Mulut Alina ternganga lebar. Jalanan di depan mereka dipenuhi mobil-mobil media dan wartawan yang sibuk banget, siap dengan kamera dan mikrofon. Sepertinya, semua berita lokal sampai nasional lagi ada di sini.
Alina langsung ngerasa gugup. Dia gak bisa berhenti memperhatikan sobekan di celananya yang makin gede aja, dan ia buru-buru mengambil jaket Arion buat menutupi pahanya supaya lebih tertutup. “Makasi, ya… Gue gak bakal bisa tenang kalau lo gak ada di sini,” kata Alina pelan, merasa malu tapi juga lega. Di teras kantor sekolah, Direktur Eric udah berdiri bareng istri dan putrinya. Mereka semua senyum-senyum manis dan melambaikan tangan ke kamera. Arion yang mulai gandeng tangan Alina menuntun Alina menaiki tangga. Mereka langsung disambut hangat oleh Direktur Eric. Salah satu wartawan yang lagi sibuk dengan kamera, tiba-tiba melihat mereka berdua dan mengikuti langkah mereka ke tangga. "Nona Alina, apa betul ini Anda? Gadis yang sangat beruntung bisa masuk Horizon International Academy lewat jalur khusus?" tanya wartawan itu. "Y-ya, benar," jawab Alina dengan suara pelan, merasa dadanya sesak banget. Sebelum wartawan itu nanya yang lain, Alina udah lebih dulu bareng Direktur Eric yang lagi melirik Arion dengan tatapan penuh arti, kayaknya dia menyadari sesuatu. Mata Direktur Eric langsung tertuju ke Alina, mukanya kelihatan kaget. “Alina? Saya kira kamu akan datang pakai kendaraan pribadi dan lewat pintu belakang seperti yang saya sarankan,” gumamnya bingung. Alina langsung menahan napas, merasa kayak ada yang salah. Dia sebenarnya bohong soal punya kendaraan. Dan lewat pintu belakang, itu artinya dia harus jalan lebih jauh dua kali lipat, yang dimana bikin dia tambah capek. Direktur Eric sendiri sudah menawarkan Alina untuk tinggal di asrama sekolah, plus uang saku yang cukup besar, tapi Alina tolak karena gak mau tinggal satu kamar sama orang-orang yang gak se-level sama dia. Alina juga merasa cukup berutang budi sama Direktur Eric, jadi dia gak mau bikin repot lagi sama masalah lain. “Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya cuma... mau ngerasain pengalaman baru aja.” Direktur Eric masih keliatan terkejut, tapi dia cuma balas, “Oh gitu ya, Alina. Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang sekali melihat kamu bawa teman baru.” Arion cuma senyum, tapi Alina sendiri sudah merasa pengin buru-buru kabur dari kerumunan itu. Makanya dia berharap banget Direktur Eric nggak nanya banyak soal dirinya. Direktur Eric melanjutkan sambil merangkul istrinya, Suzenne, “Saya, istri saya, Suzenne, serta rekan saya yang terhormat, Pak Remi Mahendra Kwon yang tidak bisa hadir hari ini, kami telah memilih siswi ini jadi penerima beasiswa kami di HIA. Kami akan tanggung biaya sekolahnya, dan mendukung masa depannya. Ketika kami tahu dia bukan hanya kehilangan kedua orang tuanya, tapi juga memiliki cita-cita mulia menjadi seorang dokter, kami merasa terpanggil untuk membantu.” Suzenne yang senyum terus, langsung bilang, “Itu luar biasa, sayang,” sambil menoleh ke suaminya. Alina cuma bisa diam, merasa malu banget. Dia langsung menyesal karena menoleh ke arah Clarissa, yang berdiri di sisi Arion. Clarissa Clapton Wijaya adalah putri dari Direktur Eric. Dia sudah lama jadi model terkenal dan kelihatan jauh lebih cantik secara langsung dibandingkan di media sosialnya. Alina terlihat lusuh jika dibandingkan sama Clarissa yang cantik, mirip seperti dewi. Clarissa pake gaun mini merah muda yang anggun, dan sepatu hak tinggi yang warnanya serasi dengan