung koridor... Rasa penasaran mengalahkan rasa ragu, dan Alina menghampiri pintu tersebut. Setelah membukanya, ia terkejut. Ruangan itu tidak hanya dipenuhi alat olahraga, tulisan dan gambar yang memenuhi dinding—sebuah ekspresi yang mentah dan penuh emosi. Ia menatap kalimat pertama yang tertulis dengan goresan tinta hitam tebal: 'What’s the point of living if it's all just pain?' Kata-kata itu terlukis kasar, seolah ditulis dalam kemarahan. Kemudian matanya tertarik pada gambar-gambar di dinding. Seorang pria bertopeng berdiri diam di tengah kegelapan. Disampingnya, ada sayap yang patah, hujan yang tak henti-henti, dan bayangan tanpa wajah yang mengintai sosok kecil. Semuanya berbicara tentang penderitaan yang tak terucapkan, seolah ruangan ini adalah satu-satunya tempat di mana Arion merasa bebas untuk mengekspresikan luka-lukanya. Alina tak kuasa menahan desah napasnya. "Arion…" bisiknya pelan. Suaranya hampir tidak terdengar di tengah keheningan, tetapi rasanya berat sekali untuk berbicara. "Kau selama ini menderita sendirian," ucapnya pelan, suaranya gemetar. Ia tak pernah membayangkan bahwa di balik sikap dingin dan tegas Arion, tersembunyi begitu banyak luka. Mata Alina berkaca-kaca, tetapi ia mencoba menahan air mata. Hati Alina bergetar saat ia membaca sebuah catatan kecil berisi jadwal kunjungan.. Arion rutin ke psikiater, ia anak yang depresi. Kemudian mata Alina menyipit, mendapati salah satu tulisan kecil, tak seperti tulisan lainnya. Di sampingnya, ada sosok anak kecil di tepi jurang. Anak itu tampak seperti terperangkap, takut, dan sendirian. 'Aku tak ingin mengecewakan kakek..' Alina menghampiri nya, hampir terjatuh. Ia berpegangan pada sebuah meja. Mungkin inilah alasan mengapa kakek Arion begitu ingin mereka menikah—untuk menyelamatkan Arion dari kehancuran dirinya sendiri. "Arion, maaf, aku tidak tahu," bisiknya. Alina menyentuh coretan di dinding itu dengan lembut. "Merebus air begitu lama, ya Alina. Aku khawatir kamu tersesat atau kabur," Tiba-tiba, Arion muncul di belakangnya disertai senyum simpul. Alina berbalik, memegang catatan yang baru saja ditemukan, wajah Arion seketika langsung berubah. Situasi menjadi canggung. Alina bisa merasakan ketegangan di udara saat ia bertanya. "Apa yang telah aku lewatkan selama ini? Apakah kamu benar-benar mengalami hal yang berat?" Arion tersenyum pahit. “Kau menemukan sisi gelapku, ya?” Tanyanya, mencoba bercanda meski nada suaranya terdengar serius. Alina hanya bisa mengangguk. Arion menghela napas, ragu sejenak sebelum menjawab. "Keluargaku… Ayahku membenciku karena ibuku, dan ketika dia menikah lagi dengan wanita lain, aku merasa terasing. Kakekku, dia adalah penyelamatku." Saat mengucapkan kata-kata itu, nada suaranya mencerminkan beban yang telah ditanggungnya. "Jadi kamu peduli padaku sekarang? Kuharap kamu berubah pikiran... mengenai tawaran kakek." Arion mengatakan itu sambil bertelanjang dada. Matanya yang memerah membuatnya terlihat seperti penjahat seksi. Air membasahi seluruh wajahnya, bahkan tubuh atletisnya. Entah bagaimana membuat Arion begitu menawan. Siapa yang tahu penampilan Arion yang kacau bisa membuat hormon Alina semakin kacau? Kaki Alina langsung lemas, perutnya berputar tak jelas. Tapi dengan cepat, Alina membuang wajahnya ke samping, berusaha menutupi perasaannya. "Ah ya… aku akan mengompres matamu dan menyiapkan air hangatnya," gumamnya, menahan detakan jantung yang semakin cepat. Alina datang dari dapur membawa napkin dan mangkuk berisi air hangat. Tidak ada wadah besar jadi ya, pakai saja yang ada. "Sial. Pelan-pelan.." Alina menggelengkan kepala sambil mengusap mata Arion, mencoba fokus pada apa yang Arion butuhkan. “Yah, matamu tertutup. Kau harus membukanya.” “Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan ketika kau bukan orang yang berada dalam situasi itu,” gumamnya. Rahang Arion terkatup saat dia membuka matanya. “Sial. Sakit sekali.” Alina lalu mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. “Seharusnya