Beranda / Fiksi Remaja / Atlet Sekolah Menyebalkan Jadi Suamiku / Kehidupan Baru Alina di Sekolah, Difitnah dan Dibenci

Share

Kehidupan Baru Alina di Sekolah, Difitnah dan Dibenci

Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung.

Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki.

Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya.

Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya.

“Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.”

“Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.”

Arion tersenyum, tetapi Alina berharap bisa mengalihkan perhatian semua orang secepat mungkin sebelum Direktur Eric, mengajukan banyak pertanyaan padanya.

"Istriku tercinta, Suzenne dan aku," kata Direktur Eric sambil merangkul istrinya, "Bersama rekanku yang terhormat, Remi Mahendra Kwon yang tidak bisa hadir hari ini, telah memilih siswi yang sangat berprestasi ini sebagai penerima beasiswa pribadi kami ke HIA. Kami menanggung biaya sekolahnya dan mendukung masa depannya yang menjanjikan. Ketika tragedi pribadinya menjadi perhatian kami, dan kami mengetahui bahwa dia tidak hanya kehilangan kedua orang tuanya tetapi juga bercita-cita untuk menjadi dokter, kami merasa terpanggil untuk membantu."

Suzenne berseri-seri menatap suaminya. Lipstik fuschia membuat giginya yang putih dan tampak rapi sangat kontras. "Itu hal yang sangat bagus, sayang."

Ia terlihat cantik dan anggun, sama seperti putrinya. Clarissa, yang berdiri di sisi Arion. Begitu melihatnya, Alina langsung menyesal telah mengalihkan pandangannya.

Clarissa memulai karir modeling-nya dengan sukses dan kini menjadi salah satu wajah yang paling dicari. Dia lebih memukau secara pribadi daripada di media sosialnya.

Alina merasa sangat lusuh jika dibandingkan dengan Clarissa, yang tampak seperti dewi.

Clarissa mengenakan gaun mini berwarna merah muda yang anggun, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang selaras dengan warna gaunnya.

“Nona?” seru seorang reporter paruh baya yang tinggi.

Alina tersadar saat ada reporter yang bertanya.

"Nona Alina." Tambah Direktur Eric.

"Terima kasih." Reporter itu mengangguk.

“Eh, Nona Alina? Bagaimana rasanya mendapatkan kesempatan luar biasa yang didambakan oleh siswa-siswi di seluruh Indonesia?”

Pertanyaan itu membuat Alina merasa seolah-olah ditinju di perut. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri di tengah perhatian semua orang.

Dengan suara serak, dia menjawab, “Sungguh, ini seperti mimpi... Sejujurnya, saya tidak pernah menyangka bisa melanjutkan pendidikan setelah orang tua saya meninggal.”

Suaranya bergetar. Meskipun dia berusaha tampil kuat, rasa sakit itu tak terhindarkan.

Reporter itu mengangguk dan berkata, “Maaf, Nona Alina. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Anda."

“Tidak apa-apa,” jawabnya lembut. “Saya tahu Anda hanya melakukan pekerjaan Anda.”

Direktur Eric menepuk lengannya dengan lembut dan berkata, “Alina telah mengalami banyak hal sulit. Namun, saya yakin dia tidak ingin hal itu terjadi. Jika orang tuanya masih hidup, mereka pasti akan sangat bangga padanya. Saya mengerti betapa sakitnya kehilangan itu. Proses penyembuhan seperti ini memang membutuhkan waktu.”

Air mata menetes di wajah Alina, dan dia segera menyekanya dengan cepat. “Tapi.. Saya berterima kasih kepada Direktur Eric atas kemurahan hatinya, serta dukungan Pak Remi.” ucapnya pelan.

Suasana di sekitar mereka menjadi hening, dengan perhatian penuh terfokus pada Alina.

"Itu sangat memilukan." Seorang reporter menaruh tangannya di dadanya.

"Dan Arion, bagaimana perasaanmu tentang keputusan ayahmu dan keluarga Wijaya?"

"Menurutku itu luar biasa." Arion tersenyum, seketika hati Alina bergetar kewalahan.

“Sayangnya, Ayah tidak bisa hadir, itulah sebabnya saya berada di sini sebagai penggantinya. Saya harap dia menonton sehingga dia bisa mendengar betapa bangganya saya karena dia membantu Direktur Eric mewujudkan hal ini."

Kebaikan dalam kata-katanya dan kata-kata reporter, serta sentuhan dukungan sang direktur, membuat dada Alina terisak-isak.

"Dan saya ingin Alina tahu bahwa dia tidak sendirian,” lanjut Arion sambil menyentuh belakang punggung Alina dengan hangat.

“Oh, Alina,” Di tengah momen tersebut Clarissa mulai ikut berbicara. Nadanya manis tapi berlebihan.

“Menurutku dia sudah melalui hari yang berat. Sungguh luar biasa bisa mendukung satu sama lain di tengah situasi sulit seperti ini.”

Tatapannya terlihat penuh simpati, tetapi ada nuansa sinis di balik senyumnya. Matanya mengedip cepat, seolah-olah dia menikmati momen itu.

Alina menarik napas panjang. Sementara Clarissa menyenderkan kepalanya ke lengan Arion dengan manja. “Kenapa kita tidak berkeliling saja?” tanyanya.

“Mengantarkannya untuk mencari seragam dan buku-buku. Kita harus memastikan dia siap untuk memulai hari pertamanya di sekolah ini, bukan?”

Alina melirik Direktur Eric, berharap ia mengizinkannya. Kebetulan dia juga ingin segera keluar dari kerumunan ini.

"Kedengarannya ide yang bagus, sayang." Suzenne menoleh melanjutkan, "Kamu membantunya, dan aku serta ayahmu akan menunggu disana."

YESSS!!!

Alina tersenyum hatinya bersorak gembira. “Yah, setidaknya, aku bisa bernapas sedikit lebih lega sekarang,” pikirnya.

Ia merasa lega ketika Arion menarik lengannya. Tapi Clarissa lebih cepat, menyambar lengan Arion, dan menyalipnya dengan lincah.

Alina mengangkat alisnya, tidak terkejut dengan tindakan Clarissa. Tetapi cuaca terik sangat mengganggunya, ia berkeringat, dan kepalanya mulai berputar.

"Hei, gadis baru. Kau tidak apa-apa? Kau seperti ingin pingsan."

"Huh.. Dia baik-baik saja, Arion!" Clarissa kembali menarik lengan Arion dan mendesis. "Dia bukan satu-satunya gadis kecil disini."

"Aku hanya harus melakukan apa yang ayah suruh."

Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Apa maksudmu? Apa yang ayahmu lakukan?"

Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya.

"Ya ampun, Alina, jangan terlalu memikirkannya," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan, tolong... jangan ganggu Arion-ku lagi."

Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Aku benci panggilan itu, Clarissa. Setiap kali kau menyebutnya, telingaku rasanya sakit! Semua ini hanya akting demi menyenangkan ayah kita!"

Clarissa hanya mendengus.

"Kau pergilah dulu ke kantor. Aku perlu berbicara empat mata dengan gadis ini."

Alina penasaran dan sedikit khawatir, apa yang akan dikatakan Clarissa? Apa yang membuat gadis ini begitu geram padanya?

Clarissa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, tapi entah bagaimana, dia tetap bisa menjaga penampilannya.

Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Aku tidak tahu apa tujuan akhirmu," katanya dingin, "Tapi jangan pikir kau bisa bermain-main dengan ayahku. Aku tidak akan membiarkan perempuan pemeras sepertimu berkeliaran di sekitarnya."

Alina menahan diri, mencoba tetap tenang meski terasa terpojok. Clarissa memang memegang kendali penuh dalam situasi ini, dan Alina harus menelan fakta itu.

"Aku pantas berada di sini," kata Clarissa lagi, penuh keyakinan. "Sedangkan kau? Kau hanya ada di sini karena ayahku."

Ekspresi Alina tetap datar. "Aku tidak tahu siapa dirimu," jawabnya pelan, "Tapi aku bukan pemeras."

Clarissa mengejek sambil menjatuhkan tangannya. "Oh, ayolah. Dengan pendapatan ayahku yang luar biasa, dia tidak perlu terlibat dalam amal seperti membantumu hanya demi keuntungan politik."

"Aku tidak memerasnya," tegas Alina. Namun, kebingungan muncul di wajahnya.

"Tunggu... Apa dia memberitahumu kalau aku seperti itu?" Alina merasa aneh sejak awal, tapi pikiran bahwa Eric Clapton Wijaya membantu karena alasan pribadi tak masuk akal. Bagaimana mungkin dia dan para donatur lain terlibat begitu dalam?

Clarissa menyilangkan tangannya dan mendekati Alina, sikapnya begitu menantang. Alina perlahan mundur.

"Satu-satunya alasan yang logis," kata Clarissa dengan suara rendah, "Adalah kau menyembunyikan sesuatu darinya. Dan aku ingin tahu apa itu."

Alina ingin sekali mendorong Clarissa, berharap melihatnya tersandung bersama sepatu haknya yang tinggi. Tapi ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.

"Aku juga tidak tahu kenapa ayahmu melakukan ini," balas Alina pelan. "Dia tiba-tiba muncul di rumah sakit saat aku sedang, berduka, atau apa pun itu... dan dia menawarkan beasiswa padaku. Itu saja."

Clarissa menyipitkan mata, bibirnya mengerut tajam. "Itu tidak masuk akal," katanya, "Tapi karena kau orang yang ayahku danai, aku akan menahan diri untuk tidak bersikap buruk. Setidaknya, tidak dengan adanya kamera." Sebuah senyum sinis muncul di wajahnya.

"Aku mengerti," jawab Alina dengan tenang.

Clarissa mengangguk tipis, masih dengan tatapan meremehkan. "Aku perlu pergi sebentar. Tunggu di sini." Dia melengos pergi.

Namun, Alina tidak berniat menunggu. Ia memutuskan untuk berbalik, kemudian berlari menuju gerbang. Kulitnya mulai gatal karena bulu kuduknya terus meremang menghadapi Clarissa.

Setelah berhasil keluar, Alina ngos-ngosan. Ia pun memesan Go-Jek. Alina melirik dompetnya dan meringis melihat sisa uang yang semakin menipis. Setiap kali ia mengeluarkan uang, rasa cemas itu datang—sumber keuangan yang ia miliki hampir habis.

Sesampainya di rumah, pikirannya berkecamuk. Alina tahu, ia harus segera mencari pekerjaan—apa saja yang halal, asal bisa menutupi kebutuhan sehari-harinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status