gaunnya. Saat itu, tiba-tiba reporter tinggi paruh baya memanggilnya, “Eh... Nona.” Alina langsung kaget saat mendengar ada yang memanggil, sementara Direktur Eric menambahkan, “Namanya Nona Alina.” “Ah, ya. Terima kasih,” kata reporter itu sambil mengangguk sedikit. “Eh, Nona.. Alina, gimana rasanya bisa mendapatkan kesempatan luar biasa yang jadi impian seluruh siswa-siswi se-Indonesia?” tanya wartawan itu. Pertanyaan itu langsung bikin Alina merasa kayak ditinju di perut. Dia narik napas panjang, mencoba untuk tetep tenang meskipun makin banyak perhatian yang fokus ke dia. Dengan suara sedikit serak, Alina jawab, “Sebenarnya... ini seperti mimpi. Sejujurnya, saya gak pernah nyangka bisa lanjut sekolah setelah orang tua saya... meninggal.” Suaranya masih bergetar, meskipun dia berusaha tetap keliatan kuat, tapi rasa sakit itu nggak bisa ditutupi. Reporter itu langsung minta maaf, “Maaf, Nona Alina, saya tidak bermaksud menyakiti perasaan Anda.” “Gak apa-apa,” jawab Alina pelan. “Saya tahu Anda hanya melakukan pekerjaan Anda.” Direktur Eric menyentuh bahunya dengan lembut, “Alina sudah melewati banyak hal yang sulit. Tapi saya yakin dia tidak mau orang lain tahu. Orang tua dia pasti akan sangat bangga sama dia, kalau mereka masih hidup. Saya pun sangat mengerti rasanya kehilangan, dan proses menyembuhkan luka seperti itu pasti butuh waktu.” Air mata Alina mulai menetes, tapi dia langsung buru-buru menyeka dengan cepat. “Tapi... saya berterima kasih sekali sama Direktur Eric yang sudah memberikan kesempatan ini. Dan juga pada Pak Remi yang sudah mendukung saya,” ucapnya pelan. Semua orang di sekitar mereka langsung diam, fokus pada Alina. “Ya ampun itu sangat memilukan,” kata seorang reporter sambil memperhatikan Alina. Dan kemudian, wartawan lain langsung nanya lagi, “Arion, gimana perasaanmu tentang keputusan ayahmu dan keluarga Wijaya?” Arion yang dari tadi diam aja langsung tersenyum, dan melihatnya langsung bikin hati Alina berdebar. “Menurut saya itu luar biasa,” jawab Arion. “Sayangnya, Ayah gak bisa hadir. Makanya saya di sini sebagai pengganti dia. Saya harap dia nonton, supaya dia tau betapa bangganya saya karena dia bisa bantu Direktur Eric melakukan ini.” Alina merasa terharu banget, apalagi dengan kata-kata Arion dan dukungan dari Direktur Eric. Rasanya dada Alina kayak mau meledak. “Dan saya pengen Alina tahu, dia gak sendirian,” lanjut Arion sambil meraba punggung Alina dengan lembut. Alina langsung bergidik. “Oh, Alina,” Clarissa tiba-tiba ngomong juga. Nada suaranya manis banget, tapi terasa berlebihan. “Menurut saya, Alina sudah mengalami hari yang berat. Pasti luar biasa bisa saling bantu di tengah situasi sulit seperti ini.” Tatapannya penuh simpati, tapi ada kesan sinis di balik senyumnya. Clarissa juga mengedipkan matanya, kayaknya dia senang melihat orang-orang kasihan sama Alina. Alina langsung menarik napas panjang, berusaha sabar. Sementara Clarissa terus nempel manja pada Arion. “Kenapa kita gak jalan-jalan aja?” tanya Clarissa. “Mungkin kita bisa bantuin dia cari seragam sama buku-buku. Biar dia siap-siap buat hari pertamanya di sekolah, kan?” lanjut Clarissa lagi. Alina sempet melirik Direktur Eric, berharap dia mengerti dan kasih izin. Kebetulan juga, Alina pengin segera keluar dari kerumunan itu. “Kedengarannya ide yang bagus, sayang,” jawab Suzenne sambil memperhatikan Arion dan Clarissa. “Kalian bantuin dia, sementara aku dan ayah mu tunggu di sana.” Alina merasa lega banget, 'Yah, setidaknya sekarang gue bisa nafas dengan tenang,' pikirnya. Saat