segera membaik. Atau, setidaknya, kuharap begitu." Tatapan Arion tertuju pada mulut Alina, dan dia menjilati bibir bawahnya perlahan. Kepalanya menunduk, dan kaki Alina bergerak mendekat padanya. Alina meletakkan tangan di dada Arion, merasakan lekuk otot dan kehangatan dadanya yang telanjang. Namun, ketika ia melihat leher Arion yang basah, Alina terdiam. Ia tersadar dengan siapa ia berdiri disini sekarang. Dengan mengerahkan seluruh tekad, Alina mundur cepat dan menurunkan tangannya. "Apakah matamu sudah lebih baik sekarang? Jika sudah, aku harus keluar dari sini." Arion menolehkan kepalanya ke belakang, dia mengerjap dan menegakkan tubuh. "Mataku masih sedikit perih, tapi ya. Jauh lebih baik." "Bagus." Alina memaksakan senyum, meskipun jantungnya masih berdebar. Mereka hampir berciuman. "Kalau begitu, aku akan membiarkanmu melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan. Terima kasih sudah mengawasiku." Alina ragu Arion akan melakukannya lagi. Dia berbalik hendak keluar pintu, tetapi tubuh Arion berputar di sekeliling, menghalanginya untuk keluar. Arion mengangkat sebelah alisnya, matanya menegang saat dia berkata dengan suara serak, "Apakah kamu yakin tidak akan bertemu dengan penguntit sungguhan lainnya di luar sana?" Arion menjulang tinggi di depan Alina yang hanya setinggi dadanya, rahangnya terkatup rapat. Arion menatap Alina penuh harap, menunggu jawaban. Alina menutup mulut, tidak mengatakan apa pun. Namun, Alina cukup yakin Arion tidak akan membiarkannya pergi sebelum ia menjawab pertanyaannya. "Sudah larut malam. Aku ingin istirahat. Aku sudah menjadi relawan di rumah sakit kanker seharian dan para pasien itu membuat tubuhku.. sangat lelah." Alina menguap. Dan sekarang gantian. Mata Alina yang memerah. Kali ini ia benar-benar kelelahan. "Kalau begitu aku antar kau ke asramamu." Arion menyandarkan satu lengannya ke dinding, otot bisep dan trisepnya terlihat jelas, begitu pula garis sixpack di perutnya. Setiap lekuk tubuhnya, napasnya yang berat. Alina merasa seolah bisa saja jatuh dan menabraknya saat ini juga.. Bahkan dengan matanya yang memerah penampilannya tetap memukau. Dia terlihat seperti seorang model—model yang sedikit mabuk, tapi tetap model.. "Tidak. Ah.. tidak perlu. Aku bisa berjalan kaki." Jangan sampai.. Jangan sampai Arion tahu rahasianya. Bahwa ia tidak tinggal di asrama. Menolak tawaran Direktur Eric, dan memilih untuk tinggal di kontrakan kecil. "Mengapa aku tidak boleh mengantarmu? Aku calon suamimu." Arion melipat kedua tangannya. Makin terlihat seksi, makin Alina kehilangan kesadarannya. Mendengar kata "Suami" membuat Alina Tiba-tiba ia berpikir, mungkin menerima tawaran pernikahan kakeknya bisa memberikan dukungan terbaik bagi Arion yang selama ini terpuruk karena depresi nya. Namun, Alina segera mengusir pikiran itu. Ia menguap lagi, lalu berjalan perlahan menuju pintu, menggumam lelah, "Sudahlah, aku tidak ingin membahas ini lagi..." Suaranya terdengar setengah mengigau. "Satu-satunya yang aku inginkan sekarang adalah bergegas ke tempat tidur. Dengan musik yang keras membahana di kepalaku... Tempat itu akan jadi..." Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Arion menarik tubuhnya dengan kuat. Perut Alina berputar, membuatnya bingung apakah ia merasakan getaran atau mual. Tenggorokannya tercekat saat Arion mendekat, suaranya rendah dan mematikan, "Bagaimana kalau tempat itu... adalah tempat tidurku?"Alina mendengus dan menatap matanya. Arion bertingkah aneh. "Mengapa aku harus?" “Kau tidak ingin direktur mengira kau selingkuh dan tidur dengan orang lain—seperti Darren—kan?" sindir Arion dengan nada dingin. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kepedihan tersembunyi di balik tatapan itu.Alina tahu, sisi brengsek Arion yang lama dia tunggu akhirnya muncul. Ini dia, pikirnya. Sudah waktunya.Sindiran itu menghantam keras. Seolah dada Alina benar-benar ditusuk. Rasanya terlalu menyakitkan."Oh, jadi itu yang selama ini kau pikirkan tentangku? Bahwa aku tidur dengan pria yang sudah menikah dan cukup tua untuk jadi ayahku?" Alina balas menatapnya, hatinya terasa terbakar.Arion mengangkat bahu, tampak seolah tak peduli. "Yah... Itu masuk akal. Kau bisa masuk HIA dengan mudah. Dan aku tidak mempermasalahkan itu," ucapnya, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting. Ia melirik Alina sambil mengibaskan tangan. "Aku berpikiran modern. Kau tahu, soal itu." Mata Arion tertuju pada bawah tubuh
