Mulutnya terbuka lebar. Jalanan itu penuh dengan mobil media, dan para wartawan. Mikrofon dan perekam kamera berjejer siap sedia. Sepertinya berita lokal dan nasional ada di sini.
Alina mendadak gugup. Dia kembali menatap sobekan di celananya yang lebih besar dari perkiraannya, dan dengan cepat meraih jaket dari tangan Arion, membungkus pahanya agar lebih tertutup. “Terima kasih… aku tidak akan pernah hidup tenang kalau kamu tidak ada disini.” Direktur Eric sudah berdiri di teras kantor sekolah, dan Alina melihat dia bersanding dengan istri dan putrinya. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan ke kamera. Saat Arion menggandeng tangan Alina dan mulai menaiki tangga, direktur Eric menyambut dengan ramah. Salah satu wartawan menoleh ke arah mereka berdua, kemudian mengikuti langkah mereka hingga ke tangga untuk bergabung dengan direktur dan keluarganya. "Apakah Anda adalah Alina Sari Mentari? Gadis penuh keberuntungan yang masuk ke Horizon International Academy secara eksklusif?" "Ya, benar." Sebelum melontarkan pertanyaan selanjutnya Alina telah bergabung dengan Direktur Eric, yang menatap Arion dengan tatapan penuh arti, seolah dia menyadari sesuatu.. Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung. Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki. Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya. Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya. “Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.” “Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.” Arion tersenyum, tetapi Alina berharap bisa mengalihkan perhatian semua orang secepat mungkin sebelum Direktur Eric, mengajukan banyak pertanyaan padanya. "Istriku tercinta, Suzenne dan aku," kata Direktur Eric sambil merangkul istrinya, "Bersama rekanku yang terhormat, Remi Mahendra Kwon yang tidak bisa hadir hari ini, telah memilih siswi yang sangat berprestasi ini sebagai penerima beasiswa pribadi kami ke HIA. Kami menanggung biaya sekolahnya dan mendukung masa depannya yang menjanjikan. Ketika tragedi pribadinya menjadi perhatian kami, dan kami mengetahui bahwa dia tidak hanya kehilangan kedua orang tuanya tetapi juga bercita-cita untuk menjadi dokter, kami merasa terpanggil untuk membantu." Suzenne berseri-seri menatap suaminya. Lipstik fuschia membuat giginya yang putih dan tampak rapi sangat kontras. "Itu hal yang sangat bagus, sayang." Ia terlihat cantik dan anggun, sama seperti putrinya. Clarissa, yang berdiri di sisi Arion. Begitu melihatnya, Alina langsung menyesal telah mengalihkan pandangannya. Clarissa memulai karir modeling-nya dengan sukses dan kini menjadi salah satu wajah yang paling dicari. Dia lebih memukau secara pribadi daripada di media sosialnya. Alina merasa sangat lusuh jika dibandingkan dengan Clarissa, yang tampak seperti dewi. Clarissa mengenakan gaun mini berwarna merah muda yang anggun, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang selaras dengan warna gaunnya. “Nona?” seru seorang reporter paruh baya yang tinggi. Alina tersadar saat ada reporter yang bertanya. "Nona Alina." Tambah Direktur Eric. "Terima kasih." Reporter itu mengangguk. “Eh, Nona Alina? Bagaimana rasanya mendapatkan kesempatan luar biasa yang didambakan oleh siswa-siswi di seluruh Indonesia?” Pertanyaan itu membuat Alina merasa seolah-olah ditinju di perut. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri di tengah perhatian semua orang. Dengan suara serak, dia menjawab, “Sungguh, ini seperti mimpi... Sejujurnya, saya tidak pernah menyangka bisa melanjutkan pendidikan setelah orang tua saya meninggal.” Suaranya bergetar. Meskipun dia berusaha tampil kuat, rasa sakit itu tak terhindarkan. Reporter itu mengangguk dan berkata, “Maaf, Nona Alina. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Anda." “Tidak apa-apa,” jawabnya lembut. “Saya tahu Anda hanya melakukan pekerjaan Anda.” Direktur Eric menepuk lengannya dengan lembut dan berkata, “Alina telah mengalami banyak hal sulit. Namun, saya yakin dia tidak ingin hal itu terjadi. Jika orang tuanya masih hidup, mereka pasti akan sangat bangga padanya. Saya mengerti betapa sakitnya kehilangan itu. Proses penyembuhan seperti ini memang membutuhkan waktu.” Air mata menetes di wajah Alina, dan dia segera menyekanya dengan cepat. “Tapi.. Saya berterima kasih kepada Direktur Eric atas kemurahan hatinya, serta dukungan Pak Remi.” ucapnya pelan. Suasana di sekitar mereka menjadi hening, dengan perhatian penuh terfokus pada Alina. "Itu sangat memilukan." Seorang reporter menaruh tangannya di dadanya. "Dan Arion, bagaimana perasaanmu tentang keputusan ayahmu dan keluarga Wijaya?" "Menurutku itu luar biasa." Arion tersenyum, seketika hati Alina bergetar kewalahan. “Sayangnya, Ayah tidak bisa hadir, itulah sebabnya saya berada di sini sebagai penggantinya. Saya harap dia menonton sehingga dia bisa mendengar betapa bangganya saya karena dia membantu Direktur Eric mewujudkan hal ini." Kebaikan dalam kata-katanya dan kata-kata reporter, serta sentuhan dukungan sang direktur, membuat dada Alina terisak-isak. "Dan saya ingin Alina tahu bahwa dia tidak sendirian,” lanjut Arion sambil menyentuh belakang punggung Alina dengan hangat. “Oh, Alina,” Di tengah momen tersebut Clarissa mulai ikut berbicara. Nadanya manis tapi berlebihan. “Menurutku dia sudah melalui hari yang berat. Sungguh luar biasa bisa mendukung satu sama lain di tengah situasi sulit seperti ini.” Tatapannya terlihat penuh simpati, tetapi ada nuansa sinis di balik senyumnya. Matanya mengedip cepat, seolah-olah dia menikmati momen itu. Alina menarik napas panjang. Sementara Clarissa menyenderkan kepalanya ke lengan Arion dengan manja. “Kenapa kita tidak berkeliling saja?” tanyanya. “Mengantarkannya untuk mencari seragam dan buku-buku. Kita harus memastikan dia siap untuk memulai hari pertamanya di sekolah ini, bukan?” Alina melirik Direktur Eric, berharap ia mengizinkannya. Kebetulan dia juga ingin segera keluar dari kerumunan ini. "Kedengarannya ide yang bagus, sayang." Suzenne menoleh melanjutkan, "Kamu membantunya, dan aku serta ayahmu akan menunggu disana." Alina tersenyum hatinya bersorak gembira. “Yah, setidaknya, aku bisa bernapas sedikit lebih lega sekarang,” pikirnya. Ia merasa lega ketika Arion menarik lengannya. Tapi Clarissa lebih cepat, menyambar lengan Arion, dan menyalipnya dengan lincah. Alina mengangkat alisnya, tidak terkejut dengan tindakan Clarissa. Tetapi cuaca terik sangat mengganggunya, ia berkeringat, dan kepalanya mulai berputar. "Hei, gadis baru. Kau tidak apa-apa? Kau seperti ingin pingsan." "Huh.. Dia baik-baik saja, Arion!" Clarissa kembali menarik lengan Arion dan mendesis. "Dia bukan satu-satunya gadis kecil disini." "Aku hanya harus melakukan apa yang ayah suruh."Alina tersentak, merasa bingung dan sedikit terluka. "Apa maksudmu? Apa yang ayahmu lakukan?" Arion menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangannya. "Ya ampun, Alina, jangan terlalu memikirkannya," Clarissa memutar bola matanya dengan angkuh. "Dan, tolong... jangan ganggu Arion-ku lagi." Arion mendesah, memandang Clarissa frustrasi. "Aku benci panggilan itu, Clarissa. Setiap kali kau menyebutnya, telingaku rasanya sakit! Semua ini hanya akting demi menyenangkan ayah kita!" Clarissa hanya mendengus. "Kau pergilah dulu ke kantor. Aku perlu berbicara empat mata dengan gadis ini." Alina penasaran dan sedikit khawatir, apa yang akan dikatakan Clarissa? Apa yang membuat gadis ini begitu geram padanya? Clarissa menghentak-hentakkan kakinya ke tanah, tapi entah bagaimana, dia tetap bisa menjaga penampilannya. Kuku panjang berwarna pink tua miliknya menusuk-nusuk dada Alina. "Aku tidak tahu apa tujuan akhirmu," katanya dingin, "Tapi jangan pikir kau bisa bermain-main dengan ayahku.