Arion menarik tangannya, Alina mulai tenang. Tapi tiba-tiba Clarissa menyalipnya dengan cepat, menyambar tangan Arion dan melewati Alina. Alina mengangkat alis, nggak terkejut dengan kelakuan Clarissa. Tapi cuaca yang makin panas mulai mengganggu. Dia mulai berkeringat dan kepalanya pusing. “Hei, cewek baru. Lo gak apa-apa?” tanya Arion. “Huh.. Dia baik-baik aja, Arion!” Clarissa langsung menarik lengan Arion lagi dan bilang, “Dia bukan satu-satunya cewek di sini kok.” “Gue cuma ngelakuin apa yang ayah kita suruh,” jawab Arion sambil menepis tangan Clarissa.Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Maksud lo apa? Apa yang dilakukan ayah lo?" Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Duh, Alina, jangan terlalu dipikirin deh," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan tolong... jangan ganggu Arion gue lagi." Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Gue benci banget denger lo nyebut gitu, Clarissa. Telinga gue rasanya pengen pecah! Semua ini cuma akting demi nyenengin ayah kita!" Clarissa cuma mendengus. "Lo pergi dulu deh ke kantor. Gue pengen ngomong berdua sama cewek ini." Alina penasaran dan sedikit khawatir, "Apa ya yang bakal dia bilang? Kenapa dia bisa begitu marah sama gue?" Clarissa menghentakkan kakinya ke tanah, tapi entah kenapa, dia tetap bisa menjaga penampilannya. Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Gue nggak tau lo mau ngapain," katanya dingin, "Tapi jangan harap lo bisa main-main sama ayah gue. Gue nggak akan biarin cewek pemeras kayak l
"Nama gue Darren. Dan lo... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Iya, makasih banget, Darren.” Beberapa saat kemudian, mereka udah keluar dari sana sambil bawa kantung buku. Keduanya nggak ngobrol sambil jalan, tapi Darren sesekali ngecek daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Bel berbunyi. "Eh, ternyata kelas lo di sini," kata Darren sambil tiba-tiba menarik lengan Alina dan mereka udah sampai di ruang kelas. Clarissa, Arion, dan beberapa cowok lainnya berdiri di depan. Dua cowok lainnya kelihatan kekar dan berotot. Ketiganya bisa jadi maskot dari brosur sekolah. Tapi ketika Alina lihat Arion lagi fokus ngeliatin dia, jantungnya langsung berdebar kencang. “Setidaknya dua murid pindahan udah kenalan,” kata Arion, rahangnya yang kaku bikin wajahnya yang tegas jadi keliatan makin garang. Dari tiga cowok di sekitarnya, dia yang paling ganteng sejauh ini. “Iya, kami ketemu dan sama-sama butuh buku buat kelas hari ini,” jawab Darren dengan senyum malas
"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya. “Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya m
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion terkejut, sementara Alina juga terperangah, nggak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Arion ngotot, "Kakek, aku nggak mau! Kita bisa lawan ini! Jangan pikirin soal nikah, ya. Kita bakal lewatin semua ini bareng-bareng." Pak Hadi langsung bangkit dari tidurnya. "Kenapa nggak??!!" "Kamu dan Alina punya ikatan yang kuat... Kakek lihat cara kalian saling peduli. Aku cuma ingin lihat cucuku nikah sebelum aku pergi. Itu harapanku." Arion dan Alina saling pandang dengan mata terbelalak. "Apa?! Kakek, itu nggak—" Arion terhenti, bingung banget sama apa yang baru dibilang kakeknya. "Cukup!" Pak Hadi membentak. "Kalau kamu cinta sama Alina, tunjukin! Nikah sama dia! Lakuin buat kakek. Kakek ingin pergi dengan tenang, aku harus tahu kalau cucuku bakal bahagia..." Pak Hadi ngomong begitu dengan mata penuh semangat. Alina merasa... "Pak Hadi," kata Alina pelan, "Saya... saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Semua ini terlalu cep
"Nggak, gue nggak bisa kayak gitu dengan mata gue yang sakit. Lu emang bego banget... nggak bisa mikir panjang." Alina mendelik tajam. "Ya, maaf deh gue nggak sepinter lo! Tapi kalau lo emang nggak bisa mikir jernih, jangan nyalahin gue juga dong! Mata lo sakit, tapi mulut lo lancar banget ya buat ngata-ngatain orang!" Arion menghela napas panjang, suaranya mulai melembut, "Oke, gue salah ngomong. Gue nggak mau ribut. Tapi mata gue beneran nggak bisa lihat jelas sekarang." Dia lalu melirik setir sambil mengusap matanya yang masih perih. "Pokoknya sekarang lo harus tanggung jawab. Gue nggak mau mobil ini malah nyemplung ke got gara-gara kita ribut terus." Nada bicaranya terdengar serius, tapi wajahnya sedikit memerah saat mengatakan itu. "Jangan mikir macem-macem. Gue cuma mau kita selamat sampai rumah." "Hmm yaudah, gue lakuin ini cuma biar lo sampai rumah dengan selamat aja ya, habis mata lo sembuh gue pulang?" Arion menyeringai tipis, menatap Alina dengan tatapan isen
"Ah ya… gue bakal ngompres mata lo, terus nyiapin air hangatnya," gumam Alina pelan, mencoba menahan detak jantung yang makin kencang. Alina keluar dari dapur dengan napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial, pelan-pelan.." Arion mengerang. Alina menggeleng pelan sambil mulai mengusap mata Arion. "Yah, mata lo tertutup. Lo harus buka kalau mau gue bersihin." "Lo ngomong gampang. Coba deh rasain sendiri sakitnya," balas Arion dengan suara tertahan. Dia akhirnya membuka matanya perlahan. Rahangnya mengeras. "Sial. Sakit banget." Alina mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. "Harusnya ini cepat membaik... atau ya, semoga aja." Tatapan Arion tiba-tiba jatuh ke mulut Alina. Dia menjilat bibir bawahnya perlahan. Kepalanya sedikit menunduk, sementara Alina mendekat tanpa sadar. Tangan Alina sempat menyentuh dada Arion. Hangat. Otot dadanya terasa jelas di bawah telapak tangannya. Tapi begitu pandangannya jatuh ke leher Arion yang sedikit basah, dia langsung ter
Arion duduk di samping Alina, matanya membulat, keningnya berkerut dalam. Dia kelihatan beneran kaget. Tanpa bilang apa-apa, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Tangannya yang kuat m membungkus tubuh Alina, sementara satu tangannya lagi lembut mengusap punggung Alina. "Alina... maafin gue. Gue bener-bener nggak tahu," suaranya bergetar. Pelukan Arion memang hangat, tapi kata-katanya malah makin bikin hati Alina remuk. Rasanya seperti Arion nambahin luka di tempat yang sudah perih. "Direktur Eric... dia nggak pernah kasih beasiswa gitu aja ke orang asing, tanpa alasan. Dan lo datang tiba-tiba, semuanya terasa mencurigakan," lanjut dia pelan. "Clarissa yang pertama kali nyebarin fitnah itu." Alina terdiam. Begitu dengar nama itu, Alina langsung mengangkat kepala sambil mengigit bibirnya sendiri, berusaha menahan air mata yang sudah mengalir. “Clarissa?” gumamnya penuh emosi. “Oh, nggak heran sih. Selalu aja dia...” Alina menyesal banget nangis gara-gara hal konyol kay
