"Dua jam lagi..." gumam Alina sambil memandangi jam dinding.
"ASTAGA...! ALINA!" Dia hampir lupa. Dua jam lagi dia harus berada di sekolah. Alina langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi. Alina terburu-buru berdiri di depan cermin dan merias wajahnya dengan riasan tipis. Ia memilih liptint merah muda dan sedikit maskara, memberikan tampilan yang segar namun tetap natural. Setelah puas dengan penampilannya, Alina berbalik dan mengunci pintu depan di belakangnya. Alina membuka aplikasi peta di ponselnya untuk mengecek rute ke sekolah. Saat melihat jarak tempuh, keningnya berkerut. Dia harus berjalan sejauh satu kilometer, yang biasanya tidak menjadi masalah baginya. Namun, mengingat cuaca yang panas dan terik saat ini, dia sedikit cemas. "Dua puluh menit di bawah sinar terik seperti ini? Ini akan jadi tantangan baru," pikirnya sambil menghela napas dan bersiap untuk berangkat. Alina menyusuri jalan sambil menatap aplikasi maps, menyesuaikan gambar dengan realitas di depannya. Matanya menyipit saat melihat tembok tinggi yang mengelilingi seluruh kompleks. Tembok itu tidak seperti pagar sekolah biasa, lebih mirip pagar privasi mewah. Dari luar, tampak jelas bahwa apa yang dikatakan situs web benar.. Horizon International Academy memiliki luas sekitar tiga puluh hektar, ukuran yang luar biasa untuk kebanyakan sekolah, tapi mengingat muridnya yang sedikit, lahan itu dialokasikan untuk lebih dari sekadar pembelajaran di dalam ruangan. Tak lama kemudian, atap kerucut biru tua dari gedung utama terlihat. Batu bata merah, yang tampak menyatu dengan tembok. Alina akhirnya mencapai jalan yang menuju gerbang utama, besi yang ditempa terukir huruf HIA ditengahnya. Pintu yang benar-benar tidak mungkin ia lewatkan. Bendera warna biru dan merah, simbol kebanggaan akademi. Berkibar diatasnya, bertuliskan: "SELAMAT DATANG SISWA DAN SISWI BARU". Suasananya formal dan mewah, mempertegas status institusi ini. Untungnya, gerbang sudah terbuka lebar, dan tidak ada satupun penjaga yang berjaga di pos, mungkin karena ini adalah akhir pekan pindahan untuk murid baru dan lama. Alina mempercepat langkah, berusaha tiba tanpa terlalu mencolok. Ia tidak ingin Direktur atau staf lain melihatnya datang tanpa kendaraan, karena biasanya sebagian besar murid datang dengan mobil-mobil mewah. Kemudian, CEKREKK .. CEKREKKKK!!!! Cahaya terang menyilaukan matanya. Dia tersentak mundur. Kamera mulai bermunculan. Suara dan teriakan tak terduga menyertainya. Alina terhuyung, bingung, jantungnya berdegup kencang. Ia mendongak, berusaha menemukan jalan keluar, tetapi tubuhnya terasa terjepit di antara wartawan yang terus memanggil namanya. “Apa perasaanmu sekarang?” “Bagaimana rasanya kembali?” “Apakah benar kau.." Ia hampir tidak bisa menangkap satu kata pun. Tiba-tiba, sebuah kehadiran mendominasi kerumunan. Seorang laki-laki paling tampan yang pernah Alina lihat, dengan kacamata hitam dan topi yang menutupi sebagian wajahnya, muncul entah dari mana. Matanya tidak dapat menangkapnya dengan jelas karena kilatan kamera masih terus menyala, tapi sosok itu langsung berada di sampingnya. Tanpa bicara, lengannya melingkar lembut di pinggul Alina, menariknya dekat dengan kepercayaan diri yang terasa alami. Sementara lengan yang satunya lagi menghalau kerumunan dengan tegas, seakan sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Alina samar-samar mendengar suara rendah dan tenang, berkata, "Hei, beri dia jalan.." Alina merasakan tubuhnya digerakkan dengan lancar, hampir tanpa sadar, menuju mobil mewah yang entah bagaimana telah diparkir sangat dekat. Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, dia sudah berada di dalam mobil, duduk di kursi penumpang, sementara laki-laki itu menutup pintu di sampingnya. Dia memegang kedua pundak Alina dan tubuh mereka menjadi sangat dekat. "Kamu baik-baik saja, kan?" Tanyanya, Alina berani bersumpah jika jantungnya berhenti berdetak. "Eh... Ya, aku.. Aku baik-baik saja." "Kamu seharusnya tidak berjalan sendirian di tempat seperti ini." Dia bergumam pelan sambil menyalakan mobilnya. Alina akhirnya mulai bernapas lagi. "Wartawan di luar gerbang itu bukan dari media resmi." Alina menoleh, sedikit bingung oleh pernyataannya. "Bukan wartawan resmi?" Laki-laki itu mengangguk pelan, tanpa mengalihkan pandangan dari kemudi. "Mereka suka menyelinap untuk mendapatkan foto eksklusif atau gosip terbaru. Sekolah ini sering jadi sasaran karena banyak keluarga penting yang mengirim anak-anak mereka ke sini," lanjutnya. Benar. Siapa dirinya? Hanya setitik debu dibandingkan dengan orang-orang kaya itu, pikir Alina. Pantulan dirinya di kaca samping mobil membuatnya semakin sadar betapa salah tingkahnya. Wajahnya memerah. Alina berharap pria itu hanya menganggap akibat cuaca panas. Dengan gugup, ia mengalihkan pandangannya, dan tanpa sengaja melihat sebuah stiker harimau di bagian depan mobil. Stiker itu menampilkan nama "ARION," diakhiri dengan huruf Korea "권" (Kwon) dalam font tegas dan elegan dikelilingi oleh bintang kecil berwarna emas, tanda prestise yang sulit diabaikan. Saat itulah Alina tersadar sepenuhnya. Dia sedang duduk di sebelah Arion Mahendra Kwon, putra komisaris ternama dan salah satu bintang tim sepak bola Horizon International Academy yang sangat populer, Horizon Tigers. Arion bukan pemain biasa; dia adalah kapten. Dengan reputasi tim yang tangguh dan sebutan mereka sebagai "The Tigers," Arion dikenal sebagai pemimpin yang karismatik di lapangan dan selebriti kecil di akademi. Jantung Alina berdetak kencang. Tentu saja, sekarang masuk akal mengapa dia begitu tenang menghadapi wartawan tadi. Arion sudah terbiasa menghadapi sorotan publik, dan sekarang, entah bagaimana, Alina terjebak dalam orbit kehidupannya yang serba glamor.. Alina tersadar dari lamunannya dengan ragu, bertanya, "Ini... ini nggak akan jadi masalah, kan? Maksudku, untuk kita berdua? Ya, eh.. untukmu maksudnya." Suaranya terdengar kecil, hampir tidak terdengar di dalam mobil yang begitu mewah. Arion menoleh sejenak, lalu tersenyum tipis. "Masalah? Jangan khawatir, mereka tidak akan berani menyentuhmu. Selama kamu tidak tampil seperti itu," Arion melanjutkan dengan nada mengejek, matanya menyapu penampilan Alina. “Maksudku, blouse yang terlalu besar dan celana jeans robek ini… terlihat seperti kamu baru bangun tidur.” Alina melengkungkan bibirnya ke bawah dan menutup wajahnya dengan tangan. Dia baru ingat bahwa dia salah mengambil blouse milik Vera, ketika tergesa-gesa berangkat tadi pagi. Dan celana jeans dengan sobekan mengaga ini? Itu adalah kesalahan lain. Dia menghindari anjing yang mengejarnya di jalan, dan celananya tersangkut di pagar. “Sangat kreatif,” katanya, sambil membelokkan stir dengan santai. “Tapi sepertinya kamu butuh perlindungan ekstra.” Arion memberhentikan mobil, dan mengambil sebuah jaket dari kursi belakang dan menyodorkannya kepada Alina. “Pakai ini. Tutuplah sobekan itu, atau aku... akan merobeknya menjadi lebih lebar..." Mata Arion, meski tersembunyi di balik kacamata hitam, jelas-jelas tertuju pada paha Alina. Senyuman nakalnya membuat darah Alina berdesir, sementara wajahnya memerah. Meskipun mereka baru saja kenal, pria itu memiliki pesona yang sulit ditolak. "Itu tidak lucu!" sergah Alina, wajahnya semakin panas. "Dasar mesum! Kamu tidak sopan melihatku seperti itu." Arion hanya mengangkat bahu dengan santai. “Aku hanya memberi solusi,” ujarnya dengan nada santai. “Kamu