Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Maksud lo apa? Apa yang dilakukan ayah lo?"
Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Duh, Alina, jangan terlalu dipikirin deh," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan tolong... jangan ganggu Arion gue lagi." Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Gue benci banget denger lo nyebut gitu, Clarissa. Telinga gue rasanya pengen pecah! Semua ini cuma akting demi nyenengin ayah kita!" Clarissa cuma mendengus. "Lo pergi dulu deh ke kantor. Gue pengen ngomong berdua sama cewek ini." Alina penasaran dan sedikit khawatir, "Apa ya yang bakal dia bilang? Kenapa dia bisa begitu marah sama gue?" Clarissa menghentakkan kakinya ke tanah, tapi entah kenapa, dia tetap bisa menjaga penampilannya. Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Gue nggak tau lo mau ngapain," katanya dingin, "Tapi jangan harap lo bisa main-main sama ayah gue. Gue nggak akan biarin cewek pemeras kayak lo ada di sekitar dia." Alina menahan diri, mencoba tetap tenang meski merasa terpojok. Clarissa jelas punya kontrol penuh atas situasi ini, dan Alina harus terima itu. "Gue punya hak di sini," kata Clarissa lagi, penuh keyakinan. "Sedangkan lo? Lo ada di sini cuma karena ayah gue." Ekspresi Alina tetap datar. "Gue nggak tau lo siapa," jawabnya pelan, "Tapi gue gak pernah memeras siapapun." Clarissa mengejek sambil menjatuhkan tangannya. "Ah, lo nggak usah bohong deh. Dengan duit dan reputasi ayah gue yang luar biasa itu, dia nggak perlu bantuin orang kayak lo cuma buat dapetin keuntungan politik." "Gue nggak memeras dia," tegas Alina. Namun, kebingungannya mulai muncul. "Tunggu... Apa dia bilang ke lo kalau gue gitu?" Alina merasa aneh sejak awal, tapi pikiran bahwa Eric Clapton Wijaya bantu cuma buat alasan pribadi agak nggak masuk akal. "Gimana mungkin dia sama para donatur lain bisa terlibat gitu aja?" Clarissa menyilangkan tangannya dan mendekati Alina, sikapnya menantang. Alina perlahan mundur. "Satu-satunya alasan yang masuk akal," kata Clarissa dengan suara rendah, "Adalah lo nyembunyiin sesuatu dari ayah gue. Dan gue pengen tau apa itu." Alina ingin banget dorong Clarissa, berharap melihatnya tersandung sepatu hak tinggi. Tapi ia tarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak kencang. "Gue juga nggak tau kenapa ayah lo ngelakuin ini," balas Alina pelan. "Dia tiba-tiba dateng ke rumah sakit waktu gue lagi berduka, lumpuh atau apalah itu... dan dia nawarin beasiswa ke gue. Itu aja." Clarissa menyipitkan mata, bibirnya mengerut tajam. "Itu nggak masuk akal," katanya, "Tapi karena lo orang yang dibantu ayah gue, gue bakal tahan diri buat nggak jahat. Setidaknya, nggak di depan kamera." Senyum sinis terbit di wajahnya. "Gue ngerti," jawab Alina dengan tenang. Clarissa mengangguk tipis, tetap dengan tatapan meremehkan. "Gue pergi dulu. Tunggu di sini." Dia melengos pergi. Namun, Alina nggak berniat nunggu. Ia memutuskan untuk balik, lalu lari menuju gerbang. Kulitnya gatal karena bulu kuduknya terus meremang menghadapi Clarissa. Setelah berhasil keluar, Alina ngos-ngosan. Dia pun langsung pesen Go-Jek. Alina melirik dompetnya dan meringis melihat sisa uang yang makin menipis. Setiap kali mengeluarkan uang, rasa cemas itu datang—sumber keuangan yang ia miliki hampir habis. Sesampainya di rumah, pikirannya berkecamuk. Alina tau, dia harus segera cari kerja—apa aja yang halal, asal bisa menutupi kebutuhan sehari-harinya. Tak terasa Alina ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, dia langsung siap-siap buru-buru, karena dia harus datang ke sekolah lebih awal buat ngambil seragamnya. Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang dia harus ke perpustakaan, tapi baru ingat kalau nggak tau lokasinya. Dia cuma ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang bikin dia terjebak konfrontasi sama Clarissa kemarin. Mengingat itu air mata Alina mulai turun lagi, dia nggak bisa nahan. Alina lelah sekarang, dan dia berkeringat. Belum lagi pas pulang nanti dia harus jalan kaki lagi. Alina tarik napas panjang, mengipas-ngipasi matanya. Lalu merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang... "Hei... lo baik-baik aja?" Akhirnya, pandangan Alina jadi jelas dan dia lihat cowok di depannya, dia nggak kalah tampan dari Arion. Dia pake jersey dan bawa ransel HIA berwarna biru tua. "Ya, cuma agak lelah," gumam Alina. "Dan... nyasar." Alina sadar dia ngadepin jalan cowok itu di lorong kecil ini. "Oh, maaf ya." "Kenapa lo minta maaf?" Alina nunjuk jalan. "Gue ngahalangin jalan lo." "Nggak juga." katanya, ngusap rambut hitam gelapnya. Mereka jalan beriringan lewat lorong yang sepi. Pria itu tampak santai, sementara Alina sesekali mencuri pandang. "Gue liat lo cukup terkenal," katanya tiba-tiba, ngebangunin Alina dari lamunan. "Kemarin, gue nonton wawancara lo di televisi. Lo keren." Pas senyum, matanya mengerucut kayak anak anjing. Tangan Alina jadi gatel, dia buru-buru turunin tangannya, ngelawan dorongan aneh buat nyentuh wajah pria itu. Alina senyum kecut. "Ah, itu... Mereka cuma bikin gue yang lagi berduka keliatan cakep di layar." "Hmm.. maaf. Gue tau itu nggak gampang." Wajahnya jadi lebih prihatin. Tapi langsung berubah jadi senyuman lembut. "Oke... bilang aja lo mau kemana. Gue temenin." Alina ngutuk dirinya yang nggak pintar. Harusnya dia liat peta dulu sebelum datang, tapi sejak kemarin dia lebih fokus cari kerja sampai dia lupa mikirin sekolahnya. "Toko buku." "Lo beruntung." Pria itu ngedipin mata. "Karena gue sama sekali nggak tau." Sudut mulut Alina terangkat. "Hmmm... dan gimana itu bikin gue beruntung?" "Karena kita bisa nyari bareng. Sebenarnya gue juga pengen nemuin." Dia ngelirik ke luar, terus dengan lembut genggam lengan Alina dan bawa ke pintu samping. "Cuma ada satu hal yang lebih baik dari nyasar sendirian." "Oh gitu ya." Alina bener-bener senyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, rasa sakit karena kematian orang tuanya agak mereda. "Dan apa tuh?" Dia menyenggol lengan Alina pakai bahunya. "Nyasar sama orang lain." "Dengan gitu, lo bisa jalan-jalan sambil nunggu bel masuk. Selain itu, gue tau tata letak dasar sekolah, dan gue yakin kita bakal nemuin toko buku di tempat umum." Dia bukain pintu buat Alina. "Kita bisa muter-muter danau waktu istirahat nanti. Yah... lo tau lah. Nggak mudah di tempat kayak gini." Dia perhatiin sekeliling. "Kita bisa sembunyi dari para siswa kaya yang mungkin bakal ngasih lo pelajaran." Perut Alina bergejolak. Tapi, perpustakaan itu tampak sepi. Meskipun ada beberapa siswa lewat. Mereka pake aksesoris bermerek yang harganya mungkin sama kayak sewa rumah Alina. "Jadi, lo tau jalan? Kayaknya lo juga murid pindahan." "Yup, bener. Kita punya banyak kesamaan." Dia memasukkan tangan ke saku sambil belok menuju ruangan lainnya. "Gue murid pindahan dari sekolah lain pas ditawarin beasiswa sepak bola." "Wah, keren." Dengar kata sepak bola perut Alina tenggelam. Berarti dia kenal Arion Mahendra. Anak keturunan Korea nyebelin, yang bermarga Kwon itu. "Kedengarannya lo nggak senang." Dia berpura-pura terkesiap. "Gue berjanji gue nggak bermaksud kayak gitu." Alina ketawa, meski sedikit dipaksakan. Mungkin berteman dengan cowok asing ini—sesuatu yang dapat dimanfaatkan saat ini. Cowok itu membuka pintu perpustakaan untuk Alina. Namun, sebelum ia benar-benar masuk, ia berbalik dan berkata, “Makasi ya... uh, gue belum tahu nama lo.” Cowok itu tersenyum lebar. “Ah. Nama gue..""Nama gue Darren. Dan lo... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, makasih banget, Darren.” Beberapa saat kemudian, mereka udah keluar dari sana sambil bawa kantung buku. Keduanya nggak ngobrol sambil jalan, tapi Darren sesekali ngecek daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Bel berbunyi. "Eh, ternyata kelas lo di sini," kata Darren sambil tiba-tiba menarik lengan Alina dan mereka udah sampai di ruang kelas. Clarissa, Arion, dan beberapa cowok lainnya berdiri di depan. Dua cowok lainnya kelihatan kekar dan berotot. Ketiganya bisa jadi maskot dari brosur sekolah. Tapi ketika Alina lihat Arion lagi fokus ngeliatin dia, jantungnya langsung berdebar kencang. “Setidaknya dua murid pindahan udah kenalan,” kata Arion, rahangnya yang kaku bikin wajahnya yang tegas jadi keliatan makin garang. Dari tiga cowok di sekitarnya, dia yang paling ganteng sejauh ini. “Iya, kami ketemu dan sama-sama butuh buku buat kelas hari ini,” jawab Darren dengan senyum malas
"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya. “Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya m
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cep
"Nggak, gue nggak bisa kayak gitu dengan mata gue yang sakit. Lu emang bego banget... nggak bisa mikir panjang." Alina mendelik tajam. "Ya, maaf deh gue nggak sepinter lo! Tapi kalau lo emang nggak bisa mikir jernih, jangan nyalahin gue juga dong! Mata lo sakit, tapi mulut lo lancar banget ya buat ngata-ngatain orang!" Arion menghela napas panjang, suaranya mulai melembut, "Oke, gue salah ngomong. Gue nggak mau ribut. Tapi mata gue beneran nggak bisa lihat jelas sekarang." Dia lalu melirik setir sambil mengusap matanya yang masih perih. "Pokoknya sekarang lo harus tanggung jawab. Gue nggak mau mobil ini malah nyemplung ke got gara-gara kita ribut terus." Nada bicaranya terdengar serius, tapi wajahnya sedikit memerah saat mengatakan itu. "Jangan mikir macem-macem. Gue cuma mau kita selamat sampai rumah." "Hmm yaudah, gue lakuin ini cuma biar lo sampai rumah dengan selamat aja ya, habis mata lo sembuh gue pulang?" Arion menyeringai tipis, menatap Alina dengan tatapan isen
"Ah ya… gue bakal ngompres mata lo, terus nyiapin air hangatnya," gumam Alina pelan, mencoba menahan detak jantung yang makin kencang. Alina keluar dari dapur dengan napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial, pelan-pelan.." Arion mengerang. Alina menggeleng pelan sambil mulai mengusap mata Arion. "Yah, mata lo tertutup. Lo harus buka kalau mau gue bersihin." "Lo ngomong gampang. Coba deh rasain sendiri sakitnya," balas Arion dengan suara tertahan. Dia akhirnya membuka matanya perlahan. Rahangnya mengeras. "Sial. Sakit banget." Alina mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. "Harusnya ini cepat membaik... atau ya, semoga aja." Tatapan Arion tiba-tiba jatuh ke mulut Alina. Dia menjilat bibir bawahnya perlahan. Kepalanya sedikit menunduk, sementara Alina mendekat tanpa sadar. Tangan Alina sempat menyentuh dada Arion. Hangat. Otot dadanya terasa jelas di bawah telapak tangannya. Tapi begitu pandangannya jatuh ke leher Arion yang sedikit basah, dia langsung ter
Arion duduk di samping Alina, matanya membulat, keningnya berkerut dalam. Dia kelihatan beneran kaget. Tanpa bilang apa-apa, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Tangannya yang kuat m membungkus tubuh Alina, sementara satu tangannya lagi lembut mengusap punggung Alina. "Alina... maafin gue. Gue bener-bener nggak tahu," suaranya bergetar. Pelukan Arion memang hangat, tapi kata-katanya malah makin bikin hati Alina remuk. Rasanya seperti Arion nambahin luka di tempat yang sudah perih. "Direktur Eric... dia nggak pernah kasih beasiswa gitu aja ke orang asing, tanpa alasan. Dan lo datang tiba-tiba, semuanya terasa mencurigakan," lanjut dia pelan. "Clarissa yang pertama kali nyebarin fitnah itu." Alina terdiam. Begitu dengar nama itu, Alina langsung mengangkat kepala sambil mengigit bibirnya sendiri, berusaha menahan air mata yang sudah mengalir. “Clarissa?” gumamnya penuh emosi. “Oh, nggak heran sih. Selalu aja dia...” Alina menyesal banget nangis gara-gara hal konyol kay
"Gue ngerti, kita nikah ini cuma formalitas buat kakek gue. Tapi gue gak akan tinggal diam kalau lo dalam masalah." Alina mengerutkan kening. "Gue gak minta lo jagain gue. Gue bisa urus diri gue sendiri." "Gue tahu lo bisa," Arion menjawab cepat, nadanya tegas. "Tapi gue gak akan diem aja kalau lo kesusahan. Itu bukan soal minta atau gak minta. Itu tanggung jawab gue." Arion memandang Alina dengan intensitas yang membuatnya sulit berpaling. Mata gelap cowok itu memancarkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—sesuatu yang mendesak, hampir mendominasi. "Lo bisa bilang apa pun sekarang, Lin. Tapi gue gak akan biarin lo jalan sendirian, apalagi setelah kita nikah. Kita ini tim. Suka atau gak suka, lo harus terima itu." "Lo selalu ngomong kayak gitu. Tapi kenyataannya, lo cuma mau ngontrol gue. Gue gak butuh penjaga. Gue gak butuh siapapun buat nyelamatin gue." "Terserah lo mau mikir apa," balas Arion, nadanya dingin namun tegas. "Tapi gue gak akan biarin lo hil
Di depan mereka berdiri sebuah butik pengantin mewah dengan logo mengilap. Hiasan di etalase toko terlihat mahal, seperti sengaja memamerkan gaun-gaun pengantin yang pasti harganya bikin dompet Alina nangis. 'Ini toko baju doang. Tapi kenapa rasanya kayak mau masuk istana? Gue bahkan nggak tahu harus mulai ngomong apa di depan mbak-mbak SPG-nya. 'Halo, gue calon pengantin nggak niat, tolong kasih gue diskon.' Ya nggak mungkin kan?' "Lo serius ngajak gue masuk ke situ?" Alina akhirnya buka suara. Arion cuma tersenyum tipis sambil melempar pandangan ke arah butik. "Ya emang. Kenapa? Lo takut sama manekin?" "Bukan takut. Gue cuma nggak yakin gue cocok di tempat kayak gitu. Lo lihat nggak itu? Tempatnya terlalu... mahal." Arion mengangkat alis, berusaha menahan tawa. "Ya iyalah mahal. Gue nggak mungkin bawa lo ke toko pinggir jalan buat beli gaun pengantin." "Gue cuma mau bilang..." Alina menggantung kalimatnya, gengsinya jelas terlihat. "Gue nggak yakin gue pantes di situ." Arion
Alina menegang. Dia bisa merasakan suasana di ruangan ini berubah drastis—udara jadi lebih berat, dan tatapan Arion menggelap, penuh amarah. "Mulut lo itu," Arion mendekat selangkah, bahunya menegang. "Mau gue bikin diem?" Pria itu hanya menyeringai kecil, ekspresinya sama sekali nggak terpengaruh oleh nada tajam yang keluar dari mulut Arion. "Santai aja kali. Lagian Alina juga kayaknya seneng gue disini... By the way, kok lo balik sama Alina?" "Tch," Arion mendecakkan lidahnya, melepaskan genggaman tangannya dari Alina. "Suka-suka gue mau bawa dia kemana aja." Daniel menyipitkan mata, senyumnya tipis tapi penuh arti. "Kenapa lo bawa dia ke sini?" Dia melipat tangan di dada, menatap Arion dengan penuh minat. "Bukannya dia tinggal bareng Clarissa di villa Direktur Eric?" Alina menahan napas, berharap bisa menghilang saat itu juga. Arion melipat tangan di dada, wajahnya tanpa ekspresi. "Emangnya nggak boleh?" Daniel terkekeh, mengangkat bahu santai. "Boleh-boleh aj
Saat Arion menarik dirinya dari Alina, dia hanya melemparkan pandangan tajam ke Clarissa. "Ini cuma awal, Clar. Jangan ganggu hidup kami lagi." Alina, masih terengah-engah, menatap Arion—antara cemas dan bingung, belum sepenuhnya siap untuk apa yang baru saja terjadi. Tapi satu hal yang jelas, dia tahu ini bukanlah akhir dari cerita mereka. Clarissa tertawa sinis, matanya berkilat penuh amarah. "Gila. Ini semua nggak beneran kan?" "Gue nggak peduli apa yang lo pikirin." Arion menghela napas sambil menutup ritsleting koper Alina dengan gerakan cepat, lalu menarik koper itu dan menggulirkannya ke arah pintu. Clarissa masih berdiri di sana, menghalangi jalan. "Apa yang lo pikir lo lakuin?!" "Dia datang ke sini sama gue," lanjut Clarissa, nadanya penuh klaim kepemilikan. Arion menyeringai sinis. "Oh, iya? Kedengerannya lebih kayak lo bawa dia ke sini buat jadi samsak tinju lo." Dia melipat tangan di dada, menatap Clarissa dengan penuh penghinaan. "Dia bakal lebih aman d
“Jangan bandingin Alina sama nyokap gue.” Arion mendengus, ekspresinya penuh rasa muak. “Lo nggak tahu apa-apa tentang dia, jadi stop ngomong asal.” Alina meletakkan tangannya di punggung Arion, berusaha menenangkannya. Tapi tubuh Arion justru makin tegang, jelas dia sedang berusaha menahan amarahnya. Clarissa melipat tangan dan memutar matanya. “Ya ampun, lo bisa yakin dari mana? Gara-gara dia pura-pura kena serangan panik di pesawat? Jangan bego, deh. Itu cuma otak bawah lo yang ngomong. Atau lebih tepatnya, kelamin lo.” Ruangan langsung terasa lebih sunyi. Napas Arion terdengar berat, dan Alina merasa seperti ada sesuatu yang akan meledak kapan saja. "Lo tahu nggak sih kalau Alina tiap hari jalan kaki ke sekolah?" "Terus kenapa?" Clarissa menatap malas sambil menghentakkan kakinya. "Lo juga tahu nggak kalau dia pulang kerja malem-malem, sendirian, pas keadaan udah nggak aman?" Clarissa mengangkat bahu santai. "Tapi nyatanya dia baik-baik aja, kan?" "Terus k
Loly ketawa di ujung telepon. “Gue ngerti lo pengen banget sampai dia... you know, keluar di dalem. Tapi please, jangan lakuin itu—” “Apa sih? Nggak bakal lah,” Alina memotong cepat sebelum menutup telepon. Dia mendengus. Hamil di saat hidupnya masih berantakan? Itu hal terakhir yang Alina butuhkan. Dan dia juga nggak bakal pernah ngelakuin itu sama Arion. Rasa penasaran menggelitik dirinya saat dia berjalan cepat ke pintu belakang. Begitu dibuka, seorang cowok berdiri di ambang pintu, posturnya memenuhi kusen pintu. Celana jins dan kemeja polo warna sage yang dia pakai begitu pas di badannya. Mata cokelatnya berkilat jahil. “Hei. Lo pasti kangen sama gue.” Alina mendengus, melipat tangan di dada. “Gue kira lo tukang service mesin cuci.” Arion terkekeh pendek sebelum menariknya dalam ciuman. Alina nggak ragu buat membalas. Tangannya mencengkeram kerah bajunya, menariknya lebih dekat. Lidah mereka beradu, napas saling berburu. Arion menggeram rendah, memeluknya erat
Dengan langkah cepat, Alina keluar dari toko dan berdiri di luar. Udara segar sedikit membantunya bernapas lebih lega. Rasa sepi tiba-tiba menyerangnya. Dia rela ngelakuin apa aja buat bisa menelepon orang tuanya. Untuk sekadar denger suara mereka lagi. Tapi sayangnya itu cuma angan-angan. Nggak ada yang bakal nyariin dia lagi. *** Beberapa jam kemudian, Alina menemukan sedikit penghiburan di kamar sementaranya... kalau bisa dibilang begitu. Kamar itu gede banget, dua kali lipat ukuran ruang tamu rumah yang pernah dia tinggali sama orang tuanya dulu. Dia rebahan di atas tempat tidur king-size dengan headboard berbulu warna krem, matanya menatap kosong ke dinding putih pucat. Bahkan seprai di kasur itu putih dan krem, seakan-akan orang yang mendekorasi ruangan ini benci warna-warna cerah. Tapi jendelanya rapi, bagian atasnya melengkung, dan langsung menghadap halaman belakang. Sebuah TV besar tergantung di dinding, dan tanpa banyak berpikir, dia menyalakannya. Ponselnya b
"Iya, Pak. Ini kamar pasiennya," jawab suara perempuan, mungkin perawat yang berjaga. "Kami sudah usir wartawan, dan kami bakal pastikan nggak ada orang luar yang masuk sembarangan." "Bagus," kata suara laki-laki itu. "Anak ini udah cukup menderita. Dia nggak perlu media sok tahu ganggu hidupnya. Yang terpenting adalah dia bisa sembuh dan melanjutkan hidup. Itulah alasan saya ada di sini." Dia berhenti sebentar. "Ini, ambil kartu nama saya. Semua biaya rumah sakit yang nggak ditanggung asuransi, saya yang bayar." "Baik, Pak!" "Oh iya, satu lagi." Suaranya jadi lebih rendah, tapi tetep tegas. "Nggak ada yang boleh ngomong sama dia tanpa seizin saya. Ngerti?" Alina duduk tegak di tempat tidurnya, jantungnya mulai deg-degan. Itu suara yang dia kenal. Suara yang biasa dia dengar di TV atau berita politik. Orang itu… Eric Clapton Wijaya. Direktur Horizon International Academy. Kenapa dia ada di sini? Dia nggak perlu nunggu lama buat dapat jawaban. Pintu kamar
Alina menelan ludah. Tawanya hampir pecah cuma karena mendengar angka itu. "Bajunya bagus, tapi makasih." "Lo gak seru," Tasha mendengus lalu kembali membolak-balik pakaian. Sementara itu, Clarissa dan Tasha terus memilih baju satu per satu, menyerahkannya pada pramuniaga untuk ditaruh di ruang ganti. Setelah sekitar empat puluh lima menit, Tasha akhirnya berkata, "Gue mau coba beberapa baju." "Gue nyusul," sahut Clarissa tanpa mengalihkan pandangan dari rak pakaian. "Jangan mutusin apa pun sebelum gue lihat itu di badan lo." Saat Tasha bergegas pergi, Clarissa melangkah cepat ke arah Alina, membawa gaun ungu yang tadi sempat ia tunjukkan. Alina tahu ada sesuatu yang direncanakan Clarissa. Kepalanya berteriak ingin kabur, tapi nggak ada tempat untuk lari. "Inget ya," desis Clarissa. "Apa?" Clarissa menusukkan jarinya ke dada Alina, senyumnya menghilang. "Lo tuh nggak cocok ada di sini." Alina cuma terkekeh sinis. "Lo yang ngajak gue ke sini, inget? Atau lo udah
Arion baru aja buka mulut, "Tasha, udah tiga bulan sejak terakhir kali gue ketemu lo—" Tapi sebelum dia bisa lanjut, Tasha buru-buru menjatuhkan ponselnya ke meja. "Ayah! Please deh! Aku kan juga mau shopping!" Arion cuma diam, cahaya emas di matanya meredup. Awalnya, dia emang mau ngobrol sama adik tirinya, tapi jelas-jelas belanja lebih menarik buat Tasha daripada kakaknya sendiri. Pak Remi Mahendra melirik putrinya, alisnya berkerut. "Tapi Arion baru sampai, kan?" "Biarin aja, Yah. Lebih baik Tasha ikut jalan-jalan dengan Clarissa daripada dia sibuk main hp terus," kata Nyonya Mahendra sambil mengusap lengan suaminya. Pak Remi menghela napas pelan. Dengan ekspresi datar Arion mengibaskan tangannya. "Udahlah, biarin aja dia. Aku juga butuh istirahat." Suasana makin canggung. Arion berharap bisa punya waktu bareng keluarganya, tapi yang dia dapet malah ini. Tasha bahkan lebih milih jalan sama Clarissa daripada ngobrol sama kakaknya sendiri. Akhirnya, Pak Remi nge
"Jangan bikin malu ya, Nak. Kamu tahu sendiri dunia olahraga ini kayak apa. Nggak cukup cuma jadi pemain bagus. Kamu harus jadi yang terbaik! Kita udah usaha keras buat sampai di titik ini, jangan sampai sia-sia. Ayah yakin kamu bisa!" Pak Remi menepuk bahu Arion lagi, kali ini lebih keras. Arion mengangguk kecil, tapi ekspresi kosong masih menghiasi wajahnya. Nyonya Mahendra mengangguk singkat ke arah Arion, tapi tetap berdiri di samping putrinya, yang namanya—dari yang Arion pernah bilang—adalah Tasha Mahendra. Keduanya sama-sama berambut ikal, tapi mata Tasha lebih tajam dan dalam seperti ayahnya, bukan mata bulat lebar seperti ibunya. Tasha kelihatan keren dengan crop top hitam branded, rok mini denim, dan sneakers putih. Sementara Nyonya Mahendra mengenakan setelan celana panjang warna putih yang pas di tubuhnya. Tasha bahkan nggak repot-repot buat menoleh atau sekadar menyapa kakaknya. Pandangannya tetap terkunci di layar ponselnya, jarinya lincah mengetik entah apa.