"Gue ngerti, kita nikah ini cuma formalitas buat kakek gue. Tapi gue gak akan tinggal diam kalau lo dalam masalah." Alina mengerutkan kening. "Gue gak minta lo jagain gue. Gue bisa urus diri gue sendiri." "Gue tahu lo bisa," Arion menjawab cepat, nadanya tegas. "Tapi gue gak akan diem aja kalau lo kesusahan. Itu bukan soal minta atau gak minta. Itu tanggung jawab gue." Arion memandang Alina dengan intensitas yang membuatnya sulit berpaling. Mata gelap cowok itu memancarkan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata—sesuatu yang mendesak, hampir mendominasi. "Lo bisa bilang apa pun sekarang, Lin. Tapi gue gak akan biarin lo jalan sendirian, apalagi setelah kita nikah. Kita ini tim. Suka atau gak suka, lo harus terima itu." "Lo selalu ngomong kayak gitu. Tapi kenyataannya, lo cuma mau ngontrol gue. Gue gak butuh penjaga. Gue gak butuh siapapun buat nyelamatin gue." "Terserah lo mau mikir apa," balas Arion, nadanya dingin namun tegas. "Tapi gue gak akan biarin lo hil
Dua setengah minggu berlalu, Alina masih tinggal di rumah Arion. Di rumah, tim perbaikan udah nutup kebocoran, nguras kamar, dan pasang kipas angin juga dehumidifier supaya nggak ada kerusakan lebih parah. Tapi renovasinya makan waktu lama. Pemilik rumah bilang beberapa perlengkapan susah dicari, jadi Alina harus nunggu beberapa minggu lagi sampai kamarnya siap. Arion dan Alina masih nggak banyak ngobrol di sekolah kecuali saat pelajaran kimia atau waktu pertandingan. Semuanya makin awkward tiap harinya, tapi mereka tetap berpura-pura. Karena Clarissa sengaja ninggalin mereka berdua. “Baby, kita berangkat ya!” suara Arion dari bawah tangga bikin Alina tersadar. Hari ini ada pertandingan besar lawan Cendana High School. Alina turun ke bawah dan lihat mereka udah nunggu. “Semangat ya, kalian pasti bisa menang!” Arion senyum sambil menyandar ke dinding. “Nah, gitu dong, baru semangat. Kita nggak butuh yang namanya hoki.” Arion langsung narik Alina ke dadanya dan menci
Keesokan harinya, mereka pulang sekolah lebih awal karena sekolah sedang persiapan acara pensi. Sembari Alina latihan menyetir mobil dia duduk di pangkuan Arion, tangannya gemetar saat pegang setir. Bayangan kecelakaan yang menyebabkan ibunya meninggal terus keulang di kepalanya. Alina nggak bisa lupa kalau itu semua karena dia. Mobil mulai jalan pelan-pelan, tapi Alina malah makin panik saat ban depan menyerempet sesuatu. "Arion! Kita nabrak sesuatu!" Alina langsung refleks ngerem mendadak. Arion tiba-tiba membalikkan tubuh Alina, matanya menatap Alina serius tapi lembut. "Lo cuma nabrak tanah sama air, babe. Tenang aja. Itu nggak bakal nyakitin siapa-siapa, termasuk lo." Mata Arion bertemu mata Alina, dan Alina jadi lupa sama paniknya. Dia cuman bisa bengong, sementara Arion nahan senyum sambil berbisik, "Santai aja, gue nggak akan biarin lo kenapa-kenapa." Lama kelamaan, Alina mulai ngerasa lebih santai. 'Arion bener juga, nggak ada yang perlu ditakutin..' Di
Arion. "Hai," kata Alina dengan nada datar tapi penuh makna. "Gue nggak dengar suara pintu garasi tadi." Alina mencoba tetap tenang meski napasnya sempat tercekat. "Oh, ya? Udah pasti nggak." Arion melirik Valerian, yang masih fokus nge-shoot musuh dalam game tanpa sadar ada drama di belakangnya. "Gue kirim pesan buat lo, tapi nggak ada balesan. Gue sampai khawatir." Alina buru-buru nyari ponsel di meja kopi. Ada dua pesan dari Arion. Dia lihat jam. Baru jam setengah delapan. Dia cuma pergi satu setengah jam, termasuk waktu bolak-balik ke sekolah dan pulang. Arion memandang Alina dengan tatapan tajam, tapi ada sesuatu di matanya yang bikin Alina gugup. Arion menghela napas pelan, lalu mendekat, bikin jarak antara mereka makin kecil. Alina menelan ludah. “Lo kelihatan terlalu santai,” suara Arion rendah, hampir seperti bisikan. “Apa maksud lo?” Arion nggak jawab, cuma mengulurkan tangan dan menyentuh wajah Alina. Sentuhan jarinya lembut, menyusuri pipinya ke dagu.
