Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar.
Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang menikah, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk menjawab sekarang. Tapi pikirkanlah, Alina. Arion, pikirkanlah tentang apa yang ingin kau lakukan demi kakekmu.” Kedua pemuda itu terdiam. Alina merasa terjebak. Tetapi di sisi lain, ia juga merasa kasihan. Tiba-tiba, pintu ruang gawat darurat terbuka. Seorang dokter berlari masuk. “Pak Hadi, kita harus segera memindahkan Anda ke ruang operasi!” Sebelum pergi, Pak Hadi menatap Arion dan Alina satu kali lagi, dan berkata: “Ingatlah.. cinta adalah hal terindah di dunia ini.” Pak Hadi pun dibawa pergi dan menghilang di balik pintu, Alina dan Arion saling menatap. “Jangan bilang kamu benar-benar berpikir kita bisa melakukannya..” Alina berbicara lebih dulu. Arion tertawa sambil mengelap air matanya yang terus keluar dan menjawab, “Sepertinya kita tidak punya pilihan, kan?” Setelah itu mereka berjalan ke parkiran tanpa bercakap. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Alina merasa tidak bisa meninggalkan Arion karena masih kasihan. Kakek Arion sedang sekarat, dan tiba-tiba meminta hal yang tidak mungkin: menikahi cucunya, Arion. Arion mengemudikan mobil dengan rahang mengatup keras. Alina menoleh, memandangi wajah Arion yang terdiam. Dia mendesah, merasa kesal dengan situasi konyol yang baru saja terjadi. “Apakah kamu serius?!” “Kamu benar-benar berpikir aku akan setuju dengan ini? Sudah gila!” Kata-kata “Menikah” tersangkut di tenggorokan Alina, tapi kemudian ia sadar Arion tidak pantas menikahinya. Panas amarah menjalar ke pembuluh darah Alina. Alina tertawa pahit. Tawa asing penuh kesengsaraan dan sakit hati. Semua ketakutannya akan kematian ibunya menjemputnya.. Pada saat ini. Di samping Arion. “Ini semua konyol..,” gumamnya. “Ini semua pasti ini rencana licikmu, kan? Kau pikir aku bodoh? Kau hanya tertarik pada tubuhku. Dasar pria mesum!” tuduh Alina dengan penuh amarah. BRAKKKK! Arion tiba-tiba menghentakkan setirnya dengan keras, dan mobil menabrak tempat sampah di pinggir trotoar. Tong sampah itu berguling, dan suara keras menggema di jalan sepi. Untungnya sudah larut malam, tidak ada orang di sekitar. “Apa-apaan kau!” seru Alina, terkejut dan langsung mencengkeram kursinya. Arion berbalik menatapnya, matanya memerah—entah karena air mata akibat semprotan cabai atau karena kemarahan. “Mesum? Kau pikir aku melakukan ini karena aku tertarik padamu? Kau salah besar! Aku tidak peduli soal tubuhmu, Alina! Aku hanya... aku hanya...” Kalimatnya tergantung di udara, sementara napasnya berat dan frustrasi. Sesaat, keheningan menyelimuti mereka berdua, tetapi kali ini terasa berbeda—lebih intens. Arion menggerutu sambil terus mengusap matanya dengan panik, mencoba menghentikan rasa perih yang membakar. "Aku janji... Aku akan memberikanmu apa saja. Apa pun yang kau mau.. asal kau turuti permintaan kakekku," katanya dengan suara serak. "Dan aku tahu kau sepertinya sedang kesulitan... soal keuangan. Jadi, ya, penawaranku menarik. Kau hanya perlu setuju." Alina menatap Arion dengan penuh kecurigaan. Merasa harga dirinya terinjak-injak. Amarahnya membuncah lagi. “Jadi, kau pikir aku akan menikahimu hanya karena kau bisa menolongku secara finansial?” Alina berkata dengan nada dingin “Jangan bermimpi! Aku bersumpah, aku tidak akan pernah menikahimu, Arion. Tidak peduli berapa banyak uang yang kau tawarkan!” "Aku tahu ini terdengar gila.. Tapi, kakekku adalah satu-satunya keluarga yang peduli padaku. Di rumah...," ia berhenti sejenak, wajahnya terlihat lebih muram, "Aku tidak punya siapa-siapa selain dia. Orangtuaku... mereka tidak pernah peduli." Alina menatap Arion, kali ini tanpa berkata apa-apa. Ia bisa merasakan betapa dalamnya hubungan Arion dengan kakeknya, dan itu sedikit menggoyahkannya. "Dia satu-satunya yang peduli padaku sejak kecil. Kalau menikah denganmu bisa membuatnya tenang... aku akan melakukannya." Tiba-tiba Arion terus menggosok matanya lagi.. "Sialan! Jika