Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung.
Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki. Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya. Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya. “Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.” “Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.” Arion tersenyum, tetapi Alina berharap bisa mengalihkan perhatian semua orang secepat mungkin sebelum Direktur Eric, mengajukan banyak pertanyaan padanya. "Istriku tercinta, Suzenne dan aku," kata Direktur Eric sambil merangkul istrinya, "Bersama rekanku yang terhormat, Remi Mahendra Kwon yang tidak bisa hadir hari ini, telah memilih siswi yang sangat berprestasi ini sebagai penerima beasiswa pribadi kami ke HIA. Kami menanggung biaya sekolahnya dan mendukung masa depannya yang menjanjikan. Ketika tragedi pribadinya menjadi perhatian kami, dan kami mengetahui bahwa dia tidak hanya kehilangan kedua orang tuanya tetapi juga bercita-cita untuk menjadi dokter, kami merasa terpanggil untuk membantu." Suzenne berseri-seri menatap suaminya. Lipstik fuschia membuat giginya yang putih dan tampak rapi sangat kontras. "Itu hal yang sangat bagus, sayang." Ia terlihat cantik dan anggun, sama seperti putrinya. Clarissa, yang berdiri di sisi Arion. Begitu melihatnya, Alina langsung menyesal telah mengalihkan pandangannya. Clarissa memulai karir modeling-nya dengan sukses dan kini menjadi salah satu wajah yang paling dicari. Dia lebih memukau secara pribadi daripada di media sosialnya. Alina merasa sangat lusuh jika dibandingkan dengan Clarissa, yang tampak seperti dewi. Clarissa mengenakan gaun mini berwarna merah muda yang anggun, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang selaras dengan warna gaunnya. “Nona?” seru seorang reporter paruh baya yang tinggi. Alina tersadar saat ada reporter yang bertanya. "Nona Alina." Tambah Direktur Eric. "Terima kasih." Reporter itu mengangguk. “Eh, Nona Alina? Bagaimana rasanya mendapatkan kesempatan luar biasa yang didambakan oleh siswa-siswi di seluruh Indonesia?” Pertanyaan itu membuat Alina merasa seolah-olah ditinju di perut. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri di tengah perhatian semua orang. Dengan suara serak, dia menjawab, “Sungguh, ini seperti mimpi... Sejujurnya, saya tidak pernah menyangka bisa melanjutkan pendidikan setelah orang tua saya meninggal.” Suaranya bergetar. Meskipun dia berusaha tampil kuat, rasa sakit itu tak terhindarkan. Reporter itu mengangguk dan berkata, “Maaf, Nona Alina. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Anda." “Tidak apa-apa,” jawabnya lembut. “Saya tahu Anda hanya melakukan pekerjaan Anda.” Direktur Eric menepuk lengannya dengan lembut dan berkata, “Alina telah mengalami banyak hal sulit. Namun, saya yakin dia tidak ingin hal itu terjadi. Jika orang tuanya masih hidup, mereka pasti akan sangat bangga padanya. Saya mengerti betapa sakitnya kehilangan itu. Proses penyembuhan seperti ini memang membutuhkan waktu.” Air mata menetes di wajah Alina, dan dia segera menyekanya dengan cepat. “Tapi.. Saya berterima kasih kepada Direktur Eric atas kemurahan hatinya, serta dukungan Pak Remi.” ucapnya pelan. Suasana di sekitar mereka menjadi hening, dengan perhatian penuh terfokus pada Alina. "Itu sangat memilukan." Seorang reporter menaruh tangannya di dadanya. "Dan Arion, bagaimana perasaanmu tentang keputusan ayahmu dan keluarga Wijaya?" "Menurutku itu luar biasa." Arion tersenyum, seketika hati Alina bergetar kewalahan. “Sayangnya, Ayah tidak bisa hadir, itulah sebabnya saya berada di sini sebagai penggantinya. Saya harap dia menonton sehingga dia bisa mendengar betapa bangganya saya karena dia membantu Direktur Eric mewujudkan hal ini." Kebaikan dalam kata-katanya dan kata-kata reporter, serta sentuhan dukungan sang direktur, membuat dada Alina terisak-isak. "Dan saya ingin Alina tahu bahwa dia tidak sendirian,” lanjut Arion sambil menyentuh belakang punggung Alina dengan hangat. “Oh, Alina,” Di tengah momen tersebut Clarissa mulai ikut berbicara. Nadanya manis tapi berlebihan. “Menurutku dia sudah melalui hari yang berat. Sungguh luar biasa bisa mendukung satu sama lain di tengah situasi sulit seperti ini.” Tatapannya terlihat penuh simpati, tetapi ada nuansa sinis di balik senyumnya. Matanya mengedip cepat, seolah-olah dia menikmati momen itu. Alina menarik napas panjang. Sementara Clarissa menyenderkan kepalanya ke lengan Arion dengan manja. “Kenapa kita tidak berkeliling saja?” tanyanya. “Mengantarkannya untuk mencari seragam dan buku-buku. Kita harus memastikan dia siap untuk memulai hari pertamanya di sekolah ini, bukan?” Alina melirik Direktur Eric, berharap ia mengizinkannya. Kebetulan dia juga ingin segera keluar dari kerumunan ini. "Kedengarannya ide yang bagus, sayang." Suzenne menoleh melanjutkan, "Kamu membantunya, dan aku serta ayahmu akan menunggu disana." YESSS!!! Alina tersenyum hatinya bersorak gembira. “Yah, setidaknya, aku bisa bernapas sedikit lebih lega sekarang,” pikirnya. Ia merasa lega ketika Arion menarik lengannya. Tapi Clarissa lebih cepat, menyambar lengan Arion, dan menyalipnya dengan lincah. Alina mengangkat alisnya, tidak terkejut dengan tindakan Clarissa. Tetapi cuaca terik sangat mengganggunya, ia berkeringat, dan kepalanya mulai berputar. "Hei, gadis baru. Kau tidak apa-apa? Kau seperti ingin pingsan." "Huh.. Dia baik-baik saja, Arion!" Clarissa kembali menarik lengan Arion dan mendesis. "Dia bukan satu-satunya gadis kecil disini." "Aku hanya harus melakukan apa yang ayah suruh." Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Apa maksudmu? Apa yang ayahmu lakukan?" Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Ya ampun, Alina, jangan terlalu memikirkannya," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan, tolong... jangan ganggu Arion-ku lagi." Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Aku benci panggilan itu, Clarissa. Setiap kali kau menyebutnya, telingaku rasanya sakit! Semua ini hanya akting demi menyenangkan ayah kita!" Clarissa hanya mendengus. "Kau pergilah dulu ke kantor. Aku perlu berbicara empat mata dengan gadis ini." Alina penasaran dan sedikit khawatir, apa yang akan dikatakan Clarissa? Apa yang membuat gadis ini begitu geram padanya? Clarissa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, tapi entah bagaimana, dia tetap bisa menjaga penampilannya. Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Aku tidak tahu apa tujuan akhirmu," katanya dingin, "Tapi jangan pikir kau bisa bermain-main dengan ayahku. Aku tidak akan membiarkan perempuan pemeras sepertimu berkeliaran di sekitarnya." Alina menahan diri, mencoba tetap tenang meski terasa terpojok. Clarissa memang memegang kendali penuh dalam situasi ini, dan Alina harus menelan fakta itu. "Aku pantas berada di sini," kata Clarissa lagi, penuh keyakinan. "Sedangkan kau? Kau hanya ada di sini karena ayahku." Ekspresi Alina tetap datar. "Aku tidak tahu siapa dirimu," jawabnya pelan, "Tapi aku bukan pemeras." Clarissa mengejek sambil menjatuhkan tangannya. "Oh, ayolah. Dengan pendapatan ayahku yang luar biasa, dia tidak perlu terlibat dalam amal