Tangan Arion mulai merayap ke pinggang Alina, ngerasain setiap lekuk tubuh Alina di balik seragam. Hasrat Alina muncul kayak badai yang nggak bisa ditahan. Dia nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Alina menginginkan Arion—sepenuhnya, sebelum pikiran soal Clarissa muncul lagi dan merusak semuanya. Bibir Alina mencari bibir Arion, lidahnya masuk ke mulutnya. Alina dorong Arion ke sofa sampai dia jatuh terduduk, lalu Alina naik ke pangkuannya. Arion mengerang pelan, puas, lalu bibirnya turun ke leher Alina, bikin Alina kehilangan kendali. Sentuhannya, ciumannya, semuanya bikin pikiran Alina kabur. Mereka melepas seragam satu per satu. Sentuhan itu bikin napas Alina tercekat, dan dia nggak bisa mikir apa-apa lagi kecuali Arion. Dengan emosi yang memuncak dan adrenalin yang nggak terbendung, Alina takut bakal kebablasan ngomong terlalu banyak. Tapi semua itu sirna saat Arion pasang kondomnya dan Alina mulai bergerak cepat dan intens, hanyut dalam hasrat yang terlalu kuat buat dit
Semua orang ketawa. Tapi di balik tawa itu, Alina nggak bisa lepas dari pikiran bahwa ini cuma awal dari drama yang lebih besar. Clarissa nggak akan tinggal diam. Dan kalau Lara beneran masuk tim cheer, dia pasti bakal jadi target utama Clarissa. Tapi di sisi lain, Alina salut sama keberanian Lara. Anak baru ini jelas beda. Dia punya nyali, bahkan di depan cewek seberbahaya Clarissa. Ponsel Alina bergetar, dan sebuah pesan muncul. Arion: Gue udah di tempat biasa. Ayo pulang. Alina senyum-senyum sambil mengetik balasan. Alina: Gue udah di jalan. Valerian yang lagi cerita langsung berhenti pas Alina jentikin jari ke arahnya. Dia ngangkat alis sambil manyun. "Geser dulu, gue mau keluar," kata Alina sambil mendorongnya pelan. "Gue lagi di seru-seru cerita, lo nggak sopan banget sih." Alina cuman ngangkat bahu. Dia udah nggak ngikutin obrolan mereka dari tadi, sejak Clarissa muncul. Mereka bertiga – Valerian, Darren, dan Luther – lagi asyik banget ngomongin pertandi
“Sekarang, dia udah nggak mau sama lo, jadi lo makin tertantang pengen balikan sama dia.” Clarissa bengong, sementara semua orang di meja itu hanya terdiam. Alina pengen ketawa sinis tapi dia tahan biar nggak memperkeruh suasana. Ketika pertama kali ketemu Valerian, Alina pikir dia cuma cowok tukang ngomong jorok… dan memang benar. Tapi, Alina harus akui, Valerian juga jeli dan pintar. Dan dia berhasil menyembunyikan itu. “Lo mungkin jago akting, Clarissa. Dari ekspresi muka lo sampai pose lo emang udah niat banget. Tapi tahu nggak? Kurangnya kehangatan di mata lo ngasih tahu cerita yang sebenarnya. Jadi, jangan coba-coba berakting lagi di depan gue.” Clarissa langsung berdiri lebih tegap, kelihatan santai meski kelihatan nggak nyaman. Valerian malah santai nyeruput minumannya. Setelah dia selesai, dia naruh botolnya di meja dan ngomong lagi. “Pada akhirnya, Arion itu anak buah gue. Kita punya kode. Kawan lebih penting daripada cewek." Dia nyengir ke Alina, Luther, kemudi
