Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cepat." "Saya nggak minta jawaban sekarang. Tapi pikirinlah, Alina. Arion, pikirin apa yang kamu bisa lakukan buat kakekmu." Keduanya terdiam. Alina merasa terjebak, tapi juga kasihan. Tiba-tiba, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter masuk. "Pak Hadi, kita harus segera pindahkan Anda ke ruang operasi!" Sebelum pergi, Pak Hadi sempat menatap Arion dan Alina sekali lagi, lalu berkata, "Ingat... cinta itu hal terindah di dunia." Pak Hadi pun dibawa pergi, dan hilang di balik pintu. Alina dan Arion saling pandang. "Jangan bilang lo bener-bener mikir kita bisa ngelakuin ini..." Alina ngomong duluan. Arion tertawa sambil ngelap air matanya yang masih keluar, "Kayaknya kita nggak punya pilihan, deh." Setelah itu, mereka jalan ke parkiran tanpa ngomong apa-apa, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Alina merasa nggak bisa ninggalin Arion karena kasihan. Kakek Arion lagi sekarat dan tiba-tiba minta sesuatu yang nggak mungkin: menikahi cucunya, Arion. Arion nyetir mobil dengan rahang yang keras. Alina menoleh ke dia, melihat wajah Arion yang terdiam. Dia mendesah, kesal banget sama situasi konyol yang baru aja terjadi. "Lo serius?" "Lo bener-bener mikir kalau gue bakal setuju sama ini? Gila aja!" Kata-kata "Nikah" nyangkut di tenggorokan Alina, tapi dia sadar kalau Arion nggak pantas nikahin dia. Amarahnya mulai menyala. Alina tertawa pahit. Tawa yang terasa aneh dan penuh kesakitan. Semua ketakutannya tentang kematian ibunya datang lagi... Disini, di samping Arion. "Ini semua konyol tahu nggak..." gumamnya. "Ini pasti rencana licik lo, kan? Lo pikir gue bodoh? Lo cuma tertarik sama badan gue. Dasar lo cowok mesum!" teriak Alina penuh amarah. BRAKK! Arion tiba-tiba menghentak setirnya sangat keras, dan mobil menabrak tempat sampah di pinggir jalan. KLONTANGGG Tempat sampah itu terguling, dan suara kerasnya ngegema di jalan sepi. Untungnya udah larut malam, nggak ada orang yang lewat. "Apa-apaan lo!" teriak Alina, kaget dan langsung mencengkeram kursinya. Arion balik menatap Alina, matanya merah—entah karena air mata cabai atau karena marah. "Mesum? Lo pikir gue ngelakuin ini cuma karena tertarik sama lo? Lo salah besar! Gue nggak peduli soal badan lo, Alina! Gue cuma... gue cuma..." Kalimatnya terhenti, napasnya berat dan frustrasi. Keheningan melanda mereka, tapi kali ini rasanya lebih intens. Arion terus ngusap matanya dengan panik, berusaha ngurangin rasa perih yang membakar. "Gue janji... gue bakal kasih apa aja yang lo mau. Apa pun itu... asal lo setuju sama permintaan kakek gue," katanya dengan suara serak. "Dan gue tahu lo lagi kesulitan soal keuangan. Jadi, ya, tawaran gue menarik. Lo cuma perlu setuju." Alina ngeliatin Arion dengan penuh curiga. Harga dirinya merasa diinjak-injak. Amarahnya makin besar. "Jadi, lo pikir gue bakal nikah sama lo cuma karena lo bisa nolong gue secara finansial?" tanya Alina dengan dingin. "Jangan harap! Gue nggak akan pernah nikah sama lo, Arion. Gak peduli berapa banyak uang yang lo tawarin!" "Gue tahu ini kedengerannya gila... Tapi, kakek adalah satu-satunya keluarga yang peduli sama gue. Di rumah...," dia berhenti sebentar, wajahnya tiba-tiba muram, "Ortu gue... mereka nggak pernah peduli." Alina liatin Arion, kali ini nggak ngomong apa-apa. Dia bisa ngerasain betapa dalamnya hubungan Arion sama kakeknya, dan itu mulai ngerubah pandangannya. "Kakek satu-satunya