"Dua jam lagi..." gumam Alina sambil memandangi jam dinding. "ASTAGA...! ALINA!" Dia hampir lupa. Dua jam lagi dia harus berada di sekolah. Alina langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Alina terburu-buru berdiri di depan cermin dan merias wajahnya dengan riasan tipis. Ia memilih liptint merah muda dan sedikit maskara, memberikan tampilan yang segar namun tetap natural. Setelah puas dengan penampilannya, Alina berbalik dan mengunci pintu depan di belakangnya. Alina membuka aplikasi peta di ponselnya untuk mengecek rute ke sekolah. Saat melihat jarak tempuh, keningnya berkerut. Dia harus berjalan sejauh satu kilometer, yang biasanya tidak menjadi masalah baginya. Namun, mengingat cuaca yang panas dan terik saat ini, dia sedikit cemas. "Dua puluh menit di bawah sinar terik seperti ini? Ini akan jadi tantangan baru," pikirnya sambil menghela napas dan bersiap untuk berangkat. Alina menyusuri jalan sambil menatap aplikasi maps, menyesuaikan gambar denga
Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung.Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki. Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya.Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya.“Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.”“Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.” Arion tersenyum, tetapi Alina berh
Tak terasa Alina pun ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, ia langsung bersiap-siap dengan cepat, karena dia harus tiba di sekolah lebih awal untuk mengambil seragamnya.Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang ia harus ke perpustakaan, namun ia baru ingat jika tidak tahu lokasinya. Ia hanya ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang membuatnya terjebak konfrontasi dengan Clarissa kemarin.Mengingat itu air mata Alina mengalir lagi, ia tidak bisa membendungnya. Alina lelah sekarang, dan ia berkeringat. Belum lagi saat pulang nanti ia harus berjalan kaki lagi.Alina menarik napas panjang, mengipasi matanya. Kemudian merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang..."Hei... kamu baik-baik saja?"Akhirnya, pandangan Alina menjadi jelas dan melihat pria di depannya, dia tak kalah tampan dari Arion. Dia mengenakan jersey dan membawa ransel HIA berwarna biru tua. "Ya, hanya sedikit lelah," gumam Alin
Darren menatap Alina lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Arion. Dia membetulkan ranselnya dan menyeringai, lalu mengedipkan mata ke arah Alina menuju pintu.Alina pun mendapati tatapan tajam dari Arion, tertuju padanya. Denyut nadinya melonjak, dan perutnya jungkir balik. Ia yakin Arion sangat marah padanya, tapi ia tidak tahu alasannya apa."Ayo." Sergio memukul punggung Darren. "Ayo pergi dari sini sebelum Arion menendang bokongmu di depan kelas."Para siswa tertawa..Clarissa menyaksikan mereka berdua menghilang. Ia menyilangkan tangannya."Arion, aku tahu kamu tidak ingin ada permusuhan antar pemain. Tapi kamu harus berhati-hati dengan anak itu. Dia tidak suka kamu mengaturnya."Sesaat setelah itu, murid-murid terdengar riuh. Karena guru yang Alina dengar dari beberapa murid bernama Mr. Asher, baru saja datang. Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar kelas tanpa sedikitpun kekhawatiran. Alina yang melihatnya, tak percaya dengan apa ya
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar.. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang pernikahan, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk men