Beranda / Young Adult / Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku / Tuduhan Clarissa dan Murid Beasiswa Tampan

Share

Tuduhan Clarissa dan Murid Beasiswa Tampan

Penulis: Bibiefenimmm
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-10 22:59:43

Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Maksud lo apa? Apa yang dilakukan ayah lo?"

Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya.

"Duh, Alina, jangan terlalu dipikirin deh," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan tolong... jangan ganggu Arion gue lagi."

Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Gue benci banget denger lo nyebut gitu, Clarissa. Telinga gue rasanya pengen pecah! Semua ini cuma akting demi nyenengin ayah kita!"

Clarissa cuma mendengus.

"Lo pergi dulu deh ke kantor. Gue pengen ngomong berdua sama cewek ini."

Alina penasaran dan sedikit khawatir, "Apa ya yang bakal dia bilang? Kenapa dia bisa begitu marah sama gue?"

Clarissa menghentakkan kakinya ke tanah, tapi entah kenapa, dia tetap bisa menjaga penampilannya.

Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Gue nggak tau lo mau ngapain," katanya dingin, "Tapi jangan harap lo bisa main-main sama ayah gue. Gue nggak akan biarin cewek pemeras kayak lo ada di sekitar dia."

Alina menahan diri, mencoba tetap tenang meski merasa terpojok. Clarissa jelas punya kontrol penuh atas situasi ini, dan Alina harus terima itu.

"Gue punya hak di sini," kata Clarissa lagi, penuh keyakinan. "Sedangkan lo? Lo ada di sini cuma karena ayah gue."

Ekspresi Alina tetap datar. "Gue nggak tau lo siapa," jawabnya pelan, "Tapi gue gak pernah memeras siapapun."

Clarissa mengejek sambil menjatuhkan tangannya. "Ah, lo nggak usah bohong deh. Dengan duit dan reputasi ayah gue yang luar biasa itu, dia nggak perlu bantuin orang kayak lo cuma buat dapetin keuntungan politik."

"Gue nggak memeras dia," tegas Alina. Namun, kebingungannya mulai muncul.

"Tunggu... Apa dia bilang ke lo kalau gue gitu?" Alina merasa aneh sejak awal, tapi pikiran bahwa Eric Clapton Wijaya bantu cuma buat alasan pribadi agak nggak masuk akal. "Gimana mungkin dia sama para donatur lain bisa terlibat gitu aja?"

Clarissa menyilangkan tangannya dan mendekati Alina, sikapnya menantang. Alina perlahan mundur.

"Satu-satunya alasan yang masuk akal," kata Clarissa dengan suara rendah, "Adalah lo nyembunyiin sesuatu dari ayah gue. Dan gue pengen tau apa itu."

Alina ingin banget dorong Clarissa, berharap melihatnya tersandung sepatu hak tinggi. Tapi ia tarik napas panjang, berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak kencang.

"Gue juga nggak tau kenapa ayah lo ngelakuin ini," balas Alina pelan. "Dia tiba-tiba dateng ke rumah sakit waktu gue lagi berduka, lumpuh atau apalah itu... dan dia nawarin beasiswa ke gue. Itu aja."

Clarissa menyipitkan mata, bibirnya mengerut tajam. "Itu nggak masuk akal," katanya, "Tapi karena lo orang yang dibantu ayah gue, gue bakal tahan diri buat nggak jahat. Setidaknya, nggak di depan kamera." Senyum sinis terbit di wajahnya.

"Gue ngerti," jawab Alina dengan tenang.

Clarissa mengangguk tipis, tetap dengan tatapan meremehkan. "Gue pergi dulu. Tunggu di sini." Dia melengos pergi.

Namun, Alina nggak berniat nunggu. Ia memutuskan untuk balik, lalu lari menuju gerbang. Kulitnya gatal karena bulu kuduknya terus meremang menghadapi Clarissa.

Setelah berhasil keluar, Alina ngos-ngosan. Dia pun langsung pesen Go-Jek. Alina melirik dompetnya dan meringis melihat sisa uang yang makin menipis. Setiap kali mengeluarkan uang, rasa cemas itu datang—sumber keuangan yang ia miliki hampir habis.

Sesampainya di rumah, pikirannya berkecamuk. Alina tau, dia harus segera cari kerja—apa aja yang halal, asal bisa menutupi kebutuhan sehari-harinya.

Tak terasa Alina ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, dia langsung siap-siap buru-buru, karena dia harus datang ke sekolah lebih awal buat ngambil seragamnya.

Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang dia harus ke perpustakaan, tapi baru ingat kalau nggak tau lokasinya. Dia cuma ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang bikin dia terjebak konfrontasi sama Clarissa kemarin.

Mengingat itu air mata Alina mulai turun lagi, dia nggak bisa nahan. Alina lelah sekarang, dan dia berkeringat. Belum lagi pas pulang nanti dia harus jalan kaki lagi.

Alina tarik napas panjang, mengipas-ngipasi matanya. Lalu merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang...

"Hei... lo baik-baik aja?"

Akhirnya, pandangan Alina jadi jelas dan dia lihat cowok di depannya, dia nggak kalah tampan dari Arion. Dia pake jersey dan bawa ransel HIA berwarna biru tua.

"Ya, cuma agak lelah," gumam Alina. "Dan... nyasar."

Alina sadar dia ngadepin jalan cowok itu di lorong kecil ini. "Oh, maaf ya."

"Kenapa lo minta maaf?"

Alina nunjuk jalan. "Gue ngahalangin jalan lo."

"Nggak juga." katanya, ngusap rambut hitam gelapnya.

Mereka jalan beriringan lewat lorong yang sepi. Pria itu tampak santai, sementara Alina sesekali mencuri pandang.

"Gue liat lo cukup terkenal," katanya tiba-tiba, ngebangunin Alina dari lamunan. "Kemarin, gue nonton wawancara lo di televisi. Lo keren."

Pas senyum, matanya mengerucut kayak anak anjing. Tangan Alina jadi gatel, dia buru-buru turunin tangannya, ngelawan dorongan aneh buat nyentuh wajah pria itu.

Alina senyum kecut. "Ah, itu... Mereka cuma bikin gue yang lagi berduka keliatan cakep di layar."

"Hmm.. maaf. Gue tau itu nggak gampang." Wajahnya jadi lebih prihatin. Tapi langsung berubah jadi senyuman lembut.

"Oke... bilang aja lo mau kemana. Gue temenin."

Alina ngutuk dirinya yang nggak pintar. Harusnya dia liat peta dulu sebelum datang, tapi sejak kemarin dia lebih fokus cari kerja sampai dia lupa mikirin sekolahnya.

"Toko buku."

"Lo beruntung." Pria itu ngedipin mata.

"Karena gue sama sekali nggak tau."

Sudut mulut Alina terangkat. "Hmmm... dan gimana itu bikin gue beruntung?"

"Karena kita bisa nyari bareng. Sebenarnya gue juga pengen nemuin." Dia ngelirik ke luar, terus dengan lembut genggam lengan Alina dan bawa ke pintu samping.

"Cuma ada satu hal yang lebih baik dari nyasar sendirian."

"Oh gitu ya." Alina bener-bener senyum. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, rasa sakit karena kematian orang tuanya agak mereda.

"Dan apa tuh?"

Dia menyenggol lengan Alina pakai bahunya. "Nyasar sama orang lain."

"Dengan gitu, lo bisa jalan-jalan sambil nunggu bel masuk. Selain itu, gue tau tata letak dasar sekolah, dan gue yakin kita bakal nemuin toko buku di tempat umum." Dia bukain pintu buat Alina.

"Kita bisa muter-muter danau waktu istirahat nanti. Yah... lo tau lah. Nggak mudah di tempat kayak gini." Dia perhatiin sekeliling.

"Kita bisa sembunyi dari para siswa kaya yang mungkin bakal ngasih lo pelajaran."

Perut Alina bergejolak. Tapi, perpustakaan itu tampak sepi. Meskipun ada beberapa siswa lewat. Mereka pake aksesoris bermerek yang harganya mungkin sama kayak sewa rumah Alina.

"Jadi, lo tau jalan? Kayaknya lo juga murid pindahan."

"Yup, bener. Kita punya banyak kesamaan." Dia memasukkan tangan ke saku sambil belok menuju ruangan lainnya.

"Gue murid pindahan dari sekolah lain pas ditawarin beasiswa sepak bola."

"Wah, keren."

Dengar kata sepak bola perut Alina tenggelam. Berarti dia kenal Arion Mahendra. Anak keturunan Korea nyebelin, yang bermarga Kwon itu.

"Kedengarannya lo nggak senang." Dia berpura-pura terkesiap.

"Gue berjanji gue nggak bermaksud kayak gitu." Alina ketawa, meski sedikit dipaksakan. Mungkin berteman dengan cowok asing ini—sesuatu yang dapat dimanfaatkan saat ini.

Cowok itu membuka pintu perpustakaan untuk Alina. Namun, sebelum ia benar-benar masuk, ia berbalik dan berkata, “Makasi ya... uh, gue belum tahu nama lo.”

Cowok itu tersenyum lebar. “Ah. Nama gue.."

Bab terkait

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Pertikaian Arion dan Darren

    "Nama gue Darren. Dan lo... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, makasih banget, Darren.” Beberapa saat kemudian, mereka udah keluar dari sana sambil bawa kantung buku. Keduanya nggak ngobrol sambil jalan, tapi Darren sesekali ngecek daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Bel berbunyi. "Eh, ternyata kelas lo di sini," kata Darren sambil tiba-tiba menarik lengan Alina dan mereka udah sampai di ruang kelas. Clarissa, Arion, dan beberapa cowok lainnya berdiri di depan. Dua cowok lainnya kelihatan kekar dan berotot. Ketiganya bisa jadi maskot dari brosur sekolah. Tapi ketika Alina lihat Arion lagi fokus ngeliatin dia, jantungnya langsung berdebar kencang. “Setidaknya dua murid pindahan udah kenalan,” kata Arion, rahangnya yang kaku bikin wajahnya yang tegas jadi keliatan makin garang. Dari tiga cowok di sekitarnya, dia yang paling ganteng sejauh ini. “Iya, kami ketemu dan sama-sama butuh buku buat kelas hari ini,” jawab Darren dengan senyum malas

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Kebaikan Alina Menolong Kakek Tua

    "Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya. “Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya m

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-10
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Terjebak Perjodohan Tak Terduga

    Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cep

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Ruangan Rahasia Arion

    "Nggak, gue nggak bisa kayak gitu dengan mata gue yang sakit. Lu emang bego banget... nggak bisa mikir panjang." Alina mendelik tajam. "Ya, maaf deh gue nggak sepinter lo! Tapi kalau lo emang nggak bisa mikir jernih, jangan nyalahin gue juga dong! Mata lo sakit, tapi mulut lo lancar banget ya buat ngata-ngatain orang!" Arion menghela napas panjang, suaranya mulai melembut, "Oke, gue salah ngomong. Gue nggak mau ribut. Tapi mata gue beneran nggak bisa lihat jelas sekarang." Dia lalu melirik setir sambil mengusap matanya yang masih perih. "Pokoknya sekarang lo harus tanggung jawab. Gue nggak mau mobil ini malah nyemplung ke got gara-gara kita ribut terus." Nada bicaranya terdengar serius, tapi wajahnya sedikit memerah saat mengatakan itu. "Jangan mikir macem-macem. Gue cuma mau kita selamat sampai rumah." "Hmm yaudah, gue lakuin ini cuma biar lo sampai rumah dengan selamat aja ya, habis mata lo sembuh gue pulang?" Arion menyeringai tipis, menatap Alina dengan tatapan isen

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-08
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Dituduh Jalang Karena Kesalahpahaman

    "Ah ya… gue bakal ngompres mata lo, terus nyiapin air hangatnya," gumam Alina pelan, mencoba menahan detak jantung yang makin kencang. Alina keluar dari dapur dengan napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial, pelan-pelan.." Arion mengerang. Alina menggeleng pelan sambil mulai mengusap mata Arion. "Yah, mata lo tertutup. Lo harus buka kalau mau gue bersihin." "Lo ngomong gampang. Coba deh rasain sendiri sakitnya," balas Arion dengan suara tertahan. Dia akhirnya membuka matanya perlahan. Rahangnya mengeras. "Sial. Sakit banget." Alina mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. "Harusnya ini cepat membaik... atau ya, semoga aja." Tatapan Arion tiba-tiba jatuh ke mulut Alina. Dia menjilat bibir bawahnya perlahan. Kepalanya sedikit menunduk, sementara Alina mendekat tanpa sadar. Tangan Alina sempat menyentuh dada Arion. Hangat. Otot dadanya terasa jelas di bawah telapak tangannya. Tapi begitu pandangannya jatuh ke leher Arion yang sedikit basah, dia langsung ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-09
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Alina : Jaga Harga Diri dan Nggak Mengejar Harta

    Arion duduk di samping Alina, matanya membulat, keningnya berkerut dalam. Dia kelihatan beneran kaget. Tanpa bilang apa-apa, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Tangannya yang kuat m membungkus tubuh Alina, sementara satu tangannya lagi lembut mengusap punggung Alina. "Alina... maafin gue. Gue bener-bener nggak tahu," suaranya bergetar. Pelukan Arion memang hangat, tapi kata-katanya malah makin bikin hati Alina remuk. Rasanya seperti Arion nambahin luka di tempat yang sudah perih. "Direktur Eric... dia nggak pernah kasih beasiswa gitu aja ke orang asing, tanpa alasan. Dan lo datang tiba-tiba, semuanya terasa mencurigakan," lanjut dia pelan. "Clarissa yang pertama kali nyebarin fitnah itu." Alina terdiam. Begitu dengar nama itu, Alina langsung mengangkat kepala sambil mengigit bibirnya sendiri, berusaha menahan air mata yang sudah mengalir. “Clarissa?” gumamnya penuh emosi. “Oh, nggak heran sih. Selalu aja dia...” Alina menyesal banget nangis gara-gara hal konyol kay

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Satu Hari Sebelum Pernikahan

    "Gue ngerti, kita nikah ini cuma formalitas buat kakek gue. Tapi gue gak akan tinggal diam kalau lo dalam masalah." Alina mengerutkan kening. "Gue gak minta lo jagain gue. Gue bisa urus diri gue sendiri." "Gue tahu lo bisa," Arion menjawab cepat, nadanya tegas. "Tapi gue gak akan diem aja kalau lo kesusahan. Itu bukan soal minta atau gak minta. Itu tanggung jawab gue." Arion memandang Alina dengan intensitas yang membuatnya sulit berpaling. Mata gelap cowok itu memancarkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—sesuatu yang mendesak, hampir mendominasi. "Lo bisa bilang apa pun sekarang, Lin. Tapi gue gak akan biarin lo jalan sendirian, apalagi setelah kita nikah. Kita ini tim. Suka atau gak suka, lo harus terima itu." "Lo selalu ngomong kayak gitu. Tapi kenyataannya, lo cuma mau ngontrol gue. Gue gak butuh penjaga. Gue gak butuh siapapun buat nyelamatin gue." "Terserah lo mau mikir apa," balas Arion, nadanya dingin namun tegas. "Tapi gue gak akan biarin lo hil

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10
  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Fitting Gaun Pengantin

    Di depan mereka berdiri sebuah butik pengantin mewah dengan logo mengilap. Hiasan di etalase toko terlihat mahal, seperti sengaja memamerkan gaun-gaun pengantin yang pasti harganya bikin dompet Alina nangis. 'Ini toko baju doang. Tapi kenapa rasanya kayak mau masuk istana? Gue bahkan nggak tahu harus mulai ngomong apa di depan mbak-mbak SPG-nya. 'Halo, gue calon pengantin nggak niat, tolong kasih gue diskon.' Ya nggak mungkin kan?' "Lo serius ngajak gue masuk ke situ?" Alina akhirnya buka suara. Arion cuma tersenyum tipis sambil melempar pandangan ke arah butik. "Ya emang. Kenapa? Lo takut sama manekin?" "Bukan takut. Gue cuma nggak yakin gue cocok di tempat kayak gitu. Lo lihat nggak itu? Tempatnya terlalu... mahal." Arion mengangkat alis, berusaha menahan tawa. "Ya iyalah mahal. Gue nggak mungkin bawa lo ke toko pinggir jalan buat beli gaun pengantin." "Gue cuma mau bilang..." Alina menggantung kalimatnya, gengsinya jelas terlihat. "Gue nggak yakin gue pantes di situ." Arion

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-10

Bab terbaru

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Melangkah di Tangga Sepi

    Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Makan Siang yang Terasa Hambar

    Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Janji Makan Siang yang Bikin Deg-Degan

    Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    "Cuma Ada Lo di Mata Gue"

    Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Untuk Lo, Gue Ada

    Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Drama Makan Siang

    “Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Ultah Sultan: Party di Tambang Berlian

    “Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Pertemuan Dengan Lara, Adik Luther

    Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '

  • Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku    Renggang Tanpa Kata

    Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status