yang peduli sama gue sejak kecil. Kalau nikah sama lo bisa bikin dia tenang... gue bakal lakuin." Tiba-tiba Arion terus mengelap matanya lagi. "Sialan! Kalau gue buta karena ini, gue nggak akan pernah maafin lo, Alina. Gue bakal buat lo nyesel!" Alina mendesah panjang. Baru aja dia ngerasa simpati, Arion malah marah-marah lagi. Tapi Alina mulai sadar, dan dia menelan ludah. Perasaan tanggung jawab mulai menghantuinya, apalagi pas liat Arion terpejam, wajahnya basah karena air mata. Dan semuanya makin parah. Kayaknya Arion nggak bisa lanjut perjalanan ini. "Di mana ponsel lo? Gue bakal telepon teman lo buat jemput," kata Alina, suara tegas tapi masih ngotot. "Sialan, nggak!" Arion mukul setir. "Gue nggak mau mereka tahu tentang ini." Dia bayangin temannya tahu dia disemprot cabai sama Alina. Pasti bakal jadi bahan ketawaan. Alina ngeluarin napas panjang, lalu berbisik, "Nyusahin banget sih..." Arion denger dan nengok. "Apa lo bilang?" "Ah, nggak... nggak ada," jawab Alina cepat, menghindari konfrontasi lebih lanjut. Arion meringis kesakitan. "Kita bisa balik ke rumah sakit buat bilas mata lo dengan air. Kalau lo gosok terus, bakalan makin parah." "Nggak... di sana ada pelayan kakek." Alina tepuk jidatnya. Benar juga. Dia nggak mau balik ke sana. Sekarang, satu-satunya yang dia harapin saat ini adalah lebih baik ninggalin Arion sendirian di sini. "Lo bisa nyetir?" "Enggak. Eh, maksudnya... gue pernah nyetir beberapa kali waktu kelas satu, pake mobil temen. Tapi nggak terlalu lancar." "Bagus," kata Arion, dia memencet tombol hingga kursinya mundur sedikit untuk kasih ruang. "Kita bisa kerjasama." "Gue masih sanggup injek gas, jadi lo yang putar setir, dan kita pulang ke rumah gue." Alina bengong. Matanya ngeliatin Arion. Apa dia udah gila, nyuruh dirinya duduk di pangkuannya sambil nyetir? "Lo yakin nggak mau gue bantu buat teleponin salah satu temen lo, anggota tim futsal, atau..." Tenggorokan Alina tercekat, tapi dia maksa nama berikutnya keluar. "Clarissa?" "Gue tahu. Lo pasti pengen banget telepon Darren," Arion senyum, ngejek, keliatan mengintimidasi. "Tapi, nggak, Alina. Lo yang bikin gue kaya gini. Lo sendiri yang harus beresin kekacauan ini..." Alina tarik napas panjang, dan akhirnya dia pindah duduk di pangkuan Arion. "Oke. Tapi jangan coba-coba ngelakuin hal aneh-aneh sama gue ya.""Nggak, gue nggak bisa kayak gitu dengan mata gue yang sakit. Lu emang bego banget... nggak bisa mikir panjang." Alina mendelik tajam. "Ya, maaf deh gue nggak sepinter lo! Tapi kalau lo emang nggak bisa mikir jernih, jangan nyalahin gue juga dong! Mata lo sakit, tapi mulut lo lancar banget ya buat ngata-ngatain orang!" Arion menghela napas panjang, suaranya mulai melembut, "Oke, gue salah ngomong. Gue nggak mau ribut. Tapi mata gue beneran nggak bisa lihat jelas sekarang." Dia lalu melirik setir sambil mengusap matanya yang masih perih. "Pokoknya sekarang lo harus tanggung jawab. Gue nggak mau mobil ini malah nyemplung ke got gara-gara kita ribut terus." Nada bicaranya terdengar serius, tapi wajahnya sedikit memerah saat mengatakan itu. "Jangan mikir macem-macem. Gue cuma mau kita selamat sampai rumah." "Hmm yaudah, gue lakuin ini cuma biar lo sampai rumah dengan selamat aja ya, habis mata lo sembuh gue pulang?" Arion menyeringai tipis, menatap Alina dengan tatapan isen