“Tempatnya nggak biasa, sih. Kita bakal di tempat yang cukup eksklusif. Gue udah ngatur semuanya.” Luther melanjutkan, “Jadi, pesta ini diadakan di bekas tempat penambangan berlian milik bokap gue. Sekarang tempat itu udah jadi tempat yang private, buat acara-acara kaya gini. Udah modern, ada bar, dan lounge besar. Tempatnya keren banget.” Darren mengangguk pelan, “Sounds cool sih. Gue ikut aja. Tapi lo janji ya, Luther, nggak ada drama.” Luther cuma ngangguk dengan percaya diri. “Gue janji, kali ini lo bakal ngerasain pesta yang beda dari yang lain.” Tiba-tiba nampan mendarat di meja sebelah Alina, dan Valerian masuk ke bilik sambil nyengir. “Wah... Ada yang bentar lagi ultah, nih?” “Obsidian Chamber emang gede banget.." Valerian duduk dan menyelipkan tangannya di belakang kepala. "Lo pada wajib ikut sih, karena bakal ngerasain vibe mewahnya. Cuma, jangan sampai salah jalan, bisa-bisa lo kebablasan ke ruang penyimpanan berlian, hahaha.” “Bener banget. Kalian semua bakal j
Ines melambat, tapi nggak cukup buat Alina nyusul dengan santai. Kaki Alina udah letoy kayak mie yang kelamaan direndam air panas—lemes banget, hampir nggak ada tenaga buat ngejar. Ini akibat latihan bareng Valerian tadi. Dengan napas setengah ngos-ngosan, akhirnya dia bisa sejajar dengan Ines. Wajah Ines keliatan makin cemberut. Dia terus jalan sambil pandangannya lurus ke depan, sengaja banget ngindarin tatapan Alina. “Nes, lo kenapa sih?” Alina berusaha ngejaga nada suaranya tetap santai, walaupun dalam hati bingung banget. Tapi Ines tetap diam, kayak Alina nggak ada di situ. “Aku nggak tahu apa yang gue lakuin ke lo, tapi gue yakin gue—” Alina mencoba menjelaskan, tapi kalimatnya terpotong. “Enggak,” potong Ines dengan nada tegas. “Kita baik-baik aja.” Baik-baik aja. Kata itu terdengar aneh di telinga Alina, tapi dia hanya bisa mengangkat bahu. Ines tiba-tiba berlari menyeberangi jalur hijau dan mulai mengambil bahan simulasi luka untuk latihan PMR mereka. '
Alina buru-buru keluar dari mobil, hujan langsung menyiraminya pas dia lari ke ruang angkat beban. Ternyata hujan turun lebih deras tahun ini, berarti kamar loteng lamanya bakal lama banget diperbaiki. Sebagian diri Alina ngerasa lega karena bisa lebih sering bareng Arion, tapi sebagian lagi ngerasa ini terlalu bagus buat bertahan lama, dan Alina butuh ruang sendiri buat hal-hal yang bakal terjadi. 'Tapi untuk saat ini, gue nggak punya pilihan.' Di ruang angkat beban, Alina lempar tas ranselnya di sudut seperti biasa. Terus dia jalan ke bagian beban bebas, nyari-nyari latihan apa yang pengen dia coba hari ini. Dia cek catatan di handphone dan mulai nyusun gerakan dasar. Alina udah cukup puas pas selesai ngerjain satu gerakan. Tapi pas dia mau lanjut ke gerakan selanjutnya—deadlift—dia jadi takut buat ngerjainnya, takut nggak bisa ngebenerin tekniknya dan malah cedera. Alina nggak boleh sampe cedera, karena kalau itu terjadi, dia nggak bisa kerja di kafe. Beberapa saat setelah itu