aku buta karena ini, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Alina. Aku akan membuatmu menyesal!" dia menggeram, mencoba menahan rasa sakit. Alina mendesah panjang, baru saja Alina merasa simpati tapi Arion sudah marah-marah lagi. Tapi Alina mulai sadar dan menelan ludah. Perasaan tanggung jawab mulai menghantuinya ketika Arion mulai terpejam, wajahnya basah dengan air mata. Dan ia semakin parah, sepertinya Arion tidak bisa melanjutkan perjalanannya. “Di mana ponselmu? Aku akan menelepon salah satu temanmu untuk menjemputmu,” kata Alina, suaranya tenang namun keras kepala. “Sialan, tidak!” Arion memukul setir. “Aku tidak ingin mereka tahu tentang ini." Arion membayangkan temannya tahu dia disemprot cabai oleh Alina. Dia pasti jadi bahan tertawaan. Alina menghela napas panjang, lalu berbisik, “Sangat menyusahkan...” Arion mendengarnya dan menoleh, “Apa yang kau katakan?” “Ah, tidak... Tidak ada,” jawab Alina cepat, menghindari konfrontasi lebih lanjut. Arion meringis kesakitan. "Kita bisa kembali ke rumah sakit untuk membasuh matamu dengan air. Jika kamu menggosoknya, itu akan semakin parah.." "Tidak.. disana ada pelayan kakek." Alina menepuk jidatnya. Benar. Ia juga tidak mau kembali kesana. Satu-satunya yang Alina harapkan sekarang adalah ia lebih suka meninggalkan Arion sendirian disini. "Apa kau bisa menyetir?" "Tidak. Eh, maksudku.. aku pernah mengemudi beberapa kali saat kelas satu, menggunakan mobil temanku. Tapi itu tidak berjalan dengan baik." "Bagus." kata Arion mendorong kursinya kebelakang hingga menciptakan jarak antara kemudi dan dirinya. "Kita bisa bekerja sama," “Aku bisa menginjak gas sementara kamu memutar kemudi, dan melihat jalan. Kita pulang ke rumahku.” Alina ternganga. Matanya mengawasi Arion. Apakah dia sudah gila, menyuruhnya duduk diatas pangkuannya sambil mengantarnya pulang? "Apakah kamu yakin tidak ingin aku menelpon salah satu anggota tim sepakbolamu, temanmu, atau bahkan…” Tenggorokan Alina tercekat, tapi ia memaksakan nama berikutnya keluar dari bibirnya. “Clarissa?” “Aku yakin kamu ingin sekali menelepon Darren,” Arion tersenyum mengejek, tampak mengintimidasi. "Tapi, tidak, Alina. Kamu melakukan ini terhadapku. Kamu sendiri yang harus membereskan kekacauan ini...” Alina menarik napas dan berpindah duduk diatas Arion. "Oke. Tapi jangan coba-coba bertindak macam-macam padaku.""Tidak dengan kondisi mataku yang seperti ini. Kau gadis bodoh.. tidak bisa berpikir panjang." Kulit Alina menjadi sangat sensitif saat mereka berdua bersentuhan, tapi Alina menyuruh hatinya untuk tenang. Perasaan seperti ini harus dihentikan. Karena itu hanya akan menjadi masalah yang rumit. “Kamu tidak tinggal di asrama?” “Tidak.” Arion mengerutkan kening. “Tahun pertama sudah cukup buruk.” Alina baru ingat jika Arion adalah kapten yang hobi memerintah, jadi Alina tidak perlu heran. Tubuhnya tenggelam ke tubuh hangat Arion. Perutnya berputar aneh lagi. Alina segera menepis perasaan itu sambil mengamati interior kendaraan. Dengan segala fasilitasnya, mobil ini tidak bisa dibilang murah. Alina langsung terpikir, bagaimana jika ia menabrakkannya? Ia sudah terlilit hutang. Tidak perlu menambahkan mobil ini ke daftarnya yang terus bertambah. Alina mengarahkan jari ke layar GPS, di bawah nama HIA ada tulisan 'Rumah'. Segera Alina mengkliknya. Mereka berdua bekerja sama. A
"Ah ya… aku akan mengompres matamu dan menyiapkan air hangatnya," gumamnya, menahan detakan jantung yang semakin cepat. Alina datang dari dapur membawa napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial. Pelan-pelan.." Alina menggelengkan kepala sambil mengusap mata Arion, mencoba fokus pada apa yang Arion butuhkan. “Yah, matamu tertutup. Kau harus membukanya.” “Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan ketika kau bukan orang yang berada dalam situasi itu,” gumamnya. Rahang Arion terkatup saat dia membuka matanya. “Sial. Sakit sekali.” Alina lalu mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. “Seharusnya segera membaik. Atau, setidaknya, kuharap begitu." Tatapan Arion tertuju pada mulut Alina, dan dia menjilati bibir bawahnya perlahan. Kepalanya menunduk, dan kaki Alina bergerak mendekat padanya. Alina meletakkan tangan di dada Arion, merasakan lekuk otot dan kehangatan dadanya yang telanjang. Namun, ketika ia melihat leher Arion yang basah, Alina terdiam. Ia tersadar dengan