seperti membantumu hanya demi keuntungan politik." "Aku tidak memerasnya," tegas Alina. Namun, kebingungan muncul di wajahnya. "Tunggu... Apa dia memberitahumu kalau aku seperti itu?" Alina merasa aneh sejak awal, tapi pikiran bahwa Eric Clapton Wijaya membantu karena alasan pribadi tak masuk akal. Bagaimana mungkin dia dan para donatur lain terlibat begitu dalam? Clarissa menyilangkan tangannya dan mendekati Alina, sikapnya begitu menantang. Alina perlahan mundur. "Satu-satunya alasan yang logis," kata Clarissa dengan suara rendah, "Adalah kau menyembunyikan sesuatu darinya. Dan aku ingin tahu apa itu." Alina ingin sekali mendorong Clarissa, berharap melihatnya tersandung bersama sepatu haknya yang tinggi. Tapi ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. "Aku juga tidak tahu kenapa ayahmu melakukan ini," balas Alina pelan. "Dia tiba-tiba muncul di rumah sakit saat aku sedang, berduka, atau apa pun itu... dan dia menawarkan beasiswa padaku. Itu saja." Clarissa menyipitkan mata, bibirnya mengerut tajam. "Itu tidak masuk akal," katanya, "Tapi karena kau orang yang ayahku danai, aku akan menahan diri untuk tidak bersikap buruk. Setidaknya, tidak dengan adanya kamera." Sebuah senyum sinis muncul di wajahnya. "Aku mengerti," jawab Alina dengan tenang. Clarissa mengangguk tipis, masih dengan tatapan meremehkan. "Aku perlu pergi sebentar. Tunggu di sini." Dia melengos pergi. Namun, Alina tidak berniat menunggu. Ia memutuskan untuk berbalik, kemudian berlari menuju gerbang. Kulitnya mulai gatal karena bulu kuduknya terus meremang menghadapi Clarissa. Setelah berhasil keluar, Alina ngos-ngosan. Ia pun memesan Go-Jek. Alina melirik dompetnya dan meringis melihat sisa uang yang semakin menipis. Setiap kali ia mengeluarkan uang, rasa cemas itu datang—sumber keuangan yang ia miliki hampir habis. Sesampainya di rumah, pikirannya berkecamuk. Alina tahu, ia harus segera mencari pekerjaan—apa saja yang halal, asal bisa menutupi kebutuhan sehari-harinya.Tak terasa Alina pun ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, ia langsung bersiap-siap dengan cepat, karena dia harus tiba di sekolah lebih awal untuk mengambil seragamnya.Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang ia harus ke perpustakaan, namun ia baru ingat jika tidak tahu lokasinya. Ia hanya ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang membuatnya terjebak konfrontasi dengan Clarissa kemarin.Mengingat itu air mata Alina mengalir lagi, ia tidak bisa membendungnya. Alina lelah sekarang, dan ia berkeringat. Belum lagi saat pulang nanti ia harus berjalan kaki lagi.Alina menarik napas panjang, mengipasi matanya. Kemudian merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang..."Hei... kamu baik-baik saja?"Akhirnya, pandangan Alina menjadi jelas dan melihat pria di depannya, dia tak kalah tampan dari Arion. Dia mengenakan jersey dan membawa ransel HIA berwarna biru tua. "Ya, hanya sedikit lelah," gumam Alin
Darren menatap Alina lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Arion. Dia membetulkan ranselnya dan menyeringai, lalu mengedipkan mata ke arah Alina menuju pintu.Alina pun mendapati tatapan tajam dari Arion, tertuju padanya. Denyut nadinya melonjak, dan perutnya jungkir balik. Ia yakin Arion sangat marah padanya, tapi ia tidak tahu alasannya apa."Ayo." Sergio memukul punggung Darren. "Ayo pergi dari sini sebelum Arion menendang bokongmu di depan kelas."Para siswa tertawa..Clarissa menyaksikan mereka berdua menghilang. Ia menyilangkan tangannya."Arion, aku tahu kamu tidak ingin ada permusuhan antar pemain. Tapi kamu harus berhati-hati dengan anak itu. Dia tidak suka kamu mengaturnya."Sesaat setelah itu, murid-murid terdengar riuh. Karena guru yang Alina dengar dari beberapa murid bernama Mr. Asher, baru saja datang. Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar kelas tanpa sedikitpun kekhawatiran. Alina yang melihatnya, tak percaya dengan apa ya