"Ah ya… gue bakal ngompres mata lo, terus nyiapin air hangatnya," gumam Alina pelan, mencoba menahan detak jantung yang makin kencang. Alina keluar dari dapur dengan napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial, pelan-pelan.." Arion mengerang. Alina menggeleng pelan sambil mulai mengusap mata Arion. "Yah, mata lo tertutup. Lo harus buka kalau mau gue bersihin." "Lo ngomong gampang. Coba deh rasain sendiri sakitnya," balas Arion dengan suara tertahan. Dia akhirnya membuka matanya perlahan. Rahangnya mengeras. "Sial. Sakit banget." Alina mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. "Harusnya ini cepat membaik... atau ya, semoga aja." Tatapan Arion tiba-tiba jatuh ke mulut Alina. Dia menjilat bibir bawahnya perlahan. Kepalanya sedikit menunduk, sementara Alina mendekat tanpa sadar. Tangan Alina sempat menyentuh dada Arion. Hangat. Otot dadanya terasa jelas di bawah telapak tangannya. Tapi begitu pandangannya jatuh ke leher Arion yang sedikit basah, dia langsung ter
Arion duduk di samping Alina, matanya membulat, keningnya berkerut dalam. Dia kelihatan beneran kaget. Tanpa bilang apa-apa, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Tangannya yang kuat m membungkus tubuh Alina, sementara satu tangannya lagi lembut mengusap punggung Alina. "Alina... maafin gue. Gue bener-bener nggak tahu," suaranya bergetar. Pelukan Arion memang hangat, tapi kata-katanya malah makin bikin hati Alina remuk. Rasanya seperti Arion nambahin luka di tempat yang sudah perih. "Direktur Eric... dia nggak pernah kasih beasiswa gitu aja ke orang asing, tanpa alasan. Dan lo datang tiba-tiba, semuanya terasa mencurigakan," lanjut dia pelan. "Clarissa yang pertama kali nyebarin fitnah itu." Alina terdiam. Begitu dengar nama itu, Alina langsung mengangkat kepala sambil mengigit bibirnya sendiri, berusaha menahan air mata yang sudah mengalir. “Clarissa?” gumamnya penuh emosi. “Oh, nggak heran sih. Selalu aja dia...” Alina menyesal banget nangis gara-gara hal konyol kay
"Gue ngerti, kita nikah ini cuma formalitas buat kakek gue. Tapi gue gak akan tinggal diam kalau lo dalam masalah." Alina mengerutkan kening. "Gue gak minta lo jagain gue. Gue bisa urus diri gue sendiri." "Gue tahu lo bisa," Arion menjawab cepat, nadanya tegas. "Tapi gue gak akan diem aja kalau lo kesusahan. Itu bukan soal minta atau gak minta. Itu tanggung jawab gue." Arion memandang Alina dengan intensitas yang membuatnya sulit berpaling. Mata gelap cowok itu memancarkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—sesuatu yang mendesak, hampir mendominasi. "Lo bisa bilang apa pun sekarang, Lin. Tapi gue gak akan biarin lo jalan sendirian, apalagi setelah kita nikah. Kita ini tim. Suka atau gak suka, lo harus terima itu." "Lo selalu ngomong kayak gitu. Tapi kenyataannya, lo cuma mau ngontrol gue. Gue gak butuh penjaga. Gue gak butuh siapapun buat nyelamatin gue." "Terserah lo mau mikir apa," balas Arion, nadanya dingin namun tegas. "Tapi gue gak akan biarin lo hil
Di depan mereka berdiri sebuah butik pengantin mewah dengan logo mengilap. Hiasan di etalase toko terlihat mahal, seperti sengaja memamerkan gaun-gaun pengantin yang pasti harganya bikin dompet Alina nangis. 'Ini toko baju doang. Tapi kenapa rasanya kayak mau masuk istana? Gue bahkan nggak tahu harus mulai ngomong apa di depan mbak-mbak SPG-nya. 'Halo, gue calon pengantin nggak niat, tolong kasih gue diskon.' Ya nggak mungkin kan?' "Lo serius ngajak gue masuk ke situ?" Alina akhirnya buka suara. Arion cuma tersenyum tipis sambil melempar pandangan ke arah butik. "Ya emang. Kenapa? Lo takut sama manekin?" "Bukan takut. Gue cuma nggak yakin gue cocok di tempat kayak gitu. Lo lihat nggak itu? Tempatnya terlalu... mahal." Arion mengangkat alis, berusaha menahan tawa. "Ya iyalah mahal. Gue nggak mungkin bawa lo ke toko pinggir jalan buat beli gaun pengantin." "Gue cuma mau bilang..." Alina menggantung kalimatnya, gengsinya jelas terlihat. "Gue nggak yakin gue pantes di situ." Arion