"Namaku Darren. Dan kamu... Alina, kan?” Alina mengangguk, merasa sedikit lebih nyaman. “Ya. Terima kasih sekali lagi, Darren.” Sesaat kemudian, mereka sudah keluar dari sana dan menenteng kantung buku. Keduanya tidak berbicara sambil melanjutkan perjalanan. Darren sesekali memeriksa daftar yang ada di pintu-pintu kelas. Tak lama bel berbunyi. "Hei, ternyata kelasmu disini." lengan Alina ditarik tiba-tiba oleh Darren dan mereka sudah berada di ruang kelas. Clarissa, Arion dan beberapa pria lain berdiri di depannya. Dua lelaki lainnya memiliki rahang dan otot yang kuat. Ketiganya bisa saja merupakan maskot dari brosur sekolah. Tapi saat Arion memusatkan perhatian pada Alina, jantungnya berdetak kencang. "Setidaknya dua murid pindahan sudah berkenalan," kata Arion, rahangnya yang tegang membuat wajahnya yang terpahat semakin kasar. Dari tiga pria di sekitarnya, dialah yang paling tampan sejauh ini. "Ya, kami bertemu dan mengetahui bahwa kami berdua membutuhkan buku untuk
"Terima kasih, Nak. Mata ini sudah tak sejelas dulu... rasanya sulit mengurus semuanya sendirian.” Ia berhenti sejenak, tangannya gemetar saat mencoba menyeimbangkan dokumen di pangkuannya. “Sepertinya tangan tua ini sudah tidak sanggup lagi.” Alina menatapnya dengan lembut. Alina biasa memanggilnya Pak Hadi. Ia duduk di sebelahnya sambil mengambil dokumen dari tangannya. “Biar saya yang pegang, Pak Hadi. Anda tidak perlu khawatir, saya akan bantu.” Pak Hadi menatap Alina dengan penuh terima kasih. “Kamu selalu baik, Nak. Padahal kita nggak ada hubungan apa-apa... namun kamu seperti cucu sendiri.” Alina tersenyum kecil, menatap kakek itu dengan mata penuh kasih. “Pak Hadi, Anda nggak perlu mengatakan itu. Saya senang bisa membantu.” “Bagaimana kabar Anda hari ini?” “Sejujurnya, tidak terlalu baik,” kata Pak Hadi dengan suara pelan. “Setiap kali saya menjalani perawatan, rasanya semakin berat. Kadang, saya merasa sendirian di sini.” Alina menatapnya dengan empati. “Saya m
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang menikah, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk
"Tidak dengan kondisi mataku yang seperti ini. Kau gadis bodoh.. tidak bisa berpikir panjang." Kulit Alina menjadi sangat sensitif saat mereka berdua bersentuhan, tapi Alina menyuruh hatinya untuk tenang. Perasaan seperti ini harus dihentikan. Karena itu hanya akan menjadi masalah yang rumit. “Kamu tidak tinggal di asrama?” “Tidak.” Arion mengerutkan kening. “Tahun pertama sudah cukup buruk.” Alina baru ingat jika Arion adalah kapten yang hobi memerintah, jadi Alina tidak perlu heran. Tubuhnya tenggelam ke tubuh hangat Arion. Perutnya berputar aneh lagi. Alina segera menepis perasaan itu sambil mengamati interior kendaraan. Dengan segala fasilitasnya, mobil ini tidak bisa dibilang murah. Alina langsung terpikir, bagaimana jika ia menabrakkannya? Ia sudah terlilit hutang. Tidak perlu menambahkan mobil ini ke daftarnya yang terus bertambah. Alina mengarahkan jari ke layar GPS, di bawah nama HIA ada tulisan 'Rumah'. Segera Alina mengkliknya. Mereka berdua bekerja sama. A
"Ah ya… aku akan mengompres matamu dan menyiapkan air hangatnya," gumamnya, menahan detakan jantung yang semakin cepat. Alina datang dari dapur membawa napkin dan mangkuk berisi air hangat. "Sial. Pelan-pelan.." Alina menggelengkan kepala sambil mengusap mata Arion, mencoba fokus pada apa yang Arion butuhkan. “Yah, matamu tertutup. Kau harus membukanya.” “Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan ketika kau bukan orang yang berada dalam situasi itu,” gumamnya. Rahang Arion terkatup saat dia membuka matanya. “Sial. Sakit sekali.” Alina lalu mengambil beberapa tisu dari tas kecilnya. “Seharusnya segera membaik. Atau, setidaknya, kuharap begitu." Tatapan Arion tertuju pada mulut Alina, dan dia menjilati bibir bawahnya perlahan. Kepalanya menunduk, dan kaki Alina bergerak mendekat padanya. Alina meletakkan tangan di dada Arion, merasakan lekuk otot dan kehangatan dadanya yang telanjang. Namun, ketika ia melihat leher Arion yang basah, Alina terdiam. Ia tersadar dengan
Arion duduk di sampingnya, matanya membulat dan keningnya berkerut dalam kebingungan. Dia benar-benar terkejut. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia langsung menarik Alina ke dalam pelukannya. Lengan kuatnya membungkus tubuh Alina, sementara tangannya yang lain lembut mengusap punggungnya. "Alina... maafkan aku. Aku sungguh... aku benar-benar tidak tahu," ucapnya, suaranya bergetar. Pelukan Arion terasa hangat, namun kata-katanya hanya menambah luka di hati Alina, menghancurkan pertahanannya lebih dalam. "Direktur Eric... dia tidak pernah memberikan beasiswa kepada orang asing begitu saja, tanpa alasan... Dan kau datang, semuanya terasa tiba-tiba dan mencurigakan," lanjut Arion dengan nada pelan. "Clarissa-lah yang pertama kali menyebarkan fitnah itu." Alina terdiam. Saat mendengar nama itu, dia mendongak, menggertakkan gigi sambil mengusap air matanya. “Clarissa?” gumamnya penuh kemarahan. “Tidak heran. Selalu dia…” Dia merasa menyesal telah menangis karena hal yang
Arion terdiam sejenak, lalu menatapnya lebih serius, meskipun senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Yah, kalau itu yang kamu inginkan, kita anggap saja begitu,” jawab Arion, sedikit bercanda tapi matanya masih menunjukkan kedewasaan. Alina mendengus sambil meninju pelan bahunya, merasa kesal sekaligus geli. “Aku serius, Arion…” "Baiklah, baiklah. Tapi, kalau suatu hari nanti aku melihat kamu benar-benar butuh aku, jangan harap aku akan diam saja." Arion menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Alina menghela napas panjang, bersiap untuk menjawab, tetapi Arion tiba-tiba mendekatkan wajahnya, membuat jarak di antara mereka semakin tipis... PLAKKKK.. Tanpa ragu, Alina mengangkat tangan dan menampar pipi Arion. Tamparannya cukup keras hingga Arion meringis kesakitan. “Duh, apa-apaan sih?” Arion menatap Alina dengan pandangan mencemooh. “Besok juga kita bakal menikah. Masa nggak bisa kasih semacam ‘deposit’ dulu, gitu?” ujarnya sambil tersenyum nakal, seolah
Para pemain tim sepak bola sudah bubar dan disana hanya tersisa Alina dengan Arion."Kamu ini pura-pura gak mengerti apa gimana, sih?" katanya sambil memperhatikan dada Alina yang terlihat belahannya. Suaranya Arion rendah tapi jelas menggoda. "Kamu berlarian di treadmill dan berolahraga dengan pakaian kekecilan seperti itu. Kalau aku gak awasi kamu dari tadi, semua cowok di sini sudah pasti pada ngelihatin, atau bahkan lebih..." Wajah Alina memerah, antara marah dan malu. "Arion! Gak ada yang peduli sama aku, oke?! Sekarang pergi!" Namun, bukannya pergi, Arion malah melangkah masuk ke ruang ganti. Dia bersandar di pintu dengan tangan menyilang di dada. "Dengar, sekarang ganti bajumu dengan benar. Aku akan bawa kamu ke suatu tempat."Alina menyipitkan matanya, curiga. "Kemana? Aku gak mau ikut, apalagi kalau ini ide gila kamu lagi.”Arion menyeringai, jelas menikmati kecurigaan Alina. "Tenang aja, kali ini aku serius. Kakek baru selesai operasi, dan dia mau ketemu sama kamu." Mend
Arion berhenti di depannya, aroma cendana dan amber yang khas menyebar ke penciuman Alina. Ia hanya berdiri beberapa meter darinya. Tubuh ramping dan berotot Arion terlihat sempurna tanpa balutan baju. Bahunya lebar, dan otot perutnya yang berbaris rapi seperti memanggil mata untuk terus menatap. Alina menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengalihkan pandangan. "Apa yang kamu lakukan di sini?" suara Arion yang berat dan seksi terdengar seperti musik. Alina tertegun, lupa bahwa pertanyaan itu ditujukan padanya. Ia terpaku, seperti kehilangan kata-kata, sampai akhirnya Arion menyeringai, menampilkan ekspresi yang lebih menyebalkan dari biasanya. "Mau aku kasih waktu buat motret? Biar lebih lama kamu bisa nikmatinnya," Wajah Alina memerah. Ia cepat-cepat mendongak dengan raut menantang, meskipun hatinya berdebar lebih keras dari sebelumnya. "Nggak perlu motret! Aku cuma nggak percaya saja ada orang keluyuran tanpa baju di sekolah," balasnya tajam, walau kata-katanya
"Darren.." Bagus, dia sudah masuk ke dalam... Kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak pertanyaan dari teman-temannya. Darren melangkah santai ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya. Sepatunya menginjak bungkus mi instan kosong di lantai. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana pendek olahraganya dan memandang sekitar. "Eh... baru saja aku sampai sini. Tadi pintunya kebuka sendiri gara-gara angin," katanya santai. Alina menyadari pintu memang tidak ditutup rapat tadi. "Oh, ya. Maaf, tadi Vera menumpahkan bir, dan aku lupa menutup pintu," jawabnya, mencoba mengalihkan perhatian. Vera dan Loly saling melirik dan terkikik. Alina berharap mereka tetap diam, tapi melihat ekspresi mereka, itu mustahil. Darren berdeham dan berkata, "Jadi... kalian ini semua baik-baik saja, atau aku harus cari tahu sendiri apa yang sebenarnya terjadi di sini?" Alina segera memotong sebelum Loly atau Vera menjawab. "Terima kasih sudah mengantar aku, Darren. Aku benar-benar menghar
"Aku bisa membayangkan rasanya kehilangan orang tua. Pasti berat banget. Aku bahkan nggak sanggup ngebayanginnya. Terus kamu harus datang ke sini... masuk ke sekolah elit ini, jadi sorotan kamera, terus Clarissa, yah, dia... aku tahu itu pasti bikin segalanya lebih sulit buatmu. Aku nggak seharusnya jadi cowok menyebalkan yang malah godain kamu di tengah semua ini." Alina tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Kamu nggak bikin aku kesal, kok." Ia berpura-pura melihat sekeliling. "Lagipula, aku nggak lihat siapa-siapa datang buat bikin aku tambah kesal." "Semoga aja nggak ada. Kalau iya, suasananya bakal makin aneh dari sekarang." Alina terkekeh. Sebagian beban di pundaknya terasa surut. "Tapi serius," Darren melanjutkan, menurunkan tangan ke sampingnya. "Aku cuma pengin kamu tahu, aku nggak bermaksud jahat. Aku sebenarnya senang ketemu kamu di sini. Menurut aku kamu itu menarik, lucu, dan..." Darren berhenti bicara mendadak, menyadari ucapannya mulai terdengar aneh.
"Aku... ingin bantu mendobrak pintu saat itu. Luther mengatakan kau terkunci di dalam bersama Clarissa dan grupnya," jelasnya, tampak sedikit menyesal. Alina terkejut, tangannya secara refleks menutupi wajahnya. Ia merasa sedikit malu atas seluruh kejadian itu. "Jadi, Valerian dan Luther tahu?" tanyanya, matanya sedikit melebar, mencoba memahami lebih jauh. "Oh, jadi kalian sudah berkenalan?" Darren menyeringai, seolah mencoba meringankan suasana. "Jangan khawatir, mereka cuma nggak terlalu suka ribut-ribut. Kecuali Valerian, yah... Kau tahu dia kan. Suka bergosip." "Tapi kamu beneran tidak apa-apa kan?" katanya dengan nada serius. Tangannya bergerak cepat, mencari tanda-tanda luka atau kejanggalan lain. Alina sedikit terkejut dengan perhatian Darren yang lebih dari sekadar teman. Ia merasa tidak nyaman tapi juga dihargai. "Darren, tidak ada apa-apa," ujarnya cepat, mencoba menenangkan, meskipun nada suaranya sedikit terburu-buru. "Aku baik-baik saja." Darren mengerutka
"Alina..."Alina terhenyak dari lamunannya ketika suara Direktur Eric memanggil namanya. Ia mendongak, mendapati pria itu berdiri tak jauh darinya, ditemani oleh Arion dan Clarissa. Suasana di ruangan itu mendadak terasa lebih berat. Direktur Eric baru saja menyelesaikan pembayaran uang sekolah Alina, termasuk beberapa perlengkapan lainnya. “Baiklah, mari kita selesaikan ini,” ujar Direktur dengan nada ramah, sambil memberikan senyum tipis. Dia merangkul bahu Alina dan mengarahkannya ke bagian administrasi. “Besok kau masih harus sekolah, jadi pulanglah dan istirahat.”Istirahat. Kata itu menggoda, namun kenyataannya akan jauh dari itu. Malam-malamnya di rumah bersama teman-temannya jarang tenang. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan senyum, ingin secepat mungkin keluar dari situasi ini. Dengan pernikahan rahasia yang tak diinginkannya bersama Arion, ditambah kebencian yang jelas dari Clarissa, Alina berharap tak perlu banyak berinteraksi dengan mereka di sekolah esok hari.Namun, s
Aneh sekali berjumpa dengan orang yang dikira 'tidur' dengannya, bersama putrinya yang juga duduk disampingnya.. Alina kemudian melirik Clarissa menahan kesal. 'Mungkin saja ia mengira aku adalah ibunya?' “Selamat siang, Pak,” ucap Alina sambil sedikit membungkuk sopan. Direktur Eric menoleh dan menyambut Alina dengan wajah berbinar-binar. “Alina... akhirnya kita bertemu lagi. Dan… siapa ini?” Darren segera mengulurkan tangannya dengan ramah. “Darren, Pak. Terima kasih atas beasiswa sepakbola yang diberikan kepada saya dan beberapa teman lainnya untuk masuk ke sekolah HIA ini.” Direktur Eric menjabat tangan Darren sambil tersenyum lebar. “Ah, bagus sekali. Tapi, Darren, bisa tunggu sebentar di sebelah sana? Media nasional HorizoNews akan mengadakan wawancara sebentar lagi bersama Clarissa, Arion, dan Alina.” Benar. Hari ini adalah jadwal untuk wawancara lanjutan. Bagaimana bisa Alina melupakannya? Darren tersenyum dan mengangguk sopan, berjalan menjauh, sementara Alin
Clarissa memulai, suaranya yang manis namun penuh dengan sindiran menyebar di ruang kelas yang sunyi. "Alina Sari Mentari," katanya dengan nada yang terlalu dramatis. Semua mata di ruangan itu tertuju padanya, dan Alina bisa merasakan mata mereka yang penuh rasa ingin tahu, menunggu cerita yang akan dibagikan. Dalam keadaan lain, Alina mungkin merasa terhina, tapi tidak sekarang. Dengan masa lalu yang penuh cobaan, dan statusnya yang sering dianggap rendah, dia sudah terbiasa dengan cemoohan. Namun, saat Clarissa mulai berbicara, sesuatu di dalam dirinya memuncak. "Alina, benar-benar gadis yang sangat... malang, bukan? Kalian tahu, dia sering tidur dengan banyak pria dewasa." Clarissa tertawa sinis, disusul dengan gelak tawa dari teman-temannya yang sedang mengelilinginya. "Oh, dan apakah kalian tahu siapa yang mengancam ayahku agar bisa sekolah di sini? Tentu saja, Alina." Clarissa menatapnya dengan ekspresi mengejek. "Siapa yang mau memelihara gadis jelek dan miskin sep
Alina, yang berusaha terlihat tidak peduli, hanya mendengarkan sambil menunduk ke buku catatannya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. 'Tentu saja dia tidak datang latihan. Dua hari lalu, dia menikahiku secara diam-diam.' Alina ingin menampar dirinya sendiri karena pikiran itu. Tidak ada yang bisa tahu, terutama orang tua Arion, apalagi dua anak laki-laki ini. Hanya kakek Arion dan kerabat dekatnya yang tahu. Juga Daniel... lebih tepatnya. Luther menatap Valerian dengan alis terangkat. "Menurutmu dia ke mana?" Valerian mengangkat bahu, "Mungkin dia punya pacar rahasia. Maksudku, itu menjelaskan kenapa dia nggak pernah cerita soal kehidupan pribadinya." Alina tersentak sedikit, tapi buru-buru menutupi reaksinya dengan membalik halaman buku catatannya. Luther memperhatikan gerak-geriknya, meskipun dia tidak mengatakan apa-apa. "Atau mungkin dia sakit. Tapi, yah, itu memang aneh. Apalagi buat Arion." Valerian menoleh ke Alina ia baru menyadari keberadaannya lagi. "