pasti tidak mau dianggap seperti binatang saat disambut oleh mereka.” Agak sedikit ditekan ketika menyebut kata terakhir. Dia menunjuk ke luar jendela mobil, dan pandangan Alina pun mengikuti arah telunjuknya... "HAHHHH?!" Mulutnya terbuka lebar. Jalanan itu penuh dengan mobil media, dan para wartawan. Mikrofon dan perekam kamera berjejer siap sedia. Sepertinya berita lokal dan nasional ada di sini. Alina mendadak gugup. Dia kembali menatap sobekan di celananya yang lebih besar dari perkiraannya, dan dengan cepat meraih jaket dari tangan Arion, membungkus pahanya agar lebih tertutup. “Terima kasih… aku tidak akan pernah hidup tenang kalau kamu tidak ada disini.” Direktur Eric sudah berdiri di teras kantor sekolah, dan Alina melihat dia bersanding dengan istri dan putrinya. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan ke kamera. Saat Arion menggandeng tangan Alina dan mulai menaiki tangga, direktur Eric menyambut dengan ramah. Salah satu wartawan menoleh ke arah mereka berdua, kemudian mengikuti langkah mereka hingga ke tangga untuk bergabung dengan direktur dan keluarganya. "Apakah Anda adalah Alina Sari Mentari? Gadis penuh keberuntungan yang masuk ke Horizon International Academy secara eksklusif?" "Ya, benar." Sebelum melontarkan pertanyaan selanjutnya Alina telah bergabung dengan Direktur Eric, yang menatap Arion dengan tatapan penuh arti, seolah dia menyadari sesuatu..Mata direktur tertuju pada Alina, raut wajahnya tampak kaget. “Alina? Saya kira Anda akan datang dengan kendaraan pribadi dan masuk melalui pintu belakang seperti yang aku sarankan,” gumamnya, terlihat bingung.Alina menahan nafas. Dia telah berbohong tentang memiliki kendaraan, dan melewati pintu belakang, berarti Alina harus memutar dua kali lipat lebih jauh dengan jalan kaki. Direktur Eric telah menawarkan tempat tinggal di asrama sekolah, dan dengan uang saku yang cukup besar, tapi Alina menolak karena tidak ingin tinggal sekamar dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya.Dia merasa cukup berutang budi kepada direktur dan tidak ingin merepotkannya lagi dengan masalah lainnya.“Maaf, Pak. Ada sedikit perubahan rencana,” kata Alina dengan suara rendah. “Saya hanya... ingin menikmati pengalaman baru.”“Begitu ya,” balas direktur Eric, masih terlihat sedikit terkejut. “Baiklah, selamat datang, Arion. Kami senang melihatmu membawa teman baru.” Arion tersenyum, tetapi Alina berh
Tak terasa Alina pun ketiduran sampai pagi di sofa ruang tamu karena kelelahan. Saat terbangun, ia langsung bersiap-siap dengan cepat, karena dia harus tiba di sekolah lebih awal untuk mengambil seragamnya.Untungnya, Alina berhasil mendapatkan seragamnya dari kantor tadi. Sekarang ia harus ke perpustakaan, namun ia baru ingat jika tidak tahu lokasinya. Ia hanya ingat jalan menuju kantor, jalan yang sama yang membuatnya terjebak konfrontasi dengan Clarissa kemarin.Mengingat itu air mata Alina mengalir lagi, ia tidak bisa membendungnya. Alina lelah sekarang, dan ia berkeringat. Belum lagi saat pulang nanti ia harus berjalan kaki lagi.Alina menarik napas panjang, mengipasi matanya. Kemudian merasa jantungnya berdebar lebih cepat ketika sesosok datang..."Hei... kamu baik-baik saja?"Akhirnya, pandangan Alina menjadi jelas dan melihat pria di depannya, dia tak kalah tampan dari Arion. Dia mengenakan jersey dan membawa ransel HIA berwarna biru tua. "Ya, hanya sedikit lelah," gumam Alin
Darren menatap Alina lebih lama sebelum mengalihkan perhatiannya kembali ke Arion. Dia membetulkan ranselnya dan menyeringai, lalu mengedipkan mata ke arah Alina menuju pintu.Alina pun mendapati tatapan tajam dari Arion, tertuju padanya. Denyut nadinya melonjak, dan perutnya jungkir balik. Ia yakin Arion sangat marah padanya, tapi ia tidak tahu alasannya apa."Ayo." Sergio memukul punggung Darren. "Ayo pergi dari sini sebelum Arion menendang bokongmu di depan kelas."Para siswa tertawa..Clarissa menyaksikan mereka berdua menghilang. Ia menyilangkan tangannya."Arion, aku tahu kamu tidak ingin ada permusuhan antar pemain. Tapi kamu harus berhati-hati dengan anak itu. Dia tidak suka kamu mengaturnya."Sesaat setelah itu, murid-murid terdengar riuh. Karena guru yang Alina dengar dari beberapa murid bernama Mr. Asher, baru saja datang. Sementara Clarissa dan Arion, dengan langkah percaya diri, keluar kelas tanpa sedikitpun kekhawatiran. Alina yang melihatnya, tak percaya dengan apa ya
Semua orang di ruangan itu terdiam. Arion berkedip terkejut, sementara Alina terperangah. Tidak percaya apa yang baru saja mereka dengar.. Arion bersikeras, “Kakek, aku tidak mau! Kita bisa melawan ini! Jangan berpikir tentang pernikahan, ya. Kita akan melalui semua ini bersama.” Pak Hadi bangkit cepat dari tidurnya. “Kenapa tidak??!!” “Kau dan Alina memiliki ikatan yang kuat... Aku melihat cara kalian saling memperhatikan. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pergi. Ini adalah harapanku.” Arion dan Alina terperangah, saling menatap dengan mata lebar. “Apa?! Kakek, itu tidak—” Arion terputus, berusaha mencerna kata-kata kakeknya. “Cukup!” “Jika kamu mencintai Alina, maka tunjukkan. Menikahlah! Lakukanlah untukku. Aku ingin pergi dengan tenang, tahu bahwa cucuku akan bahagia..” Saat mengatakan itu mata kakek berapi-api. Alina merasa “Pak Hadi,” kata Alina perlahan, “aku... aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Ini semua terlalu cepat.” “Aku tidak memintamu untuk men
Dalam keadaan wajah yang basah terkena siraman air, Arion berkata, “Jadi, apa kamu benar-benar ingin melihatku tanpa baju?”Beberapa helai rambut Arion menutupi sedikit matanya. Bagaimana dia bisa terlihat begitu tampan dengan rambut yang acak-acakan seperti itu?Alina cepat-cepat membalas, “Oh, tentu tidak! Ini akibat kau yang terkena semprotan cabai. Jadi bajumu harus dilepas supaya tidak terkontaminasi.”“Ya, kamu benar," balas Arion, sambil terus mengedipkan matanya masih berair."Tapi membasuhnya dengan air nggak membuatnya lebih baik. Sial.. kurasa bola mataku akan lepas!” Arion menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.“Maka dari itu, kau sebaiknya diam, tutup saja mulutmu. Ikuti apa yang kusuruh..” Alina menjawab dengan kesal, tetapi ada nada kekhawatiran dalam suaranya.Arion langsung manut. Alina melihat Arion melepaskan kausnya dengan perlahan. Tanpa menunggu jawaban Arion, Alina segera memalingkan wajahnya, beranjak pergi ke dapur. “Aku mau buat air hangat untuk mengompr
Alina mendengus dan menatap matanya. Arion bertingkah aneh. "Mengapa aku harus?" “Kau tidak ingin direktur mengira kau selingkuh dan tidur dengan orang lain—seperti Darren—kan?" sindir Arion dengan nada dingin. Wajahnya tampak tenang, tapi ada kepedihan tersembunyi di balik tatapan itu.Alina tahu, sisi brengsek Arion yang lama dia tunggu akhirnya muncul. Ini dia, pikirnya. Sudah waktunya.Sindiran itu menghantam keras. Seolah dada Alina benar-benar ditusuk. Rasanya terlalu menyakitkan."Oh, jadi itu yang selama ini kau pikirkan tentangku? Bahwa aku tidur dengan pria yang sudah menikah dan cukup tua untuk jadi ayahku?" Alina balas menatapnya, hatinya terasa terbakar.Arion mengangkat bahu, tampak seolah tak peduli. "Yah... Itu masuk akal. Kau bisa masuk HIA dengan mudah. Dan aku tidak mempermasalahkan itu," ucapnya, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting. Ia melirik Alina sambil mengibaskan tangan. "Aku berpikiran modern. Kau tahu, soal itu." Mata Arion tertuju pada bawah tubuh