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar.. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang pernikahan, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk men
Dalam keadaan wajah yang basah terkena siraman air, Arion berkata, “Jadi, apa kamu benar-benar ingin melihatku tanpa baju?”Beberapa helai rambut Arion menutupi sedikit matanya. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tampan dengan rambut yang acak-acakan seperti itu?Alina cepat-cepat membalas, “Oh, tentu tidak! Ini akibat kau yang terkena semprotan cabai. Jadi bajumu harus dilepas supaya tidak terkontaminasi.”“Ya, kamu benar," balas Arion, sambil terus mengedipkan matanya masih berair."Tapi membasuhnya dengan air nggak membuatnya lebih baik. Sial.. kurasa bola mataku akan lepas!” Arion menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.“Maka dari itu, kau sebaiknya diam, tutup saja mulutmu. Ikuti apa yang kusuruh..” Alina menjawab dengan kesal, tetapi ada nada kekhawatiran dalam suaranya.Arion langsung manut. Alina melihat Arion melepaskan kausnya dengan perlahan. Tanpa menunggu jawaban Arion, Alina segera memalingkan wajahnya, beranjak pergi ke dapur. “Aku mau buat air hangat untuk mengompr
Alina mendengus dan menatap matanya. Arion bertingkah aneh. "Mengapa aku harus?" “Kau tidak ingin direktur mengira kau selingkuh dan tidur dengan orang lain—seperti Darren—kan?" sindir Arion dengan nada dingin. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kepedihan tersembunyi di balik tatapan itu.Alina tahu, sisi brengsek Arion yang lama dia tunggu akhirnya muncul. Ini dia, pikirnya. Sudah waktunya.Sindiran itu menghantam keras. Seolah dada Alina benar-benar ditusuk. Rasanya terlalu menyakitkan."Oh, jadi itu yang selama ini kau pikirkan tentangku? Bahwa aku tidur dengan pria yang sudah menikah dan cukup tua untuk jadi ayahku?" Alina balas menatapnya, hatinya terasa terbakar.Arion mengangkat bahu, tampak seolah tak peduli. "Yah... Itu masuk akal. Kau bisa masuk HIA dengan mudah. Dan aku tidak mempermasalahkan itu," ucapnya, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting. Ia melirik Alina sambil mengibaskan tangan. "Aku berpikiran modern. Kau tahu, soal itu." Mata Arion tertuju pada bawah tubuh
"Dua jam lagi..." gumam Alina sambil memandangi jam dinding. "ASTAGA...! ALINA!" Dia hampir lupa. Dua jam lagi dia harus berada di sekolah. Alina langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Alina terburu-buru berdiri di depan cermin dan merias wajahnya dengan riasan tipis. Ia memilih liptint merah muda dan sedikit maskara, memberikan tampilan yang segar namun tetap natural. Setelah puas dengan penampilannya, Alina berbalik dan mengunci pintu depan di belakangnya. Alina membuka aplikasi peta di ponselnya untuk mengecek rute ke sekolah. Saat melihat jarak tempuh, keningnya berkerut. Dia harus berjalan sejauh satu kilometer, yang biasanya tidak menjadi masalah baginya. Namun, mengingat cuaca yang panas dan terik saat ini, dia sedikit cemas. "Dua puluh menit di bawah sinar terik seperti ini? Ini akan jadi tantangan baru," pikirnya sambil menghela napas dan bersiap untuk berangkat. Alina menyusuri jalan sambil menatap aplikasi maps, menyesuaikan gambar denga