Tak terasa Alina pun ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, ia langsung bersiap-siap dengan cepat, karena dia harus tiba di sekolah lebih awal untuk mengambil seragamnya.
Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang ia harus ke perpustakaan, namun ia baru ingat jika tidak tahu lokasinya. Ia hanya ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang membuatnya terjebak konfrontasi dengan Clarissa kemarin. Mengingat itu air mata Alina mengalir lagi, ia tidak bisa membendungnya. Alina lelah sekarang, dan ia berkeringat. Belum lagi saat pulang nanti ia harus berjalan kaki lagi. Alina menarik napas panjang, mengipasi matanya. Kemudian merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang... "Hei... kamu baik-baik saja?" Akhirnya, pandangan Alina menjadi jelas dan melihat pria di depannya, dia tak kalah tampan dari Arion. Dia mengenakan jersey dan membawa ransel HIA berwarna biru tua. "Ya, hanya sedikit lelah," gumam Alina. “Dan... tersesat.” Alina menyadari ia menghalangi jalan pria itu di lorong kecil ini. "Oh, maafkan aku." "Kenapa kamu meminta maaf?" Alina menunjuk jalan. "Aku telah menghalangi jalan mu." "Tidak juga." katanya, mengusap rambut coklat gelapnya. Mereka berjalan beriringan melewati lorong yang sepi. Pria itu tampak santai, sementara Alina sesekali mencuri pandang. “Aku lihat kamu cukup terkenal,” katanya tiba-tiba, menghentikan lamunan Alina. “Kemarin, aku menonton wawancaramu di televisi. Kamu mengesankan.” Saat tersenyum, matanya mengerucut seperti anak anjing. Tangan Alina jadi sedikit gatal, ia buru-buru menurunkan tangannya, mencegah dorongan aneh untuk menyentuh wajah pria itu. Alina tersenyum kecut. “Ah, itu... Mereka hanya membuatnya terlihat bagus di layar.” “Hmm.. maaf. Aku tahu itu tidak mudah." Wajahnya menjadi lebih prihatin. Tapi dengan cepat berubah jadi senyuman lembut. "Baiklah.. Katakan saja kamu mau kemana. Aku akan menemanimu." Alina mengutuk dirinya yang tidak cerdas. Harusnya dia melihat peta sebelum datang, tapi sejak kemarin dia terlalu fokus mencari pekerjaan hingga ia belum memikirkan sekolahnya. "Toko buku." "Kamu beruntung." Pria itu mengedipkan mata. "Karena aku sama sekali tidak tahu." Sudut mulut Alina terangkat ke atas. "Dan bagaimana hal itu membuatku beruntung?" “Karena kita bisa mencarinya bersama. Sebenarnya aku berencana menemukannya juga.” Dia melirik ke luar, lalu dengan lembut menggenggam lengan Alina dan membawanya menuju pintu samping. "Hanya ada satu hal yang lebih baik daripada tersesat sendirian." "Begitu ya." Alina benar-benar tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, rasa sakitnya mereda. "Dan apakah itu?" Dia menyenggol lengan Alina dengan bahunya. "Tersesat dengan orang lain. Dengan begitu, kamu bisa jalan-jalan sambil menunggu bel masuk. Selain itu, aku tahu tata letak dasar sekolah, dan aku yakin kita akan menemukan toko buku di tempat umum." Dia membukakan pintu untuk Alina. “Kita bisa berkeliling danau saat istirahat nanti. Yah... kau tahu. Tidak mudah berada di tempat seperti ini." Dia memperhatikan sekeliling. "Kita bisa bersembunyi dari para siswa kaya yang mungkin, akan memberimu pelajaran." Perut Alina bergejolak. Tapi, perpustakaan itu tampak sepi. Meski ada beberapa siswa berjalan melewatinya. Mereka mengenakan aksesoris bermerek yang harganya mungkin menyamai sewa bulanan Alina. "Jadi, kamu tahu jalan? Sepertinya kamu murid pindahan juga." "Hei, benar. Kita punya banyak kesamaan" Dia memasukkan tangannya ke dalam saku saat mengambil belokan menuju ruangan lainnya. "Aku murid pindahan dari sekolah lain ketika ditawari beasiswa sepak bola.” "Bagus." Mendengar kata sepak bola Alina tenggelam. Berarti dia mengenal Arion Mahendra. Anak keturunan Korea menyebalkan, yang bermarga Kwon itu. "Kedengarannya kamu tidak senang." Dia berpura-pura terkesiap. "Aku berjanji aku bukan orang bodoh." Alina tertawa, meski sedikit dipaksakan. Mungkin berteman dengan pria asing ini—sesuatu yang dapat dimanfaatkan saat ini. Pria itu membuka pintu perpustakaan untuk Alina. Namun, sebelum ia benar-benar masuk, ia berbalik dan berkata, “Terima kasih... uh, aku belum tahu namamu.” Pria itu tersenyum lebar. “Ah. Namaku Darren. Dan kamu... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Ya. Terima kasih sekali lagi, Darren.” Sesaat kemudian, mereka sudah keluar dari sana dan menenteng kantung buku. Keduanya tidak berbicara sambil melanjutkan perjalanan. Darren sesekali memeriksa daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Tak lama bel berbunyi. "Hei, ternyata kelasmu disini." lengan Alina ditarik tiba-tiba oleh Darren dan mereka sudah berada di ruang kelas. Clarissa, Arion dan beberapa pria lain berdiri di depannya. Dua lelaki lainnya memiliki rahang dan otot yang kuat. Ketiganya bisa saja merupakan maskot dari brosur sekolah. Tapi saat Arion memusatkan perhatian pada Alina, jantungnya berdetak kencang. "Setidaknya dua murid pindahan sudah berkenalan," kata Arion, rahangnya yang tegang membuat wajahnya yang terpahat semakin kasar. Dari tiga pria di sekitarnya, dialah yang paling tampan sejauh ini. "Ya, kami bertemu dan mengetahui bahwa kami berdua membutuhkan buku untuk kelas hari ini." Darren tersenyum malas dan mendekat ke arah Alina. Arion memasukkan tangannya ke dalam saku. "Terima kasih, kawan. Dia bisa bergaul dengan kami selagi kamu pergi ke kelasmu sendiri." Clarissa menatap Alina tajam. Darren menyadarinya karena dia menggelengkan kepalanya. "Aku belum berterima kasih kepada Direktur karena telah menerimaku di sini.” Pria yang disamping Arion itu tertawa. “Clarissa.. Ayahmu sangat sibuk.” "Ya, Valerian." Katherine memicingkan matanya pada Alina. "Dan aku belum selesai denganmu, gadis pemeras tukang kabur." Alina pikir Darren juga anak beasiswa, seharusnya tidak jadi masalah jika dia menerima bantuan dari sekolah ini. Mengapa Clarissa bersikap seolah hal itu sangat aneh dan selalu menuduhnya melakukan pemerasan? "Direktur Eric sedang menuju kemari untuk berbicara dengan kita." Arion menatap pada Clarissa, Alina dan yang terakhir... Darren. "Kau pergi ke kelasmu bersama Sergio, dan kami serta direktur akan menemuimu di ruangan lain." Tatapan Darren tertuju pada Alina. Sementara Arion tampak gelisah. Dia berseru, "Aku tidak bertanya, anak beasiswa! Sekarang pergilah..!” Hati Alina memanas. Ia kira Arion adalah pria yang baik, namun kini tingkah lakunya sama buruknya dengan Clarissa. Darren menyipitkan matanya. “Aku berjanji pada Alina akan terus menemaninya.” Kedua laki-laki alfa saling menatap, dan sang direktur sedang dalam perjalanan. "Mungkin datang ke sekolah ini bukanlah hal yang cerdas," pikir Alina. Arion dan Darren pun saling melotot. Dan Alina berdiri di tengah-tengahnya. Tatapan tajam mereka seperti pedang yang siap menghunus dirinya kapan saja. "Sekali lagi, aku hanya ingin bertemu langsung dan berterima kasih pada Direktur Eric karena dia menerimaku di sini." kata Darren, langkahnya mendekati Alina. Arion mengepalkan tangannya, pembuluh darah di lehernya menonjol. "Kau bisa menemuinya lain kali. Tapi sekarang, kau harus keluar dari sini.." Suaranya berwibawa, jauh lebih dewasa dari usianya. Darren menatap Alina. Pertikaiannya dengan Arion adalah karena keinginan Darren untuk tidak meninggalkan Alina sendirian. Juga fakta bahwa Arion adalah kaptennya, seseorang yang harus dia hormati. Namun, Darren tahu bahwa Arion telah membuat banyak kesalahan, terutama soal Alina. "Keluar dari sini atau aku yang akan pastikan kau membayarnya saat latihan nanti." Valerian, salah satu teman Arion, berkata dengan seringai mengancam. Melipat tangannya di dada, siap untuk mengintimidasi lebih jauh. Darren mencibir. "Aku bek kiri. Tidak ada yang melindungi kapten di lapangan jika aku cedera." "Tenang, anak baru. Tim kami punya cadangan yang cukup baik saat ini. Kau bisa digantikan kapan saja." Valerian, teman Arion lainnya, menimpali dengan geli. Diikuti oleh tawa anak-anak lain di kelas. "Ayahmu sendiri yang merekrutku dari sekolah lamaku, Arion. Kau sebaiknya ingat itu..." Kata-kata itu seperti pukulan ke wajah Arion. Sorot matanya semakin dingin. Darren sudah menyentuh titik sensitifnya... "Kau, dan gadis jalang ini..." tatapan Arion kemudian beralih ke Alina. "Memanfaatkan kesempatan untuk datang ke tempat ini, yang sayangnya tidak pantas bagi kalian." Kata-kata itu menghantam Alina seperti palu. Ia tidak pernah membayangkan Arion, pahlawannya. Yang selama ini tampak berusaha melindunginya dengan caranya sendiri, akan mengatakan hal seperti itu. Arion mendekati Darren. Suaranya dalam dan penuh sinis. "Aku bukan ayahku. Aku tidak akan membiarkan siapa pun memanfaatkan statusku. Kau harus ikuti aturan, seperti yang lain.." Anak-anak di kelas terperangah. Beberapa dari mereka saling berbisik. Alina benar-benar menyesal menyetujui tawaran beasiswa Direktur Eric. Ia sangat benci Arion dan Clarissa, yang jelas-jelas mengiranya memeras agar ia bisa bersekolah disini. "Kalau begitu, aku akan menunggu di antrean. Tapi.." "Darren..." Alina akhirnya bersuara. "Tidak apa-apa jika kamu tak ingin meninggalkanku. Direktur sebentar lagi juga tiba, kau bisa pergi.." Alina menoleh pada Darren dan memaksakan senyumnya. Darren mengangguk. "Oke. Sampai bertemu di luar." "Oke," kata Alina juga, agak terlalu ceria. Ia ingin pertengkaran ini segera berakhir.Darren menatap Alina lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Arion. Dia membetulkan ranselnya dan menyeringai, lalu mengedipkan mata ke arah Alina menuju pintu.Alina pun mendapati tatapan tajam dari Arion, tertuju padanya. Denyut nadinya melonjak, dan perutnya jungkir balik. Ia yakin Arion sangat marah padanya, tapi ia tidak tahu alasannya apa."Ayo." Sergio memukul punggung Darren. "Ayo pergi dari sini sebelum Arion menendang bokongmu di depan kelas."Para siswa tertawa..Clarissa menyaksikan mereka berdua menghilang. Ia menyilangkan tangannya."Arion, aku tahu kamu tidak ingin ada permusuhan antar pemain. Tapi kamu harus berhati-hati dengan anak itu. Dia tidak suka kamu mengaturnya."Sesaat setelah itu, murid-murid terdengar riuh. Karena guru yang Alina dengar dari beberapa murid bernama Mr. Asher, baru saja datang. Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar kelas tanpa sedikitpun kekhawatiran. Alina yang melihatnya, tak percaya dengan apa ya
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar.. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang pernikahan, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk men
Dalam keadaan wajah yang basah terkena siraman air, Arion berkata, “Jadi, apa kamu benar-benar ingin melihatku tanpa baju?”Beberapa helai rambut Arion menutupi sedikit matanya. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tampan dengan rambut yang acak-acakan seperti itu?Alina cepat-cepat membalas, “Oh, tentu tidak! Ini akibat kau yang terkena semprotan cabai. Jadi bajumu harus dilepas supaya tidak terkontaminasi.”“Ya, kamu benar," balas Arion, sambil terus mengedipkan matanya masih berair."Tapi membasuhnya dengan air nggak membuatnya lebih baik. Sial.. kurasa bola mataku akan lepas!” Arion menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.“Maka dari itu, kau sebaiknya diam, tutup saja mulutmu. Ikuti apa yang kusuruh..” Alina menjawab dengan kesal, tetapi ada nada kekhawatiran dalam suaranya.Arion langsung manut. Alina melihat Arion melepaskan kausnya dengan perlahan. Tanpa menunggu jawaban Arion, Alina segera memalingkan wajahnya, beranjak pergi ke dapur. “Aku mau buat air hangat untuk mengompr
Alina mendengus dan menatap matanya. Arion bertingkah aneh. "Mengapa aku harus?" “Kau tidak ingin direktur mengira kau selingkuh dan tidur dengan orang lain—seperti Darren—kan?" sindir Arion dengan nada dingin. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kepedihan tersembunyi di balik tatapan itu.Alina tahu, sisi brengsek Arion yang lama dia tunggu akhirnya muncul. Ini dia, pikirnya. Sudah waktunya.Sindiran itu menghantam keras. Seolah dada Alina benar-benar ditusuk. Rasanya terlalu menyakitkan."Oh, jadi itu yang selama ini kau pikirkan tentangku? Bahwa aku tidur dengan pria yang sudah menikah dan cukup tua untuk jadi ayahku?" Alina balas menatapnya, hatinya terasa terbakar.Arion mengangkat bahu, tampak seolah tak peduli. "Yah... Itu masuk akal. Kau bisa masuk HIA dengan mudah. Dan aku tidak mempermasalahkan itu," ucapnya, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting. Ia melirik Alina sambil mengibaskan tangan. "Aku berpikiran modern. Kau tahu, soal itu." Mata Arion tertuju pada bawah tubuh
"Dua jam lagi..." gumam Alina sambil memandangi jam dinding. "ASTAGA...! ALINA!" Dia hampir lupa. Dua jam lagi dia harus berada di sekolah. Alina langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Alina terburu-buru berdiri di depan cermin dan merias wajahnya dengan riasan tipis. Ia memilih liptint merah muda dan sedikit maskara, memberikan tampilan yang segar namun tetap natural. Setelah puas dengan penampilannya, Alina berbalik dan mengunci pintu depan di belakangnya. Alina membuka aplikasi peta di ponselnya untuk mengecek rute ke sekolah. Saat melihat jarak tempuh, keningnya berkerut. Dia harus berjalan sejauh satu kilometer, yang biasanya tidak menjadi masalah baginya. Namun, mengingat cuaca yang panas dan terik saat ini, dia sedikit cemas. "Dua puluh menit di bawah sinar terik seperti ini? Ini akan jadi tantangan baru," pikirnya sambil menghela napas dan bersiap untuk berangkat. Alina menyusuri jalan sambil menatap aplikasi maps, menyesuaikan gambar denga
Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung.Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki. Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya.Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya.“Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.”“Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.” Arion tersenyum, tetapi Alina berh