Arion duduk di sampingnya, matanya membulat dan keningnya berkerut dalam kebingungan. Dia benar-benar terkejut. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Lengan kuatnya membungkus tubuh Alina, sementara tangannya yang lain lembut mengusap punggungnya. "Alina... maafkan aku. Aku sungguh... aku benar-benar tidak tahu," ucapnya, suaranya bergetar. Pelukan Arion terasa hangat, namun kata-katanya hanya menambah luka di hati Alina, menghancurkan pertahanannya lebih dalam. "Direktur Eric... dia tidak pernah memberikan beasiswa kepada orang asing begitu saja, tanpa alasan... Dan kau datang, semuanya terasa tiba-tiba dan mencurigakan," lanjut Arion dengan nada pelan. "Clarissa-lah yang pertama kali menyebarkan fitnah itu." Alina terdiam. Saat mendengar nama itu, dia mendongak, menggertakkan gigi sambil mengusap air matanya. “Clarissa?” gumamnya penuh kemarahan. “Tidak heran. Selalu dia…” Dia merasa menyesal telah menangis karena hal yang
Arion terdiam sejenak, lalu menatapnya lebih serius, meskipun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Yah, kalau itu yang kamu inginkan, kita anggap saja begitu,” jawab Arion, sedikit bercanda tapi matanya masih menunjukkan kedewasaan. Alina mendengus sambil meninju pelan bahunya, merasa kesal sekaligus geli. “Aku serius, Arion…” "Baiklah, baiklah. Tapi, kalau suatu hari nanti aku melihat kamu benar-benar butuh aku, jangan harap aku akan diam saja." Arion menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Alina menghela napas panjang, bersiap untuk menjawab, tetapi Arion tiba-tiba mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka semakin tipis... PLAKKKK.. Tanpa ragu, Alina mengangkat tangan dan menampar pipi Arion. Tamparannya cukup keras hingga Arion meringis kesakitan. “Duh, apa-apaan sih?” Arion menatap Alina dengan pandangan mencemooh. “Besok juga kita bakal menikah. Masa nggak bisa kasih semacam ‘deposit’ dulu, gitu?” ujarnya sambil tersenyum nakal, seolah
Alina hanya mengangkat bahu kecil tanpa menjawab. Ia tahu apa yang dikatakan Arion ada benarnya, tapi hatinya terlalu keras untuk mengakui itu. Akhirnya, Arion menghela napas, jelas merasa bingung dan prihatin. Namun, ia tidak ingin memperpanjang pertengkaran ini di tempat umum. "Oke, kita keluar dulu." "Anggap saja ini hanya latihan." Dia menoleh dan mengedipkan mata. Suaranya kembali tenang. Arion membuka pintu. "Mereka sudah menunggu di dalam. Kamu siap atau tidak?" Tanpa menunggu jawaban, Arion keluar dari mobil dan berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Alina. Alina keluar dari mobil dengan perasaan campur aduk. Di belakangnya, Arion berjalan dengan santai, seolah tempat ini adalah rumah keduanya. "Jangan gugup," kata Arion sambil membuka pintu untuknya dengan santai. "Kau cuma fitting baju pengantin. Bukan casting bintang film." Alina menatapnya tajam. "Siapa yang gugup?" ujarnya defensif, meski jelas-jelas dari tadi dia gelisah. Saat mereka masu
Arion melingkarkan lengannya di pinggang Alina. Mereka berdua terdiam sejenak, wajah mereka berdekatan. Sementara dibelakang, para pelayan saling berbisik dan tersenyum, terlihat gemas dengan momen manis itu. "Ini bukan cara yang baik untuk tampil di pernikahan." Mata Arion begitu tajam. Alina berhenti bernapas. “Tapi setidaknya, kamu tetap cantik.” Wajah Alina memerah. “Yah, sepertinya aku masih butuh latihan berjalan dengan gaun ini,” katanya. Telapak tangan Arion yang hangat membuat tubuhnya gemetar. Arion mengangkat alisnya, memberikan tatapan serius. “Jadi, apakah kamu benar-benar ingin memakai gaun ini?” tanyanya, suaranya terdengar tulus. “Karena jika iya, aku akan berusaha keras untuk memastikan kamu tidak jatuh lagi." Mendengar kata-katanya, Alina merasa hatinya berdegup. “Iya, aku suka gaun ini,” jawabnya pelan. “Dan terima kasih sudah menangkapku. Sekarang turunkan aku!” Arion membalas dengan berusaha membantu Alina berdiri lagi. Tapi ia masih memegang ta
Begitu wanita itu pergi dengan anjingnya, Alina berdiri dan menatap Arion dengan tatapan yang sulit dibaca. Dia tak berkata apa-apa, tapi ada kekesalan yang terpendam di matanya.Arion meraih kopernya dan melangkah lebih dulu, langkahnya panjang dan cepat. Dia berhenti dan menoleh dengan ekspresi datar. “Ayo cepat. Kita hampir terlambat.”Alina menatap Arion dengan ekspresi nyaris tak percaya, lalu berusaha menelan rasa jengkelnya. "Pembantu? Serius?" desisnya, sambil menahan diri untuk tidak melempar sepatu ke arah cowok ituMentang-mentang sudah terbiasa hidup dalam sorotan publik, selalu dikelilingi oleh wanita-wanita cantik dia jadi bebas mengatainya.Setelah mereka duduk di ruang tunggu bandara, Alina tak lagi bisa menahan diri. "Kenapa kamu harus bilang aku pembantumu?"Arion menatapnya sebentar, wajahnya datar. “Karena itu yang paling masuk akal dalam situasi tadi.”Tanpa sedikit pun menunjukkan emosi dia berkata lagi. "Ah tidak.. Kupikir kau memang mirip seperti pembantu."“
Upacara pernikahan itu berlangsung sederhana, hanya dihadiri oleh kakek Arion, Pak Hadi, dan beberapa orang terdekat. Walaupun sederhana, atmosfernya terasa tegang—tapi bukan karena sakral, melainkan karena Arion dan Alina yang terus saling melontarkan lirikan penuh gengsi. Saat tiba gilirannya, Arion menggenggam tangan Alina dan mengatakan, "Aku bakal pegang kendali di sini." Tangannya lembut, tapi senyumnya benar-benar bikin Alina ingin menginjak kakinya.Dia berbisik sambil menahan senyum, “Siap-siap jadi nyonya Kwon, yang selalu menurut sama suaminya.”Alina menyahut pelan dengan sinis tapi tetap menggemaskan, “Kau mimpi ya, Arion? Nyonya Kwon nggak bakal ‘tunduk’ semudah itu.”Ketika pemimpin upacara memberi isyarat pada Arion untuk mulai mengucapkan janji, Arion menatap Alina dengan senyum penuh kemenangan dan berkata, "Mulai hari ini, kamu resmi jadi milikku. Siap-siap aja, jangan nangis kalau aku mengatur hidupmu.”Alina tersenyum lebar, baru ingin menjawab namun pemimpin per
Seorang pelayan menghampiri meja mereka dengan senyum cerah. "Saya Adrian, saya akan melayani Anda malam ini." Matanya melirik sekeliling meja, lalu tertuju pada Alina. “Dan Anda pasti pria paling beruntung bisa makan malam dengan wanita cantik ini,” ujarnya. Wajah Alina memerah, tapi dia tidak bisa menahan senyum. Sementara itu, Arion terlihat kesal. Dia menahan pandangannya dari pelayan yang kini tengah pergi setelah menerima pesanan minuman mereka. Setelah beberapa saat, Arion menyesap airnya, lalu mencondongkan tubuh ke meja. “Bagaimana menurutmu tentang pemandangan disini?” “Bagus sekali. Aku senang mereka memberi kita meja yang begitu indah.” Alina tersenyum, matanya menyusuri pemandangan kota. Arion memandangi Alina dengan tatapan serius, seolah ingin memastikan bahwa dia mendengarkan apa yang sedang dia katakan. “Kamu tahu nggak? Gedung setinggi ini dibangun untuk bergoyang tertiup angin. Terkadang, jika kamu memejamkan mata, kamu bisa merasakannya bergerak di bawa
Mereka sampai di helipad pribadi. Angin dari baling-baling helikopter mulai terasa meski belum menyala penuh. Kakek Hadi berdiri di dekat pagar pembatas, mengenakan jas ringan, sementara Alina dan Arion baru tiba. Alina membawa kantung kecil, berlari kecil menghampiri kakek, sementara Arion berjalan dengan santai di belakangnya. "Kakek! Wah, kakek terlihat luar biasa hari ini! Aku bahkan hampir tidak mengenali kakek!" Tanpa ragu, Alina memeluk kakek dengan erat, matanya berkaca-kaca melihat kondisi kakek yang jauh lebih baik. Kakek tertawa kecil. "Alina, anak baikku. Lihat aku sekarang. Aku tidak butuh tongkat lagi, bahkan siap naik helikopter. Semua ini karena kamu!" Alina melepas pelukan, mata berbinarnya memandang kakek. "Kek, saya senang sekali. Kesehatan kakek benar-benar membaik. Saya sampai tidak percaya melihatnya!" "Sudah kubilang, kan, Alina? Kakek jadi luar biasa setelah pernikahan kita. Tapi aku juga nggak menyangka sampai secepat ini." "Arion, jangan mer
"Ya, kami mencari sesuatu yang pas untuk pertemuan dengan keluarga saya." Dia sedikit menekankan kata keluarga dengan sengaja. Alina berusaha menahan tawa, tapi gagal. "Keluarga? Kita kan cuma... ehm... sah-sah aja." Dia melempar senyum yang lebih ke arah mengejek. Pramuniaga yang mendengar itu hanya tersenyum kaku, sementara Arion menatap Alina dengan ekspresi yang bisa dibilang hampir cemas. "Ayo, jangan bikin kakekku ngerasa kita ini belum siap." Lalu, mereka mulai mencoba berbagai pilihan pakaian. Arion langsung memilihkan setelan jas hitam yang sangat formal. "Coba ini," katanya sambil mengulurkannya pada Alina. Alina mengernyit. "Aku gak mau kelihatan kayak bodyguard mu!" Dia meletakkan jas itu kembali dengan kasar. Arion melangkah lebih jauh ke dalam toko dan mengambil beberapa gaun, kemudian menggantungnya di depan Alina. "Coba ini. Kakek bakal suka," katanya, sedikit memaksakan. Alina melirik gaun-gaun tersebut dan hampir tertawa. "Ya ampun, Arion, apa kamu pik
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion."Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat."Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.”Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mau ketemu sama kamu." Mend
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
"Aku bisa membayangkan rasanya kehilangan orang tua. Pasti berat banget. Aku bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus kamu harus datang ke sini... masuk ke sekolah elit ini, jadi sorotan kamera, terus Clarissa, yah, dia... aku tahu itu pasti bikin segalanya lebih sulit buatmu. Aku nggak seharusnya jadi cowok menyebalkan yang malah godain kamu di tengah semua ini." Alina tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak bikin aku kesal, kok." Ia berpura-pura melihat sekeliling. "Lagipula, aku nggak lihat siapa-siapa datang buat bikin aku tambah kesal." "Semoga aja nggak ada. Kalau iya, suasananya bakal makin aneh dari sekarang." Alina terkekeh. Sebagian beban di pundaknya terasa surut. "Tapi serius," Darren melanjutkan, menurunkan tangan ke sampingnya. "Aku cuma pengin kamu tahu, aku nggak bermaksud jahat. Aku sebenarnya senang ketemu kamu di sini. Menurut aku kamu itu menarik, lucu, dan..." Darren berhenti bicara mendadak, menyadari ucapannya mulai terdengar aneh.
"Aku... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther mengatakan kau terkunci di dalam bersama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian sudah berkenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka cuma nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Kau tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Ia merasa tidak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, tidak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Aku baik-baik saja." Darren mengerutka
"Alina..."Alina terhenyak dari lamunannya ketika suara Direktur Eric memanggil namanya. Ia mendongak, mendapati pria itu berdiri tak jauh darinya, ditemani oleh Arion dan Clarissa. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih berat. Direktur Eric baru saja menyelesaikan pembayaran uang sekolah Alina, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. “Baiklah, mari kita selesaikan ini,” ujar Direktur dengan nada ramah, sambil memberikan senyum tipis. Dia merangkul bahu Alina dan mengarahkannya ke bagian administrasi. “Besok kau masih harus sekolah, jadi pulanglah dan istirahat.”Istirahat. Kata itu menggoda, namun kenyataannya akan jauh dari itu. Malam-malamnya di rumah bersama teman-temannya jarang tenang. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan senyum, ingin secepat mungkin keluar dari situasi ini. Dengan pernikahan rahasia yang tak diinginkannya bersama Arion, ditambah kebencian yang jelas dari Clarissa, Alina berharap tak perlu banyak berinteraksi dengan mereka di sekolah esok hari.Namun, s