Arion masih memperhatikan Alina dari ujung kaki sampai ujung kepala, sambil tersenyum licik. Alina langsung geleng-geleng kepala, sambil melipat bibir. "Susah banget sih lo? Gue cuma coba gaun, nggak ada yang perlu lo olok-olok gitu." Arion ketawa kecil, "Nggak ada yang lebih lucu daripada ngeliat lo pake gaun pengantin, serius deh." Alina cuma bisa menggerutu dalam hati, sambil berbalik masuk ke ruang ganti lagi. "Pantesan aja lo nggak pernah romantis. Lo selalu aja pengen ngejek gue." "Romantis? Gue lebih suka jujur. Dan jujur aja, lo bakal lebih cocok jadi ratu balap daripada pengantin." Alina menghela napas berat, "Sumpah, lo bikin gue kesel." Tapi di balik semuanya, dia masih nggak bisa nahan senyum kegelian. Entah kenapa, olokan Arion yang aneh itu malah bikin suasana jadi lebih ringan, meskipun tetep aja... bikin kesel. Alina merasa gugup ketika pakai gaun terakhir. Gaun itu nggak kayak yang sebelumnya, ini agak sedikit terbuka, dengan potongan V di dada yang sedikit l
Alina langsung mendongak, kaget banget sama jawabannya. Tapi dia buru-buru menutup ekspresinya. Senyum yang dipaksakan muncul, meski dalam hati dia udah pengen ngedumel. Cewek itu malah ketawa. “Oh, gue kira pacar baru lo! Tapi gue ngerti kok. Pokoknya sukses buat lo di tim nasional nanti!” Arion cuma senyum kecil dan angguk sopan. “Makasih atas dukungannya.” Alina diam aja sepanjang mereka jalan menuju boarding. Tapi dalam hati, dia nyumpahin Arion, 'Lo bakal gue labrak abis ini, dasar pangeran palsu!' Setelah masuk ke area boarding dan duduk di ruang tunggu, Alina akhirnya nggak bisa nahan diri lagi. Dia melirik ke arah Arion yang lagi asyik scrolling HP-nya dengan ekspresi santai, seolah nggak ada yang terjadi. “Gue nggak habis pikir, kenapa lo harus bilang gue pembantu?” Alina mulai dengan emosi. Arion berhenti main HP dan melirik Alina sekilas. “Ya emang bener kan?” jawabnya enteng, tanpa rasa bersalah sedikit pun. Alina langsung ngekerutkan alis. “Maksud lo apa?” Arion
Upacara pernikahan itu sederhana banget, cuma dihadiri sama kakeknya Arion, Pak Hadi, dan beberapa orang terdekat. Walaupun sederhana, suasananya nggak ada sakral-sakralnya—lebih kayak dua orang yang sama-sama gengsi, saling melontarkan lirikan tajam. Waktu gilirannya, Arion langsung menggenggam tangan Alina. “Gue bakal pegang kendali di sini,” katanya sambil senyum kecil yang bikin Alina mau menginjak kakinya. Tangannya sih lembut, tapi sikapnya? Nyebelin banget. Arion menunduk sedikit dan berbisik sambil nahan senyum. “Siap-siap jadi Nyonya Kwon yang selalu nurut sama suaminya.” Alina balas pelan, sengaja dengan nada sinis, “Lo mimpi kali, Arion. Nyonya Kwon nggak bakal ‘tunduk’ segampang itu.” Pemimpin upacara melirik mereka berdua dengan tatapan setengah kesal waktu Arion akhirnya diminta mengucap janji. Dia tatap Alina dengan senyum yang—jujur aja—bikin Alina kepengen melempar bunga dari tangannya. “Mulai hari ini, lo resmi jadi milik gue. Siap-siap, jangan nangis kalau gue
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu